It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
pertanyaanku udah ditanya @fadlii d atas. byk kata2 yg terasa aneh.... tp mgkn TS terburu-buru saat typing. btw ceritana. bagus.
Apa yang bakal terjadi padaku? Aku berkali-kali
membatinkan kalimat ini. Walau saat ini, saraf-saraf
ototku menegang. Mulutku bergetar tanpa terucap
sebait kata. Kepalan tangan melembab akibat
tekanan hawa atmosfir dalam ruangan ini.
Setidaknya, aku masih tak henti-hentinya
memikirkan hukuman apa yang akan dialamatkan
oleh Pak Edy kepadaku.
“Maafkan saya, pak… andaikan saya bisa
mengontrol emosi. Hal macam ini, gak bakal
terjadi.” Ucapku gemetar sambil merunduk. Aku
tetap tidak ingin membentrokkan mataku pada Pak
Edy, selaku kepala sekolahku.
Pak Edy menarik nafas. Aku mendengernya. “Saya
mengerti,” ada jeda, “yang saya herankan, kenapa
kamu bisa melakukannya? Setahu saya, kamu
orangnya polos dan pendiam sekali.” Ujarnya
memembuat perasaanku tercampur aduk.
Aku mulai mengangkat kepalaku. “Aku melakukanya,
karena aku marah pada seseorang, pak.”
“Tapi tidak dengan melampiaskan keamarahan pada
kaca jendela. Itu namanya muka buruk cermin
dibanting.”
Aku menciut mendengarkan filosofi Pak Edy.
“Sebenarnya… saya juga gak tau kalau bola itu
bakal terplanting ke arah kaca jendela, pak.” Aku
berusaha mempertahankan diri.
“Baiklah, bapak tidak ingin banyak berkoar-koar,”
Pak Edy menarik nafas panjang. “Sebagai hukuman,
bapak minta kamu mengganti biaya kaca yang kamu
pecahkan.”
“Tapi pak…”
“Saya tidak mau tahu. Kamu harus bertanggung
jawab atas perbuatanmu. Bapak bukanya mau
menyiksa kamu, tapi saya tidak ingin anak didik
saya bermental lemah.”
Kata-kata Pak Edy terucap bagai menohok tepat
di ulu hati. Bagaimanapun seseorang siswa tidak
akan mampu menahahan sikap ‘lempar-batu-
sembunyi-tangan’-nya jika Pak Edy sudah
berfilosofi. Aku benar-benar mati kutu.
“Kira-kira… berapa biaya yang harus saya ganti,
pak?” tanyaku dengan nada masygul.
Pak Edy mencomot secarik kertas. Kemudian,
menuliskan angka-angka yang aku tebak harga kaca
pecah itu. “Sekolah sebenarnya punya uang
menggantinya,” Pak Edy menyerong kertas
bertuliskan angka-angka menakutkan itu padaku.
“Tetapi, saya berharap kamu mempelajari maksud
bapak.”
Aku menerima kertas itu, lalu menancapkan mataku
lekat rekat pada tulisan itu. Ya Tuhan…!! aku
membelalak bukan alang kepalang. Senilai RP.
250.000,-? Oh… tenggorokanku tersendat ketika
kumpulan ludah ku paksa telan karena jika ditinggal
sedetik lagi mungkin jatuh menjelumer serta bakal
ngacir lewat sudut-sudut bibirku. Uang sebesar itu,
mampu membeli tiga buah sepatu buatku, atau
dapat mengganti tas operasianku, dan juga bisa
membeli sekarung celana dalam untuk persedian
tahun-tahun berikutnya. Aku menggiring
pandangku ke wajah Pak Edy. Kumis tebalnya yang
nyaris memahkotai hampir 90% bibirnya
memperjelas ke-tidak-tahuan-ku. Apa dia sedang
tersenyum atau sedang merajut? Yang jelas, aku
tidak tahu berapa senti panjang kumisnya.
“Itu tidak termasuk biaya pemasangannya.” Kata
pak Edy seraya mengankat dagunya ke kertas
yang tengah tertaut di tanganku.
Aku mendesah. “Apa gak terlalu banyak, pak?”
Pak Edy hanya merespon dengan menadahkan ke
dua tangannya bersamaan bahunya terangkat. Aku
memahami dan kembali menatap kertas itu. “Saya
beri waktu kamu satu minggu untuk melunasinya.
Sekarang kembalilah ke kelasmu!” perintah pak Edy.
Aku berjalan terseok-seok. Pikiranku terisi penuh
angka-angka mengerikan itu. Tiba-tiba saja
kepalaku pusing, berdenyut-denyut, dan nafasku
tersekat. Tubuhku gontai, sehingga aku perlu
merehabilitirnya. Kuhempaskan pantatku pada
tadahan kursi. Oh, Tuhan… kenapa Kau berikan
ganjaran ini terhadapku? Apa malaikat salah mem-
format file-file kelakuanku? Ah, gak mungkin. Tak
mungkin salah.
Aku terus berkelahi dengan alam pikiranku. Bingung.
Aku menelangkupkan telapak tangan ke wajah.
Meredam ke-carut-marutan keadaanku. Uh…
“Kamu gak apa-apa?” sekonyong-konyongnya
suara usil itu menguar di dekatku. Aku menengadah.
Toyyib berdiri sambil melisutkan keningnya. Lalu
bayangan-bayangan kesialan mengantri di benak.
Dia yang mengakibatkanku berurusan dengan
Kapsek. Dia membuatku menanggung malu lantaran
pecahnya kaca jendela, aku jadi bully-bully-an
anak.
Aku mendengus keras, lantas memgalifkan posisi
badanku. Sekilas, aku menatapnya bengis.
Menampakkan urat-urat merah syaraf pelupuk
mataku.
Toyyib mengkeret. “Tidak bisakah kamu menatapku
biasa saja?” katanya, “Kau sungguh marah
padaku?”
“Sangat!” tandasku. Instingku berbisik, supaya aku
cepat-cepat menyeret kakiku menjauh darinya.
Sebelum itu, kurasakan cekalan melilit di
pergelangan tangan. Reflek, aku membalik. Toyyib
tengah menjegat aku.
“Lepaskan!” berontak aku.
“Aku gak bakal lepasin kamu, kalau kamu marah
gitu.”
“Apa-apaan kamu ini? Cepat… lepasin tidak?” tak
henti-hentinya aku menepis jeratan tangannya.
Namun, sia-sia. Kekuatanku kalah saing oleh
tenaganya.
“Asal jangan marah ya…!”
“Kamu gak berhak merintah-merintah aku. Aku
begini, gara-gara kamu. Jangan ganggu aku lagi,
sudah banyak kesialan yang aku dapat dari ulahmu.”
“Yeee… Dengerin dulu dong! Aku gak bermaksud
melambungkan bola ke kepalamu. Aku-” ucapannya
terpotong tatkala aku memberangsangkan
buncahan amarahku melalu tumpahan umpatan
mulutku.
“Berengsek!! Gak ada yang perlu didengerin. Lepasin
gak!”
“Aku belum selesai ngomong. Sungguh aku-”
PLAAKKK…
Astaga! Apa yang telah aku perbuat? Aku
menampar Toyyib. Kali pertama tanganku
menginjeksikan tamparan pada seseorang. Aku tak
terkendali.
“Hilal… Kamu menamparku…” kata Toyyib pelan dan
hampir tak terdengar. Pipinya dielus.
Aku hampir rubuh ke belakang. Persendianku lemas.
Aku memandang ke lima jari kiriku yang bergetar.
Keringat dingin mengucuri sekejur tubuhku. God!
Aku berdosa.
“Maafkan aku,” ucapku padanya. Tangannya
memang telah melepaskan cekalan dari pergelangan
tanganku. Aku melangkah meninggalkannya. Aku
tidak mudah melukiskan apa yang aku rasakan.
Kacau balau. Saat berjalanpun, pikiranku berlari-lari
entah kemana. Maafkan aku Toyyib… maafkan aku.
###><###
Aku menekuri jejalan kerak langkahku. Kala
pulangpun, tetap saja, aku memikirkan kejadian
spontanitasku itu. Aku bersalah pada Toyyib.
Sangat. Aku merutuk diriku sendiri. Apa yang harus
aku lakuin?
“Asskum…” aku menyerukan salam ketika tiba
dirumah. Ku lihat Bundaku lagi sibuk menyetrika.
Bunda mengangkat kepalanya. “Wasskum… udah
pulang, cung?” tanya Bunda.
Aku tersenyum sembari menyalaminya. Tak
disangka, memori otakku memutar angka-angka
sebesar RP. 250.000,- lagi. Uf, dasar tidak tahu
waktu.
“Bunda masakin makanan kesukaanmu tuh… lekas
makan dulu sana.”
“Hilal belum laper, bun…” balasku. Bunda
memandangiku sebentar kemudian kembali
menyibukkan diri menyetrika pakaian. “Bun…”
paggilku. Bunda mengangkat muka dan mata kami
bertemu pandangan. Aku berkaca di matanya,
wajah separo uzur itu… Ah, aku emoh meredupkan
ekspresi bahagia ibu kali ini. Ya, itu tergambar dari
simpulan bibir yang selalu tersungging.
“E…hmm… biar Hilal bantu, ya Bun..!” aku mengalih
topik yang akan aku cuapkan. Lebih baik tidak
dibicarakan dulu. Ya, kurasa begitu, mantapku dalam
hati. Aku merebut alat penghilang kerutan pakaian
dari Bunda.
Dia menggeser tubuhnya, memberi ruang leluasa
untuk kegiatan menyetrikaku. “Hilal… Ada apa
denganmu, nak? Kenapa wajahmu tak arif seperti
biasanya? Ada masalah?”
Tembakan-tembakan pertanyaan meluncur dari bibir
Bunda. Nyatanya, Bunda bakat membaca raut
melangkolis wajahku, meski aku telah berupaya
sewajar mungkin agar Bunda tidak curiga.
Aku terkesiap. “Ah, nggak… paling perasaan Bunda
aja.” jawabku sedikit kaku.
“Hmm, kamu anak Bunda. Bunda yang ngeblojorin
dan ngebasarin kamu hingga jadi besar gini.”
nasihat Bunda. “Sepatutnya, hati Ibu peka pada
anak-anaknya kalau sedang ada masalah. Ayo,
bicara sama Bunda, barangkali Bunda bisa bantu.”
Aku menghentikan aktivatas menyetrikaku. Jangan!
Jangan sekarang. “Gak ada apa-apa kok, bun…”
Bunda menghembuskan nafas. “Ya, ya… Bunda gak
mau maksa. Sudahlal, biar Bunda yang meneruskan
setrikaannya.” Bunda menyerah kemudian meraih
setrika di tanganku. “Kamu butuh kursus,
bagaimana jadi ibu rumah tangga. Nyetrika aja gak
bisa, malah tambah ngelusuhin baju.” tambahnya
semacam gerundelan unik.
Aku tersenyum masam. Bunda adalah seorang
wanita perkasa. Semenjak, ayah meninggal tujuh
tahun silam, bundalah yang menjadi kepala
keluarga. Lewat tangan kekarnya, dia
mengkompensasikan nyawanya mencari nafkah demi
anak-anaknya. Secercah harapanya yakni agar kami
bisa lebih beruntung darinya.
“O ya, Bang Nurulmu besok mau pulang. Tadi pagi,
bunda dapat kabar dari pamanmu, katanya dia akan
tiba dari Bali besok malam.”
Alisku terpencing. “Benarkah bun?”
Bunda mengangguk diiringi senyum rekah.
Ya… Aku masih punya satu saudara kandung lagi.
Abang Nurul, abang pertama dan terakhirku. Dia
bekerja di Bali sebagai buruh di sana. Bang Nurul
pula yang ikut andil memperurat otot-ototnya
untuk kesejahteraan kami. Aku merindukannya.
Sekali. “Syukurlah,” ucapku diselingi suara gedebuk
halus di dekatku. Tepatnya, suara hempasan
pantat yang keras dari sofa.
Aku menoleh. Menggiring pandanganku ke sana.
Bunda pun demikian. Terlihat adikku mendongkol.
Entah apa yang membikin mood-nya buruk kali ini.
Karena, jarang kutemui adikku bermurung ria.
“Kenapa…?” sahutku yang kontan mengejutkan
Diah.
Diah beringsut sembari menyembunyikan sesuatu di
balik punggung.
Aku melirik benda yang dia sembunyikan. Keningku
berlipat-lipat. Buku? “Apa itu?” tanyaku.
Diah membisu tidak bersuara. Dia semakin berusaha
menyembunyikannya. Itu semakin membuatku
penasaran.
“Abang mau lihat!” ujarku. Namun Diah tetap kukuh.
Aku mendelik seketika dan cara ini mampu
menciutkannya. Dia memberikan buku itu padaku.
Aku membuka halaman per halaman. Tulisan tangan
Diah, artinya miliknya. Mataku terhenti pada
tulisan terakhir buku ini. WHAAT? Aku melotot.
Diah mendapat nilai 2? OMG!
Aku menghardik, “Kok bisa dapet bebek sih?”
“Eh… anu…. Itu gara-gara Andi, bang?”
“Kok?”
“Andi yang ngerjain semua itu bang, katanya itu
bener semua.” ucapnya tergugu.
Aku menelaah tiap tulisannya. Ya, Tuhan… aku
wajib ber-istighfar. Pasalnya, jawaban-jawaban
soal ini begitu menggelikan dan mengerikan.
=====
SOAL PERTAMA : Ketika kamu belanja ke warung,
kamu menerima kembalian berlebih. Sikap kamu
sebaiknya…
JAWABANYA : Diam saja
=====
“Kenapa jawabannya ‘diam saja’, di?” tanyaku
padanya.
Diah menjawab, “Kalau dapet kembalian lebih
katanya itu rezeky. Rezeky kan gak boleh di tolak
bang, jadi kata Andi sebaiknya diam aja.”
Huh, dasar anak kecil. Baiklah itu masih biasa.
Bagaimana dengan yang ini.
=====
PERTANYAAN KEDUA : Kakek dan nenek biasanya
minta dilayani, maka apa yang harus kita lakukan?
JAWABANYA : Memarahinya.
=====
God! Ampunilah dosa adikku. ” Jawaban nomer dua
seharusnya ‘melayaninya’, bukan ‘memarahinya’.
Kamu mau jadi anak durhaka, hah?” bentakku.
Tapi diah malah membalasnya, “Kita memarahinya,
agar kakek sama nenek kapok nyuruh kita
ngelayaninya. Nantinya, kita kan gak cepet capek,
bang.”
Pandai sekali kau bersilat lidah, rupanya. Oke! Itu
masih belum mengerikan, jika soal selanjutnya ini.
=====
PERTANYAAN SELANJUTNYA : Apabila ada
seseorang yang sakit, maka kita harus…
JAWABANYA: Membunuhnya.
=====
Sadis! Very, very, very sadis. Jangan ditiru,
adegan ini sangat berbahaya. “Membunuhnya?
Astaga, kamu bakal jadi calon neraka bila
membunuh orang, di?” aku berteriak nyaring
sehingga Diah menyumbat kedua telinganya.
“Dari pada nyusahin orang, mending mati sekalian
aja kan, bang?” dalih Diah.
Aku dibuat gila betul. Sabar, Hilal! Sabar!
Sebenarnya, masih banyak soal-soal beserta
jawaban yang perlu disensor. Dan aku tak
berhasrat meneruskan membacanya. Takut
terserang apilepsi dan tewas setelah itu. Ironis
sekali bukan? Setidaknya, adikku sudah menguapkan
segala beban pikiran tuk sementara ini.
Kulihat Bunda hanya menebah dadanya seraya
gedek-gedek kepala. Yakin, dia juga bakal
jantungan jikalau aku terus berkoar-koar
kesetanan.
“Em… bau apa ini?” hidungku mencium aroma tak
sedap. Semacam bau bakar. Ya, bau gosong. Bunda
turut melebarkan ke dua lupang hidungnya. Mencari
sumber ke-tidak-sedap-an udara rumah ini. “Bunda
gak masak-masak apa kan?”
“Seingat Bunda tidak, lal…” jawab Bunda.
Mataku beralih ke meja setrika. “OH! BUNDA…
BAJUNYA KEBAKAR!!” aku memekik keras saat ku
ketahui pakaian yang disetrika hangus terbakar.
Bunda menandak-nandak. “Astagfirullah…” lalu
mengangkat baja panas itu dari atas baju.
Astaga! Itu kemajaku. Yah… Bolong deh!
###><###
Malam-malam sebelumnya, aku insomnia karena
kasmaran. Namun, malam ini aku sulit tidur bukan
karena gila birahi. Sebab-musababnya tak lain tak
bukan adalah masalah uang sebesar RP. 250.000,-.
Dari mana aku bisa mendapatkannya? Dan dengan
cara apa?
Aku menelungkupkan mukaku ke bantal. Ah, gak kira
merubah keadaan. Aku bangkit, lantas mencari
Diary-ku. Sikuku menyenggol sebuah benda sampai
jatuh.
PRAKKK…
HARMONIKA..
Instrumen musik tiup yang terdiri dari plat-plat
getar
dari logam yang disusun secara
horozontal tergeletak bersejajar dekat kaki
kananku. Kugapai benda mungil pemberian seseorang
itu. Benda ini punya sejarah penting dalam hidupku.
Tiba-tiba, aku bernostalgia dalam kilasan kenangan.
“Selagi kamu sedih, tiuplah benda ini. Saat kau
meniupnya, benda ini mampu mendamaikan
perasaanmu, menghilangkan dan menyerap segala
emosimu.”
Itu kalimatnya ketika aku sedang dilanda kesedihan
karena kehilangan sosok ayah. Aku tidak begitu
ingat wajahnya, tapi aku ingat ketika dia
memberikan harmonika ini padaku.
Aku tersenyum. Aku meniup lubang-lubang kecil
yang terjejer mendatar lalu menghisapnya
perlahan. Keluarlah nada-nada sumbang bercampur
partikel-partikel udara. Aku tak terlalu pandai
memainkannya. Hasilnya, aku benar-benar tenang,
nyaman, dan damai. Walaupun nada yang dihasilkan
buruk, namun cukup membantuku memejamkan
mataku sedikit demi sedikit. Kesadaran
mulai beranjak menjauh. Aku merebahkan tubuhku
hingga akhirnya aku terlelap bersama harmonika di
genggamanku.
###><###
Lebih baik mempunyai satu sahabat yang
memahamiku dari pada seribu teman yang
mementingkan diri sendiri.
Mau tak mau, aku mengumpatkan kata-kata ini
berulang kali. Aku muak dengan tingkah senewen
temanku. Niatnya ingin minta tolong, nyatanya
memperoleh cacian sarkatis. Beginilah, sekalipun
batinku sering gondok, bagaimanapun aku tidak
boleh memaksakan kehendak mereka meminjamkan
uang kepadaku.
Ilham? Sahabatku. Rasanya, tega mengutang
padanya. Ah, aku harus bagaimana?
Aku mengelosoh, lalu menopang dagu pada tumpuan
siku. Kemudian melipatkan tangan di atas meja, lalu
membantalkan dagu, kemudian mengetukkan jari di
bangku, lalu memiringkan kepala, kemudian
menelungkupkan mukaku. Sepertinya lalu-kemudian
yang hanya mendominasi gerak-gerikku hari ini.
Pada akhirnya, aku terusik oleh bunyi derapan
sepatu seseorang mendekatiku. Aku mengangkap
kepalaku dan… aku tersentak karena wajah Toyyib
terpaut sejengkal wajahku. Aku menarik badanku ke
belakang. “Heh… Kamu-?”
Toyyib nyengir lebar. Dia berdiri. “Aku kesini mau
minta maaf dan mau bantu kamu.”
Semestinya ‘maaf’ yang berlaka buatku. Aku kan
menggamparnya kemarin.
“Kamu butuh uang, kan? Itu sudah pasti.”
“Memangnya napa?”
“Hmm… Bolehkah aku meminjamkan uang untukmu?”
Dahiku mengernyit. “Serius?”
Toyyib memutar-mutarkan bola matanya sambil
mengangkat bahu. “Apa aku kelihatan bohong?”
tanyanya.
Entah mengapa, aku melihat kejujuran darinya.
“Asal kamu bisa mengabulkan satu syarat.”
tambahnya.
Huh… Aku memang sudah menduganya.
“Tenang… aku gak akan menyuruhmu memetikkan
bintang di langit, menguras air laut, atau
menerbitkan matahari dari barat.”
Yee… memang aku mau mengabulkan syarat-syarat
konyol itu. “Dasar! gak mau rugi.” tungkasku.
“Eh…eh… ya udah kalau gak mau. Dua ratus lima
puluh ribu loh.” Toyyib tersenyum licik.
“Apa syaratnya?”
Toyyib menerbangkan pandangnya ke langit-langit.
Setelah itu, mendaratkanya padaku. “Jadilah
asistantku selama seminggu!”
“Apa?”
Toyyib agak kaget mendengar lenkinganku.
“Kecilkan volume suaramu!”
“Gak ada syarat lain selain menjadi asistenmu?”
Toyyib menggeleng.
Terima gak ya? Ah, jadi asistenya? Uang RP.
250.000,-? “Oke! Aku terima.” finally, seusai
berdebat dengan akal budiku. Aku memamtapkan
bahwa aku memilih Iya.
“Eitzz… wait!” Toyyib merogoh selembar kertas.
Dia menuliskan sesuatu disana. Sekali lagi jidatku
berkerut.
Setelah 10 menit lamanya dia berkutat bersama
alat tulis. Toyyib menyerahkannya padaku. “Tanda
tangani dulu perjanjian itu.” perintahnya.
Aku mencomot kertas itu, terus membacanya.
=====
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah :
NAMA : AHSANUL HILAL
Dengan ini menyatakan bahwa sanya saya
bersumpah menjadi asisten Saudara Muhammad
Toyyib Abdillah Zilzain selama satu minggu.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan
sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
disiksa di neraka paling bawah serta arwah saya
bergentangan di alam baka kelak.
Tertanda
~Ahsanul Hilal~
=====
Ya ampuuunnn… pake’ surat pernyataan segala.
Dia pikir aku bakalan mengingkari janjiku. “Ngapain
ada surat-surat kayak gini segala. Kamu pikir aku
penipu kelas kakap, hah…?”
“Gak ada yang gak mungkin. Bisa aja kamu cuma
memanfaatiku.”
Hadeeh… Oke! Oke! Intuisiku mengatan : be
patient!!! Be patient!!! Don’t be angry! Yang
terpenting, dia tidak menyuruhmu menggadaikan
koleksi sempakmu sebagai jaminannya.
Aku menandatangani surat itu dan
menyerahkannya pada Toyyib.
“Kamu kerja mulai hari ini.” kata Toyyib. Dia
berjalan menuju pintu.
“Toy…” panggilku.
Reflek Dia behenti, kemudian dia memendarkan
matanya padaku.
“Soal, kemarin… aku minta maaf.” ucapku pelan
mengingatkannya ke insiden gamparan kemarin.
Terabadikanlah seulas senyuman di bibirnya. Oh,
baru ku tahu, dia memiliki lesung pipi. “It’s okey.
Tamparanmu amat mengasyikkan.”
Telingaku melebar. Mengasyikkan? Kupingku sedang
tak budek, kan? Toyyib sukses men-traffick light
wajahku. Malu.
###><###
Aku melangkah keluar dari gedung bioskop. Saat
setelah, alat pendengaranku terasa disumbat
beribu-ribu jeritan penonton. Ya! Intinya, aku
diajak nonton film thriller bergenre horor oleh
Toyyib-ini pula bagian tugasku sebagai asistent-
nya.
“Seru ya film-nya? Menegangkan…” Toyyib
mengawali perbincangan.
“Seru…seru apanya? Lain kali aku gak mau diajak
nonton film-film begituan.” keluhku.
“Bilang saja jika kamu parno….hehehe.”
Aku baru menimpalinya ketika Hp-nya berdering.
“Ya…ada apa?… iya tar lagi… gak sampe’ tengah
malam kok… he’eh… aku udah gede, gak kira
tersesat… ya udah… Wasskum.” Toyyib menutup
pembicaraanya.
“Siapa, Toy?”
“Paman menyuruhku cepet pulang.”
“Ooo… ya udah kamu pulang aja sana. Aku bisa
pulang sendiri.” ujar ku sambil mataku menyisiri
jalan. Malam ini sepi banget.
“Gak baik, biar aku antar kamu dulu.”
“Gak usah, lagi pula rumahku gak jauh dari sini.” aku
tetap mengeyel.
“Beneran…? gak takut pulang sendirian?” jebak
Toyyib.
“Ah, tidak apa-apa. Setanya paling takut sama
aku.” aku mencoba berkelekar.
Toyyib mendesah. “Well! Terserah deh. Tapi jangan
pingsan tengah jalan ya.”
Aku tak mengubrisnya. Kemudian aku berjalari
menyusuri trotoar. Sempat aku memalingkan muka
ke arah Toyyib yang melambaikan tanganya.
Cowok itu rada-rada menggemaskan.
Malam begitu menakutkan. Lampu-lampu merkuri
menjadikan suasana remang-remang disekitar
jalanan. Aku memeluk tubuhku dan menapaki
permukaa tanah. Tidak ada kendaraan berlalu-
lalang. Ku tafsirkan ini sudah jam 10 malam.
Aku terus menderapkan kedua kakiku. Sesakali aku
menangkap suara-suara aneh yang menakutkan.
Sial! Ini efek film horor tadi.
Samar-samar terdengar derapan langkah seseorang.
Aduh, andai aku tidak menolak tawaran Toyyib
tadi, mungkin aku tak separno ini. Tanganku lembab.
Aku berlari-lari kecil demi menjauh dari seseorang
dibelakangku. Namun, suara hentakan kaki itu
semakin terdengar. Ya Tuhan lindungilah aku!
masalah buat lo
*sambil bawa golok
gegege no ge :-O
#kok jd dasrielaldo c? #-o :-S
piace kak hilal