It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#lanjut
Waduh, kok aku jd ngerasa bersalah komen gitu y? terlalu kejem y? Hehehe. Dr bbrp tips nulis yg aku prnh baca, ada cara yg buatku cukup jitu buat bikin karakter. Aku selalu nulis biodata karakterku, mulai dr nama lengkap, TB/BB, umur, hobi, warna rambut, mata, hobi, sifat, dsb. Jd, biar karakternya gak lari kmana2. Coba kamu bikin kyk gitu, sp th bs bantu km buat jd karakter km. Makanya, nulis itu sbnrnya gak gampang karena faktor buat nulis itu bnyk dan sbagian besar berhubungan dgn mood dan perasaan yg gak bs dipaksa. Pelan-pelan aja, jgn terlalu drastis bikin karakter yg sekiranya berat buat km d cerita2 slnjtnya Umur awal 20an jg bs kok dbuat dewasa coz yg namanya kedewasaan itu sebenerny gak berkorelasi sama umur
You've done a good job already. Keep it up!
ternyata ngambil dari sini juga.. -_-"
di judulnya kaya'nya udah jelas deh tenty @yuzz
--"
@masdabudd halaman 1 update-an ke 3, jauh beda tapi.
Mau ngucapin terima kasih juga buat para reader yang masih baca dan komen di sini walaupun aku gak pernah mention. Ditunggu kritik dan sarannya kayak biasa ya.
**** - ****
Aku menerima beberapa email pagi ini, yang tentu saja mau tidak mau membuatku teringat dengan kehidupan lamaku yang telah kutinggalkan dua hari lalu. Satu email kuterima dari Nicky yang menanyakan kabarku serta mengingatkanku untuk segera memeriksakan kesehatanku, satu email dari Emma yang dia kirimkan padaku kemarin tentang perkembangan restoranku yang ada di Drenthe setelah empat hari kutinggalkan sekaligus menanyakan keadaanku juga, dan satu email yang terakhir kuterima dari Ilse yang sekarang tentu saja masih di Osaka dan menawariku berkunjung ke sana untuk sekedar berlibur beberapa hari. Dan dengan penuh kebanggaan Ilse memperlihatkan padaku foto-fotonya bersama pria yang tengah dekat dengannya, yang sekarang kuketahui bernama Hishashi. Mungkin setelah ini aku bisa meminta tolong pada Ilse agar mencarikan satu pria Jepang untuk Jill, agar aku bisa berhenti mendengar impian Jill yang selalu ingin menikah dengan pria Asia saat aku bertemu dengannya suatu saat nanti. Aku benar-benar merindukan mereka, padahal aku baru dua hari meninggalkan Assen.
Berbicara tentang hari keduaku di Seoul, sepertinya Will benar-benar berusaha membuatku merasa tidak asing di sini. Karena sekarang Will tengah melakukan aktivitas paginya seperti biasa, push-up dan sit-up. Aku tidak mungkin menyarankannya untuk melakukan hal seperti ini di luar ruangan karena beberapa alasan. Pertama, ini masih terlalu pagi untuk memulai aktivitasnya. Dan kedua, tentu saja di luar masih sangat dingin mengingat sepertinya tahun ini musim semi akan datang sedikit terlambat. Untuk alasan lain, aku tahu Will ingin selalu berusaha memancingku dan menggodaku. Tapi, mengingat situasi dan kondisi yang sekarang kualami, sepertinya niatnya itu tidak akan sepenuhnya berhasil walaupun sampai detik ini kedua mataku masih memperhatikannya setelah beberapa saat lalu aku sudah selesai membaca dan membalas email dari Nicky, Emma dan Ilse.
Will bangkit berdiri setelah selesai dengan olahraganya dan tentu saja sekarang ini aku dapat melihat tubuhnya yang mengkilap karena keringatnya itu. Kemudian Will melakukan gerakan peregangan otot-ototnya secara terang-terangan saat aku masih memandanginya, bahkan bisa kubilang itu bukan merupakan gerakan peregangan karena menurutku gerakannya sangat berlebihan. Baiklah, jika sebelumnya aku mengira bahwa godaan Will tidak akan sepenuhnya berhasil, kuakui aku sepertinya memang salah karena aku merasa sudah mulai terpancing sekarang ini. Will mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding di belakangnya dan aku sudah paham apa yang akan dia inginkan setelah ini karena pada kenyataannya, kami masih punya banyak waktu.
“Baiklah, pemanasannya sudah selesai. Sekarang kegiatan utamanya.”
Dengan terucapnya kalimat itu, Will menghampiri dan menarikku ke tempat tidur. Seharusnya aku sudah memakluminya karena kami memang belum melakukan aktivitas kami di atas tempat tidur semenjak kami tiba di Korea, setelah Will pada akhirnya memutuskan tidak memaksaku untuk bercinta dengannya kemarin. Tapi, sebagai gantinya dia hanya berbisik padaku bahwa dia tidak akan pernah berhenti untuk berusaha.
“Apa sekarang... sudah boleh, Tim?”
“Baiklah, tapi aku harap kamu tidak bermain-main karena itu sangat menyebalkan.”
Selama kami di Assen, Will memang pernah beberapa kali mempermainkanku sebelum kami bercinta dan itu memang sangat menyebalkan. Seperti saat dia memulainya dengan mencumbuiku untuk membakar gairahku, lalu setelah aku terpancing dan berniat untuk mulai mencium bibirnya, Will justru dengan sengaja menjauhkan wajahnya dariku. Parahnya, Will terus melakukan hal seperti itu berulang kali sampai aku benar-benar merasa tersiksa. Tentu saja aku tidak dapat bergerak untuk menggapainya karena dia selalu menahan kedua lenganku sehingga aku hanya bisa tidur memandanginya dan berharap dia menghentikan sikap konyolnya. Aku semakin tidak percaya saat Will mengatakan alasannya melakukan hal semacam itu hanya karena menurutnya wajahku akan terlihat ‘seksi’ kalau sedang dipermainkan olehnya. Bagaimana aku tidak menyebutnya sebagai suami yang usil?
“Tidak boleh? Padahal aku sangat ingin melakukannya. Sudah lama sekali, Tim!”
“Will, jangan seperti itu. Aku tidak suka.”
“Tidak suka? Benarkah? Kupikir selama ini kamu selalu menikmatinya.”
Will nampak sudah menang sekarang. Dan sesuai dugaanku, dia mulai menyerang leherku tanpa menghiraukanku yang memohon padanya. Beberapa saat kemudian Will mulai beralih ke daerah sekitar telinga dan tengkukku, terus menerus bermain di daerah itu sampai gairahku benar-benar terbakar. Saat bibirnya mencumbui daguku, menggigitnya berulang kali dan pada akhirnya sampai di sudut bibirku, aku sadar bahwa aku sudah benar-benar berada dalam permainannya. Dan ketika bibir kami sudah bersentuhan, aku berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan apa yang kumau dengan gerakanku yang dibatasi oleh Will. Tapi sesuai kebiasaan lamanya, Will mulai menjauhkan wajahnya secara perlahan-lahan sampai mau tidak mau aku mengikutinya dan kepalaku naik secara perlahan-lahan, tetap berusaha mempertahankan bibir kami agar tidak terpisah. Tapi usahaku memang selalu sia-sia karena sekarang ini aku hanya bisa memandangnya yang tersenyum penuh kemenangan, dan aku tidak mendapatkan apa-apa.
“Will, cukup.”
Will masih tersenyum dan sepertinya dia tetap tidak menghiraukanku yang terus menerus memelas. Kali ini Will langsung mencium bibirku, dengan lembut, tentu saja lembut dalam versi Will. Ketika aku masuk ke dalam permainannya dan berhasil menikmati cumbuannya untuk beberapa detik, Will kembali perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Tapi beberapa saat kemudian turun lagi dan membuatku kembali dapat menikmati ciuman kami. Dan lagi, setelah beberapa detik, dia mengangkat kepalanya dengan sangat cepat dan tentu saja aku tidak bisa melakukan apa-apa sementara nafasku sudah memburu dan kurasakan kepalaku sudah memanas.
“Will, sudah. Jangan lagi.”
Aku tahu, Will masih terlihat belum puas mempermainkanku. Kali ini dengan cepat dan tanpa kusadari, Will langsung melumat bibirku. Tidak seperti sebelumnya, kali ini dia melakukannya dengan memberi tekanan yang kembali berhasil membuatku dengan mudah masuk ke dalam perangkapnya. Saat aku ingin membalas permainannya, tanpa rasa belas kasihan, untuk ketiga kalinya Will kembali menjauhkan bibirnya dariku secara perlahan-lahan. Aku benar-benar sudah frustasi.
“Kuharap kamu puas sekarang!”
“Kamu terlihat seksi, Tim.”
Aku menatapnya tajam. “Aku sudah sering mendengarnya.”
Will kembali tersenyum dan mulai membuka kancing bajuku satu persatu. “Jadi, kamu lihat kan sekarang? Tidak akan ada bedanya dengan di Assen, Tim. Untuk beberapa hal, kamu pasti akan menemukan kenyamanan dan yang perlu kamu lakukan hanyalah mencoba, seperti sekarang ini. Aku benar kan?”
Kali ini, Will berhasil mengejutkanku, dan membuatku kembali merasa seperti dulu saat aku terpaku pada kedua mata abu-abunya. Aku semakin terhanyut karena yang dipikiranku sekarang ini bukanlah di mana aku atau apa yang akan kuhadapi, tapi aku hanya tahu bahwa Will akan tetap ada bersamaku.
Will mendekatkan wajahnya dan membuat kening kami bertemu, satu hal lain yang membuatku selalu nyaman. “Maaf, Tim.”
Setelah kata maaf itu, yang aku tidak tahu kenapa dia ucapkan padaku, Will kembali mencium bibirku. Aku tahu, kali ini aku akan mendapatkan apa yang kumau, kami akan mendapatkan apa yang kami mau untuk satu hal yang tadinya kupikir akan sulit kami dapatkan setelah aku menyetujui perubahan rencana Will yang menginginkanku tinggal di rumahnya. Sebelumnya, aku mempunyai keinginan yang kuat untuk menolak dan bilang kata tidak pada Will untuk perubahan rencananya itu. Tapi seperti biasanya, Will selalu mempunyai kendali penuh atas diriku yang mau tidak mau membuatku selalu mengiyakan semua permintaannya, kecuali untuk beberapa hal kecil yang pernah dia minta padaku selama kami di Assen.
“Untuk sekali ini, Tim. Hanya ada kita dan jangan pikirkan hal lain!”
**** - ****
“Apa ada yang bisa kubantu, Sarah?”
Aku menghampiri Sarah yang tengah membersihkan kaca jendela ruang tamu yang berukuran sangat besar, membuatku dengan mudah bisa melihat halaman samping yang sebagian kecil masih tertutup salju. Hari ini aku memang belum mempunyai rencana apa-apa sehingga selagi aku di sini, tidak ada salahnya aku menghabiskan waktu bersama Sarah, sedangkan Will lebih memilih melanjutkan tidurnya setelah sarapan.
“Tidak usah, Tim. Apa kalian berdua tidak mempunyai rencana untuk keluar? Sekedar jalan-jalan mungkin?”
“Untuk hari ini kami belum mempunyai rencana apa-apa, Sarah. Mungkin baru besok.”
“Besok? Kalian mau kemana besok?”
“Besok, Will sudah harus menemui Paman Sung untuk membahas pekerjaannya. Sedangkan aku akan ke Munbae untuk mengunjungi restoran Bibi Seo. Jadi apa yang bisa kubantu sekarang?”
Sarah sepertinya sedang bingung untuk mencegahku membantunya. Tapi, aku tahu sebentar lagi dia akan mengalah. Jika dia pikir ini adalah salah satu tindakanku yang bertujuan untuk mengambil hati adik iparku sendiri, maka dia tidak salah. Karena mencoba akrab dengan Sarah setelah kemarin dia bilang ingin membantuku dan Will untuk menghadapi kakak dan ibunya, adalah salah satu hal yang memang seharusnya kulakukan.
“Aku memaksa, Sarah.”
Tanganku menengadah, meminta kain dan semprotan pembersih kaca yang tengah dia pegang sekarang ini. Sarah hanya tertawa kecil, mungkin setelah melihat ekspresi wajahku yang terlihat memaksa bercampur dengan nada candaan dari perkataanku.
“Baik, kamu bisa lanjutkan yang sebelah sini. Aku akan membersihkan sisi yang lain. Apa benar tidak apa-apa?”
**** - ****
“Sarah, apa aku boleh bertanya sesuatu?”
“Ya?”
“Kulihat dua hari ini kamu selalu di rumah. Apa kamu sedang libur? Atau cuti dari pekerjaanmu?”
Sarah menolehkan wajahnya ke arahku. Walaupun kami dipisahkan oleh kaca dan berada di sisi yang berbeda, tepatnya dia berada agak jauh di sebelah kananku, tapi tetap saja aku masih bisa melihat raut wajah bingungnya. Sepertinya, aku telah salah mengajukan pertanyaan seperti itu. Tapi aku sungguh tidak mempunyai maksud apa-apa selain mencari bahan obrolan.
“Oh, untuk sementara ini aku tidak bekerja.”
Tanganku berhenti mengelap kaca seiring kata-kata itu keluar dari mulut Sarah. Sedangkan Sarah sudah kembali melanjutkan kegiatannya, tapi hal itu hanya berlangsung beberapa detik karena setelah itu tangannya kembali diam dan untuk kedua kalinya, dia menoleh padaku.
“Apa kakak tidak memberitahumu, Tim?”
“Tidak, Will tidak memberitahuku apa-apa. Memangnya ada apa, Sarah? Kenapa kamu berhenti dari pekerjaanmu? Apa ada masalah?”
“Sedikit.”
Aku sudah melihat adanya gelagat Sarah yang semakin bingung, terlihat seperti menimbang-nimbang antara ingin menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang sesungguhnya, atau menyembunyikannya dariku.
“Apa... Dokter Lee juga tidak memberitahumu, Tim?”
“Dong Sun? Kenapa kamu justru menanyakan Dong Sun?”
Sarah tidak langsung menjawab pertanyaanku melainkan membalikkan badannya, berjalan ke arah pintu yang ada di dekatnya dan masuk ke dalam rumah, kemudian menghampiri meja ruang tamu yang ada di belakangku dan merapikan beberapa majalah yang sebenarnya tidak berantakan. Aku melihatnya menghela napas dan pada akhirnya duduk di sofa ruang tamu.
Karena aku merasa semakin tidak nyaman dengan sikapnya, aku memutuskan untuk ikut duduk. “Sarah, apa... semuanya baik-baik saja?”
“Tim, Sudah kuduga kakak ataupun Dokter Lee tidak akan memberitahumu masalah ini.”
Baiklah, aku benar-benar tidak mengerti sekarang.
“Semua memang masih baik-baik saja, Tim. Hanya saja, setelah ayah meninggal empat bulan yang lalu, aku memang sudah memutuskan untuk sementara berhenti dari pekerjaanku.”
“Lalu apa hubungannya dengan Dong Sun? Kamu sempat membahasnya tadi. Dan Will?”
Ada banyak hal yang tidak kumengerti sekarang ini. Jika memang pada kenyataannya Sarah memutuskan untuk sementara berhenti bekerja, tentu saja tidak ada yang aneh dengan hal itu. Itu adalah keputusannya dan aku seharusnya tidak perlu cemas seperti ini. Tapi, reaksinya sampai sekarang mau tidak mau memang sudah membuatku tidak tenang. Pasti ada sesuatu yang tidak kuketahui dan aku berharap Sarah memberitahuku sekarang agar aku tidak terlalu memikirkan hal ini karena penasaran. Terlebih firasatku bilang bahwa hal tersebut adalah bukan kabar baik untukku.
“Aku hanya ingin di rumah. Aku hanya ingin menemani dan menjaga ibu, Tim. Hanya itu.”
“Lalu kenapa kamu terlihat murung dan bingung seperti ini?”
“Sebenarnya, setelah sepeninggalan ayah, kesehatan ibu semakin lama semakin memburuk. Itulah sebabnya aku ingin selalu di sini untuk menemani dan mengawasi ibu.”
Terjawab sudah. Apakah ini adalah satu alasan lain yang membuat Will bersikeras ingin kembali ke Korea? Untuk menemani dan ikut menjaga ibunya yang ternyata dalam keadaan yang kurang baik? Apakah ini yang dimaksud Will kemarin dengan Sarah yang akan mengatakan padaku dan menjelaskan situasinya?
“Memburuk?”
“Tidak perlu merasa cemas seperti itu, Tim. Mungkin ibu hanya sedang banyak pikiran.”
Aku semakin tidak tenang. “Sarah, apa kamu tidak keberatan untuk menceritakan semuanya padaku?”
Sarah hanya mengangguk kemudian mengalihkan pandangannya pada kedua tangannya yang saling meremas satu sama lain. “Setelah kepergian kalian ke Assen, ibu mulai sering murung dan melamun. Saat itu pola makannya juga tidak terjaga dan ibu selalu nampak kelelahan. Tapi, saat itu ayah selalu berhasil memaksa ibu untuk makan dan menjaga kesehatannya. Dan setelah beberapa bulan, semuanya nampak membaik... .
Tapi setelah ayah meninggal, semuanya kembali seperti semula. Ibu mulai kembali enggan untuk makan, kesehatannya juga mulai menurun dan akibatnya beberapa kali ibu jatuh pingsan. Dokter Lee bilang tidak ada masalah serius, hanya menyarankan ibu untuk selalu menjaga kesehatannya, menjaga pola makannya dan sebisa mungkin tidak terlalu banyak memikirkan hal-hal yang berat. Mengingat usia ibu yang sekarang ini, sangatlah rentan jika daya tahan tubuh ibu sampai melemah.”
Aku tercekat. “Lalu, Will sudah lama tahu, benar?”
“Ya, aku sudah lama memberitahu kakak. Setelah ayah meninggal dan kak Anthony masih menjalani wajib militernya, tentu saja ibu sering merasa kesepian di rumah, apalagi tidak ada yang menjaganya. Oleh karena itu aku berhenti bekerja dan memutuskan untuk menemani ibu di sini. Beberapa minggu terakhir ibu sangat sering menyuruhku untuk membujuk kakak pulang. Ibu berjanji tidak akan lagi meminta kakak memikirkan kembali semuanya untuk menikah dengan seorang wanita, yang penting kakak pulang karena ibu sudah sangat merindukannya. Ibu merasa kesepian di sini dan hanya ingin kakak pulang untuk menemaninya.”
Sarah kembali menatapku, dan aku hanya bisa diam tanpa tahu apa yang harus kukatakan sekarang. Lebih tepatnya tidak ada yang bisa kukatakan dan aku memang seperti tidak berhak untuk berkata apa-apa. Aku mengalihkan pandanganku dari Sarah dan menunduk.
“Tapi aku yakin, Tim. Dengan kepulangan kakak, keadaan ibu nantinya akan semakin baik. Tidak perlu merasa cemas seperti itu.”
Aku menggeleng pelan dengan yakin. Pandanganku hanya tertuju pada majalah yang ada di meja depanku, tapi pikiranku berkonsentrasi pada situasi yang sekarang.
“Tidak, Sarah. Ini sama sekali tidak baik. Ada yang salah.”
Hanya kata-kata itu yang tiba-tiba keluar dari mulutku. Aku memang merasa ada yang salah sekarang ini. Sangat salah, dan aku harus mengambil tindakan sebelum semuanya terlambat.
“Tim...?“
**** - ****
Kusadari kedua mata itu akhirnya terbuka juga setelah berpuluh-puluh menit aku terbaring di sampingnya dalam diam sementara tanganku tak henti-hentinya membelai lembut wajahnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu, Will. Lanjutkan saja tidurmu! Kamu terlihat masih sangat lelah.”
Will mengusap wajahnya. “Ini salahmu, Tim. Kamu yang membuatku benar-benar kelelahan kan?”
“Itu karena kamu terlalu bersemangat, Will.”
Will menghembuskan napas panjang dari mulutnya sembari masih menatap langi-langit kamarnya. “Haaaaah, baru tiga hari kan, Tim? Tapi aku merasa seperti sudah tidak melakukannya selama sepuluh tahun.”
Aku tertawa pelan. “Berlebihan.”
Tawaku terhenti saat aku teringat kembali tentang pembicaraanku dengan Sarah sebelum ini. Dan aku juga masih berusaha menemukan kata-kata untuk mulai membahasnya dengan Will.
“Will...?”
Will beralih memandangku. “Hmmm?”
“Bisakah... kita kembali ke rencana awal?”
Secara spontan Will bangkit dan duduk di ranjangnya. Tidak membutuhkan banyak waktu bagi Will untuk mengerti apa maksudku dan dia mulai menatapku dengan pandangan tidak sukanya, memperingatkanku untuk tidak mengatakan hal lain yang mungkin akan membuatnya kesal atau paling buruk, memunculkan kembali perdebatan di antara kami. Sebelumnya aku sudah berjanji untuk tidak membahasnya lagi semenjak kami tiba di rumah Will. Tapi, situasinya sudah berbeda sekarang ini.
Aku bangun dan ikut duduk di sampingnya, berusaha tidak menghiraukan pandangannya yang semakin menyiratkan peringatan keras agar aku tidak bicara terlalu banyak. Aku sama sekali tidak berniat untuk berdebat dengannya, tapi sepertinya sekarang aku sudah terlanjur mengacaukan paginya, bahkan pagiku seakan sudah kukacaukan sendiri.
“Mungkin aku bisa menyewa rumah atau apartemen seperti rencana awal kita? Tetap di Yangcheon dan tidak jauh dari sini. Tapi kamu bisa tetap tinggal di rumahmu agar kamu memiliki banyak waktu untuk menemani ibumu, Will.”
Normalnya, Will akan langsung mencengkeram kuat kaosku dan menarikku paksa ke arahnya jika dia sudah kesal. Aku tahu dia ingin sekali marah tapi semenjak kami tiba di sini, Will seperti sudah bertekad pada dirinya sendiri untuk berusaha bersikap tenang. Paling tidak salah satu di antara kami memang harus tetap ada yang bisa bersikap tenang. Sekarang ini aku bahkan tidak tahu apakah aku sedang dalam keadaan tenang atau tidak, walaupun dari sikapku, aku terlihat baik-baik saja.
“Sarah sudah memberitahumu, Tim?”
Aku hanya mengangguk dalam diam yang tentu saja Will tidak bisa melihatnya karena pandangannya terfokus bukan padaku.
“Kita sudah membahasnya kemarin kan? Dan setelah makan malam kemarin kamu berjanji tidak akan mengambil keputusan apa-apa atau tidak memposisikan dirimu sebagai orang lain dalam rumah ini. Dan apa kamu sadar telah mengingkari kedua janji itu, Tim?”
“Will, tapi sekarang aku sudah tahu situasinya. Bagaimana bisa aku tetap memaksa untuk berada di sini sedangkan kondisi kesehatan ibumu sedang tidak baik? Aku tidak ingin menambah beban pikiran ibumu dan itu mungkin saja bisa memperparah keadaan.”
“Itu hanya menurutmu kan, Tim?”
“Iya, tapi Will aku...”
“Cukup! Aku anggap kita tidak pernah membicarakan hal ini dan setelah ini aku juga tidak ingin mendengarnya lagi. Dan kamu akan tetap di sini.”
“Will...”
Tanpa menghiraukanku, Will melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Setelah ini, aku tahu baik aku ataupun Will pasti tidak akan bisa untuk tidak menghiraukan begitu saja masalah ini. Jika memang sebelumnya aku mengira bahwa keadaan ibu Will baik-baik saja, maka aku hanya perlu memaksakan diriku untuk tinggal di sini dan menghadapinya, sesuai permintaan Will, tapi dengan catatan ibu Will mengijinkanku untuk tinggal. Tapi sekarang, di saat ibu Will sedang dalam keadaan yang kurang baik, apalagi karena masalah kesehatannya, tentu saja bertahan di rumah ini sama saja dengan membuat keadaan yang ada menjadi semakin buruk. Seperti yang kukatakan pada Will, kehadiranku di rumah ini tentu saja bisa menciptakan suasana yang canggung ataupun tidak nyaman bagi keluarga Will. Tapi jika kehadiranku di sini bisa mendatangkan akibat lain yang tidak kuperhitungkan sebelumnya, seperti berpengaruh pada kesehatan ibunya, maka sebaiknya aku memang tidak berada di sini.
Sampai sekarang, aku bahkan belum mengeluarkan pakaian-pakaianku dari dalam koper. Semuanya masih tertata rapi di sana karena aku memang tidak berencana untuk memaksa tinggal di sini jika ibu Will tidak menyetujuinya. Tapi Will dengan penuh keyakinan akan menjamin bahwa ibunya akan memberiku ijin yang aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa, dan kami baru akan membeli rumah atau apartemen jika tujuan kami pindah ke Korea sudah terwujud. Masalah-masalah seperti ini entah kenapa selalu menjadi hal yang rumit bagiku sekarang. Tidak seperti ketika kami berada di Assen karena masalah apapun selalu bisa kuselesaikan dengan mudah tanpa berpikir panjang.
Will sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang masih basah tapi terlihat lebih segar. “Apa kamu ingin jalan-jalan, Tim? Mungkin ke Taman Namsan dan Seoul Tower? Walau dingin, tapi sepertinya akan menyenangkan. Aku sangat ingin melihat Seoul dari atas, aku ingin tahu apa ada yang berubah setelah setahun ini.”
Kali ini nada suara Will terdengar lebih tenang. Aku tahu dia sedang berusaha mengalihkan perhatianku dan sudah bisa ditebak hasilnya, tidak berhasil sama sekali. Dia hanya berdiri di depan pintu kamar mandi, menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulutku.
“Will, kita masih punya satu masalah yang belum selesai dibahas. Kamu tahu kalau...”
“Dengar, Tim!” Will mulai nampak jengah dan memotong kalimatku sebelum aku menyelesaikannya, walaupun aku tahu Will sudah dapat mengira apa lanjutannya.
“Ibu akan baik-baik saja, dan kamu akan tetap tinggal di sini. Apakah masih kurang jelas? Berapa kali kubilang jangan pernah sekalipun menganggap dirimu sebagai penganggu di rumah ini? Kamu itu suamiku, bukan orang lain, Tim. Jadi bukankah akan terdengar sangat menggelikan jika kamu menganggap kehadiranmu di sini sebagai penganggu dan memutuskan untuk tinggal di tempat lain sementara aku ada di sini?”
“Will, bukankah mereka akan merasa...”
“Baik! Baik! Mereka bisa saja memang terganggu dengan kehadiranmu, itu kan yang ingin kamu katakan padaku? Tapi kamu tahu alasannya kan? Mereka, ibu dan Anthony, hanya belum mengerti, Tim. Hanya itu masalahnya. Lalu bagaimana kita bisa membuat mereka mengerti kalau kamu selalu jauh dari mereka? Lalu kamu pikir kapan mereka akan terbiasa dan mengerti? Kamu bisa saja bilang bahwa kemungkinannya kecil dan sangat sulit kalau ibu dan Anthony akan mudah menerima keadaan kita. Tapi jika kamu tetap menjaga jarak dan selalu menghindar dari mereka, bukankah kemungkinannya akan semakin kecil? Bukankah itu akan lebih mempersulit usaha kita?”
“Tapi aku ingin menjaga jarak untuk sementara karena kesehatan ibumu sedang tidak baik, Will. Kehadiranku akan menambah beban pikiran ibumu dan itu tetaplah tidak baik di lihat dari sisi manapun. Kamu tahu betapa bingungnya aku setelah tahu situasi yang sebenarnya? Ibumu sekarang ini hanya membutuhkanmu, Will. Aku tidak ingin lebih mengacaukan keadaan yang memang sudah sangat kacau.”
Will menutup kedua matanya dan menarik napas panjang. Aku tentu saja paham, keadaan memang menjadi lebih sulit sekarang ini dan mau tidak mau pilihan yang bisa kupilih hanyalah kembali ke rencana awal, menyewa rumah atau apartemen sendiri.
“Aku yang lebih mengetahui ibuku, Tim. Aku bisa menjamin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang perlu kamu lakukan hanya tetap tinggal di sini dan aku akan menangani semuanya. Mungkin ini memang akan menjadi lebih sulit, terutama bagimu. Tapi, bisakah kali ini kamu memaksa dirimu lebih keras lagi, Tim?”
Kusadari Will ikut duduk di tepi tempat tidurnya dan memelukku dari samping begitu aku mengusap wajahku kuat-kuat. Bagaimana Will bisa seyakin itu kalau semuanya akan baik-baik saja setelah ini?
“Bagaimana bisa, Will? Bagaimana kamu bisa seyakin itu kalau semuanya akan baik-baik saja jika aku tetap di sini? Ini jelas berbeda dari yang sebelumnya. Sekarang ini, aku bukan hanya bingung bagaimana untuk bersikap saat menghadapi ibumu nanti, tapi aku juga mencemaskan keadaan ibumu, Will.”
Will semakin mempererat pelukannya. “Bukankah sudah kubilang sebelumnya, Tim? Semuanya sudah kupikirkan selama kita di Assen. Aku tidak sebodoh itu untuk pulang dan menghadapi saat-saat sulit seperti ini tanpa persiapan apa-apa. Selama ini aku selalu bungkam karena tidak ingin menambah beban pikiranmu. Mulai sekarang, serahkan semuanya padaku dan tetaplah berada di sisiku. Setelah ini, aku tidak ingin mendengar kamu membantah. Ini adalah rumahku, jadi semua keputusan ada di tanganku. Bukan berarti aku menganggap kamu tidak berhak mengambil keputusan seperti saat kita di Assen atau aku mulai meragukan keputusanmu. Tapi aku tahu, kamu pasti akan lebih sering merasa tidak tenang dan mudah panik dengan semua yang akan terjadi di sini. Jadi, kamu harus percaya padaku kali ini!”
“Kamu tahu, Will? Aku selalu ingin bilang tidak padamu sesekali, seperti sekarang ini.”
“Tapi aku tahu kamu tidak akan pernah bisa untuk bilang tidak padaku Tim, terlebih untuk masalah seperti ini. Selama ini aku selalu menang, kan?” Will membisikkan sesuatu di telingaku. “Bukankah aku selalu bisa dengan mudah mengalahkanmu, Tim? Karena kamu pasti akan melakukan apa saja untukku kan?”
“Itu tidak adil, Will.”
“Tidak, itu cukup adil. Aku juga akan melakukan hal yang sama dalam situasi yang mengharuskanku. Akan kulakukan apa saja untukmu, Tim. Hanya saja untuk sekarang ini mungkin kamu harus banyak mengalah. Aku benar-benar minta maaf, Tim.”
Pada akhirnya kami berdua memilih untuk diam. Membiarkan kesunyian menyelimutiku. Membiarkan pelukan Will yang semakin lama semakin menguat. Membiarkan pikiran-pikiran menganggu itu tetap ada di kepalaku dan memaksa diriku sendiri untuk membenarkan semua perkataan Will. Masih ada tiga hari dan aku hanya berharap aku sudah merasa yakin dan bisa percaya pada Will sepenuhnya bahwa semuanya akan baik-baik saja, walaupun aku ada di sini. Tapi, bisakah?
Will melepas pelukannya begitu kami tersadar bahwa pintu kamar beberapa kali telah diketuk dan aku sudah bisa melihat Sarah yang berdiri di sana ketika Will membuka pintu.
“Kak!” Sarah kemudian mengalihkan pandangannya padaku, menatapku untuk beberapa saat. “Apa semuanya baik-baik saja?”
Kedua bibirku akhirnya tersenyum hanya untuk menjawab pertanyaan Sarah. Mungkin aku memang terlihat sedang kacau sekarang ini dan Sarah pasti sudah tahu penyebabnya walaupun setelah ini mungkin baik aku, Will, ataupun Sarah sendiri tak ada yang ingin membahasnya.
“Ada apa, Sarah?” Sarah kembali menatap Will. Kali ini raut wajah Sarah sedikit miris, kemudian mengigit bibir bawahnya seolah dia akan menyampaikan sebuah kabar yang tidak menyenangkan.
“Kuharap aku tidak mengganggu kalian berdua. Tapi sekarang, di ruang tamu... sudah ada Dokter Kang, dan dia ingin bertemu dengan kalian berdua.”
“Dokter Kang In-su? Bukankah dia sudah pindah ke Singapura dua tahun lalu?” Tentu saja pertanyaanku kali ini sungguh sangat konyol. Aku yakin kami bertiga sudah tahu siapa yang dimaksud Sarah, tapi aku hanya ingin menanyakan kemungkinan lain. Karena pada kenyataannya, aku belum siap untuk menghadapinya sekarang. Dan kusadari, sedari tadi Will seperti enggan untuk menatapku.
Sarah menggeleng pelan. “Bukan, Tim. Tapi... yang kumaksud tadi adalah Dokter Kang Young Min.”
Aku menutup kedua mataku perlahan-lahan karena dugaanku tidak meleset sama sekali. Dan aku yakin, Will lebih mengetahui alasannya kenapa Young Min bisa ada di sini, sekarang.
ohmygay!
efek baca crita bdsm nya muncul!
dokter kang.. kangcheongsyo
haghaghag
nah... segini ni pas apdetnya...
mana @yuzz unsur bdsm nya? yang atas itu? itu udeh ada dari dulu kali sebelom aku tahu bdsm, ya di kasih bumbu dikit lah. gak berlebihan kan ya?
ngomong2 soal bdsm, kyaknya FAM4 bakal jadi ajang psikopatnya Dharu deh.
#psikopat meracuniku
#kasihan erfan
di daerahku juga ada, kang... kang gu ru dan kang kung cah
#jadi laper
bdsm style..wkwk
ga berlebihan kok, kurang malahan.....
kok kasihan erfan? emang knp erfan? kan pacarannya sm bryan... :-/
kang kung cah.. -_-
katanya mau ujian, udh jam 10 ini..
Iya lah kasian erfan, orang korbannya dharu itu erfan.
Udeh pasrah aja neh UTSnya, akuntansi ini. Tinggal remed, slesai perkara.
erfaaaannnnnnn..... >.<
btw...
ini lapak sapa.. itu akun sapa pula yg km pake komen... -_-"
wkwkwkwkwk
) ) )
Mau yang hot? Smpe forum ini tutup jg q g bkal bsa nulis yg hot2.