It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
bang lok dah update mention donk,,
pelit amat
soalnya aku suka lupa kalo nulis trus di safe,, nyari filenya lama
@beepe hohohoo bukannya pelit,,,
tapi beneran,, chapter yang ini ancur gila,,, gue aja kagak berani baca balik
niatnya tadi abis publish langsung delete,, tapi gak bisa
sekali lagi aku bilang, ceritaku ini no edit and langsung publish gitu,,,,
kalo diibaratkan foto,, kaya sekali jepret langsung pajang, mirip kamera polaroid,, no photoshop effect sama sekali yang membuatnya makin miris dipandang
LOVE,who?
baru 2 kali suapan nasi goreng itu masuk mulutku, mataku kembali menangkap cahaya aneh itu lagi.
tapi entah kenapa kepalaku refleks menghadap Ardy,
aku menemukan dia sedang membidikku dengan kamera kecilnya, dia memegang kameranya dengan kokoh, memutar mutar beberapa derajat lalu memencet shutter kamera itu, mataku pedih dan berkunang akibat Blitz yang mendadak menerangi ruangan
"jadi dari tadi lu foto gue?"
dia menarik kameranya ke dada, lalu tertunduk,, malu kah dia karena sudah ke Gap?
aku mendekatinya, dia tambah menunduk dan memegangi kameranya erat erat, kuletakkan piringku dilantai lalu menyentuh dahinya.
Mengangkat kepalanya kearahku, dari sini kumelihat wajah merahnya, dengan senyum kecil yang manis,
"bilang dong, gue kan bisa pose lebih keren dari pada bengong makan nasi goreng" aku mengacak rambutnya
entah kenapa semenjak aku memeluknya, tak perlu susah susah aku untuk akrab dengannya, seakan aku sudah mengenalnya lama,, mungkin karena persamaan nasib.
"lebih alami" katanya lirih,, suaranya lembut
"coba kulihat wajah bodohku ketika makan tadi, pasti lucu waktu liat diri sendiri kelaparan"
dia memperlihatkan kameranya, lalu menyodorkanku hasil jepretannya.
semua bayanganku tentang ke amatiran seorang Ardy dalam memegang kamera hilang sudah. Tak ada gambar lucu aku sedang makan.
yang ada cuma siluet monokrom seorang laki laki sedang duduk makan, hanya diekspose beberapa bagian tubuh, terkadang tangan dengan piring, kaki yang terlipat, dan senyum kecil dengan sendok dibibir.
Ardy punya tangan ajaib, tangan seorang profesional
aku tak percaya, aku dalam potongan potongan gambar sebagian tubuhku terlihat lain, berbeda,,,
"tuan sebaiknya anda bersiap siap untuk pergi ke dokter"
suara wanita tua tiba tiba terdengar, ketika aku berbalik, ada seorang wanita yang berpakaian waitress sedang berdiri, dan 2 orang dibelakangnya sedang memunguti sisa sisa sarapan pagi kami.
"kenapa tidak dokternya saja yang dipanggil kemari? Aku takut Ardy,,,,,,,"
"nyonya Bell tidak suka bau obat dalam rumah, apa lagi obat bius" kata wanita tua itu
"oohh,, tapi apakah Ardy takkan mengamuk dijalan?"
bayangkan saja, di tengah jalan tiba tiba ada seorang yang meronta dan berteriak di kendaraanmu entah mobil atau motor. Malu dan kaget tentu saja
Ardy dengan sigap berjalan menuju salah satu pintu berwarna coklat, membukanya, lalu berdiri sebentar di sana, kemudian masuk. Tak lama kemudian dia keluar dengan membawa celana jeans dan kemeja Biru kotak kotak ditangannya,, oke pintu coklat adalah lemari pakaian, akan kuingat.
hari ini gue masih berangkat kerja,, kepepet juga bikinnya hari ini
@beepe,@monic,@ajikaryadi,@obay,@awansiwon,@ zhar12,@idhe_sama,@adacerita
Kalo update lagi di tag yah, bro @wiraone
Bau obat, satu ruangan penuh mayat, dan alat operasi. Muak sudah 30 menit disini, sialan!.
Dan jika ada pilihan antara dukun atau rumah sakit, dengan senang hati aku pilih tempat dengan kemenyan dan mantra gaib itu.
Bukan karena bau obat, mayat atau alat operasi. Tapi semua kenangan pahitku ada disini, semua orang yang kusayang harus kurelakan pergi disini. Pergi selamanya.
Dan kini aku kebosanan di bangku tunggu berderet, yang ada cuman beberapa pot berisi tumbuhan kecil dan tembok putih berisi kesunyian. menunggu Ardy yang sedang di periksa di dalam sana. Sengaja aku tak mau menemaninya di dalam, karena aku dipastikan menangis mengingat kejadian dulu,,
Pintu terbuka, Ardy keluar dengan senyuman riang, diikuti oleh seorang dokter dengan name Tag Yuli Murdiono. Dokter itu ramah, selalu tersenyum ketika berbicara.
"dek Ardy tunggu disini ya, oom mau bicara sama pengasuh barumu"
kemudian dokter Yuli menyeretku kedalam ruangan itu,
Satu satunya hal yang kupikirkan adalah, jangan lihat apapun diruangan itu. Cukup pandang dokter ramah ini saja.
Aku mencoba tidak melirik benda lain selain dokter ini, kucoba untuk tak ingat apapun kecuali hal menyenangkan.
"pengasuh barunya Ardy??"
"ya" 'jangan pandang apappun' pikirku
"kerjamu hebat juga, nggak sampe sehari udah bisa naklukin Ardy yang lagi ngamuk"
"nggak juga" 'pikirkan hal bagus' pikirku lagi
terus menerus aku berusaha berpikir keras, tak ada kenangan bodoh itu lagi.
akhirnya cuman ada pembicaraan yang sedikit masuk otak, karena fokusku terbagi dua,,,
yang kuingat, Dokter Yuli itu teman ayahnya Ardy. Ayah Ardy Adalah seorang pengusaha sukses yang menyukai foto grafi, Ibu Ardy meninggal setelah melahirkan dia. Ardy menyayangi ayahnya, cuma dia yang dimilikinya. Tapi 2 Tahun yang lalu, saat dia dan ayahnya berlibur untuk hunting tempat fotografi, kejadian tak disangka sangka terjadi.
Di sebuah Gua saat gerimis kecil mengguyur, Ardy yang masih hujan hujanan dengan kamera anti air masih asik dengan Daun daun basah Hutan dengan kameranya. Sementara ayahnya, berteduh di gua kecil didekat sana, sampai tiba tiba longsor terjadi, menutup pintu gua dan mengubur ayah Ardy disana. Meninggalkan Ardy yang berteriak histeris menggali tanah longsong dengan tangan kecilnya.
sejak itulah saat gerimis atau hujan tiba, Ardy akan teringat hal itu, berteriak memanggil ayahnya. Seakan dia kembali kemasa itu.
setelah itu yang kuingat lagi cuma usahaku untuk mengingat hal bahagia yang kupaksakan.
Aku keluar dari ruangan itu dengan keringat bercucuran, tegang karena tak mau mengingat Hal hal dimasa lalu.
Setelah nafasku kuatur, kulihat sekeliling dan kaget
'dimana Ardy?'
kucari cari dia dilorong ini, berlari ke semua ruangan terbuka, bertanya pada satpam dan pekerja di rumah sakit tentang anak dengan jeans dan kemeja biru kotak kotak dengan Kamera ditangannya.
Dengan jawaban nihil aku berlari lagi, mencarinya anak depresi yang hilang. Mencari bagian diriku, mencari sesuatu yang sudah melekat kuat.
'Ardy dimana kau?'
setelah setengah jam aku berlari menyusuri rumah sakit ini, ku temukan anak dengan jeans dan kemeja biru kotak kotak, sedang jongkok di bawah pagar di depan Rumah sakit.
Aku mendekatinya, heran dengan sikap anehnya.
" Sedang apa lu disini?"
Ardy menoleh kearah ku, matanya merah, merambang, tangannya gemetar. Mencoba meraih sesuatu diluar pagar, di pinggir jalan Raya.
Aku melihat apa yang coba diraihnya.
"Astaga!!!"
aku langsung memanjat pagar besi itu secepat mungkin, turun diluar pagar, tak peduli hal gila yang kulakukan. Memanjat pagar seperti maling.
Secepat kilat ku ambil kamera merah itu sebelum sempat terinjak Mobil yang lalu lalang.
lansung aku mendekapnya kuat, kurasakan tubuhnya masih bergetar memegang kuat kamera lucu yang kata Dokter Yuli adalah pemberian terakhir ayahnya itu.
"kenapa gak bilang kalau mau pergi?"
aku berteriak pada anak gemetaran itu
"kenapa gak bilang!!!"
aku tambah erat memeluknya, merasa tak berguna disini. Merasa aku telah teledor akan kewajibanku. Merasa aku seperti orang lain ketika aku terjatuh dan hilang arah dimasa lalu.
Aku memeluknya, tak ingin kehilangan dia lagi, tak mau melihat dia jatuh lebih dalam dengan kedepresian.
Ardy cuma diam dan gemetarnya menurun bertahap. sepertinya mengerti kekhawatiranku, mengerti perasaanku.
Mendung di jendela trlihat dari sini, dari kamar Ardy. Di ruangan tempat ku dan Ardy bermain Monopoly. Aku senang dengan permainan ini, permainan sederhana yang mengundang tawa. Ardy dengan borosnya membeli tanah disana sini, dengan cerobohnya melempar dadu hingga harus mencarinya di kolong kolong, berebut uang uangan kertas, tertawa ketika berhasil memungut pajak tiap kali giliranku melempar dadu.
Hanya aku dan Ardy, lalu tawa kecil disela sela kami.
Hingga angin menggebrak jendela kaca, lalu gerimis kecil turun. suasana mulai meredup karena awan menutupi matahari.
Ardy mulanya diam, tak disentuhnya pion pion kecil yang tadi membuatnya tertawa, Mematung disana, matanya kosong.
"Dy,,, giliranmu!"
dia masih mematung disana, kudekati dia kusentuh pipinya
"kamu sakit Dy?"
Dia langsung meronta, menjerit ketakutan, memangil manggil ayahnya seperti ketika aku pertama datang.
Ku peluk dia, Kucoba tenangkan dia
"tenang Dy tenang"
tambah kencang ku memeluknya, menghentikan rontaany.
"tenang Dy"
puluhan cakaran dan tendangan mengantam tubuhku, telingaku hampir tuli mendengar teriakan yang cuma beberapa senti dari kupingku.
salah seoarang diantaranya memegang rantai dan gembok
'tidak, rantai itu lagi'
aku tambah memeluk ardy erat
"Rantai dia!!" perintah miss Bell
"tidak!!! jangan ada rantai dan tali!!"
ku dekap erat Ardy, kulindungi dia
"jangan dengarkan pengasuh itu, ikat Ardy!!"
dua pemuda berbaju bagus dengan rantai dan gembok di masing masing tangan mendekati kami.
Menjegal tangan Ardy
"sudah kubilang jangan ada rantai, bangsat!!!"
kupukul salah satu diantara mereka hinnga tersungkur dilantai
"anjing!!" kata yang lain
dia melancarkan pukulan pada ku, dengan cekatan aku menendangnya menjauh dari kami,
aku berdiri melindungi asuhanku dari rantai miss Bell,
" tak ada rantai Nyonya ibliss, apa kau tahu kalau dia tambah sakit ketika kau merantainya?? dia tambah histeris ketika kau membelenggunya!!" teriakku
"jangan halangi aku"
dua lintah yang ku hajar tadi berdiri menyerangku bersama sama, dengan kuda kuda mantap aku bersiap menerima serangan mereka, lintah yang lebih pendek ku jegal dan ku pelintir tangannya sementara temannya menerima pukulan di dada dan tendangan di perutnya, kuakhiri dengan membanting lintah pendek tadi
"mati kau!!" seru ku berbarengan dengan jatuhnya si pendek.
"pengasuh sialan!!" teriak miss Bell
"bibi apa apaan kau?? tak punya perasaan, kau ibliss!!!" balasku,
aku langsung jongkok memeluk Ardy yang masih gemetar dan berteriak histeris.
"asal kau tahu saja pengasuh, aku ini bibi yang tidak cuma doyan duit. Aku merawatnya, memeberinya obat, menjadwalkan dokter untuknya. Sementara sodaranya yang lain tutp mata melihat penderitaanya yang begini!!"
kini sisi rapuh miss Bell mulai terkelupas, dia bibi yang sudah pasrah dan tak bisa lagi berbuat apa apa, kecuali merantai Ardy dan memebawanya ke dokter. Mempekerjakan pengasuh untuk Ardy.
"terserah kau saja lah!!!" miss Bell meyeret kedua lintahnya keluar Kamar
Meninggalkan kami yang saling berpelukkan. meninggalkan rantai dan gembok dilantai.
Aku masih melindungi ardy, aku disini untuknya, asuhanku, bagian dari hidupku, kewajibanku, dan rasa penyesalanku.
"aku ingin Ardy yang tertawa itu kembali, aku ingin ardy yang manis itu kembali" bisikku padanya
entah karena hilang akal, atau sudah tak tahu lagi harus bagai mana
Aku mendekatkan bibirku padanya, mencium bibir yang pernah menghasilkan senyum termanis, merasakan bibir itu lembut dan hangat.
Tak ada lagi teriakan , tak ada lagi rontaaan, yang ada hanya sunyi di gerimis ini. yang ada hanya ciuman pertolongan ku pada aRdy
buat chapter yang ini gue harus terima omelan dari Ardy yang asli soalnya udah nolak lemburan muehehehehe
maaf kalo keluar jalur
@beepe ,@monic ,@ajikaryadi , @obay ,@awansiw on,@zhar12, @idhe_sama ,@adacerita,@YANS FILAN, @adinu,@czeslaw