It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Ahh, Alvin..?"
Kenny tampak terbelalak saat dia melihat ke arahku. Aku meliriknya sejenak, kemudian segera membenamkan kepalaku kembali ke komik yang sedaritadi aku baca.
"Pagi banget kamu datang! Biasanya kamu kalo ga telat pasti datangnya semenit sebelum lonceng!"
Dia membelalakkan matanya sambil menatap ke arahku.
Aku merasa risih, tapi tetap saja aku tidak mengacuhkannya dan kembali sibuk dengan bukuku.
Memang apanya yang aneh kalau aku datang sedikit lebih pagi?
Yahh, memang terlalu pagi sih, aku sudah sampai di sekolah tadi pukul setengah 7 pagi, sedangkan kelas baru akan dimulai pukul 8 pagi.
Alasanku datang lebih pagi adalah karena aku mendadak terbangun terlalu pagi karena mimpi buruk, kemudian aku memutuskan untuk mandi dan berangkat ke sekolah.
Jadi, alasanku untuk sekarang berada di sekolah lebih awal bisa diterima ya kan?
Kenny meletakkan tasnya di depanku, kemudian duduk menghadap ke belakang sambil memeluk senderan kursinya.
"Ada apa kamu datang pagi banget?"
Kenny membuka sebatang cokelat kemudian menggigitnya dan menyodorkan sebuah cokelat baru padaku.
"Kamu mau...?"
Aku mendongakkan kepalaku, menatap ke arahnya yang tersenyum manis bagai tanpa dosa.
"Gak, jangan makan cokelat terus nanti gigimu bolong..."
Kenny mendengus, kemudian memanyunkan bibirnya sambil menatap sebal ke arahku.
"Gak ya! Aku kan selalu sikat gigi tiap hari! Lagipula ini kan coklat dari Kevin, jadi kan gapapa kalo dimakan..."
Aku berusaha keras mengulum tawaku, menahannya agar tidak memunculkan mimik lucu yang nanti mungkin akan merusak raut muka cool yang susah payah aku pahat diwajahku.
Mana ada kalo coklat pemberian pacar ga ngerusak gigi!
Anak satu ini kayaknya salah satu kabel di kepalanya pasti ada yang salah colok waktu di kandungan.
"Namanya coklat ya sama aja, nanti gigimu bolong..."
Dia mendengus semakin sebal, kemudian segera menarik tangannya yang tadinya menjulurkan coklat ke arahku.
"Yaudah ga usah aja!"
Huh...
Kenny kemudian menggigit lagi cokelatnya dengan sebal.
"Aw!"
Raut wajahnya berubah menjadi sangat kesakitan, dan memegangi pipi kanannya.
"Tuh kan, gigimu bolong...?"
Aku melirik ke arahnya.
Aku berusaha keras menahan tawaku
Geli rasanya!
"Enggak ya! Ini cuma coklatnya keselip di..."
Aku menaruh komikku, kemudian menatapnya.
"Di?"
"Engg.... Di..."
"Di...?"
"Di lobang gigi..."
Dia menunduk lemas, kemudian aku menatapnya dengan tatapan remeh.
"Tapi ga lubang gede! Cuma garis kok! Kata dokter juga ga perlu di tambal"
"Bohong, ayo ke dokter gigi pulang sekolah, gimana?"
Komikku kembali kuletakkan, kemudian mendelik ke arahnya.
"Gamau...."
Dia kembali menunduk lemas, membuatku harus berusaha keras menahan geli di dadaku.
"Alvin...? Eng..."
Aku melirik dari balik komikku, dia sejenak menatap ke sekeliling, kemudian dia kembali menatap ke arahku.
"Lord Arsais, tentang apa yang kita bahas malam itu..."
Aku meletakkan komikku, membuka kedua headsetku, kemudian menatapnya tajam.
Aku tahu, dia pasti akan membahas sesuatu yang penting sampai harus memanggilku begitu di dunia nyata.
"Kenny, sudah kuingatkan, jangan memanggilku begitu di dunia "Siang", karena itu namaku pada "Malam"..."
Aku menatapnya tajam, dia sejenak tampak takut, tapi dia kembali membalas tatapanku.
"Haruskan kita melakukan itu?"
Aku sejenak tertegun, aku mengerti kemana arah pembicaraannya.
Aku segera meletakkan kedua tanganku di atas meja.
"Kupikir, dengan keadaan seperti ini, besar kemungkinan ketakutanku jadi nyata. Satu satunya jalan hanyalah dengan melakukannya..."
Kenny menundukkan kepalanya, kemudian menarik nafasnya berkali kali.
"Tapi, kenapa harus begini? Bagaimana dengan seluruh mimpi dan rencana kita?"
Aku tersenyum, wajahnya sejenak memerah saat menatapku.
"Kenapa mukamu memerah?"
Dia menggeleng kuat.
"M..Maaf! Hanya saja, kamu manis banget kalo lagi senyum..."
Sial.
Aku langsung menatapnya dengan tatapan dingin, membuatnya tidak berani menatapku.
"M..maaf..."
Dia menarik nafas lagi, dan dalam sekejab tatapannya diarahkan kembali tepat ke arahku.
"Haruskah ini semua dirahasiakan dari Sir Caesar..?"
Aku mengangguk mengiyakan kata katanya.
"Yeah, kalau dia tahu, dia tidak akan tinggal diam..."
Aku menghela nafasku, Kenny juga melakukan hal yang sama.
Tampaknya dia sangat keberatan dengan masalah ini.
"Kau tahu, sejak dia pertama kali bergabung denganku, kesetiaannya padaku tidak dapat ditandingi siapapun. Karena itulah dia ga pernah mau beranjak dari sisiku. Kalau dia tahu, mungkin akan jadi masalah..."
"Tahu apa?"
Aku menoleh, Kevin tampak menatapku dengan tajam dari balik kacamatanya.
Sial.
Kenny tampak sama terkejutnya.
Dia tampak ternganga lebar sambil melotot.
"Hei? Kalian kenapa? Siapa tahu apa?"
Kenny segera membekap mulutnya, sial, tanpa aku sadari saat kami terlibat pembicaraan barusan, ternyata Kevin datang dan sudah masuk ke dalam kelas.
Aku berpikir keras.
Harus ada sesuatu yang bisa mengalihkan pembicaraan kami.
"Soal kemarin, kau tahu? Stevan dan Linguine terbunuh pada perang kemarin. Kita sedang membicarakan pengganti untuk mereka."
Kevin sejenak mengangguk angguk.
"Yeah aku tahu, sungguh mengejutkan mereka bisa terbunuh di perang kemarin, sekarang unit serangan depan dan panah jadi kehilangan captain. Kau sudah membicarakan penggantian mereka?"
Kenny tersenyum lega, aku sendiri pun diam diam menghela nafas menenangkan detak jantungku yang berpacu karena barusan.
Syukurlah dia tidak menyadarinya.
"Sudah aku pertimbangkan, tapi aku belum menemui calon yang cocok. Yang lain tampaknya belum cukup mantap untuk menggantikan mereka..."
Kevin mengangkat bahunya.
"Linguine dan Stevan sudah menghubungiku kemarin, katanya mereka sudah buat karakter baru, tapi kayaknya bakal perlu waktu sampai mereka jadi sekuat sebelumnya..."
Aku mengangguk angguk.
"Hmm... Aku punya calon yang cocok..."
Kenny tiba tiba berbicara, membuat jantungku hampir melompat karena aku tadinya sedang benar benar berkonsentrasi.
Kevin juga menatap ke arahnya dengan pandangan ingin tahu.
"Siapa?"
"Siapa?"
Aku dan Kevin bertanya berbarengan, kami kemudian bertatapan.
Kenny mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum.
"Nanti, aku akan perkenalkan pada kalian di perang, aku yakin dengan kemampuan mereka, karena aku sendiri pernah bertempur dengan mereka..."
Ujar Kenny sambil tersenyum, kemudian segera membalik kursinya ke depan.
Aku dan Kevin bertukar pandang penuh kebingungan.
Siapa yang ditunjuk oleh Kenny?
Apa aku mengenalnya?
"Kok bisa dia tiba tiba punya kenalan sehebat itu? Freelance yang cukup kuat untuk memimpin pasukan? Langka banget..."
Kevin bergumam sambil menaruh tasnya di hadapanku.
Aku kembali memasang headsetku dan menatap ke arah luar lewat jendela.
"Alvin...?"
"Hmm?"
Aku melirik ke arah Kevin yang tadi memanggilku.
"Kamu kenapa?"
"Maksudmu?"
Kenny yang mendengar pembicaraan kami kembali membalik kursinya ke belakang. Saat ini keadaan kelas sudah mulai ramai oleh anak anak, tampaknya banyak yang belum menyelesaikan tugas mereka seperti biasa dan tradisi pinjam meminjam pr sudah mulai berlangsung di kelas.
"Yeah, Alvin akhir akhir ini terus murung, Kamu ga kenapa kenapa?"
Kenny berbicara ke arahku dengan mulut tersumpal lolipop.
Aku menoleh ke arah Kevin, yang menatapku dengan serius sambil mengangguk anggukkan kepalanya.
"Ga ada apa apa, memangnya ada apa?"
Kevin menunjuk ke arah headset ku.
"Jangan bohon, kamu ga ndengerin apa apa di headset itu, itu bukti kamu sedang memikirkan sesuatu, ya kan?"
Aku tersentak.
Mereka memperhatikan kebiasaanku?
Aku menjaga raut wajahku agar tetap tanpa ekspresi seperti biasanya, membuat Kevin mendengus sebal.
"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa membaginya dengan kami..."
Sekarang giliran Kenny yang ikut menganggukkan kepalanya sambil memajukan bibir depannya dengan ekspresi yang lucu.
Aku menggeleng pelan, dan tersenyum ke arah mereka.
"Ga kok, ga ada apa apa..."
Aku kembali tersenyum di akhir kata kataku, menunjukkan kalau aku baik baik saja.
Kenny dan Kevin tampak terkejut, tapi kemudian segera bertukar pandang satu sama lain.
Mereka kembali menatapku dengan senyuman manis.
"Baiklah, syukurlah kalau ga ada masalah..."
Aku mengangguk, kemudian kembali membuang pandanganku jauh keluar kelas.
Tampaknya aku kurang bisa menutupi emosiku akhir akhir ini?
Mungkin.
Mereka memang benar, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.
Jyo...
Semenjak pertemuan di Midlake terakhir, tak sebuahpun pesanku yang dibalas olehnya.
Apa dia berhenti bermain?
Tidak mungkin begitu tiba tiba.
Kami juga tidak ada selisih pendapat.
Tidak ada masalah yang terjadi juga
Kenapa dia tidak menggubrisku?
Aku sudah berkali kali datang ke Midlake Village, tapi tampaknya dia tidak pernah berada di sana.
Apalagi semenjak perang.
Tak seujungpun kabar darinya aku dapatkan.
Dadaku tiba tiba berdesir, luka di dadaku kembali terluka.
Apa kamu bohong? Kamu akan meninggalkanku?
Atau kamu juga hanya mempermainkan perasaanku selama ini?
Tubuhku terasa sangat panas.
Berbagai pikiran buruk memenuhi pikiranku.
Set
Sebuah tangan terasa menyentuh wajahku.
Kenny?
Dia menyeka segaris air yang mengalir di pipiku.
Sial, mereka melihatku menangis.
Aku menatap ke arah Kevin, dia hanya melihatku tanpa berkomentar apapun.
"Matamu perih ya? Memang cuacanya agak kering..."
Kevin berkomentar di sela sela kesibukannya mengunyah sebungkus keripik kentang.
Kenny hanya tertawa kecil, kemudian kembali tersenyum ke arahku sambil memberikan sebuah tissue.
"Jangan kelihatan yang lain, nanti malu! Jangan biarkan pikiran buruk menguasai pikiranmu, Semangat! Optimis!"
Benar juga, aku tidak boleh berpikiran buruk.
Aku tidak membencinya.
Aku hanya.
Sangat sangat merindukannya...
Aku tersenyum ke arah kedua sahabatku, kemudian mengangguk lembut.
Kevin tersenyum simpul, sedangkan Kenny memamerkan seluruh deretan gigi yang dimilikinya.
"Thanks.."
Kenny mengangguk, kemudian menyodorkan sebatang cokelat kepadaku.
"Sekarang mau...?"
"Enggak."
Bogoshipda
Kim Bom Su
amuri kidar-yodo nan mot ka
pabo-chorom ulgo in-nun noye gyote
sangchorom chu-nun narul wae morugo
kida-rini tto-nakaran malya
bogo-shipda bogo-shipda
iron nae-ga miwochil man-kum
ulgo shipda nae-ge murup kkulh-ko
modu optdo-ni-ri dwel su it-damyon
michil dut sarang-haet-don kiyogi
chu-ok-duri norul chatgo it-ji-man
to isang sara-ngiran pyon-myonge
norul kadul su opso
iromyo-nan dwe-jiman
chugul mankum bogo-shipda
bogo-shipda bogo-shipda
iron nae-ga miwochil mankum
midko shipda orun kirirago
norul wi-hyae tto nayaman handago
michil dut sarang-haet-don kiyogi
chu-ok-duri norul chatgo it-jiman
to isang sara-ngiran pyon-myonge
norul kadul su opso
iromyo-nan dwe-jiman
chugul mankum bogo-shipda
chugul mankum it-ko-shipda
Merindukanmu
Aku tak akan pergi, aku akan menunggumu
Aku menangis bagaikan orang bodoh
Yang hanya menyakitiku tanpa kau sadari
Apa kau memintaku untuk meninggalkanmu?
Aku merindukanmu, Aku merindukanmu
Hingga aku membenci diriku sendiri
Aku ingin menangis, berlutut dihadapanmu
Andai semuanya tidak terjadi
Membuka kembali ingatanku saat aku tergila gila mencintaimu
Ingatan itu menghantuiku
Tapi aku tidak bisa sembunyi dari perasaan ini lebih lama lagi
Aku tidak seharusnya melakukan ini.
Aku sangat merindukanmu
Aku merindukanmu, Aku merindukanmu
Hingga aku membenci diriku sendiri
Aku ingin menangis, berlutut dihadapanmu
Andai semuanya tidak terjadi
Membuka kembali ingatanku saat aku tergila gila mencintaimu
Ingatan itu menghantuiku
Tapi aku tidak bisa sembunyi dari perasaan ini lebih lama lagi
Aku tidak seharusnya melakukan ini.
Aku sangat merindukanmu
Aku sangat ingin melupakanmu
UPDATED
Sorry kalo adegan romancenya dikit
lagi persiapan klimaks nih
"Lord Arsais, pasukan utama mereka sudah mulai mendekat."
Seorang prajurit pengintai dengan pakaian dari kulit ketat datang dan melapor ke padaku.
"Aku mengerti..."
Aku masih mengetuk ketuk meja dengan pena buluku, keempat bishop lain juga masih duduk diam bertopang di atas meja kayu besar di hadapan kami.
"Seberapa jauh mereka dari kita?"
"2 atau 3 jam perjalanan mereka pasti akan sampai kemari. Aku yakin mereka dalam persiapan penuh menyerang kita. Petang ini mungkin perang akan segera berlangsung kalau mereka memang bersungguh sungguh."
Aku menghembuskan nafasku dengan malas.
"Apa sebenarnya yang jadi sasaran mereka? Mereka seharusnya sudah menyadari kalau keadaan tidak akan berpihak pada mereka..."
Pixel akhirnya angkat bicara dengan jenuh, sejenuh kami semua yang duduk disini. Jujur saja, harus bertempur dengan orang bodoh yang jelas jelas akan luluh lantah di hadapan kami, tetapi masih tetap maju dengan yakin adalah sesuatu yang benar benar membingungkan.
"Aku berpikir mereka akan menarik mundur pasukan mereka, tapi ternyata mereka lebih berani dari yang kita duga."
Wyatt berbicara sambil menatap ke arah sekeliling. Keempat orang lain menganggukkan kepalanya.
"Apa rencanamu Arsais? Jangan bilang kau tidak punya rencana apapun?"
Arvyn menatapku.
Bahkan Arvyn yang biasa sangat bersemangat untuk berperang pun tampak tidak ingin maju berperang.
"Memang tidak ada rencana. Apa yang kita takutkan? Habisi mereka, lalu pulang ke rumah masing masing. Isn't that nice?"
Arvyn mendengus mendengar perkataanku.
"Jujur saja, aku malas menghadapi mereka, semuanya, perang ini seperti kita menghancurkan segerombolan anak TK yang tanpa sengaja menginjak garis batas kenegaraan kita..."
Aku hanya terkekeh dingin, kemudian segera berdiri.
"Yeah, apapun hasilnya, kita memang harus berperang, kalian persiapkan semua yang kita perlukan, kita akan bergerak maju, kita tidak akan diam di benteng. lebih cepat lebih baik."
Keempat bishop lain ikut berdiri, kemudian menatap ke arahku.
"Jujur saja, aku ada firasat buruk tentang semua ini, kalian tidak merasakannya?"
Greg yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat bicara, dan perkataannya segera disambut anggukan oleh ketiga bishop lainnya.
Aku hanya menyeringai.
"Aku sudah mempertimbangkan kemungkinan yang akan terjadi, dan aku yakin kalian akan mengerti apa yang harus kalian lakukan..."
Keempat bishop lain menatapku dengan pandangan bingung.
"Arsais, jangan bertindak bodoh..."
Arvyn melambaikan tangannya sambil membelakangiku, kemudian keluar dari kemah besarku.
"Yeah, aku setuju..."
Pixel menatap tajam ke arahku, sebelum kembali memasang senyuman ramahnya di bibirnya.
"Kalau begitu kami akan segera bersiap!"
Mereka semua pergi keluar dari kemahku, meninggalkanku yang duduk termenung sendiri.
Semua sudah kususun sesuai semua perkiraanku.
Hanya tinggal satu langkah yang belum, dan aku masih menunggu orang itu untuk datang.
"Aku sudah menunggumu..."
Aku menyahut tanpa menoleh, saat aku merasakan kehadiran orang lain di kemahku.
"Arsais, Alvin, Apa yang kamu perlukan sampai kamu memanggilku kemari?"
Aku hanya tersenyum dingin, menatap ke arah sosok wanita yang perlahan berjalan dari belakangku dan duduk di depanku.
"Selamat siang, Lady Leknaat..."
Wanita itu mengangguk pelan, kemudian menatapku.
"Kamu benar benar akan menentukannya sekarang?"
Dia bertanya dengan hati hati ke arahku, aku memastikan tidak ada siapapun menguping pembicaraan kami.
"Yeah, aku sudah mempersiapkan semuanya, dan aku mau orang itu. Aku sudah memilih orang itu."
Lady Leknaat menatap ke arahku.
"Aku tidak berpikir ada orang lain yang lebih pantas untuk menyandangnya, tapi kalau kamu berkata demikian, kupikir aku akan memberikannya, dan menarik hak itu dari Marty..."
Wanita itu berbicara sambil menggerakkan kedua tangannya, memberikan kesan hangat dan bijaksana dari dirinya.
Aku tersenyum puas, kemudian menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi.
"Siapa yang kau pilih, Alvin?"
Aku mengangguk, kemudian melipat kedua tanganku.
"Aku memilih Caesar, Wakil Bishop dari Valerie Distric..."
Lady Leknaat hanya mengangguk pelan, kemudian segera berdiri dari kursinya.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, aku akan memberikannya kepada Caesar apabila memang "itu" terjadi, apa ini semua sesuai keinginanmu, Earth Bishop?"
Aku mengangguk puas, kemudian berdiri dan berjalan ke arah jendela.
"Yeah, semua seperti yang aku inginkan."
Lady Leknaat berjalan ke sampingku, dia membelai lembut pakaian putih dengan corak merah jambu yang dikenakannya.
"Roda berputar begitu cepat, Takdir mungkin akan berulang, kali ini kau memilih untuk memutar kembali roda itu..."
Aku tersenyum dingin mendengar perkataannya, aku mengerti apa yang dimaksudkannya.
"Tapi, kali ini, aku pastikan roda itu akan berputar kelain arah..."
Lady Leknaat mengangguk kecil.
"Aku akan memperhatikan bagaimana semuanya mengalir..."
Dia kembali tersenyum hangat, kemudian ia menutup matanya dan segera menghilang dalam sebuah bola cahaya yang mendadak muncul dari tubuhnya.
Aku menghela nafasku, kemudian beringsut bergerak ke arah pintu kemah.
Dengan malas aku membuka pintu kemahku, kemudian aku membiarkan kakiku bergerak kemanapun dia mau.
Kupikir aku perlu sedikit peregangan setelah semua hal berat yang terjadi.
Aku kembali mengambil tiara merah darah yang terus aku simpan di dalam tasku.
Kuperhatikan bernda kecil di tanganku, benda itu tampak sejenak berpendar.
Segurat senyum merekah dari wajahku.
Yeah, semoga semua akan baik baik saja, dan aku yakin, aku nanti akan bertemu lagi dengannya setelah perang usai dan bisa memberikan tiara ini padanya!
Aku kembali menyimpan tiara itu di dalam tasku.
Aku baru akan pergi berjalan saat mataku menangkap empat sosok di dekat api unggun yang sudah padam.
"Axel, Caesar?"
Axel dan Caesar tampaknya sedang berbicara dengan dua orang yang tidak aku kenal.
Dari pakaian mereka aku yakin mereka bukanlah pasukan kami, dan mereka tidak mengenakan seragam apapun.
Freelance?
Apa ini calon Captain baru yang disarankan Axel?
Aku berjalan mendekat, saat Axel tiba tiba menoleh.
Senyumnya segera merekah saat dia melihatku, dan segera menarik kedua orang itu beserta Caesar ke hadapanku.
"Lord Arsais! Ini dua orang yang aku janjikan akan menjadi Captain untuk pasukanmu!"
Axel mendorong kedua orang itu dengan keras hingga satu dari mereka yang memakai pedang besar seperti Caesar tampak terjungkal dan jatuh terjembab.
"Hei hei hei! Bocah! hati hati kalau kamu memperlakukan orang lain! Aku bisa mati kalau kamu perlakuin kayak gitu!"
Warrior muda itu mendengus kesal. Dari wajahnya tampaknya dia masih berusia sama denganku, mungkin sedikit lebih tua.
Seorang lagi dengan Senapan panjang di punggungnya dan dua pistol kecil di kedua sisi pinggangnya hanya tertawa kecil sambil memperhatikannya.
"Ah, sudahlah, Rover, kamu terlalu berlebihan!"
"heu, Yuj, maksudku, Clive, kamu kok malah membela bocah ini?"
Knight yang bernama Rover tampaknya hampir saja salah memanggil nama rekannya, untung saja rekannya segera melotot ke arahnya dengan senyum tetap terkembang.
Axel tampak tersenyum lebar memamerkan giginya di belakangku.
"Ah, kita harus memperkenalkan diri!"
Kedua orang itu menjabat tanganku satu persatu sambil tersenyum.
"Rover, Blood Knight dari Scarlet Moon Empire!"
"Clive, Expert Gunner dari Howling Voice, salam kenal..."
Yang bernama Clive tersenyum ramah, dia tampaknya lebih jinak, maksudku ramah, daripada yang satunya.
"Baiklah, kalau begitu, mari kita test kemampuan kalian. Knightnya duluan. Commencing Battle!"
Aku menarik kedua belatiku, dan Rover segera menarik dua pedang kecil dari punggungnya.
Menarik, menghadapiku dengan pedang kecil?
Aku melecut maju, menghunuskan kedua belatiku ke padanya.
Dia berusaha menghindar, tetapi tampaknya pergerakanku lebih cepat darinya.
"Lamban.."
Aku menghantam kepalanya dengan keras, dan meninggalkan 4 sayatan di sekujur tubuhnya.
"Sial..."
Dia menyarungkan kedua pedangnya, kemudian menarik sebuah trident pendek dari pinggangnya.
Pergerakannya meningkat semakin cepat.
"Baru mulai serius?"
Aku menyeringai pelan saat kami berdua menghantamkan kedua senjata kami satu sama lain, saling menahan agar tidak bersarang di tubuh kami.
Aku cukup menikmati pertempuran ini.
Kami bertempur dengan cukup imbang, dia berkali kali mengganti senjatanya, dan tak jarang berhasil menyarangkan serangan di tubuhku.
Aku menendangnya dengan keras, membuatnya tersungkur.
"Bagus, kemampuan yang bagus, aku puas!"
Axel menghela nafasnya lega, kemudian pandangannya segera beralih ke Clive.
Aku memandangi Clive sejenak, kemudian menunjuk ke arah Caesar.
"Kamu akan menghadapi dia, semoga beruntung."
Clive hanya mengangguk pelan, kemudian kembali tersenyum.
Caesar hanya mendengus pelan, kemudian segera menarik pedang dari punggungnya,
"Kenapa aku harus berhadapan dengan Gunnernya sih, aku mau coba Knightnya.."
Aku menggeleng pelan, sementara Clive hanya tersenyum manis.
"Sebaiknya kamu jangan banyak bicara sebelum bertempur..."
Kata kata yang tajam, membuat Caesar mendengus dengan sebal.
"Sudahlah, ayo kalian mulai!"
Aku memberikan perintah pada mereka dan berjalan berbalik untuk mengambil tempat duduk yang nyaman.
Bum Bum Bum Bum!
BRUK!
Baru saja aku akan mencari tempat duduk, serentetan tembakan membuatku harus menoleh ke belakang.
". . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ."
Caesar tampak terkapar tak berdaya, dari lukanya tampaknya Clive menembaknya tepat di kedua bahu dan pahanya, membuatnya roboh seketika.
"W'...Wa..."
Aku ternganga saat menatap ke arah mereka, sedangkan Clive hanya tersenyum sambil menarik sesuatu dari dalam jubahnya.
"Sudah kubilang jangan banyak bicara, meremehkanku cuma membuatku marah..."
Clive melemparkan benda yang diambilnya ke arah Caesar sambil berjalan pergi.
DUAARR!
Sebuah ledakan besar segera muncul, menghanguskan Caesar dalam kepulan asap yang membumbung.
"Ah... Aku, Aku kalah..."
Caesar hanya mampu mengucapkan kata kata itu sebelum akhirnya dia terkapar tak berdaya di tanah.
"Sir Caesarrr!!!!"
Axel segera berlari dengan panik ke arah Caesar, dia segera mengeluarkan puluhan botol obat obatan dari dalam tasnya.
"Sudahlah, Dia ga kenapa kenapa Axel! Ngomong ngomong, darimana kamu dapat dua orang ini?"
Axel tampaknya sudah terlalu panik untuk mendengar perkataanku, karena dia tidak menjawab apapun, tetapi malah sibuk mengubah Caesar dari seonggok daging panggang menjadi sebuah mumi hidup, kemudian menyiraminya dengan berbagai potion, membuat berbagai corak warna warni di perban putihnya.
Sekarang lebih mirip badut yang barusaja habis diinjak injak anak kecil.
Anak bodoh.
Aku mendengus kesal, kemudian mengarahkan pandanganku ke kedua orang yang berdiri di hadapanku.
"Kalian lebih dari cukup untuk menjadi Captain pasukan, apa kalian bersedia?"
"Yah, sebenarnya sih malas tapi karena bocah itu minta Uagh~!"
Rover tampaknya barusaja akan berbicara panjang lebar, sampai akhirnya Clive menghajarnya dengan pegangan senapannya tepat di hidungnya.
Clive tersenyum manis ke arahku, sementara Rover hanya berguling guling sambil meringis memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah.
"Tenang saja, kami teman dekat Axel, dia meminta bantuan, makanya kami ada disini sekarang."
Clive tersenyum manis ke arahku, entah kenapa aku bergidik ngeri
Rasanya aku pernah merasakan sensasi ini sebelumnya, tapi entah dimana.
Teman dekat Axel?
Aku baru tahu Axel punya teman yang begini kuat.
Darimana datangnya?
"Baiklah, kalian mulai sekarang adalah Chieftain dari Harmonia Unit. Rover, kamu pemimpin Front Line, dan Clive, kamu memimpin Ranger Party...."
Aku memberikan seragam lengkap Harmonia kepada mereka.
"Selamat bergabung!"
Aku tersenyum datar ke arah mereka, kemudian membalik tubuhku ke Axel.
"Kamu sudah selesai dengan balut membalutnya Axel? Kalau sudah selesai, aku mau Heal Caesar..."
Axel menoleh ke arahku, dia tampaknya masih sibuk menuangkan cairan berwarna warni ke tubuh Caesar yang menggelepar gelepar seperti ikan yang diletakkan di atas pasir.
Ikatan perban dan warna warni cairan potion menambah rusuh keadaannya.
Sungguh, rasanya aku mau membiarkannya tetap begini, atau mungkin mengambil foto saat keadaannya seperti ini.
Sayangnya kami jauh dari kota dan tidak mungkin beli kamera.
Aku menghela nafas.
Sayang sekali....
"Grand Heal..."
Dalam sekali kilatan sinar, tubuh Caesar yang tadinya terluka seluruhnya segera menghilang, dan kembali menjadi sosoknya semula.
Axel tampaknya masih panik, hingga dia kembali menyirami Caesar dengan potion.
"Axel! Sudah! Axelku! Sudah! Basah semua ini!"
Axel segera menghentikan gerakannya, kemudian memukul Caesar dengan tongkatnya.
"Kamu panggil aku apa?! Axelku?! Udah kubilang jangan panggil gitu, ga enak kedengeran oraang!"
Axel kembali menghujamkan tongkatnya berkali kali dengan wajah memerah.
"Indahnya pasangan baru..."
Aku menoleh dari dua badut konyol yang sedang melawak di hadapanku, ke arah Rover yang menatap ke arah mereka.
"Kalian bilang apa? Pasangan?"
Rover dan Clive mengangguk santai.
"Yea, pasangan baru, mesranya..."
Aku menggaruk kepalaku.
Ahh, biarlah, mungkin mereka kira salah satu dari mereka adalah perempuan yang pura pura jadi laki laki!
Clive segera bergerak maju untuk melerai mereka.
"Hei hei hei, Axel, sudahlah, lihat, Caesar jadi babak belur begitu!"
Axel menghentikan pukulannya, kemudian terkesikap melihat hasil karyanya.
Jelas saja dia terkejut karena sekarang dihadapannya teronggok (yang tadinya) Caesar dengan keadaan hancur lebur.
Tampaknya keadaannya tadi masih lebih baik daripada lukanya sekarang.
"Kan, jadi luka lagi!"
Clive tertawa pelan, kemudian menatap ke arahku.
Aku hanya mengangguk, kemudian mengangkat tanganku.
"Grand Heal..."
(Yang tadinya) Caesar terbalut dalam sinar putih kehijauan, dan dengan segera seluruh luka di tubuhnya menghilang tanpa bekas.
"Axel, jangan pukul lagi!"
Caesar memberikan isyarat ke arah Axel yang barusaja akan menghujamkan tongkatnya lagi agar dia mengurungkan niatnya.
Mereka memang badut profesional...
Aku menghela nafasku, tepat saat lonceng berdentang keras, disahut dengan teriakan lantang dari seorang Prajurit di atas menara.
"ARONIA DATANG! ARONIA SUDAH TERLIHAT! MEREKA SUDAH MENDEKAT!"
Semua orang yang sedang bersantai segera riuh rendah, Perkemahan kami segera berubah menjadi ramai, dan semua orang segera memakai pakaian perangnya, bersiap untuk bertempur.
Akhirnya, saatnya tiba juga.
Aku segera berlari memanjat ke atas menara pengintai, dan segera mengambil teropong panjang yang ada di atas meja di dalam ruangan kecil itu.
Aku mengarahkan mataku ke arah depan North Wall, tempat dimana mereka pasti akan menuju.
!!!!!!!
Apa maksud mereka?!
Apa yang mereka pikirkan?!
Omongkosong!
UPDATED
Nyimak dulu deh.
Lagii lagii lagiii !!
Lagii lagii lagiii !!
si caesar jd kayak gini ya..?
Tapi kalo masih sekolah emmm lumayan juga ya pasti bahasa indonesia dapet nilai 10 yah *nerd