It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Langkah demi langkah aku tapaki. Hingga suara ketipak-ketipuknya pun terdengar.
DAN...
Sampai-sampai aku merasa mendengarnya. Derapan kaki seseorang dibelakang merebak di pendengaran. Aku terkesiap. Ku telan sedikit liur. Tenang! Jangan kalut. Mungkin ini efek ke-budekan-ku yang dihujani jeritan manusia di bioskop tadi. Alhasil, aku tak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang halusinasi.
Aku terus berjalan walau sepertinya secara tak sadar kecepatan kakiku terkontol lebih cepat. Namun, aku kembali memasang telinga. Ya, ada orang dibelakangku.
Oh God...! Jangan berfikir yang tidak-tidak. Aku mengutuk diriku yang tiba-tiba mengarah ke hal-hal yang mengerikan.
Aku menyampingkan kepala, melirik diam-diam sosok di balikku. Tak berhasil, aku hanya mendapati sebuah bayangan yang tersoroti lampu remang-remang. Detak jantung tak beraturan, begitupun bulu roma yang meremang.
Aku mulai berlari kecil. Sekali lagi, langkah kaki orang ini semakin beradu denganku. Penjahat? Penculik? Perampok? Pemabok? Arghh... beribu-ribu kata-kata ini mencuat bak memecah rekor keteganganku di benak. Atau jangan-jangan penguntit...pemerkosa? Bisa saja, bukan? Oh... Tuhan, lindungilah aku.
Pikiran-pikiran buruk sedari tadi bergejolak tanpa memperdulikan bantahan-bantahan nalar sehatku. Aku ingin cepat sampai tujuan, rumahku. Aku mencoba bersenandung pelan-mungkin cara ini efektiv demi menetralisirkan rasa panikku.
Dan itu dia, rumahku. Aku berusaha berlari, namun tubuhku terasa kaku.
TIBA-TIBA...
"Hei!" akhirnya terdengar suara seseorang dari balikku dan sebuah sentuhan kentara di bahu.
Aku tercekat sepersekian detik. Lalu kukepalkan tangan dan dalam waktu sesingkat mungkin, aku memutar sambil mengarahkan tinjuan ke arah muka orang itu. Tak ketinggalan aku berteriak keras.
Lelaki itu terjatuh. Aku bersiap-siap menyuguhkan sekepalan tinjuan lagi saat...
"Hei... Tunggu sebentar!" serunya. "Ini aku..."
Tanganku terhenti di udara. Dan mataku mendelik tajam kepada laki-laki itu. Wajahnya tak jelas, karena terlindungi oleh sebelah tangan yang menutupinya, demi melindungi dirinya. Perlahan, dia menurunkan tanganya, kemudian...
"Toyyib?" aku tercengang kaget. "Kenapa kau-kamu menguntitku, ya?"
Toyyib bangkit. "Tidak, aku cuma khawatir bakal terjadi sesuatu sama kamu." jawabnya, bercampur ringkahan meringis yang terlontar dari mulutnya.
Astaga... Toyyib berdarah. Hidungnya mengeluarkan cairan merah kental.
"Sekarang, turunkan tanganmu itu. Oke!" Toyyib menunjuk tanganku.
Yakin. Jika ini siang, maka rona merah di wajahku, akan terlihat kentara sekali. Oleh itu, aku menurunkan tanganku. Masih malu.
"Kamu pikir ini lucu, hah?" bentakku dengan alis yang terpencing. "Kamu udah bikin aku ketakutan setengah mati."
"Ketakutan?"
"Ya."
"Sorry deh kalau gitu..."
"Ngomong-ngomong. Kamu tidak pulang kerumahmu, ya?" tanyaku.
Toyyib menarik napas. Setidaknya, aku juga demikian. Entah mengapa, aku merasa kekurangan oksigen. "Itu karena kamu."
Keningku melisut. "Karena aku? Maksudnya?"
"Aku nggak tega, ngebiarin kamu jalan sendirian malam-malam. Berbahaya. Bisa-bisa ada orang yang macam-macam memperkosamu. Kasian kan kamunya." Toyyib menyeringai.
"Huh... terlalu muluk," remehku, "malah si pemerkosanya itu yang akan aku lucuti pakaian-pakaiannya. Sampek ke kolor-kolornya sekalipun." Aku seolah-olah bagai pemberani kelas kakap. Padahal, aku sangat takut sekali saat Toyyib mengendap-ngendap tadi.
"Hmm... Ya...ya... aku juga gak heran. Kamu kan punya jurus mempesekkan hidung." Toyyib terkekeh.
Aku menyuguhkan tatapan mau-aku-ratakan-rentetan-gigi-putihmu-itu-sekali-lagi pada Toyyib. Kemudian, aku membimbing tubuhku bergerak dan membalik sambil berjalan meninggalkan Toyyib yang mengkeret tegak.
"Tunggu aku!" katanya seraya menyusulku.
Ini memang sudah larut malam. Dan aku sudah siap menghadapi ocehan-ocehan Bunda yang bakal men-judge ku habis-habisan hingga laut kehilangan rasa asinya. Sedangkan Toyyib, mengekor di balik punggungku dengan hidung badutnya.
"Kamu tinggal di sini?" kembali, satu kalimat memecah atmosfir kesenyapan antara kami berdua.
"He'em..."
"Oh..." hanya itu saja yang keluar dari mulut Toyyib berbarengan anggukan kepalanya.
Aku mengetok pintu rumah ketika kami tiba di teras depan. Tak lama, handle pintu terputar. Dan aku menemukan bunda sedang berkacak pinggang.
"Dari mana saja kamu, Hilal... Gak tau malam. Ini udah hampir tengah malem, bunda khawatir dan gak bisa tidur karena kamu. Lain kali jangan pulang larut malam. Contohlah ayam, tanpa disuruh, mereka langsung pulang ke kandangnya masing-masing kalau waktu menjelang maghrib. Nah... Kamu? Kalah sama mereka." Bunda menceroscos dalam satu tarikan nafas. Tak ada jeda.
Apa paru-parunya tak mengalami gangguan aerob? tanyaku dalam hati.
Bunda menjeplak-jeplakan lidahnya. Masih mempertahankan posisi kacak pinggangnya. Lalu matanya berkeliaran dan hinggap ke pada sosok yang menyaksikan iklan 'kuliah sarkatisme untuk anak nakal' di sampingku. "Loh... Ini siapa Hil... Temammu? Kok... wajahnya... Aduh... Gimana bisa bengkak seperti habis ditonyor orang?" Bunda mudah panik. Dilihat dari ekspresinya, bunda panik berat.
Aku menoleh ke Toyyib. Kami bertemu pandang. Plis! Lie to me ! Jangan bilang kau habis mendapat injeksian cap tanganku. Aku mengirimkan sinyal melas melalui mata merpatiku.
"Hilal... Kenapa temanmu nak...?" intonasi suara bunda meninggi.
Aku menggeragap. "E... itu-"
"Kecedot tiang listrik, Tante..." Toyyib menolongku.
"Kok bisa?"
"Di sekitar jalan sini gelap tante. Jadi pandanganku ikut merabun. Dan gak sadar ada tiang di depanku. Jadi terjadilah, insiden cium tiang." Toyyib kembali berbohong. "Benar kan ya?" lanjutnya, memiringkan kepala serta alis terangkat ke arahku.
"Ah... oh... iya Bunda." Oke! Aku berbohong. Perbuatan tak baik ini pasti di catat ke dalam buku rapor merah di kiriku.
Bunda mengangguk-angguk setengah percaya. "Cepat kompres wajahmu ya nak. O ya siapa namanya?"
"Toyyib... Tante."
"Ya...ya... Hilal, bantu Toyyib mengompres lukanya." ujar Bunda sambil menyeretku ke dapur, sesaat sebelumnya menyuruh Toyyib agar menunggu sebentar.
"Benar... temanmu itu habis membentur tiang?" kata bunda sewaktu di dapur. Di tanganya, ada sebuah baskom mini berisi air hangat plus handuk kecil berenang di dalamnya.
"Ih... Bunda. Gak percayaan, lebih baik bunda tidur sana! Temeni Diah, kasihan ditinggal sendirian." Aku merampas baskom itu dari Bunda. "Toyyib biar Hilal yang ngurus."
Lantas aku bergegas menuju ruang tamu. Setiba disana, aku tak melihat sosok jangkun itu. Kemana perginya? Aku menuju kamarku yang bersebelahan dengan ruang tamu. Dan mataku menangkap Toyyib menegak di dekat cermin sembari memegang harmonikaku. Kalian mungkin bertanya-tanya, kenapa Toyyib leluasa memasuki bilikku? Itu karena aku jarang mengunci pintu kamarku. Pun dengan badge namaku yang terpampang jelas di badan pintu.
"Kau rupanya di situ." tegurku, menghenyakkannya.
Toyyib tergiring ke aku yang tengah menggeletakkan baskom itu pada kursi kecil di sebelahnya. "Kamu gemar memainkah harmonika?" tanyanya, jemari-jemarinya mengacungkan instrumen mungil berplat bolong-bolog itu ke atas udara.
"Oh...Tidak, itu pemberian dari seseorang."
"Pemberian seseorang?"
"Ya...Seseorang yang sangat berharga bagiku. Dia bilang, apabila aku meniupnya, benda ini dapat menyerap dan menguapkan segala kesedihan dan emosi ku."
Toyyib menerka-nerka pernyataanku. Kemudian, aku mengambil harmonika darinya.
"Sekarang duduklah..." aku menyerongnya ke kasurku. "...waktunya lukamu aku kompres." Aku membelat-belit lalu memeras handuk kecil. Dan mulai membersihkan darah kering di sudut-sudut hidungnya.
Toyyib agak meringis. "Pelan-pelan...!" pintanya.
Aku terus mengompresnya, menekan-nekan daerah lukanya. Sesekali pikiranku tak fokus, karena terpalang oleh tatapan Toyyib. Kadang-kadang aku menarik nafas berulang-ulang tatkala mata kami bertubrukan satu sama lain. Lalu menjatuhkannya ke arah tanganku yang tengah berkutat menyeka hidungnya. Salah tingkah maksudnya.
"Ternyata kamu punya sisi baik juga ya..." Toyyib membuka kecanggunganku.
Aku berhenti menyeka. "Jadi selama ini, kamu berfikir aku orang yang paling galak, terjudes, tercuek, dan ter-"
"Terbaik menurut versiku malam ini."
This's it.
Toyyib memotong telak perkataanku yang sukses melebarkan telingaku ditambah pipi yang merasa meremang. "Bagaimana? Lukamu sudah gak sakit lagi?" hmm... aku mengalih, bukan? Jujur! Kata-katanya membuatku salting luar biasa.
Toyyib menyentuh pergelangan tanganku. "Hidungku tak akan retak walau ditonjokmu." Dia tersenyum. "He... tanganmu yang gemulai bak selendang berkibar itu mampu membikin aku tambah sangar." katanya sok kepedean.
Tapi, aku juga tidak boleh memungkirinya bila dia tampak lebih jantan dari sebelumnya. Aku menarik tanganku. "Emm... Kamu menginap di sini saja?" usulku, "ini sudah tengah malam." aku menangkat baskom itu. Kemudian, meletakkannya ke dapur.
'Huh... Cobalah menarik nafas dalam-dalam Hilal! Apakah kamu sudah lupa, bagaimana cara bernapas lagi?'
~~~
15 menit kemudian...
"Hilal..." panggil Toyyib.
"Hmm..."
"Maafin aku."
Maaf? Apa maksudnya 'maafin aku'. Aku beralih ke wajahnya yang terjurus ke langit-langit atap kamarku. "Maafin apa?"
"Karena membuatmu dimarahi ibumu."
"Oh... Tak perlu."
Hening sejenak.
"Sejak dulu, aku berkeinginan menginap dirumah teman."
"Loh...artinya ini pertama kali kamu-"
"Ya, pertama kali aku menginap di rumah teman. Dan itu rumahmu."
Aku semakin tertarik. "Di Malang, kamu tidak punya teman?" tanyaku.
"Banyak. Tapi aku merasa kesepian. Ya, bagai ayam bertelur mati kelaparan. Meski, aku punya segalanya, tapi aku selalu ada yang kurang di hidupku. Entahlah apa itu..." desisnya.
Seorang Toyyib kesepian? Benarkah? Cowok yang ku perkirakan mudah bersosialisa, cakep, tajir dan punya segalanya menyatakan kesepian? Spekulasiku tentangnya selama ini itu salah? Otakku bercabang, ditumbuhi beribu-ribu tanda tanya. "Ayahmu? Ibumu?" tanyaku jeri. Otot sekitar alisku bereaksi.
Toyyib mengambil nafas. "Ayahku... Dia selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Lalu ibuku, dia meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dan karena itu, aku terlantar sendiri hingga memutuskan hijrah ke kota Jember. Kota pamanku tinggal ini." lenguhannya membikin aku tehenyak.
"Intinya kita hampir sama, bukan? Aku tak punya ayah, kamu tak punya ibu."
"Kamu beruntung, sebab ibumu menyayangimu. Tidak bagi ayahku." Air muka Toyyib menunjukkan kesedihan yang tak terungkapkan melalui kata-kata. Tergambar dari matanya yang berkaca-kaca.
"Baiklah... begini aja. Aku akan menjadi ibumu."
"Ibuku?" tanyanya dengan alis tertaut.
"Ya... Aku jadi ibumu, kamu jadi ayahku." aku menyarankan.
Toyyib tersunyum. "Setuju."
Aku membalas senyumannya. "Waktunya tidur... selamat malam." dan dijawab begitu pula oleh Toyyib.
Beberapa menit berlalu... hingga...
"Hilal..." panggil Toyyib mencegatku memasuki alam mimpi.
"hmm?"
"Bisakah kamu memposisikan tubuhmu menghadapku."
Nah, itu kan... Aku menurutinya. Tervisualisasilah seutas senyum di bibirnya. Ya... Tuhan... Toyyib memang tampan, apalagi memarnya itu loh. Bikin aku tersekat memasukkan ludah.
10 menit berlalu...
"Hilal..."
"Apa lagi?"
"Bisakah aku meminjam tubuhmu sebagai gulingku. Aku kedinginan."
Jleeb. Toyyib menarikku kedalam dekapannya. Dag dig dug merajai dadaku. Aku sesak. Oh... No...no. Aku tidur di pelukannya. Aku dapat menghirup wangi parfum yang terkontaminasi bau badannya.
Selang 5 menit berlalu...
"Hilal..."
Oh My God. 'Bisakah' apalagi ini. "Ya... ada apa sih?" tanyaku dengan bibir mengeluk.
"Aku malah tambah merasa dingin. Bisakah kamu juga memelukku supaya aku tak gemetaran. Kamu kan asistenku. Lindungilah aku dari kebekuan malam" hiperbolanya mengkoar.
Sungkan bercampur kikuk, aku mengikuti saranya. Memeluk and merapatkan badanku. Semoga dia tak terusik dengan bunyi gendang bertalu-talu dari jantungku.
Beberapa menit kemudia...
"Hilal..."
Berhentilah Toyyib. "hmm?"
"Bisakah..." stop! Jangan berani membiasakan mengucap kata 'Bisakah' lagi, Toy. Maka, aliran darahku akan tersumbat. "Ehmm..." dada Toyyib bergetar. "Bisakah kamu mematikan lampu untukku. Aku gak terbiasa tidur dengan lampu menyala..."
TWEEWWW...
SHIT!!!
~~~
Aku merasa dia memang beda tadi malam. Beda dalam artian 180 derajat berbanding terbalik dari yang aslinya. Yang biasanya terkesan jutek, angkuh dan super jahil. Namun, aku tak menjumpai sifat-sifatnya itu lagi. Dia aneh, dan keanehannya itulah yang membikin otakku konslet. Apa aku mulai... Arrgh, tidak...tidak boleh.
Aku masih bertengkar serta memperdebatkan diriku sendiri sampai aku ditinggal jauh sama Toyyib. Pagi yang melelahkan. Pagi yang menguras otak dan energi tentunya. Jogging alias lari pagi itu sangat menyebalkan sekali. Betapa tidak, asyik-asyiknya molor, Toyyib secara sigap menyeretku keluar rumah untuk meregangkan otot-otot. It's exhausting. Hari ini sekolah libur, karena guru-guru pada disibukkan acara wisuda kakak kelasku.
"WOIII... Tungguin aku dong!" panggilku dalam lengkingan teriakan. Sambil berlari sempoyongan mendekati Toyyib. "Aku gak kuat, Toy..."
"Gitu aja udah gak kuat."
"Jantungku berdenyut-denyut sakit." seraya merebahkan tangan di dada. Aku terengah dengan nafas terputus-putus. Ngos-ngosan.
"Berarti jantungmu normal.... Coba ku periksa... Kemari!" Toyyib menempelkan kepalanya tepat dimana jantungku berada.
Deg.
Aku beringsut mundur selangkah. Oh... Bukan. Aku akan jatuh.
HAAPP...
Dengan cekatan Toyyib langsung merangkulku, menyelamatkanku yang bakalan menjadi korban grafitasi bumu. Wajahku dan wajahnya begitu intens. Beberapa detik, aliran darahku mendesir hebat. Intensitas denyut jantung meningkat. Sebentar lagi akan melompat dari tempatnya.
Aku beringsut dalam rangkulannya. Sejenak, kami jadi salah tingkah. Damn! Konslet betul otakku.
"Eh... terima kasih atas pertolonganya." nada suaraku seolah-olah bagai tikus terjepit.
Toyyib mengangguk kikuk. "Boleh aku memeriksa lagi jantungmu." dia belum jera?
Aku terpaksa menyantap ludah, karena rasanya kerongkonganku seperti tersendat.
Toyyib merajah pergelangan tanganku dengan tiga jarinya. "Denyut nadimu melampui batas normal." ucapnya.
That right! Because of you!
"Ini dapat membahayakan kesehatan" lanjutnya.
Aku juga tahu, jikalau denyut nadiku melebihi intensitas normalnya, dapat berbahaya. Tapi, kalau kurang dari 143-172 denyutan per menit, maka jogging yang barusan aku lakukan kurang bermamfaat untuk memperbaiki kesegaran jasmani-ini menurut buku yang pernah aku baca loh. Aku menepis halus tanganya sembari mengucapkan, "Makasih atas sarannya." kataku, sambil menyimpulkan bibirku. Tersenyum hangat.
Setelah merasa cukup lelah, kami berniat mengakhiri jogging kali ini. Lantas pulang, menunggu masakan Bunda siap saji.
~~~
Ku temukan Toyyib ber-manis-manis-ria di bangkuku ketika memasuki kelas. Senyumnya selalu terlukis indah dan menawan. Hai! Sejak kapan dia pindah tempat? "Kenapa kamu duduk di bangkuku, ini bukan tempatmu, kan?"
"Aku kan bayar sekolah di sini."
"Iya, tapi ini kan tempat Ary."
"Aku sudah memintanya untuk merelakan tempat ini buatku. Dia gak menolak kok."
Kemudian mataku bergeser ke sebelah. Aku menemukan Ary menyungingkan senyumnya padaku. Kumis tipisnya malang melintang di atas daging kenyalnya itu berkontraksi, mengikuti gerak-gerik bibirnya. Ary mentransferkan sinyal-sinyal telepatinya berupa kedipan mata. Aku mengerti maksudnya. Ary ikhlas.
"Ingat, kamu asistentku. Jadi wajar, jika aku ingin dapet keuntungan lebih. Salah satunya, memilih duduk di sisimu." Toyyib mengingatkan ku.
Aku menghela nafas.
"Sudahlah! Letakkan tasmu, lalu ikut aku."
Aku mengikuti interuksinya, lantas mengekori Toyyib. Seperti biasa, ke kantin sekolah. 3 hari bekerja padanya, selalu mendapatkan upah sarapan. Inilah bentuk perhatian istimewannya.
Kami mengambil tempat paling pojok. Toyyib tengah memesan beberapa menu makanan dan minuman kami.
Sementara, mataku berbelanja seisi ruangan. Dan sorot mataku membentur seseorang cowok yang sedang menyeruput minuman. Gee wizh! Sudah berapa hari aku tidak bertemu Fahry? Tiga hari serasa tiga minggu tak jumpa senyum maut dan mata pembunuhnya itu. Tunggu! I forgot. Kenapa aku tidak meminta bantuan Fahry saja melunasi biaya penggantian kaca akibat insiden 'Pecah-Belah' itu? Jadi, aku tidak perlu mengadakan perjanjian konyol dengan Toyyib. Huh, penyesalan datangnya belakangan.
Seandainya Fahry adalah Toyyib. Dengan senang hati, aku menyetujuinya langsung tanpa di suruh memilih "Ya" atau "Tidak" untuk menjadi assistentnya seminggu. Jangan hanya seminggu, sebulan atau setahun pun aku mau. Bahkan dirangkap jadi Assistent + Baby Sister-nya sekalipun. Oh... How happy I'm! Bisa memberikan dan menyuapinya makan, memandikannya, memasangkan bajunya, me-nina bobo-innya...pokoknya semuanya deh!
All right! Aku boleh bermanja-manja bersama alam liarku. melayang di atmosfir berlapis-lapis, sambil naik paus
akrobatis, menuju rasi
bintang paaaaling manis.But, pikirkan, kejadian apa yang akan terjadi bila Fahry bisa membaca membaca pikiran-pikiranku yang dipenuhi khayalan-khayalan termuluk perihalnya. Kemungkinan besar, dia bakalan lari pontang-panting sambil melolong-lolong meneriakkan kalimat, "YOU'RE CRAZYYY BOYYY! HELP MEEE!". Oh... No Way...
Aku terperanjat tatkala Toyyib menepuk-nepuk pipiku. Di hadapanku tersedia mie ayam jamur dan sebuah es teh.
"Kamu kesambet? Kenapa senyam-senyum begitu. Atau sedang dapet arisan, ya?" Toyyib berkelekar. Setan hitamnya menampakkan wujud yang aslinya lagi.
Aku mendengus kesal. "Apa-apaan sih kamu, gak lucu."
"Makan dulu sana, keburu basi. Aku gak mau assistenku KKN"
"Apa itu?"
"Kurus Kering Nakutin." Dia terkekeh lagi.
Bibir mungilku merengut. Lalu, aku mengunyah remah sepiring mie itu. Inilah salah satu bentuk perhatiannya padaku. Jamuan gratis. Aku heran, mengapa aku yang terlihat seperti majikannya di sini. Ya, never mind! Aku menyukainya.
"Hilal... Aku suka bibirmu, apalagi berminyak kayak gitu."
Aku tersedak, betul-betul tersedak. Kontan, Toyyib menyodorkan esnya yang tersisa setengah gelas. Reflek, aku memasukkan sedotan ke dalam mulutku-orang bilang, ini ciuman tak langsung. Lagi-lagi aku terbatuk. Huh... Toyyib menyiksaku melalui kata-katanya barusan.
"Hati-hati makannya. Jangan rakus. Kayak kucing yang seminggu kelaparan aja." Toyyib menyentuh bagian daguku. Membersihkan blepotan makanan di sudut-sudut bibir.
Duh! Nampaknya, aku terserang syndrom Toyyib's thouching. Penyakit yang disebbkan oleh sentuhan Toyyib. Mukaku merona. Di iringi hentakan-hentakan keras dari jantung. Aku meliuk, mencoba lepas darinya, jika dibiarkan lama-lama virus ini bisa meng-klepek-klepek-an aku. Ada beberapa siswa yang memperhatikan tikah kami. Tatapan mereka mengintimidasiku, dahinya yang berlipat-lipat serta matanya disiptkan. Huh!
DASAR!!!
~~~
"BUNDA...! BANG NURUL SUDAH PULANG!" pekik adikku dari luar.
Aku beranjak dan melihat Bang Nurulku beserta seseorang, yang aku perkirakan adalah temanya. Sedang menyalami Diah. Aku rindu abangku.
BERSAMBUNG...
bang hilal terkadang jorse d... masa langkah kakinya jd terkontol mkn cepat...:-P