It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#tuangminyakgas
@silverrain ahh..tega kau menendangku.. habis manis sepah dibuang..
#terdudukdilantaialaputriduyung
"Aku mau duduk disitu!"
Aku dan Kenny yang pagi itu sedang duduk berhadapan sambil ngobrol dikejutkan oleh Alvin, alih alih kami, Edwin yang berada di samping Kenny tampaknya juga terpesona (baca:terkejut) Karena Alvin tiba tiba datang, dan menunjuk meminta dia duduk di kursi yang ditempati Kenny.
"Ehh, memangnya ada apa Lord..."
"AHEM!"
Kenny segera menutup kedua mulutnya dengan batang cokelat yang sedang dimakannya, sadar kalau dia hampir saja membuka identitas asli Lord Arsais di muka umum.
"Ada apa sih Pin?"
Aku memanggil Alvin dengan panggilan kecilnya. Dia tampak tidak menghiraukanku dan tetap menunjuk ke araj bangku Kenny sambil terus menatap tajam, bagai seorang anak yang merengek minta permen di etalase mall.
"Aku sedang malas duduk denganmu, aku mau duduk disini! Kenny, kamu pindah ke depan!"
Alvin menatap tajam ke arah Kenny, aku tahu tatapan itu! Tatapan itu adalah tatapan yang digunakan Alvin setiapkali dia menyuruh Axel untuk melakukan sesuatu, dan dia tidak ingin permintaannya dibantah.
Seperti yang aku duga!
Kenny seakan tersihir segera menatap kosong ke arah Alvin, kemudian dia mengangguk dan merapikan seluruh buku bukunya dan berpindah ke sampingku.
"Haahh..."
Alvin menghela nafas panjang, kemudian segera mengeluarkan sepasang headset berwarna hijau toska dari dalam tas sekolahnya.
"Apa...?"
"T..tidak!"
Alvin menatap tajam ke arahku, tampaknya dia sadar aku sedang memperhatikannya. Dia kemudian menyapukan tangannya dengan gerakan mengusir ke arahku, kemudian segera memasang headsetnya dan menyandarkan dirinya ke kursi.
"Psst, Kev! Alvin kenapa sih?"
"Gatau tuh bebz!"
PLAKK!
"AWW AH! SAKIT TAHU!"
Aku mengelus lembut pipiku yang terasa memanas karena tamparan dari Kenny barusan.
Kenny terlihat panik, sambil melirik ke sekelilingnya, kemudian dia berbicara dengan nada berbisik ke arahku
"Stt! Dasar bego! Jangan panggil kayak gitu di sekolah kamu mau kita ketahuan?"
"Emang kalo ketahuan kenapa? Kita pacaran kan!"
Aku memanyunkan bibirku, tapi Kenny dengan jengah segera menarik bibirku dengan kencang dan menghentak hentakkannya beberapa kali.
"Stt! Kan ga enak kalo kedengaran yang lain! Kita kan cowok ama... cowok..."
Kenny tampak sangat berhati hati dengan kata terakhir dari kalimatnya barusan
Aku menepuk jidatku, kemudian meringis ke arah Kenny yang saat ini sudah menggembungkan kedua pipinya ke arah ku.
Benar juga! Kami kan cowok sama cowok!
Berarti aku ga bisa mesra mesraan ama dia di sekolah dong
T_T
Dan mungkin kami juga ga bisa mengumbar kemesraan di tempat umum ya?
Rasanya hubungan kami akan berjalan dengan sulit ya?
Aku memandangi Kenny yang sekarang duduk di hadapanku dan tampak sibuk membetulkan bukunya yang tampaknya terlepas dari staplesnya.
"Kenapa sih?"
Sini sini aku betulkan.
Aku mengambil buku itu dari tangannya, kemudian aku stapleskan kembali dengan menggunakan stapler yang aku ambil dari dalam tasku.
"Nih.."
Aku menyodorkan buku bersampul biru itu kembali kepadanya, tapi alih alih mengambilnya, dia malah memundurkan tubuhnya dan menyimpan kedua tangannya di atas kakinya.
"Kenapa?"
Kenny menggeleng pelan, kemudian segera merampas buku itu dari tanganku dan memeluknya erat.
"Kenapa sihh?"
"Aku, aku malu..."
Ehh?
Malu katanya? Dia malu?
Malu kenapa lagi?
"Malu kenapa?"
Dia menggeleng pelan, kemudian segera membalik tubuhnya ke arah Edwin.
Heran, kenapa sih dia?
Aku kemudian segera membalik tubuhku ke belakang mengikutinya, menatap ke arah Edwin yang sedang asik dengan komik yang sedang dibacanya.
"Kenapa? Bukannya daritadi kalian asik ngobrol ya? Dan meninggalkanku sendirian dengan sepotong patung selamat datang ini?"
Edwin mendengus kesal sambil menunjuk ke arah Alvin yang tampaknya tidak perduli kepadanya dan asyik menerawang ke arah luar jendela sambil bersandar di kursinya.
"Ehh, kalian, cincinnya kembaran ya?!"
@_@
Somplak!
Edwin berteriak tanpa sadar sambil menatap ke arah kami dan menunjuk ke arah cincin kehijauan yang sama sama melingkar di jari manis kami.
"Eh, masa sih?"
Ardian tampaknya mendengar teriakan Edwin, dia dan beberapa siswa putra teman sekelasku tampak tertarik dan mendekat ke arahku.
Mati aku!
Aku melirik ke sebelahku, tampaknya Kenny sekarang juga sama paniknya denganku. Dia berusaha menutupi tangan kanannya, tapi tampaknya anak anak lain lebih kuat daripadanya.
Aduh, gimana caranya kabur kalo gini!
Aku melirik ke arah Alvin, dia tampak melirik ke arahku, dan menatap tajam, sejenak aku melihatnya memberikan isyarat menggerak gerakkan jempolnya.
HP!
Aku segera mengambil HP ku, kemudian membaca message dari Alvin.
.................
Aku tersenyum, kemudian aku mengangguk ke arahnya.
Sejenak kemudian, HP ku segera berdering, aku mengangkatnya.
"Halo? iyah, oh, Pak Djody? Saya pak? Bawa teman satu lagi? Oke pak!"
Teman temanku tampak terpaku menatap ke arahku, aku tersenyum lebar, kemudian melirik ke arah Kenny.
"Pak Djody telepon, minta tolong supaya aku membantunya merapikan buku buku di perpustakaan."
"Oya? yahh, asik banget! Bisa ga ikut pelajaran dong!"
Aku tersenyum simpul. Untung Pak Djody wali kelas kami memiliki hobby memanggil muridnya dengan telepon kalau dia memerlukan kami. Jadi sekarang aku punya alasan untuk mengalihkan perhatian mereka.
"Ken! Ayuk bantu aku!"
Aku menarik tangan Kenny cepat, kemudian segera bergegas membawanya keluar dari kelas kami.
***
"hhh...hhh...hhh...."
"Bukannya kita tadi mau ke perpustakaan ya Kev?"
Kenny menatapku bingung sambil merapikan nafasnya. Saat ini kami berada di belakang aula sekolah, tempat yang sama dengan tempat aku dulu berbicara dengan Alvin. Aku tidak tahu kenapa, tapi tampaknya setiap ada masalah aku selalu suka berlari ke tempat ini. Saat dulu aku bermasalah dirumah pun, aku menghabiskan waktu istirahatku untuk berdiam disini menikmati suasananya.
Tenang, dan sepi, memang cocok untuk merenung atau mengembalikan mood yang lagi kacau.
"Nggak, tadi bohong! Yang nelpon aku tadi si Alvin, supaya kita ada alasan kalo mereka mau liat cincin kita..."
Kenny menatap bingung ke arahku, dan setelah beberapa lama, tampaknya dia mulai bisa mengerti apa yang terjadi.
"Ahh, gitu! Jadi itu alasannya!"
Kevin menjentikkan jarinya dan kembali tersenyum lebar, tapi hanya sesaat, sebelum senyum lebarnya memudar menjadi tatapan murung.
"Kenapa kamu?"
Aku mengacak acak pelan rambutnya yang memang sudah sejak awal tidak tertata dan berdiri tak tentu arah, kemudian mengelus pelang kuncir rambutnya yang tergerai menutupi sebagian lehernya.
"Merepotkan ya?"
Aku mengernyitkan dahiku.
"Maksudmu? Apa yang merepotkan?"
Aku membelai lembut rambutnya.
Lembut, lembut sekali, dia menatapku dalam, tatapannya tampak sangat sedih dan dalam, entah kenapa, jantungku yang tadinya mulai tenang kembali berdegup kencang.
"Cincin ini, apa nanti bakal merepotkan Kevin?"
Dia memanggilku dengan sebutan Kevin, Kupikir itu cukup manis, ya kan? Daripada panggil Sayang atau sebagainya yang sok gombal, memanggil ku langsung dengan nama jadi lebih manis sekarang.
Aku mencubit pipinya gemas, kemudian mengangkat dagunya agar dia menatap ke arahku.
"Menurutmu apa bakal merepotkan, hmm?"
Aku menyandarkan tubuhku dan sebelah telapak kakiku ke dinding, sedangkan Kenny memilih untuk berjongkok di dinding Aula.
"Uh, Kayaknya iya, baru hari pertama aja, Cincin ini sudah lumayan bikin heboh kan.."
Aku menatap santai kepadanya, membuatnya tampak salah tingkah dan memalingkan wajahnya yang mulai memerah dari hadapanku.
"Lalu menurutmu baiknya gimana?"
Kenny sejenak memanyun manyunkan bibir kecilnya, kemudian menatap ke arahku.
"Kamu boleh melepasnya kok, daripada nanti jadi pertanyaan..."
Aku menghela nafas, kemudian tertawa kecil, sambil berjalan ke hadapannya.
"K..Kev..."
Kenny terkesikap saat aku mendadak memagarkan kedua tanganku tepat di samping kedua kepalanya, kemudian menatap tajam ke arahnya
"Aku ga akan melepaskannya, Kenny, sampai kapanpun!"
Aku menekankan setiap kata dari kalimat yang kuucapkan, aku memajukan kepalaku, membuat jarak sebesar 2 inchi dari kedua hidung kami.
"Tapi, tapi, nanti kamu bakal ditanya tanya, kamu ga malu kalau nanti mereka curiga?"
Kenny berusaha keras memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan wajahku, samar aku mendengar degupan kecil lain menemani jantungku yang terus menderu.
"Aku ga perduli. Karena aku memang pacarmu, kalau mereka ngejek, toh itu benar, jadi aku ga perduli! Yang penting aku bisa tetap memakai cincin ini..."
Kenny terkesikap mendengar perkataanku, dia ternganga, matanya melebar menatapku, jelas tampaknya dia tidak menduga kalimat itu bakal muncul dari mulutku.
"Aku menyukaimu, Kenny, kenapa kamu ragu...?"
Aku membelai lembut wajahnya, padahal baru kemarin kami bertemu di sekolah sebagai teman biasa, tapi tampaknya kejadian tadi sore benar benar sudah merubah semuanya. Sekarang aku selalu melihat ke arahnya seakan akan dia adalah harta yang tentu akan direbut jika aku lengah menjaganya.
"Kenny..."
"Ya..?"
Kenny tersenyum ke arahku, walaupun masih berusaha keras, tapi akhirnya dia berhasil membalas tatapanku, dia tersenyum manis, membuat gemuruh lembut didadaku berubah menjadi degupan kencang.
"Aku..."
Aku memajukan wajahku mendekati wajahnya, aku mulai merasakan deraan lembut udara hangat dari nafasnya yang menyapu lembut pipiku.
"B..boleh aku menciummu...?"
BLUSH~!
Wajah kami langsung berubah kemerahan. Aku merasakan perubahannya dari rasa panas yang mulai terasa jelas di sekitar wajahku. Kenny tidak menjawab pertanyaanku, dia menolehkan wajahnya ke lantai, dan tidak berani kembali menatap ke arahku.
"Hmmhh..."
Aku mengangkat dagunya perlahan, kemudian memiringkan sedikit wajahku.
Kenny menutup matanya saat wajahku berada sangat dekat dengannya.
Aku merasakan deraan nafas yang sangat memburu dari hidungnya, belum lagi degupan kencang yang sekarang sangat jelas terdengar memecah kesunyian taman kecil ini. Jelas, karena saat ini pelajaran sudah dimulai, dan semua murid pasti sudah berada di dalam kelas mereka masing masing.
Aku memajukan kembali tubuhku, hingga aku merasakan lembut bibir hangatnya menyentuh bibirku tanpa keraguan.
Aku merengkuh lembut tengkuknya, merapatkan tubuhnya dengan tubuhku, membiarkan setiap bagian tubuh kami bersatu.
Aku semakin merasakan debaran kencang yang bagaikan musik saling menjawab satu sama lain.
kugerakkan bibirku, melumat bibirnya dengan lembut, merasakan setiap inchi setiap detik kelembutan dan kehangatan yang kami tukar, aku membiarkan diriku terhanyut.
Aku membuka mataku, menatap ke arahnya.
Dia tampak menutup matanya, wajahnya tampak sangat damai, begitu manis.
Ini pertama kalinya aku merasakan ciumannya sebagai pacarku di dunia nyata.
Sungguh berbeda ya?
Aku kembali memejamkan mataku, tidak lagi perduli dengan sekitarku, menikmati cinta yang kubagi bersamanya.
Besame Mucho
Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez
Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a tenerte
Y perderte otra vez
Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez
Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a tenerte
Y perderte otra vez
Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi
Piensa que tal vez mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti
Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez
Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a tenerte
Y perderte otra vez
Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi
Piensa que tal vez mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti
Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez
Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a tenerte
Y perderte otra vez
Translation:
Kiss me, kiss me a lot
As if tonight were
The last time
Kiss me, kiss me a lot
For I am afraid of having you
And losing you all over again.
Kiss me, kiss me a lot
As if tonight were
The last time
Kiss me, kiss me a lot
For I am afraid of having you
And losing you all over again.
I want to have you close to me
To see myself in your eyes
To see you next to me
Think that perhaps tomorrow
I will be far
So far away from you
Kiss me, kiss me a lot
As if tonight were
The last time
Kiss me, kiss me a lot
For I am afraid of having you
And losing you all over again.
I want to have you close to me
To see myself in your eyes
To see you next to me
Think that perhaps tomorrow
I will be far
So far away from you
Kiss me, kiss me a lot
As if tonight were
The last time
Kiss me, kiss me a lot
For I am afraid of having you
And losing you all over again.
=======================================
Silver's View
Cahaya kebiruan berpedar menerangi ruangan lebar dengan pillar keemasan setebal tubuh manusia. Berbagai ornamen berbagai bentuk manusia dengan sayap dan beragam alat musik berpedar dalam cahaya kebiruan, seakan mereka semua hidup, dan menyaksikan seorang lelaki dengan jubah putih yang duduk menopang dagu di tengah ruangan itu.
"Sudah saatnya?"
Lelaki muda itu menyeringai dari balik jubah putih kekuningannya, dia menyisir jari rambutnya perlahan, kemudian kembali menatap ke arah meja kerjanya.
"Apakah semua berjalan sesuai dengan rencanaku?"
Seagent yang sedaritadi hanya berdiri membisu mengangguk.
"Ya, sesuai rencanamu, bahkan Cardinal yang Agung pun tak berkutik di hadapan janjinya sendiri..."
Lelaki itu menyeringai, kemudian tertawa pelan.
"Dan kau, Arsais, kau melaksanakan semuanya, sesuai dengan rencanaku. Kau berakting dengan sangat baik, bahkan kau bisa menipu semua orang dengan kepalsuanmu. Kau memang luarbiasa..."
Bishop muda berpakaian biru itu hanya diam membisu, raut wajah dinginnya tidak sekalipun berubah, walau semua orang sedang menatap ke arahnya.
"Aronia sekarang sudah bergerak maju, dan begitu mereka mencapai Valerie, rencanaku tidak akan bisa dihentikan..."
Lelaki berjubah putih itu memajukan sebuah pion raja berwarna merah maju ke depan, mendekati pion bergambar Earth Rune
"Sudah waktunya..."
Sejenak Seagent mengernyitkan keningnya.
"Bagaimana kau akan membuat Aronia bisa meluluh lantahkan pasukan Harmonia? Pasukan Aronia jelas jelas sangat inferior jika dibandingkan dengan kekuatan Aronia. Lady Kanna juga sudah berkata kalau kemungkinan menang Aronia sangat tipis. Aku yakin Cardinal sudah mempertimbangkan hal itu, dan akhirnya menolak untuk menyerang Harmonia."
Lelaki itu kembali terseyum, kemudian menatap ke arah Seagent dengan tatapan bijaksana, yang menutupi kelicikannya.
"Kau meremehkanku, Seagent? Aku sudah mempertimbangkan segalanya."
Lelaki itu menarik lima pion lain, empat pion bergambar keempat Rune diletakkannya berjajar dengan Pion True Earth, sementara sebuah pion raja berwarna putih diletakkannya di belakangnya.
"Aronia memang inferior bila menghadapi pasukan Harmonia secara keseluruhan."
Lelaki itu menghela nafasnya
"Tapi tidak jika hanya menghadapi Unit Valerie...."
Lelaki itu tersenyum, kemudian mengambil keempat Pion yang barusaja ditaruhnya.
"Maksudmu? Kau akan membuat Valerie bertarung sendirian? Bagaimana bisa?"
Seagent meremas kedua tangannya dan menghujamnya ke meja, tetapi lelaki itu tetap tenang, kemudian mengacungkan tangannya ke langit.
"Tenanglah, mereka memang tidak akan tinggal diam kalau Valerie diserang, dan bocornya rencana kita ini, sehingga mereka membuat persiapan, memang sedikit melenceng dari rencanaku. Tapi..."
Lelaki itu kembali mengambil beberapa pion kecil berwarna hitam dan meletakkannya di dekat pion raja putih.
"Kalau sang "Raja" diserang tiba tiba, mau tidak mau prajurit akan melindungi, ya kan?"
Akhirnya pemuda itu meletakkan keempat pion rune di sekeliling pion raja putih, meninggalkan pion earth rune sendirian berhadapan dengan raja merah.
"Dan Arsais, tugasmulah untuk memimpin penyerangan diam diam ke sang "Raja""
Pria itu kemudian mengacungkan Pion raja putih ke hadapan Bishop muda itu, dan menyeringai lebar.
Bishop muda itu hanya mengangguk. Kemudian segera berdiri, diikuti dengan kedua orang yang duduk bersama dengannya.
"Ayo, kita ada pekerjaan yang harus dibereskan..."
Lelaki berjubah putih itu berbicara pelan, kemudian segera memimpin langkah kedua kawanannya berjalan keujung aula.
"Dan dua pengacau ini..."
Lelaki itu menatap ke arah dua pion, bergambar Knight dan Wizard
"Mereka bertambah kuat, dan itu benar benar diluar perhitunganku..."
Lelaki itu meremas kedua pion itu hingga menjadi pasir, dan membuangnya ke udara.
"Arsais, pastikan kau bereskan kedua orang itu sebelum mereka membuat kekacauan."
Perkataan dari lelaki muda itu hanya dijawabnya dengan anggukan, sembari ketiga orang itu melangkah perlahan keluar dari Aula besar.
=======================================
#siraminputriduyungpakaiairkeras
Ahuahuahuahuahua
tante bisa aja
#Tabokpaketeflon
OIA
@yuzz @Just_PJ @adhiyasa @princeofblacksoshi @littlebro @danielsastrawidjaya @ularuskasurius @rulli arto @congcong @Dhika_smg
UPDATED
Khukhukhu
Monokuroboo~~~
Arsais? Si jubah putih itu lord marty kan?
Alvin benar2 menuruti arsais?
Kenapa?
Apa dia masih saja bodoh?
Heran, tapi sudahlah
Toh cerita ini milikmu kawan, kamu yg tau akhirnya, semangat!
Ganbatte kudasai!
heuhhhh...
#siapinrudal
lebih enak dalam bentuk komik kali ya ni cerita.....
"Kalian darimana?"
Pak Suryo menatap tajam kearah kami dari balik kacamata besarnya.
"Err, Saya sama Kenny tadi dari perpustakaan Pak, ada yang harus kami ambil tadi di perpustakaan."
Pak Suryo kayaknya ga percaya, dia membetulkan posisi kacamatanya kemudian melihat ke arah kami dengan mata terpicing, dan mulut sedikit manyun.
Ck, Bener bener mirip gurameh dia saat ini!
Sejenak kemudian dia menghela nafas kemudian mengangkat bahunya.
"Yasuda, masuk ayo! Langsung catat soal ini ya, kalian kumpulkan abis selesai pelajaran!"
Pak Suryo menunjuk ke arah papan tulis.
Aku langsung melongo saat menatap ke arah papan tulis
Gilaa! Soal sebanyak itu dalam setengah jam kami pergi?
Guru satu ini monster!
Sekarang gimana kami mesti ngerjainnya...
T_T
Aku dan Kevin segera bergegas ke kursi kami, kemudian segera mencatat semua soal yang ada di papan tulis.
Astagaa...
Nulis soalnya udah ngabisin satu jam pelajaran! Apalagi kalau aku mesti ngerjain ini?
Oh!
Aku melirik nakal ke arah Edwin
Si kutubuku (karena dia suka baca buku, bukan karena dia makan buku yakk XD)
Selama ini Edwin selalu membantuku kalau aku kesulitan mengerjakan prku. Edwin memang salah satu siswa yang pandai di kelasku, karena dialah aku juga bisa melalui tugas tugas yang diberikan dengan muluss
Ahh, Love u Edwiin
X3
Aku menoleh ke arah Edwin dengan tatapan memelas, berharap Edwin mau membantuku mengerjakan tugas ini
"Edwiiinn~~~~"
"Apa?"
Edwin menjawab pertanyaanku dengan dingin, dan menatapku dengan tatapan sewot
=3=
Iuhh
Pasti dia masih ngambek karena tadi aku pindah duduk ke samping Kevin!
"Edwiiinn, Ajarin dooong~~~!!"
Aku memasang wajah memelas semanis mungkin ke arahnya, sambil memegang kedua tangannya yang sedang mengerjakan tugas yang diberikan Pak Suryo.
"Ngapain? Males ah..."
Edwin mencibir pelan, kemudian menjulurkan lidahnya ke arahku.
=_=*
"Edwin aaaahhhh! Pinjam dooong"
"Gamau!"
"Huuuh!"
Aku mendengus kesal kemudian kembali memutar tubuhku ke arah depan.
Sejenak aku melirik ke sebelahku, untuk melihat apa yang sedang dilakukan Kevin
@_@
Kok...
Kevin menatapku dengan tatapan tajam, dari mukanya sih kayaknya dia lagi BT banget.
Kenapa yahh?!
"Sinih! Aku juga bisa ngerjainnya!"
Kenny dengan sewot kemudian menatap ke belakang, menatap tajam ke Edwin yang tampak terkejut karena ditatap dengan pandangan panas dari Kevin
"Aku juga bisa ngerjainnya! Jangan cari cari perhatian deh!"
Kevin kemudian segera mendengus kesal dan segera berkutat dengan buku bukunya.
Dia mengeluarkan semua buku fisika yang dia punya, bahkan dia juga mengeluarkan buku kimia miliknya dan membolak baliknya
"Itu, buku Kimia buat apa Kev?"
"Biarin! Siapa tau jawabannya ada disini!"
Jawabnya ketus kemudian dengan serius segera berkutat dengan soal yang dihadapinya
(=3=)
Anak ini emang aneh, mana mungkin ada jawaban soal Fisika di buku Kimia.
Kevin mendengus kesal berkali kali, kemudian dia segera mengerjakan semua soal yang diberikan oleh Pak Suryo.
"Kevin, sini aku bantuin..."
Aku barusaja akan menarik sebuah buku dari bawah tumpukan buku Fisika yang sekarang menggunung di hadapannya.
"Udah! Aku yang kerjain nanti kamu tinggal liat oke! Kamu jangan kerjain oke!"
>,<
Kenapa sih anak ini tiba tiba ngomel ngomel gajelas gitu?
"Wah, Kevin? Ada angin apa kamu tiba tiba ngerjakan tugas seserius ini hmm?"
Pak Suryo menepuk nepuk perut buncitnya sambil tersenyum menatap ke arah Kevin, tapi tampaknya Kevin terlalu sibuk untuk mendengar perkataannya, dan tidak sedikitpun menoleh ke arahnya.
"Wah, mungkin malam ini bakal hujan api nih!"
Pak Suryo kemudian tertawa pelan dan segera meninggalkan kami.
Iya sih, jarang jarang banget Kevin bisa mendadak rajin kayak gini! Ada angin apa sih.
Baru ketelen pipa paralon apa ya?
=_="
Aku mau ngapain nih kalo gini
Kevin nyuekin aku, Edwin juga nyuekin aku...
"Hufh..."
Akhirnya aku memutar tubuhku ke belakang.
"Waa!"
Aku hampir berteriak nyaring karena saat aku menoleh ke belakang aku langsung disambut oleh tatapan tajam Alvin yang menatap ke arahku. Dari rautnya, tampak dia juga terkejut karena aku menatap ke arahnya. Headsetnya tampak masih melekat erat di telinganya.
Anak ini! Pake headset di dalam kelas! Dan guru guru tampaknya juga sudah menyerah untuk memarahinya, terbukti dari Pak Suryo yang diam aja ngeliat dia pake headset saat ini.
"Alvin....?"
". . . . . . ."
"Tadi makasih ya..."
Aku masih merasa sedikit canggung, apalagi karena aku tahu kalau Alvin adalah orang yang sangat aku hormati di dunia game. Sihh, padahal sebelumnya aku sih enak enak aja ngomong ama dia. Apalagi dia dulu dapat predikat =Autis= dariku.
Tapi kalau keadaannya seperti ini, rasanya jadi salah tingkah sendiri.
"Tadi makasih yahh..."
Dia mengangguk pelan kemudian segera menolehkan kepalanya ke arah jendela.
"Alviiin, kok aku dicuekin sih?"
Alvin tidak merespon perkataanku, seraut kesedihan tampak jelas di wajah dinginnya.
Kenapa dia?
"Al..."
Perkataanku langsung terhenti saat aku melihat ujung headset yang menyembul dari balik rompi kemejanya.
Tidak terpasang pada apapun? Headset kosong lagi?
Hmm...
Alvin menerawang jauh ke arah luar.
Hmm.
Aku menoleh ke atas mejanya
What the heck!
Alvin tampak sudah menyelesaikan semua soal soal dari Pak Suryo dan dia mengerjakannya dengan rapi dan serius, terlihat dari kalkulator dan buku yang dibuka di atas mejanya.
Aku pernah mendengar dari Kevin, kalau Alvin selalu dengan misterius berhasil melewati ujian ujian dan mempertahankan nilainya agar terus berada di atas batas kenaikan kelas padahal dia ga pernah mengerjakan PR.
Jadi? Sekarang si Ahli taktik ini juga Jenius muda?
Perfect banget anak satu ini?
Tapi tetap hebatan Kevin donng!
"Kenny!"
Aku tersentak saat Kevin menepuk pelan bahuku, kemudian menyodorkan sebuah buku yang sudah berisi jawaban dari soal yang dituliskan di atas papan tulis.
"Nih!"
Aku ternganga menatap buku yang ada di hadapanku.
"Ini kamu yang kerjain?"
Kevin mengangguk pelan, kemudian memijit pijit pelan kepalanya
"Pusing ya?"
"Nggak kok! Gampang! Tuh! Aku juga bisa ngerjain soal soal kayak gitu! Jadi..."
Kevin membuang muka dan mengarahkan kepalanya ke depan kelas.
"Jadi?"
Aku mengernyit.
Ngomong kok setengah setengah sihh.
"Jadi kamu jangan rengek rengek ke orang biar dibantuin. Aku bisa ngerjain kok..."
Mukanya tampak sedikit bersemu merah saat dia mengucapkan kalimat barusan. Kevin kemudian segera berpura pura sibuk mengecek ulang soal yang ada di papan tulis dengan bukunya
Ahahaha, ternyata dia sebenarnya cemburu ya tadi!
Aku tertawa pelan, kemudian menepuk bahunya lembut
"Iyaahh, nanti kalau ada apa apa aku tanya Kevin aja..."
Kevin tampak terkejut, buku yang dipegangnya terlepas, dan wajahnya bersemu merah.
"I...Iyah, gitu dong!"
Kevin segera memutar pandangannya ke seluruh kelas untuk menghindari tatapanku.
Ahahaha! Kevin lucu!
"Oia, Ken..."
"Hmm?"
"Nanti pulang aku antar ya?"
"I..Iyah..."
Hyaa!
>,<
Aku mau pulang bareng Kevin!
Deg deg deg deg
Ahh, lagi lagi! Dadaku berdegup kencang!
Kayaknya aku benar benar tergila gila sama dia!
***
"Alvin, kami mau pulang sekarang, kamu ga pulang?"
Lonceng sudah berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu, kami sudah selesai mengemasi semua buku buku kami, tapi Alvin tampaknya masih terus termenung menatap ke arah jendela. Buku bukunya masih dibiarkan terserak tanpa arah, dan dia tampaknya belum berniat membereskannya.
". . . . . . . ."
Alvin tampaknya ga merespon sama sekali perkataan kami.
"Alviin, aku ama Kevin mau pulang, kamu mau ikut pulang bareng gak?"
Aku berbicara sedikit berteriak untuk menekankan kata kataku, walaupun aku yakin suara biasa juga cukup untuk membuatnya mendengar, karena aku yakin headsetnya hanya membisu di telinganya.
"Tidak, pulang aja duluan."
Kevin hanya mengangkat bahunya kemudian menghela nafas pelan.
"Yasudah, kami pulang duluan..."
"Iya, hati hati dijalan yahh..."
Alvin berbicara kepada kami dengan sebuah senyum manis terulas di bibirnya, membuatku dan Kevin ternganga kemudian berpandangan satu sama lain.
Anak ini...
Dia bahkan lebih cute dari Kak Yujii kalo lagi tersenyum, tapi justru karena dia tersenyum itulah kami jadi terkejut! Apalagi dia barusan berbicara dengan lembut ke arah kami.
Benar benar bukan Alvin!
"Alvin, umm..."
Aku baru akan berbicara saat Kevin menepuk lembut bahuku, kemudian mengangguk pelan kepadaku.
"Kenny, ayo..."
Aku mengangguk memahami maksudnya kemudian segera berjalan beriringan dengan Kevin keluar dari ruang kelas menuju mobil Kevin.
Blam!
Aku menutup pintu mobil Kevin, kemudian memasangkan sabuk pengaman di tubuhku, sementara Kevin menyalakan mobilnya dan mempersiapkan dirinya untuk mengemudi.
"Kevin, Alvin kayaknya hari ini agak murung ya...?"
Kevin sejenak mengelus keningnya, kemudian memijit pelan bagian tengah matanya.
"Yeah, sudah beberapa hari ini kok. Kamu ga sadar?"
Aku mengangguk pelan. Beberapa hari ini Alvin memang agak bertingkah aneh, tapi begitulah Alvin, dia tidak pernah mengeluarkan emosinya sama sekali. Kami bahkan tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan atau bagaimana perasaannya sekarang.
"Yeah, tapi kita ga bisa ngapa ngapain, dia selalu menyembunyikan perasaannya."
Kevin meremas stir mobil dengan gemas, tampaknya dia juga kuatir dengan keadaan Alvin tapi tampaknya tidak bisa melakukan apa apa.
"Ya sudahlah! Kamu mau makan dulu gak Ken?"
Ting!
Kevin baru saja tersenyum ke arahku saat sebuah pesan masuk ke ponselnya.
"Sebentar aku lihat, ini dari Alvin..!"
Kevin membaca pesannya sejenak, kemudian dia meletakkan ponselnya dan tersenyum ke arahku
"Maaf, kita kayaknya gajadi makan deh Ken..."
"Ha? Kenapa?"
"Aronia, mereka sudah berada di perbatasan kita saat ini. Alvin sudah Online dan berbicara dengan utusan mereka."
Aku terbelalak mendengar perkataannya.
"Astaga, mereka benar benar menyerang? Serius? Padahal mereka tahu kalau mereka pasti kalah kalau melawan kita! Apalagi dalam posisi kita bertahan! Siapa yang bisa menandingi Alvin saat dia harus bertahan di Valerie!"
Kevin mengangguk pelan, senyum kecut terukir di wajahnya.
"Justru karena itulah, aku ada firasat buruk soal ini..."
Keheningan mengisi perjalanan kami sampai ke rumahku. Aku juga memilih untuk tidak melanjutkan diriku untuk berbicara. Posisi Kevin sebagai Head Strategist tentu memaksanya untuk memikirkan berbagai kemungkinan yang ada dan semua langkah antisipasinya. Mungkin saja ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini.
"Sampai..."
Ah? Cepat banget! Padahal aku masih mau bareng sama dia!
"Kok cepat yaa, aku masih mau bareng rasanya..."
Kevin hanya tersenyum pelan mendengar candaanku, kemudian dia menggerakan badannya maju ke arahku.
Aku hanya diam, menunggunya bergerak dan memelukku perlahan.
Kevin memelukku lembut, kemudian mengecup keningku.
"Sampai ketemu di game!"
Dia kembali menegakkan tubuhnya di kursinya, kemudian memijit keningnya.
"Aku sedikit takut dengan campaign kali ini, aku ada firasat buruk..."
Aku mencoba untuk tetap tersenyum di hadapannya, kemudian membelai pelan pipinya. Dia menutup matanya dan menikmati belaian tanganku.
"Aku percaya Alvin pasti menang"
Ujarku
Kevin tersenyum manis, kemudian segera mengangguk.
Aku memasang senyuman termanisku, kemudian membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah.
"Dadaahhh!!"
Aku melambaikan tanganku sesaat sebelum aku memasuki pintu rumah, dan begitu aku mencapai pintu masuk, Kevin baru menjalankan mobilnya pergi dari depan rumahku.
Yahh!
Saatnya bertugas!
>,<
=======================================
Caesar's View
Waa... waaa... waaaa.....
Sekelilingku terasa begitu bising, wajar saja, karena saat ini Valerie sedang berada di dalam status siaga, jadi hampir setiap orang pasti sudah bersiap untuk berperang.
Aku berjalan keluar menuju pelataran Kastil, beberapa tentara tampak sedang asyik mengasah pedang mereka.
"Chief Strategist Caesar! Kita akan berperang dengan Aronia, benarkah?"
Seorang dari ksatria berbaju zirah putih dengan ukiran kecokelatan bertanya ke arahku sambil mengasah pedang besarnya.
"Yeah, kita akan berperang. Perang besar! Persiapkan semua kebutuhan kalian. Aku ragu kita akan bisa menyentuh kota besar untuk mendapatkan suplai sampai perang ini selesai."
Para prajurit itu mengangguk setuju, dan mereka tersenyum sambil menepuk nepuk sebuah gerobak yang ditutup dengan selembar kain tebal.
"Kami sudah mempersiapkan keperluan senjata dan amunisi! Jangan kuatir! Dan kami juga sudah menyiapkan jalur suplai! Beberapa tentara akan bertugas pulang pergi memberikan suplai untuk perang kita, jadi jangan kuatir soal Provision!"
Aku mengangguk puas, kemudian segera berjalan kembali untuk memeriksa persiapan seluruh keperluan.
"Axel, semuanya sudah siap?"
Axel mengangguk pelan, kemudian dia segera menaikkan anak panah terakhir ke atas gerobak, dan memerintahkan seseorang untuk segera melapisinya dengan kain.
"Kapanpun diperlukan, kita siap berperang, masih kuatir?"
Aku mengacak acak rambutnya dengan gemas
"Berani ya kamu ngomong gitu sekarang~?"
Aku memasang tampang sebal ke arahnya, kemudian disambut oleh tawa lepas darinya
"Heii! Axel! Caesar!"
Kami menoleh bersamaan ke arah suara yang memanggil kami.
"Lord Pixel?"
Pria muda dengan pakaian merah dan ikat kepala putih berjalan dengan santai ke arah kami.
"Aku sudah tiba disini. pasukanku sudah menyusul. Aku yakin kurang dari satu jam lagi mereka akan tiba. Ketiga bishop lain akan sampai kemari esok atau esok lusa sepertinya. Dimana Arsais?"
Axel mengangkat bahunya pelan, aku berdehem, kemudian berbicara kepadanya.
"Lord Arsais sedang bicara dengan utusan Aronia bernama Seagent di ruang atas. Mereka tampaknya sedang merundingkan sesuatu..."
Bishop Pixel menghela nafasnya, kemudian tersenyum
"Yahh, semoga tidak perlu ada perang. Akhir akhir ini kita sudah kehilangan banyak nyawa berharga yang tidak perlu hilang."
Aku dan Axel mengangguk setuju.
Yah, memang sebaiknya tidak perlu ada perang disini.
Kupandangi seluruh keadaan kastil yang sebelumnya terlihat sangat damai.
Tempat yang tadinya sebuah taman yang banyak dipakai untuk bersantai orang orang yang lewat saat ini sudah berdiri berbagai tenda dan bengkel yang memperbaiki berbagai peralatan. Begitu juga dengan pekarangan marmer Kastil yang biasanya ramai menjadi tempat nongkrong para pemain dan menjadi ajang jualbeli barang, saat ini ramai diisi dengan berbagai orang berpakaian besi dan berwajah muram. Wajah semua orang terlihat sangat tegang, tampaknya perang besar yang sudah di depan mata lumayan menguras kebahagiaan di tempat ini.
"Mereka keluar..."
Pixel melongokkan tubuh tingginya melewati atas kepala kami, menatap ke belakang kami.
benar saja.
Lord Arsais dan seorang lelaki paruh baya berpostur gempal dengan rambut ikal cokelat. Lelaki itu berpakaian katun dengan armor minim, kupikir Jobnya adalah seorang Merchant, berjalan keluar dari dalam Kastil, Lelaki itu tampak tersenyum puas, kemudian menaiki kudanya dan bertolak pergi dari kastil kami.
"Bagaimana hasilnya?"
Alvin menggeleng pelan.
"Tidak bagus, mereka berkeras menginginkan perang. Aku sudah mencoba menawarkan perjanjian damai, tapi tampaknya mereka memang mengincar perang..."
Aku menahan nafasku.
Jadi memang harus berperang sekarang?
Alvin hanya menghela nafasnya.
"Kita bergerak ke North Wall sekarang juga. Aku yakin Advancing army mereka sudah berada di perbatasan kita."
Alvin melepas topi lebar dan jubah birunya, kemudian memberikan kode pada salah satu NPC untuk mendatanginya.
"Ambilkan pakaian perangku, aku tidak akan berperang dengan baju konselebran seperti ini..."
Sejenak kemudian Alvin sudah berdiri di hadapan kami dengan pakaian kain berwarna biru dan celana panjang putih, dilengkapi dengan sepuluh pisau kecil di sekelilingnya.
Aku menelan ludahku.
Alvin benar benar serius. Dia tidak pernah menggunakan pakaian ini kecuali kalau dia benar benar serius ingin bertarung.
"Mereka sudah merendahkan Valerie..."
Alvin mengenakan sarungtangan cokelatnya, kemudian menengadahkan tangannya ke langit, sebuah lambang berbentuk True Earth Rune bersinar di langit.
"Let's Blood their nose..."
Alvin menjilat bibirnya, kemudian segera memberikan aba aba pada pasukannya untuk berkumpul.
"Aku juga bersiap..."
Bishop Pixel menyeringai lebar, kemudian segera menghampiri pasukannya yang baru saja berjalan masuk kedalam pekarangan Kastil kami. Dia berteriak lantang dan memberikan kode untuk membariskan pasukannya di depan gerbang kastil.
Saat ini keadaan benar benar riuh. Pasukan besar dari dua distrik berkumpul di tempat ini.
Aku yakin, bahkan dua lapis pasukan ini pun akan cukup untuk meluluh lantahkan Advancing Army mereka dengan mudah.
Tapi kenapa firasatku bergitu buruk?
Apa yang sebenarnya aku takutkan?
Aku menatap ke arah Arsais, dia tampak sedang memberikan aba aba pada pasukannya dan berbicara dengan lantang memberikan perintah kepada para Captain.
Semoga ini hanya firasat buruk...
The Simphony of War
Iijima Mari
Gradii scutaque septem dies pugnabant
Omnia mala terra excitabat
Fought with a sword and shield for those seven days
The world seems to produce nothing but sorrow
Glaudius victoriae fulgor est
Strepitus amorum clamor est
Impetum morari ruina est
It glitters on the tip of the iron
It echoes the sound of the sword
The only thing that remains is devistation
Numquam illa flamma extinguitur
Flamma motusque animi
Interdum fortiter homines excitant.
The flame of the game never extinguishes
The flame of the earth is there
To make people stronger over time
@yuzz @Just_PJ @adhiyasa @princeofblacksoshi @littlebro @danielsastrawidjaya @ularuskasurius @rulli arto @congcong @Dhika_smg @seventama
UPDATED
#selamatkankenny B-)
Old Book #2
The Loyality?
Arsais - Caesar
"Benarkah? Sepasukan tentara gabungan tanpa markas berhasil mengkudeta Aronia dan mendirikan Harmonia baru?"
Aku menghela nafas dengan jengah.
Semua obrolan orang tua ini benar benar membuatku lelah.
aku benar benar tidak tertarik dengan obrolan mereka.
Satu satunya alasan mengapa aku sekarang duduk di tempat ini adalah karena aku adalah salah satu dari komandan perang negara ini.
Saat ini aku sedang duduk di kursi penonton, menyaksikan rapat pertemuan dari para petinggi negara bagian, sebuah event dimana semua orang yang memiliki rank sebagai Komandan dari divisi manapun wajib mengikuti, atau paling tidak menyaksikan jalannya rapat.
Apa yang disaksikan di hadapanku ini benar benar membuatku jengah, yang aku lihat hanyalah keegoisan keegoisan yang terus terceplos keluar dari mulut orang orang ini, mereka yang memiliki pangkat sebagai orang yang seharusnya melindungi, malah membicarakan tentang hal hal yang menguntungkan mereka sendiri. Sungguh menjijikan!
Aku membuang nafas dengan jengah.
Jujur saja, aku lebih suka berada di luar, berlatih bertarung, atau mungkin berkumpul bersama sahabat sahabatku, dan membicarakan hal yang mungkin lebih terhormat dari apa yang dibicarakan oleh mereka.
Kupikir segerombolan prajurit rendahan mungkin akan berbicara tentang kebaikan negara mereka jauh lebih baik daripada sekumpulan tikus yang duduk di depan meja ini.
Aku hanya tertarik pada perang!
Ketertarikanku pada seni bertarung dan strategi perang jauh lebih menarik daripada apapun.
Hal itulah yang membuatku begitu tertarik dan setuju untuk mengabdikan diriku pada manusia manusia rendah yang menutupi diri mereka dibalik pakaian mahal ini.
Aku menutup mataku, perasaan jengahku jauh melebihi apapun sekarang.
"Menarik sekali kekuatan perang mereka sampai mereka bisa mengalahkan pasukan yang jumlahnya empat kali lebih besar daripada mereka!"
Aku mulai merasa tertarik saat mereka berbicara tentang perang. Aku sedikit menyamankan posisi dudukku, sembari menajamkan telingaku ke arah pembicaraan mereka.
"Yeah, mereka bahkan berhasil menghancurkannya sampai tanpa sisa."
Sebuah pasukan kecil tanpa base camp berhasil menghancurkan sebuah negara? Mereka bahkan tidak memiliki pasukan Kavaleri? Menarik!
"Tapi tetap, mereka adalah sebuah negara muda, benar kan?"
Lord Gustav berbicara sambil tersenyum, disambut dengan anggukan oleh para walikota negara bagian lainnya.
"Yeah, jelas sekali mereka adalah negara baru yang belum stabil sama sekali, dan pasti lemah dalam segala ospek."
Lady Kikka mengelus dagunya sambil menyeringai lebar.
Apa yang sedang dipikirkan oleh orang orang ini? Mereka benar benar menjijikan!
"Yeah, aku dengar, kepala negara yang sekarang menjabat bukanlah Commander mereka saat mereka menyerang. Kabarnya Commander mereka tewas saat perang terakhir di Valerie."
Sergah Lord Aldy lagi, dan disambut dengan anggukan dan bisik bisik dari seluruh walikota yang hadir.
Rasanya aku mau muntah.
Aku merasakan ada firasat tidak nyaman tentang gelagat mereka.
"Cepat atau lambat Harmonia baru akan menjadi berbahaya, dengan kekuatan perang sebesar itu, dan ahli strategi yang cerdas, aku yakin mereka akan menjadi negara yang berbahaya, jadi, kupikir sebaiknya kita memotong ranting sebelum dia menjadi dahan yang merepotkan."
Lady Anita tersenyum. Senyumnya terasa begitu memuakkan bagiku, walau bagi mereka yang sedang duduk melingkar di depan kami, senyum itu terasa begitu hebat.
"Yeah, lagipula, tanah sebesar itu kupikir tidak layak untuk negara muda, benar kan?"
Lord Gustav kembali angkat bicara, dan melirik dengan tatapan serakah ke arah Lady Anita.
"Aku setuju, sebaiknya kita mengajari mereka tentang apa itu kekuatan, sebelum mereka benar benar bisa memimpin negaranya sendiri.."
Lady Anita menopangkan dagunya dengan sikap malas diatas sebelah tangannya, kemudian melanjutkan bicaranya.
"Yeah, tapi hanya kalau mereka masih punya sesuatu untuk dipimpin setelah kita datang!"
Lady Anita tertawa dengan kejam, yang segera diikuti oleh para petinggi petinggi lainnya, beberapa penjilat dari golongan kami tampak juga tertawa bersama mereka.
"Mereka menjijikan..."
Seorang penyihir muda berbisik ke arahku. ohhh, tampaknya ada orang lain selain aku yang memiliki pikiran yang masih sehat ya?
"Yeah..."
Aku mengangguk setuju, kemudian dia menjulurkan tangannya ke arahku.
"Linguine! Saya Chief dari 12thMagic Division! Anda Lord Caesar kan? Major General Caesar, Kepala dari 3rd Royal Army? Saya siap melayani anda!"
Aku mengernyitkan dahiku menatapnya.
"Divisimu tergabung dalam Satuanku?"
Pria itu mengangguk mantap, kemudian mengembangkan senyumnya ke arahku.
"Baiklah, kalau begitu, akan kuliat kemampuanmu di medan perang nanti."
Senyum Linguine merekah saat mendengar perkataanku, dia tersenyum bangga, kemudian kembali memfokuskan dirinya ke rapat. Karena kami tahu, apa yang akan dibahas berikutnya.
Rencana Penyerangan.
Dasar tua tua serakah!
"Kita akan menyerang mereka sekarang. Menurut mata mata kita, Pasukan mereka yang bisa bergerak hanya sebesar 45 ribu orang, mungkin kurang. Tapi yang mungkin menjadi masalah adalah ahli strategi mereka."
Lady Kika mengangguk angguk sambil mengernyitkan dahinya, kemudian meletakkan kedua tangannya di meja.
"Divisi perang kita bisa mensuplai sampai dengan 125 ribu orang tentara terlatih untuk menyerang mereka. Kupikir itu pasti lebih dari cukup untuk mengatasi ahli taktik sehebat apapun, ya kan?"
Kedelapan Walikota lainnya mengangguk angguk setuju, kemudian segera menatap ke arah kami.
"Lord Varkas, bisa anda memberitahu kami status pasukan kita saat ini?"
Seorang pria berbaju besi yang duduk di paling depan segera berdiri dengan sikap sempurna.
"Siap, memperhitungkan pasukan untuk pertahanan perbatasan dan kendali internal, saya bisa menjanjikan pasukan sebesar 125 ribu orang, tepat seperti yang Lady Kikka katakan..."
Kesembilan tetua itu mengangguka angguk paham, kemudian kembali menatap ke arah kami.
"Perang ini mungkin hanya minor skrimish, dan aku ingin Lord Varkas tetap berada di Ibukota. Jadi aku memberikan kesempatan kepada kalian para Jendral, siapa yang merasa sanggup memimpin penyerangan ini?"
Orang orang disekitarku tampak segera berbisik bisik dengan ramai, entah apa yang mereka perbincangkan. Aku hanya tertarik pada satu hal.
Mencoba Kekuatanku!
Sedaritadi, jujur saja semua profil yang kudengar tentang Harmonia ini benar benar membuatku tertarik.
Siapa sebenarnya orang dibalik layar yang mampu membuat sekerumunan tentara bisa menjadi begitu buas hingga capable menghancurkan sebuah negara?
Menarik.
Aku ingin mencoba kekuatannya secara langsung.
"Kami peringatkan, ini mungkin akan jadi perang yang tak terduga! Kalian sudah mendengar sendiri tentang kekuatan mereka."
Persetan dengan itu!
"AKU BERSEDIA!"
Seluruh mata menatap dengan heran ke arahku, aku berdiri, kemudian mengangkat tanganku.
"Aku bilang, aku menyanggupinya!"
Para tetua tetua itu tampak mengangguk sambil memandangiku dengan wajah penuh selidik.
"Perkenalkan dirimu, anak muda"
Aku membungkuk. Sungguh menjijikan jika aku tahu aku harus membungkuk dan memberikan penghormatan pada makhluk makhluk ini. Mereka yang diagung agungkan oleh rakyat mereka tidak lebih dari seorang pecundang!
"Saya, Major General Caesar, Leader dari 3rd Royal Army, Job Knight!"
Para tetua itu mengangguk angguk dengan puas, kemudian melongokkan kepalanya ke arahku.
"Apa kau yakin kamu bisa memimpin pasukan dengan sukses sampai menghabisi Harmonia Baru?"
Aku mengangguk mantap, kemudian memberikan tatapan yakin ke arah mereka.
"Tentu saja, aku yakin! Aku yakin dengan kekuatanku!"
Para tetua sejenak memandangku dari balik mata angkuh mereka.
"Siapa pemuda yang begitu berani dihadapan kita sekarang ini?"
Lord Varkas tersenyum dan berdiri untukku.
"Dia adalah salah satu Commander terkuat yang dimiliki Jowston. Kekuatannya dan kemampuannya bertarung sudah tidak bisa diragukan lagi."
Para tetua itu kemudian menganggu.
"Baiklah, kalau begitu, aku akan memberimu kesempatan."
Para tetua itu kemudian beranjak berdiri, dan segera meninggalkan ruangan rapat.
Lord Varkas yang sedaritadi berdiri, akhirnya membalik tubuhnya dan berjalan ke arah pintu yang berada di belakangku.
"Hati hatilah nak, keangkuhanmu akan kekuatan mungkin akan menghancurkanmu. Sama seperti keangkuhan para Walikota."
Sepotong kalimat terakhir itulah yang diucapkannya, sebelum dia berjalan melewatiku.
Apa maksudnya? Dia mengataiku dengan angkuh?
Aku tidak angkuh! Aku yakin, di dunia ini, Kekuatan adalah apa yang menjadi penentu dalam kemenangan!
***
"Lord Caesar, kita sudah menjebol gerbang pertahanan mereka! Entah kenapa pertahanan di gerbang ini sangat sangat minim."
Aku mengangguk menanggapi perkataan seorang Captain dari pasukan yang melapor ke tendaku.
"Bagus, tidak ada yang salah, memang karena kekuatan kita jauh berada diatas mereka, karena itulah pertahanan mereka menjadi sangat lemah dari penglihatan kita."
Captain itu tampak menatap ragu ke arahku, kemudian segera mengangguk.
Aku menatap ke sebuah sosok yang berlutut dengan kedua tangan dan kaki terikat di hadapanku.
"Ini Chief dari Gate Guardian mereka?"
Aku dengan kasar menarik sumpal yang menutupi mulutnya, darah darah tampak mengering di keningnya, dan rambutnya tampak basah oleh keringat. Tampaknya dia benar benar disiksa sebelum akhirnya ditangkap.
AKu menyeringai ke arah Sesosok tubuh yang gemetar di hadapanku.
"Kamu tahu? Esok, tidak akan ada yang tersisa dari negara kebanggaanmu. Apa yang kau cari di negara kecil ini? Yang bisa kalian harap hanya keraguan dan keterpurukan...!"
Pria itu menarik nafasnya berkali kali, kemudian menatap dengan lembut ke arahku, membuatku terkejut dengan tatapannya.
"Harmonia tidak pernah mengibarkan perang pada Jowston, Kenapa kalian menyerang kami? Lagipula, kami memiliki keyakinan disini, kami semua dikumpulkan oleh Lord Alvin dengan cita cita yang sama, yaitu membuat negara yang penuh keadilan dan berdiri dalam kesetiaan!"
Aku tertawa terbahak bahak menatap ke arahnya.
"Keadilan? Kesetiaan? Aku beritahu kau, aku sudah pernah melihat, wajah asli dari orang yang kalian sebut sebagai pemimpin itu! Kau tahu apa yang ada di dalam kepala mereka? KESERAKAHAN!"
Pria itu terbatuk lemah, aku yakin dia sudah benar benar lemah sekarang, tapi dia terus menatapku dengan tatapan yakin dan lembut.
"Aku yakin pada Lord Alvin! Dia berbeda dari yang lainnya! Lihatlah, dia berhasil mengumpulkan kami semua dan berjuang sampai seperti ini. Itu tidak hanya karena bibir manis darinya!"
"Diam!"
"Kau tidak tahu bagaimana Lord Alvin! Aku yakin kau akan berpendapat lain bila melihat AGH!"
Aku menebaskan pedangku ke hadapannya, dan dia ambruk seketika.
"Bawa dia keluar dan bunuh dia! Dia sudah merusak moodku..."
Para penjaga kemudian menyeret tubuh lemah itu keluar dari tendaku.
Alvin? Diakah orangnya? Orang yang membuat mereka jadi sekuat ini? Aku ingin melihatnya!
"Perintah anda berikutnya Lord Caesar?"
Aku kembali tersadar dari lamunanku, kemudian segera membetulkan ekspresi mukaku.
"Kita akan bergerak maju esok siang. Mereka juga pasti perlu waktu untuk mencapai kita, benar kan?"
Pemuda itu semakin menampakkan raut keraguan di wajahnya.
"Kenapa kita tidak menyerang malam ini? Untuk membuat kontak fisik seminimal mungkin, jadi kita tidak kehilangan banyak pasukan."
Aku menggeleng.
"Justru itu yang aku mau. Aku sangat tertarik dengan kekuatan mereka, jadi, izinkan aku untuk mencoba kekuatan mereka kali ini..."
Pemuda itu menatapku dengan mata melebar, tapi akhirnya dia segera mengangguk, dan keluar dari tendaku.
"Lord Caesar, bukankah terlalu riskan untuk mengadakan kontak senjata padahal kita belum mengetahui bagaimana sebenarnya keadaan musuh?"
Aku mendengus kesal.
"Linguine! Kau kutunjuk menjadi wakil Commander bukan untuk menasihatiku! Aku tahu yang aku lakukan. Lagipula apa kau takut kalau kekuatan mereka akan lebih hebat dari kita? Itu tidak mungkin!"
Linguine yang sedaritadi hanya berdiri di sampingku hanya menghela nafasnya, kemudian mengangguk ke arahku.
"Apapun yang terjadi, pokoknya aku akan selalu disamping anda, Lord Caesar..."
Aku mengangguk pelan, kemudian segera berdiri dari kursiku.
"Baiklah, sampai bertemu besok!"
***
South Valerie, 13:55
Aku menatap pada aliran deras air sungai yang sekarang menghalangi jalan kami.
"Tanggulnya tampaknya jebol..."
Aku menendang sebongkah batu ke arah air, dan batu itu segera menggelinging terbawa arus sungai.
"Bagaimana mungkin tanggulnya jebol pada saat saat seperti ini! Terpaksa kita harus menyusuri sungai!"
Tampaknya tanggul di muara sungai kecil yang seharusnya kami seberangi hari ini jebol tadi malam, dan membuat aliran deras air yang tidak mungkin bisa kami tembus.
Akhirnya aku terpaksa mengarahkan pasukanku menyusuri sungai, mengambil rute memutar yang cukup jauh untuk mencapai pusat kota Valerie.
"Aneh, kita sudah menghancurkan Benteng perbatasan mereka, tapi seorangpun tak kita temui selama perjalanan ini!"
Linguine melayankan pandangannya ke sekeliling tanah lebar yang menjadi tempat kami berpijak sekarang.
"Mungkin karena tanggul ini jebol, mereka juga memerlukan waktu untuk menemukan kita? Entahlah."
Aku mengangkat bahuku, kemudian kembali meneruskan perjalananku.
Tak terasa sudah hampir 3 jam kami berjalan, dan tidak menemukan apapun. Kami masih terus berjalan menyusuri sungai untuk menuju Ibukota mereka. Tentaraku sudah mulai terpencar pencar, mereka tampaknya mulai kelelahan dan tidak lagi berjalan dalam barisan.
"Ada hutan..."
Desisku, menunjuk ke arah sebuah hutan yang tampak tandus dan kering. Suasana tempat ini memang sangat kering, sehingga lumayan menguras tenaga kami, karena game ini juga menciptakan sistem yang mempertimbangkan stamina saat kami bergerak.
Kami berjalan masuk ke dalam hutan. Hutan yang hening, hingga tiba tiba aku mendengar serentetan suara.
"Suara apa itu? Suara ledakan?"
Aku mencium aroma yang ada di sekitarku.
Hutan ini bukan hutan biasa! Ada yang menyiramkan minyak di hutan ini! Dan suara ledakan barusan? SIAL!
Dalam sekejab hutan yang tadinya tenang sekarang bergemuruh dalam kobaran api. Aku dan pasukanku pontang panting kembali ke bantaran sungai untuk melindungi diri kami.
"Lord Caesar! Separuh pasukan kita terjebak didalam api!"
Sial! Ini pasti rencana mereka!
"Bertahan! Yang selamat segera kembali ke tepian sungai! Kita menyusuri sungai!
Tampaknya hampir setengah dari pasukanku terjebak di dalam lautan api. Aku dan sisa pasukanku akhirnya berbaris dalam barisan sempit di tepian sungai untuk menghindari panasnya api.
"Sial! Lihat! Hutannya berhenti disana! Cepat! Kita hampir tiba!"
Akhirnya pasukanku berlarian berlomba menuju ujung hutan, Para Archer dan Magician yang tidak mengenakan Armor akhirnya mendahului kami dan berlari tunggang langgang menuju ujung hutan.
"ITU MEREKA! KEPUNG!"
Apa lagi yang terjadi!
Aku ternganga saat menatap ke hadapanku, mendadak sepasukan besar tentara bersenjata lengkap sudah berada di hadapan kami, membentuk mangkuk di ujung hutan, sehingga membuat kami terkepung diantara aliran deras sungai, panasnya gumpalan api di hadapan kami, dan sepasukan prajurit yang sudah siap tempur di hadapan kami. Para Archer dan Magician kami dibantai tanpa ampun, sedangkan para Knight yang berjalan lebih lambat akhirnya hanya bisa mentap tanpa bisa melakukan apapun.
Sesosok pria muda berpakaian biru dan tampak sebaya denganku tampak melesat dengan cepat, menyabet dan menebaskan kedua pisau di tangannya ke pasukan yang ada di hadapanku. Aku sejenak terpesona pada kekuatannya, tapi kemudian segera menyadari keadaan yang terjadi.
"Gawat! MUNDUR! SEMUA ORANG MUNDUR! KITA DIKEPUNG!"
Aku baru akan memberikan aba aba, saat tiba tiba ratusan panah menghujani kami dari belakang kami.
Sialan, mereka mengepung dari belakang?
Jleb!
Sial!
Sebuah panah tampak menancap dengan sukses di kakiku, membuatku roboh seketika.
"Lord Caesar! Anda tidak apa apa?"
Jleb!
Linguine seketika roboh, sebuah panah tampak menancap dalam di bahunya. Dia tidak mati, hanya tampak shock dan akhirnya kehilangan keseimbangannya.
"L...Lord Caesar, kita..."
Aku mengangguk pelan.
"Yeah, Kita kalah, Linguine. Maaf..."
Aku berusaha berdiri, kemudian segera memberikan aba aba untuk mengumpulkan pasukanku.
"Kau begitu angkuh, Jowston..."
Aku menoleh ke belakangku, pemuda berbaju biru yang tadi sejenak membuatku terkesima berdiri di hadapanku.
"Kau!"
Aku segera berdiri dan menghunus pedangku.
"BIND!"
Seorang penyihir menghunjukkan tongkatnya, membuat kedua tanganku terikat dalam sekejab, dan aku roboh ke tanah.
"Namaku Arsais, Bishop Arsais. Komandan dari 1st Harmonian Shrine Guard."
Pemuda itu berdiri sambil menatapku.
"Apa yang kau inginkan?"
Arsais menghela nafasnya, masih dengan pandangan dinginnya, dia menatapku dengan penuh selidik.
"Apa yang kau lakukan pada sahabatku?"
Aku mengerutkan keningku.
"Sahabatmu? Siapa?"
Dia menyarungkan kedua pisaunya. Seluruh pasukanku tampaknya sudah dilumpuhkan, dan hanya bisa menatapku dengan pandangan nanar.
"Chief Gate Guardian..."
Dia berkata dengan dingin, kemudian mencabut kedua sarung tangannya.
"Oh, Bawahanmu, aku membunuhnya, karena dia terus berbicara tentang keadilan dan kesetiaan. Semua kepalsuan yang hanya ada dalam dongeng! Apa yang kau mau? Membalas dendam? Silahkan! Kau sudah menang. Tapi tolong, kasihanilah anakbuahku. . ."
"Lord Caesar! Tolong jangan bicara seperti itu! Lord Arsais, bunuh saja aku! Tapi tolong jangan Lord Caesar."
Aku menatap ke arah belakangku, Linguine?
Dia tampak kesusahan untuk menegakkan badannya, tapi dia memaksakan tubuhnya yang terluka untuk berlutut dan memohon.
Arsais menggeleng pelan, kemudian menatap kembali ke arahku.
"Tidak ada seorangpun dari orang orang disini adalah bawahanku, mereka semua sahabatku. Dan tentang kepalsuan yang kau bicarakan. Aku tidak akan memaksamu untuk percaya, sama seperti semua orang yang berkumpul disini karena percaya kepadaku. Aku tidak akan membunuhmu, begitu juga dengan anak buahmu. Semua anakbuahmu yang terkepung api sudah kami selamatkan."
Dia kemudian duduk dihadapanku.
"Tidak ada janji yang aku berikan pada mereka, karena aku juga mengejar janji yang sama. Kami bersatu untuk mengejar janji itu. Apa kau tertarik?"
Arsais melirik ke arahku, kemudian menghela nafasnya pelan.
"Kekuatan? Itu yang kau cari? Bukankah kau sudah mendapat jawaban? Bahwa kekuatan tidak akan bisa berkutik jika berhadapan dengan Otak?"
"Jadi maksudmu, kekuatanku kalah dari kepintaranmu?"
Alvin menggeleng pelan.
"Tidak hanya itu, aku juga percaya pada pasukanku, berkebalikan denganmu yang menganggap mereka sebagai alat."
Alvin menatapku dengan tatapan yang dingin dan tajam.
"Aku tertarik denganmu, apa kau bersedia bergabung denganku? Aku yakin kamu banyak mendapat kekecewaan hingga menganggap semua impian sebagai kepalsuan. Tertarik untuk mencarinya bersama kami?"
Alvin menyabetkan pisaunya dan melepas ikatan di pergelangan tanganku.
"Lord Alvin! Itu berbahaya!"
Arsais mendecak pelan, kemudian menatap ke arahnya.
"Lord Alvin sudah mati, Stevan, dan sekarang yang berdiri di hadapanmu adalah Arsais, jadi biasakan dirimu dengan panggilan itu! Dan dia tidak berbahaya, aku yakin dan percaya dengannya..."
Aku sejenak terkesima memandang sosok yang ada di hadapanku.
Aku tidak dapat menyembunyikan kekagumanku padanya.
Wajahnya mungkin begitu ketus dan dingin, begitu juga dengan perkataannya, tapi entah kenapa baru kali ini aku merasa bergitu dipercaya dan begitu yakin padanya.
Tanganku tanpa aku sadari meraih uluran tangannya.
"Kau Lord Alvin?"
Arsais menggeleng pelan.
"Aku yang sekarang adalah Arsais, Lord Alvin gugur dalam pertempurannya di Valerie saat perang terakhir perebutan Aronia."
"Dan orang itu adalah kau sebelum menjadi Arsais?"
Arsais menatap tajam ke arahku, kemudian menganggukkan kepalanya.
"Tapi, aku adalah ksatria dari Jowston, dan berpindah tuan adalah hal yang tabu. Hmm, Linguine..?"
Aku menatap ke arah Linguine yang tersenyum ke arahku.
"Apa Lord Caesar pernah menganggap mereka sebagai Tuan?"
Aku tersenyum
"Tidak..."
Aku kemudian berdiri, dan berlutut di hadapan Arsais.
"Aku, Caesar, menyatakan sumpah setiaku sebagai seorang Knight kepada Anda..."
Arsais menepuk pelan pundakku
Aku kemudian kembali berdiri, dan menatap ke arah Linguine.
"Linguine, kau dan pasukan lain boleh kembali ke Jowston, aku yang akan menanggung kekalahan ini..."
Linguine hanya terdiam menatap ke arahku.
"Lord Caesar, sudah kubilang aku akan mengikuti anda kemanapun anda pergi. Lord Arsais, boleh aku bergabung dengan Harmonia? Dan tampaknya pasukanku juga berpikir hal yang sama..."
Linguine maju dan membungkukkan tubuhnya ke hadapan Lord Arsais.
"Tidak ada yang melarang, selamat bergabung!"
Aku tersenyum, sorakan dan sorai tampak membahana di angkasa, menyambut kami yang barusaja bergabung dengan Harmonia.
============end of flashback================
"Kevin.."
"KEVIIINNN!!!"
"Ah!"
Aku tersadar dari lamunanku, Axel mendengus sebal sambil menatapku.
"Kamu ah! Katanya mau ajak aku piknik bareng! Tapi malah melamun sendiri gimana sih!"
Axel kembali mendengus sebal, kemudian mengeluarkan beberapa makanan dan minuman yang tadi sempat kami beli di bar dari dalam tasnya.
"Nih, Sandwichmu! melamun apa sih?"
Aku tersenyum singkat.
"Tidak, hanya kenangan lama.."
Axel kembali mendengus kesal, dan segera merebahkan dirinya di atas rumput.
"Aku ga dikasih tahu!"
Aku mengacak acak rambutnya, kemudian segera merebahkan tubuhku dalam posisi miring di sampingnya.
"Memangnya kamu tahu kalo aku sayang kamu aja kurang ya..?"
Aku membelai keningnya, kemudian segera mengecupnya pelan.
"APAAN SIIH! KAMU AH! GOMBAAAALLL!"
Axel menarik sebuah tongkat dari punggungnya dan berdiri.
Aku yang lebih sigap segera berdiri dan mengambil langkah seribu.
"Heii! Tungguu..!!!"
"Yaudah ayo kejar kalo bisa!"
Axel kembali mendengus sebal, dan berlari mengejarku.
Yahh, mungkin inilah apa yang dulu kami percaya untuk dikejar, dan sekarang sudah mulai terlihat hasilnya.
Aku terus berlari sambil mendongakkan kepalaku ke atas.
Yeah, perjuangan kami sudah mulai berbuah!