It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"...atau harus kupanggil, Lord Jyo...?"
Ketakutanku benar benar jadi nyata.
Aku tidak pernah berfikir akan jadi seperti ini sebelumnya.
Arsais, adalah Bishop dari Harmonia, dan sekarang, berarti dia adalah orang yang selama ini aku perangi.
Sejak aku melihat fotonya saat kasus penyerangan di perbatasan Aronia, aku selalu berdoa agar saat ini tidak pernah terjadi.
Tapi tampaknya memang aku tidak bisa menghindari kenyataan ini.
Aku juga sempat curiga saat melihat dia menggunakan Rune di Forest of Confusion
Mana mungkin orang biasa bisa memiliki rune sekuat itu, bahkan Rune yang bisa menghancurkan tubuh pemiliknya?
Seharusnya aku sadar itu adalah True Rune dan tidak mungkin dia adalah orang biasa.
"Kenapa kau tidak berani menatapku, Lord Yue?"
Deg
Jantungku berdersir, seluruh tubuhku terasa bagai diguyur air es.
Aku merasakan Arsais menyeret langkahnya mendekatiku.
Tubuhku sontak segera melangkah mundur menjauhinya.
"Kenapa kau menjauhiku? Bahkan anak panah itu? Kau yang melepaskannya bukan? Aku mengenalinya. Itu anak panah yang dulu kuhadiahkan padamu..."
Dia melemparkan sebuah anak panah kepadaku, sebuah anak panah berwarna putih keperakan dengan ukiran indah di sepanjang batangnya.
"Aku tak menyangka panah itu akan kembali ke padaku dengan cara ini. Panah ini menancap di bahuku..."
Deg.
Aku hanya memanah untuk memimpin batalyon panahku.
Aku tidak menyangka panah itu akan menancap di tubuhnya.
Sungguh kebetulan yang tidak menyengangkan.
"Lord Yue, angkat kepalamu..."
Arsais berdiri sekitar 3 meter dari tempatku. Dia berdiri diam.
Dari arahku melihat, ada banyak darah di lantai, dan terus menetes.
Aku yakin dia terluka sangat parah.
"Cardinal, apa anda terluka?"
Aku menggeleng lembut, kemudian tersenyum kearah wanita di belakangku.
"Tidak apa apa Kanna, aku baik baik saja.."
Kanna dan Keith yang sedari tadi mengikutiku menatap dengan kuatir ke arahku.
Aku tersenyum lembut untuk menenangkan mereka.
Aku menarik nafas beberapa kali, kemudian menguatkan tubuhku untuk menatap ke arahnya.
Deg
Aku serasa melorot dari pijakanku.
Apa yang aku lihat saat ini benar benar jauh dari apa yang aku sering lihat dulu.
Tubuh tegapnya, sekarang tampak lemah dan penuh luka.
Bajunya tampak sobek sehingga meninggalkannya bertelanjang dada, dan aku bisa melihat banyak sayatan di berbagai tempat.
Wajah manisnya pun sekarang tampak letih, beberapa luka tampak jelas di wajahnya.
Benar benar pemandangan yang tidak ingin aku lihat.
Inikah yang sudah aku lakukan padanya?
Aku sungguh hina.
"Lord Yue, aku Arsais, Bishop dari Valerie. Kau sudah mengetahuinya kan?"
Aku melebarkan mataku, menatap wajah dinginnya yang sekarang tersenyum sinis ke arahku.
Aku ingin membuka mulutku, tapi wajahnya membuat mulutku terkatup dengan mantap dan menolak untuk berbicara
"Bahkan sejak awal Campaign palsu di North Wall, kau sudah mulai mendekatiku, apa pertemuan di Hutan itu sudah kau atur?"
Dia menatapku dengan senyum dingin, selangkah kakinya bergerak mendekatiku.
"Kau mendekatiku untuk melemahkanku, dan kau menarik hatiku untuk menjebakku? Semua cuma permainan?"
"Itu semua salah paham.."
"BOHONG!"
Aku menatap ke belakangku, Kanna dan Keith menatapku dengan kening berkerut, mereka tampak tidak memahami apa yang sedang terjadi.
Arsais kembali melangkahkan kakinya maju selangkah
"Sejak awal semua sudah kau rencanakan. BIAR AKU BERI TAHU HASILNYA!"
Arsais menyeka peluh di dahinya, kemudian dengan lemah berjalan kembali mendekatiku.
Aku kembali mundur, membuatnya terkekeh pelan.
"Aku beritahu, Kau Berhasil, Jyo, sudah sangat berhasil..."
Setetes cairan bening mengalir dari matanya, dia tetap menatapku dengan wajah dingin tanpa ekspresi.
"Aku, mencintaimu, sungguh mencintaimu..."
Arsais menatap ke samping, seakan berusaha membuang semua pikiran dari kepalanya, dia tampak sangat letih. Aku heran kekuatan apa yang bisa membuatnya tetap berdiri.
Orang biasa pasti sudah mati bila menerima luka seperti ini.
Keith dan Kanna melebarkan matanya dengan terkejut.
"Cardinal, anda mengenal Alvin...?"
Kanna menatapku tak percaya
"Yeah, kami cukup dekat, kami bertemu secara tidak sengaja saat aku sedang beristirahat didekat perkemahanku di tengah Hutan..."
Keith dan Kanna tampak berpandangan, tapi kemudian memilih untuk diam dan kembali menyimak keadaan kami.
"Arsais, kumohon, ini salah paham..."
"Begitukah? Memang salah paham, aku salah paham sudah mencintaimu, seharusnya aku tidak pernah mencintaimu!"
Arsais tampak limbung sejenak, kemudian meringis.
Tampaknya lukanya cukup membebaninya.
"Sekali lagi, sekali lagi aku merasa seperti ini, sekali lagi! Kau berjanji tak akan mengkhianatiku, janji tak akan pergi. Tapi sekarang semuanya cuma bohong..."
Bulir bulir keperakan kembali mengalir dari tepian matanya, membasahi darah yang sudah mengering di pipinya.
"Arsais, dengarkan aku..."
Arsais menggeleng pelan.
"Sudahlah..."
Untuk pertama kalinya aku melihat Arsais menunjukkan emosinya.
Raut yang benar benar sedih dan memilukan tampak jelas terpahat di wajahnya.
Dia menarik kedua belatinya, kemudian memasang kuda kudanya.
"Maaf, tapi aku adalah pemimpin dari tempat ini, dan mempertahankannya sampai mati adalah kewajibanku."
Arsais terbatuk pelan, kemudian menatap ke arahku.
"Kenapa, Cardinal Yue? Sekarang hanya ada aku disini, satu satunya musuh."
Dia menghunuskan sebelah belatinya ke arahku.
"Cardinal! Dia terlalu berbahaya! Izinkan aku memenggal kepalanya sekarang!"
Keith menarik pedang tipis dari dalam tongkat sihirnya, berjalan maju ke arah Arsais yang tampak tidak memedulikannya sama sekali.
"Keith, berhenti..."
Aku memberikan aba aba pada Keith, memerintahkannya untuk kembali ke belakangku.
"Cardinal Yue, mohon bersiaplah, satu lawan satu, sebagaimana pertempuran antar pemimpin lainnya..."
Arsais memasang kuda kudanya di hadapanku.
Aku sungguh tidak mampu menatapnya, apalagi menyakitinya.
Tubuhnya yang sudah benar benar payah tampaknya dipaksakan hingga ke batasnya.
Arsais dengan susah payah memasang kuda kudanya.
"Mohon hormati saya sebagai pemimpin, jadi, tolong jangan meremehkan dengan tidak bersiap bertempur, walaupun aku sudah dalam keadaan seperti ini."
Aku menatap miris ke arahnya. Dengan berat aku mencabut busurku yang memiliki pisau di permukaannya, kemudian memasang kuda kuda bertahan.
Arsais sejenak tersenyum, kemudian segera melesat ke arahku.
TRANG!
Aku menangkis serangannya.
Lambat, dan tanpa kekuatan.
Bila dia orang biasa mungkin aku bisa dengan mudah menebas dan menghabisinya.
Tapi orang yang saat ini menghunjukkan pedangnya ke arahku adalah kekasihku sendiri.
"Kenapa cuma bertahan?"
Arsais kembali melesat dan menebas ke arahku, dengan kecepatan yang semakin melemah.
"Jangan cuma diam. Balas Aku!"
Tebasan dan tikaman berkali kali diarahkannya padaku, tapi aku hanya mampu menangkis serangannya, tanpa mampu memberikan perlawanan.
Jelas tidak mungkin aku mengayunkan senjataku ke arahnya, apalagi dengan keadaan seperti ini.
Aku tahu ini cuma game, tapi tetap saja, aku tidak bisa melakukannya.
"Kenapa Cardinal? Serang aku..."
Dia kembali mengayunkan pedangnya, kali ini aku membiarkannya menebaskannya melewati bahuku.
"Lengah?"
Arsais tampak terengah engah, dia menggenggam perutnya yang tampak tersayat dengan sebelah tangannya. Sebelah belatinya tampak sudah dilepaskannya agar luka di perutnya dapat ditutupinya.
"Arsais, cukup..."
"Belum, bertarunglah sebagaimana kita adalah kepala negara...!"
TRANG!
Sebelah pedangnya akhirnya terjatuh, dia menatap sedih ke arahku, sebelum jatuh berlutut di hadapanku.
Nafasnya tampak memburu, tetes demi tetes darah terus menetes dari mulutnya.
"Arsais!"
Aku bergegas berlari dan menangkapnya, saat dia limbung dan akhirnya terjatuh.
Aku membiarkannya terbaring di atas tanganku.
"Sial, aku jatuh tanpa mendapat serangan sama sekali? Aku pasti sudah kecapekan..!"
Untuk pertama kalinya dia tersenyum manis ke arahku, kemudian segera terbatuk batuk kuat, dan darah kembali keluar dari mulutnya.
"Arsais, ini semua salah paham..."
Arsais mengangguk lemah, kemudian tersenyum kearahku.
"Aku tahu, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan. Sepertimu, yang harus menyerang karena kamu adalah kepala negara, aku juga harus melindungi rumahku..."
Aku terdiam mendengar perkataannya.
Jadi dia tetap menganggapku sebagai pengkhianat sampai akhir?
Arsais kembali terbatuk pelan.
"Kanna, bisakah aku meminta sesuatu...?"
Kanna mendekat kearah kami, kemudian berlutut menatap kearah Arsais yang terbaring di pelukanku.
"Anak bodoh! Kau sudah melanggar ratusan peraturan di buku pelajaran Strategimu!"
Arsais terkekeh pelan.
"Buku yang mana? Buku itu sudah aku buang sejak lama..."
Kanna tertawa menatapnya.
"Jadi, muridku sekarang sudah bisa mengalahkanku?"
Kana memberikan senyuman teduh, dan mengelus lembut rambut Arsais.
"Kanna, aku yakin kamu bisa membaca siapa yang ada dibalik semua ini, benar kan?"
Kanna mengangguk, raut kemarahan tampak jelas di wajahnya.
"Lord Marty?"
Arsais mengangguk lemah.
"Yeah, bisakah aku menitipkan muridku, Caesar padamu? Aku yakin dia akan memerlukan nasihatmu nantinya..."
Kana hanya mendengus kesal.
"Kuharap dia tidak keras kepala seperti murid pertamaku!"
Arsais hanya terkekeh pelan.
"Terimakasih. Dan Jyo..."
Arsais menatap dingin ke arahku.
"Aku masih mencintaimu..."
Aku menatap dengan lemas ke arahnya.
"Arsais, aku ga pernah menjebakmu..."
Arsais menutup matanya, kemudian menatap keluar jendela.
"Lihatlah, semua ini, awalnya aku bangun dengan mimpi dan harapan kami semua. Tapi sekarang semuanya hancur, bahkan aku sendiri tampaknya sudah tidak mampu melanjutkan apa yang kami impikan..."
Arsais kembali terbatuk.
"Mungkin sudah nasibku, untuk selalu dipermainkan seperti ini..."
Dia merogoh sakunya, mengambil sebuah tiara kemerahan, kemudian meremasnya di dadanya.
"Sudah selesai, Cardinal, Kau sudah mengalahkanku, saat ini semua rakyatmu akan mengelu elukanmu sebagai pahlawan yang berhasil menghabisi seorang penjahat yang menyengsarakan rakyatmu. Sedangkan aku, aku sekarang disini, menyelesaikan tugasku sebagai kepala negara dengan baik..."
"Arsais, dengarkan aku..."
Arsais tersenyum lembut, kemudian membelai pipiku lembut.
"Semoga kita bisa bertemu lagi..."
Arsais menutup matanya, senyuman lembut terpampang di wajahnya.
Aku merasakan nafasnya semakin melambat di telapak tanganku.
"Arsais, Heal! HEAL!"
Kanna menatapku dengan iba, bagitu juga dengan Keith, yang menatap sedih ke arahku.
"Sudah, Cardinal..."
"Tidak..."
Aku menatap tak rela ke arah Arsais yang membeku di tanganku, perlahan sosoknya mengabur dari pandanganku, berganti menjadi sesosok cahaya.
"Arsais..."
Cahaya itu terpencar pelan, dan terbang ke langit,
"Arsais.... ARSAIS.....!!!!!"
Aku tidak mampu membendung emosiku lagi. Airmata mengalir deras dari kedua sisi mataku.
Aku sudah berjanji akan terus melindungi dan tidak akan mengkhianatinya.
Tapi sekarang aku sendirilah yang membunuhnya.
Aku memandang hampa ke arah telapak tanganku yang tadinya terbaring orang yang kucintai, beberapa berkas cahaya masih melayang layang disekitarku perlahan lahan melayang menjauh dariku.
". . . . . . . . . . . . . . . . . ."
Aku menatap ke kedua belah tanganku, berkas berkas itu telah sepenuhnya menghilang, meninggalkan sebuah tiara berwarna merah di telapak tanganku.
"Arsais......."
=======================================
Caesar's View
"LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU MENYUSULNYA! DIA BISA MATI!"
Aku meronta kuat dari cengkraman Rover dan Clive, berusaha melepaskan diriku, sambil terus menggedor dinding yang telah dibuat oleh Arsais.
"Sir Caesar!"
"AKU SUDAH BERSUMPAH SETIA PADANYA! SEKARANG AKU TIDAK BERADA DI SAMPINGNYA! LEPASKAN AKU! DIA MEMERLUKANKU!"
PLAKK!
Nyeri.
Aku merasakan sebuah tangan menamparku dengan keras.
"Axel, kamu menamparku?"
"Maaf, Sir Caesar, aku hanya mau menyadarkanmu..."
Aku mengelus pipiku, sambil meringis kesakitan.
"Lord Arsais tidak melakukan ini karena dia ingin anda mengkhianatinya, tapi karena dia mempercayai Sir Caesar...."
Aku tertegun menatap ke arah Axel.
"Sir Caesar ingat janjinya dengan Bishop Arsais? Anda sudah berjanji akan memimpin pasukannya bila dia tidak bisa lagi memimpin pasukannya. Karena alasan itulah sekarang Lord Arsais menyelamatkan Sir Caesar..."
Axel menatapku dengan lembut, seluruh rasa marah dan emosiku seakan meleleh saat aku menatap ke arahnya.
"Lord Arsais sudah mempertimbangkan akan terjadinya hal ini. Ingat saat dia memintaku berbicara dengannya berdua di kemahnya? Saat itu dia menceritakan semuanya kepadaku. Awalnya aku juga tidak setuju dengan keputusannya."
Aku tertegun, Axel menarik nafasnya, sebelum melanjutkan kata katanya.
"Aku percaya Caesar bisa memimpin kalian semua, dan aku tenang kalau menyerahkannya pada Caesar. Itu adalah kata kata Lord Arsais saat aku menyatakan ketidak setujuanku. Dia sudah mempertimbangkan semuanya, dan memberikan kepercayaannya padamu. Jadi..."
Axel kembali menarik nafas panjang.
"Apa perintah anda, Lord Caesar...?"
Inikah yang dipertimbangkan Arsais? Sampai seburuk inikah ketakutannya?
Dia ternyata benar benar memegang janjiku untuk memimpin pasukannya.
Aku tersenyum simpul.
Orang bodoh. Memang benar benar bodoh! Dia benar benar mempercayaiku, padahal aku dulu musuhnya!
Setetes airmata mengalir dari senyumanku.
Aku mengangkat tanganku.
"Kita berangkat, Ke Great Shrine!"
Seluruh orang di dalam lorong meraung, bersorak meneriakkan namaku.
Arsais, aku akan membawa mereka dengan selamat.
"BERANGKAT!"
Aku memimpin pasukan itu berjalan melewati lorong gelap yang hanya diterangi oleh berbagai mineral mineral bercahaya di dinding lorong itu.
Sekitar setengah jam kami berjalan, sampai akhirnya kami melangkah keluar melewati sebuah pintu gua tersembunyi di Central Distric.
Tinggal selangkah lagi menuju Great Shrine.
"Apa itu...?"
Semua orang menatap ke arah langit, dimana seberkas cahaya melayang pelan ke arah kami.
"Monster kah?"
Tidak, itu bukan monster! Terlalu lembut.
Cahaya itu perlahan membungkusku, hanya aku.
Semua orang terpana saat cahaya itu perlahan meredup.
Aku menatap ke sekeliling.
"Ada apa..?"
Axel tampak ternganga melihat ke arahku.
Aku menatap kearah tubuhku.
Pakaian ini?
Aku menatap setelan biru yang aku kenakan, kutarik dua bilah belati yang terpatri di pinggangku.
Ini, pakaian Arsais.
Cahaya itu?
Aku menatap ke arah tangan kananku.
"True Earth Rune. Berarti aku Bishop berikutnya. Berarti Arsais..."
Aku tidak melanjutkan kata kataku, karena semua orang tampaknya sudah bisa memahami apa yang terjadi.
Keadaan yang tadinya penuh semangat dan keyakinan segera luntur, berubah menjadi murung dan sarat kesedihan.
"L...Lord Arsais..."
Axel bergetar, tampak sangat terpukul, kemudian memeluk tubuhku lembut.
Aku hanya bisa membisu.
Aku membelai lembut rambut cokelatnya, membiarkannya menangis dalam pelukanku.
==============THE NIGHT END===============
=Distant Stars=
Song by: Konami
Your eyes look straight into my eyes
I would love to say a prayer
Following the beautiful dream
Looking up the stars
Far away from each other
How can I ever forget you
Let me take you to the place
Together we dreamed of
Together we dreamed in those days
I don't need my eyes to see you
Feel the warmth of you next to me
Now you have been gone you became a shooting star
Far away from each other
How can I ever forget you
Let me take you to the place
Together we dreamed of
Promise you I never look back
I know you'll always shine on me
Believing we will meet again...
UPDATED
Finally~
THANKS FOR READING ALL~!
Bishop Arsais.......
#lempar shuriken ke kepala @silverrain
Anjiirrr kentang bner . Masih bnyak misteri yg blom terkuakk ! Щ(ºДºщ) lanjuttt season 2 nya harusss !!!
Hmmm bner dugaan ku . Pas arsais bilang jyo , tiba2 langsung ke inget yue -,-" ternyata itu nama orang aslinya -,-" . Lanjuutt dahh pokok e . Ъk rela abis disini ! Muahahaha
jadi kangen
jgn2 masih di (Tiiiiitttttttttttttttttttt) ma (tittttttttttttttttttttttttt)
baca juga toh ternyata....
"Alvin, sayang, ayolah, masa kamu makannya cuma segini, habisin dong, ya?"
". . . . . . . . . . . ."
"Alvin...?"
". . . . . . . . . . . ."
Aku baru saja masuk ke dalam ruangan dengan cat putih kebiruan ini, saat mama Alvin akhirnya memutuskan untuk menyerah dan meletakkan nampan makanan kembali ke atas meja di samping kasur.
"Ehh, Kevin? Kenny? Ayo masuk, silahkan duduk, tante mau keluar dulu."
Wanita berambut lurus dan memiliki wajah yang nyaris mirip dengan Alvin tersenyum lemah, wajahnya tampak sangat lelah.
Dia mempersilahkan kami masuk, kemudian segera berjalan keluar dari kamar.
Uhhmm..
Keburu buru banget.
Aku membuka bungkusan Yuppi yang barusan dibelikan Kevin di depan Rumah sakit
Katanya sih buat bekal selama kami njagain Alvin.
Kurang sih.
tapi gapapa deh
Sebenarnya juga kan ga perlu bekal
Aku dan Kevin(kuw) menapak menyusuri tepian dinding dan menjatuhkan diri kami ke atas sofa tamu yang berada di si
"Kenny, aku mau nyusul tante keluar, kamu duduk disini dulu yahh."
Aku mengangguk sambil mengambil sebuah permen berbentuk botol coke dan memasukkannya ke dalam mulutku.
Aseemm
>,<
Kevin mengelus pelan rambutku, kemudian tertawa perlahan.
"Hahaha, yaudah, aku gak lama kok, bentar yaa."
Kevin segera berdiri dan bergegas keluar dari kamar, meninggalkannku bersama dengan Alvin.
Humm
Aku menggigit sebuah permen lagi.
Aseeeemmm!!!
>,<
(kurang kerjaan)
Sambil mendecak decak dengan mengerucutkan wajahku, aku memindahkan arah pandangku ke arah Alvin.
Sudah seminggu sejak kematian Arsais, Alvin masuk ke rumah sakit karena ditemukan tak sadarkan diri dan terluka parah di depan komputernya sesaat setelah Valerie diambil alih dan Arsais terbunuh.
Aku masih bisa mengingat dengan jelas keadaan mengerikan itu saat ini.
===============flashback==================
Kami semua terdiam, termasuk aku yang masih belum bisa sepenuhnya menerima apa yang terjadi barusaja.
"Aku Earth Bishop berikutnya...?"
Sekarang penampilan Caesar telah berubah sepenuhnya menyerupai Lord Arsais, dia menggunakan pakaian konselebran biru dan sepasang pisau lipat yang selalu digunakan Arsais.
Caesar sejenak mendehem pelan, berusaha mencairkan suasana, kemudian menatap kami dengan nanar.
"Kita lanjut berjalan, Great Shrine sudah di depan mata, kita harus bergabung dengan pasukan utama di Great Shrine."
Sisa sisa pasukan kami yang sudah kelelahan dan penuh dengan keputus asaan hanya mengangguk pasrah mendengar komandonya.
Kami berjalan dengan langkah terseok, berusaha mengimbangi langkah kaki lelah satu sama lain, bergerak menuju Great Shrine.
"Bishop, apa ga merasa aneh...?"
Bishop Arsais baru hanya menatap dengan heran ke arah sekeliling, tampaknya menyadari keanehan yang terjadi.
"Kita di Great Shrine kan? Mana tentara musuhnya? Bukankah sedang ada perang disini...?"
Bishop bertanya padaku dengan keheranan, aku pun menanyakan hal yang sama dalam hati, tetapi aku memilih untuk menutup mulutku.
Kami berjalan terus mendekati Great Shrine.
Kami berada tak jauh lagi dari Great Shrine, saat sebuah suara berteriak ke arah kami.
"Arsais! Syukurlah!"
Kami menoleh, mendapati Bishop Pixel dalam jubah merahnya, ketiga Bishop lain pun berada tak jauh darinya, sedangkan sebuah pasukan besar tampaknya berada tak jauh dari mereka.
"Arsais! Kamu selamat! Kalian melarikan diri? Syukurlah!"
Pixel menepuk pelan bahu Caesar, tampaknya dia menduga Arsais yang berdiri di depannya adalah Alvin, bukan Caesar."
Caesar hanya menggeleng pelan, kemudian menatap ke arah barisan pasukan kami yang hanya menunduk lesu.
"Ada apa dengan kalian..? Kalian selamat sampai disini, benar kan?"
Caesar kembali menggeleng, mengarahkan pandangan lesunya ke arah Pixel.
"Aku Caesar, bukan Lord Arsais, atau Alvin..."
Senyuman di wajah keempat bishop segera memudar, Pixel terperangah menatap ke arah kami.
"Arsais, Arsais terbunuh? Mustahil! Arsais yang bahkan tak bisa dikalahkan oleh Lord Marty bisa terbunuh...?"
Caesar mengangguk pelan, Keempat bishop lain segera menyadari kalau Caesar tidak sedang bercanda.
"Dia terbunuh, saat menghalangi pasukan musuh mencapai kami, tampaknya Cardinal sendirilah yang mengalahkannya..."
Caesar kembali menundukkan kepalanya,
Tubuhnya yang terbalut pakaian biru hanya bergetar pelan.
"Dimana musuh yang kalian habisi...?"
Wyatt menunjuk ke arah rerumputan yang tampak memerah.
"Hanya itu?"
Keempat bishop lain mengangguk.
"Tampaknya mercenary yang berkumpul itu mengadakan kudeta kecil kecilan saat mayoritas kekuatan Harmonia berada di utara. Itulah yang menyebabkan kekacauan di Central. Kami bisa menanggulanginya dalam 3 jam. Maaf, andaikan kami lebih cepat ke sana..."
"Tidak..."
Semua orang menatap ke arahku dengan bingung, kecuali orang orang yang tadi bersama kami.
Aku menjelaskan dengan panjang lebar semua yang sudah terjadi mulai dari Arsais yang bertarung mati matian untuk melindungi kami, sampai pembicaraan malam dimana Arsais mengungkap semua praduga tentang rencana Lord Marty, dan semua persiapan yang dilakukannya.
Termasuk adu domba yang sekarang sedang terjadi, dan pasukan mercenary yang sudah dipersiapkannya.
Keempat bishop lain mendengarkanku dengan seksama, sambil sesekali mengertakkan gigi mereka.
"SIAL! MARTY! SEMUA KARENA DIA! SIAL!"
Lord Arvyn meremas pergelangan tangannya, kemudian dia segera mengambil tongkatnya dan berjalan ke arah Great Temple.
"Arvyn, tahan dirimu, tak mungkin kita menyerang Lord Marty disini! Kita berempat tanpa Arsais tidak mungkin mampu menghabisinya!"
Arvyn mengumpat dengan sebal, seberkas angin sekuat badai menyapu sekelilingnya, membuat kami harus bertahan keras untuk terus berdiri.
"Arvyn, cukup, tahan dirimu!"
Arvyn kembali mengumpat, tampaknya kemarahan benar benar sudah menguasai dirinya.
"Permisi, para Bishop, Sir Keith dari Aronia ingin bertemu dengan anda semua, apakah anda berkenan?"
Kami semua berpandangan, kemudian mengangguk bersamaan.
"Aku akan mewakili semua orang disini..."
Bishop Greg melambaikan tangannya, kemudian bergegas pergi meninggalkan kami.
Tak sampai 30 menit, Bishop Greg kembali, kami segera merubungnya dengan berbagai pertanyaan.
"Mereka menarik pasukan dari Valerie, dan menghunjukkan perjanjian damai. Aku menyetujuinya..."
Kami mengangguk berbarengan.
"Berarti perang sejenak selesai, aku akan offline sekarang..."
Arvyn melambaikan tangannya sambil berjalan menjauh dari kami.
"Kemana?"
Arvyn menghela nafasnya sejenak.
"Arsais terbunuh, karena menggunakan Rune secara berlebihan. Aku dengar di dunia nyata dia terluka saat dia kemarin menggunakan rune. Apa kalian bisa menebak yang terjadi sekarang...?"
Aku dan Bishop Caesar langsung pucat pasi, kami segera teringat apa yang sudah pernah terjadi, dan segera membayangkan apa yang sekarang terjadi.
"Aku offline sekarang!"
Bishop Caesar segera berjalan ke penginapan terdekat dan logoff dari game nya.
"Oia, Axel..."
Bishop Greg menepukku lembut, kemudian berbisik pelan padaku.
"Cardinal ingin bertemu dengan kau dan Bishop Caesar..."
Bishop Greg kemudian kembali melangkahkan kakinya pergi, bersamaan dengan semua orang yang perlahan meninggalkan lapangan luas itu dalam keheningan.
***
==========end of flashback==================
Itulah yang terjadi, dan pada saat aku log off, sebuah pesan masuk di handphone ku.
Sms dari Kevin, yang memberitahukan kalau Alvin saat ini berada di ICU Rumah Sakit.
Alvin mengalami banyak luka sobekan yang bahkan tidak diketahui darimana.
Dokter berkata kalau luka itu adalah bekas potongan benda tajam.
Tapi tak sebuah pun benda tajam ditemukan di kamarnya.
Alvin dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan kehilangan banyak darah.
Saat ini sudah seminggu semenjak kejadian itu, dan keadaan Alvin sudah berangsur membaik.
Dokter bilang kalau tubuhnya secara fisik memang sudah kembali sehat, dan luka di tubuhnya juga sudah tidak berbahaya lagi.
Tapi entah kenapa, tampaknya ada luka mental yang sangat berat dan mengakibatkan sifat Alvin jadi sangat tertutup dan dingin.
(Well, sebelumnya juga kurang lebih sih... (=_=")p)
Mungkin ada masalah yang sangat berat yang sampai sekarang masih disimpannya, dan mengakibatkan Alvin jadi menutup dirinya.
Itu yang dibilang dokter sih, jadi ya, sebenarnya aku juga ga begitu paham sihh
Aku sejenak tersentak, karena saat aku melamun sambil memandang ke wajah Alvin, ternyata dia menyadarinya dan sedaritadi membalas menatapku.
Aku segera memasang cengiran lebar, kemudian berjalan kearahnya.
"Alvin, mau permen? Tapi asem, nanti pelan pelan makannya..."
"Gak..."
>,<
Aku mundur selangkah, Alvin menatapku dengan sangat dingin dan tajam, jauh berbeda dari tatapan dinginnya selama ini.
Tatapannya sekarang terlihat sangat kosong, dingin dan tanpa emosi.
"Gimana kabarmu? Kamu mau makan apa? Mau jalan jalan...?"
Alvin membuang pandangannya dariku, menatap lurus ke belakangku, ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan danau yang dipagari oleh kayu kehitaman.
". . . . . . . . . . . . . . . . ."
Rasanya kayak lagi sekamar sama patung deh.
=_="
Keviiin, cepet baliik aku takutt
T_T
Alvin kembali memperhatikanku dengan tatapan dinginnya.
#CKLEK#
Aku segera berdiri saat melihat ke arah orang yang barusaja masuk.
"A..APA?!"
Aku menatap tak percaya ke arah orang yang barusaja masuk bersama dengan Mama Alvin, dan juga Kevin, yang tampak sama shock denganku.
"Ga mungkin...."
=======================================
Kevin's View
Aku berjalan keluar, mendapati Mama Alvin duduk tertunduk di bangku plastik di depan kamar Alvin.
"Tante.."
Mama Alvin tampak terkejut, kemudian segera menyeka kedua matanya.
"Kevinn?"
"Boleh Kevin duduk disini tante...?"
Mama Alvin segera mengangguk dengan cepat, kemudian segera mempersilahkanku duduk dengan cepat.
"Terimakasih sudah menengok Alvin setiap hari ya, kalian berdua..."
Wanita berwajah manis yang menurunkan hampir seluruh wajahnya ke Alvin itu tersenyum lembut ke arahku.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Jujur tante bingung, apa yang terjadi dengan Alvin. Apa kamu tahu sesuatu, Kevin...?"
Aku menggeleng dengan jujur, Mama Alvin kembali menghela nafas, kemudian menutup kedua wajahnya dengan tangannya.
"Alvin memang anaknya sedikit dingin anaknya, tapi sebenarnya dia anak yang lembut. Kemarin jujur aja tante shock saat menemui dia pingsan di kamar dalam keadaan bersimbah darah..."
Suara wanita muda itu tampak bergetar, Ia menarik nafas panjang sebelum kembali meneruskan ceritanya.
"Sebenarnya sekarang lukanya sudah sembuh, tapi kalau keadaannya terus begini, kamu lihat, dia sudah kehilangan berat badan dengan drastis, tapi dia tetap tidak mau makan. Tante kuatir..."
Mama Alvin terisak pelan, aku jelas bisa mengerti perasaannya sekarang.
Sekarang dia pasti juga terguncang, karena keadaan putranya.
Aku juga bingung dengan apa yang terjadi hingga membuat Alvin jadi begitu murung.
Karena kejatuhan Valerie kah?
Tidak, tidak seharusnya dia sampai trauma sebesar itu.
Alvin menolak untuk makan, dan terus menerus menerawang ke arah danau yang berada tepat disamping kamar rawatnya.
Tubuhnya tampak masih terbalut perban di beberapa bagian. Beberapa luka terkadang juga masih mengeluarkan darah.
Tapi bukan itu yang menjadi kekhawatiran kami.
Saat ini Alvin menolak untuk makan apapun. Kalaupun dia makan, pasti hanya sesendok atau dua sendok yang bisa masuk ke dalam mulutnya.
Akibatnya?
Tubuhnya menjadi sangat lemah, dan saat ini tubuhnya terlihat sangat kurus.
Tidak aneh kalau Mama Alvin seringkali menangis sendirian di luar kamar
Aku sering memergokinya, tapi baru kali ini aku berani menegur dan mengajaknya berbicara.
"Gimana keadaan Alvin...?"
Aku dan Mama Alvin segera menoleh ke asal suara.
"M..Mustahil..."
Aku hanya mampu ternganga menatap ke arah orang yang barusaja menegur wanita di sebelahku, sementara Mama Alvin segera berdiri, kemudian membelai lembut rambut cokelatnya.
"Hei, akhirnya kamu sampai juga disini..."
"Maaf baru bisa datang sekarang, aku mati matian mencari tiket untuk kemari..."
Mama Alvin mengangguk pelan, kemudian tertawa.
"Ayo masuk, Alvin pasti senang bertemu denganmu..."
Aku masih ternganga menatap ke arah orang yang ada di depanku.
"Kevin, ayo, masuk, kamu baru pertama ketemu ya? Nanti tante kenalkan, ayo masuk..."
Aku bagaikan tersihir segera berdiri dan berjalan masuk beriringan dengan kedua orang itu.
Kami masuk ke dalam ruangan, dan segera disambut dengan pekik terkejut dari Kenny.
Sudah kuduga, dia juga pasti terkejut.
Kenny terbelalak menatap tak percaya, kemudian berkali kali menatap ke arah Orang itu dan Alvin.
Yeah, reaksi tepat seperti yang kuduga.
"Okay, Kenny, Kevin, ayo, kenalkan..."
Anak lelaki dengan kaos tee shirt dan jaket jumper hitam itu membungkuk pelan, mata tajamnya terarah ke kami.
Ayo cepat perkenalkan dirimu!
Aku benar benar penasaran, tak percaya dengan apa yang aku lihat, dan Kenny tampaknya juga berpikiran sama denganku.
=======================================
Silver's View
Pria muda dengan kemeja bergaris bergegas berjalan masuk ke pekarangan rumah sakit.
BRUK!
"Hei!"
Seorang anak lelaki dengan jumper hitam yang berjalan dari sisi berlawanan tanpa sengaja bertabrakan dengannya.
"Maaf! Aku terburu buru! Maafkan aku!"
Pria berkemeja itu menepuk pelan celana hitamnya, kemudian membantu lelaki muda itu berdiri.
"Mohon, maaf, saya terburu buru!"
Anak lelaki berjumper hitam itu menepuk kedua belah tangannya,
"Hati hati dong kalau jalan! Kalau aku masuk ICU di depan rumah sakit kan gak lucu!"
"Ma, maafkan aku... Eh..."
Kalimatnya segera terhenti saat dia menatap ke arah wajah anak lelaki itu.
"K..kamu...?"
Anak lelaki itu melotot kesal, kemudian memandangnya dengan wajah menantang.
"Apa...?"
Lelaki muda itu sejenak memijit dahinya, kemudian menggeleng.
"Tidak, hanya, kupikir aku mengenalimu, tapi tampaknya bukan kau, aku salah orang..."
Anak lelaki itu mendengus kesal.
"Buang buang waktuku! Aku harus bertemu dengan mamaku sekarang! Adikku dirawat disini!"
Lelaki muda itu menggaruk rambutnya dengan kikuk.
"Maafkan aku..."
Anak lelaki itu menggerutu kesal, kemudian segera berjalan meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil memegangi dagunya.
"Gregorio! Kamu hampir terlambat!"
"Ah, Christ! Masih lima menit kan!"
Christ mendengus kesal, kemudian mengamit lengan Rio.
Ayo! Kita hampir terlambat! Dokter Adi mencarimu daritadi!
Kedua pria muda itu bergegas berlari menyusuri lantai rumah sakit menuju ke sebuah ruangan berpintu kaca.
Mereka berdua segera beringsut masuk melewati pintu kaca tersebut, dan mengangguk sopan pada seorang pria paruh baya yang menatap ramah ke arah mereka.
"Kalian sudah lama belajar disini..."
Pria tua itu berdiri dan memegangi perut buncitnya, kemudian mengelus jenggotnya sambil menatap dari balik kacamatanya.
"Rio, Christ, sudah waktunya aku menyerahi kalian tugas untuk memperhatikan beberapa pasien di rumah sakit ini. Di amplop di depanku, masing masing sudah tertulis pasien rawat inap yang memiliki keluhan ringan untuk kalian tangani. Untuk perawatan dan penanganannya, aku mohon agar kalian bisa berkonsultasi dengan dokter pembimbing kalian..."
Kedua pria muda itu mengangguk sopan.
"Apa ada pertanyaan? Kalau tidak ada, silahkan ambil daftar pasien yang ada di bawah pengawasan kalian, dan silahkan bertugas..."
Pria paruh baya itu kembali tersenyum ramah.
Kedua pemuda itu segera mengambil dua buah amplop biru dari atas meja, dan pergi meninggalkan ruangan itu.
***
"Rio! Daritadi melamun aja! Kenapa? Kamu dapat siapa aja untuk jadi tanggunganmu?"
Christ menepuk punggung Rio dari belakang.
Rio yang saat itu sedang duduk di atas pagar lorong tersadar dari lamunannya.
"Christ! Gak, aku cuma lagi berpikir tentang orang yang tadi kutemui di depan rumah sakit."
"Ciee, jatuh cinta nihh?"
Rio terkekeh pelan.
"Ga, cuma merasa teringat seseorang saat aku melihatnya. Rasanya rindu..."
Christ sejenak merubah raut wajahnya.
"Dia kah...?"
Rio hanya mengangkat bahunya.
"Entahlah...."
Christ mengusap lembut punggungnya, kemudian mengikutinya duduk di pagar lorong.
"Kau masih memikirkannya?"
Rio mengangguk lembut, kemudian kembali menerawang.
Christ mendengus pelan, berusaha mencari bahan pembicaraan yang dapat mengalihkan perhatian temannya.
"Oia! Kamu dapat pasien siapa aja?"
"Oia!"
Rio mengambil amplop biru dari saku jasnya, kemudian mengambil secarik kertas dari dalamnya.
"Kamar 105, David Prasetya, 107 Fauzy Himawan, 108 Handy Irawan, 203 Fahmi Mahadika, 208 Alvin Setiawan....."
=======================================