It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ini yang susah bang, memang sih gak ada niatan buat bandingin, tapi bagi nubie kayak aku, secara gak langsung dan gak sadar pasti bakal banding2in dengan cerita yg lain yg ada di sini. kalau dah ngrasa ada yang "oke banget" cara nulis dan penyampaiannya, pasti semangat langsung ilang. memang sih pengennya bisa belajar dari penulis2 lain, tapi tetep aja "bandingin2" itu mesti aku rasain sendiri.
yang bikin cerita narasi 90% memang sampai sekarang cuma sebatas "pengen" aja bang, masih banyak belajar biar cerita gak monoton.
nulis cerita serius seperti ini awalnya juga dari rasa pengen, memang berat sih buat aku apalagi pola pikir tokoh yang kubikin harus jauh di atas usiaku. beraaaaaaaaaaaaaat dan gak tahu udah sesuai apa enggak, makanya yang satu aku bikin gak terlalu serius dan dewasa banget, biar beban mental nulisnya ngurang dikit,
makasih ya bang, motivasinya memotivasi banget. slalu nunggu komen bang aby.
terima kasih. setuju banget, pasti berpengaruh dengan mood nulis. dan akhirnya bisa membunuh inspirasi. ditunggu komentar2nya lagi
iya nih, mungkin juga karena aku gak bisa bikin judul yang oke dan "menarik perhatian"
makasih masukannya (coz ini bahkan gak terpikir sebelumnya)
hehehe trima kasih.
makasih dah ngasih tanggapannya. iya nih beruntung banget disambangin terus sama bang aby. jadi banyak belajar.
bagaimana cara bikin kayak kolom korang bang? apa di enter manual? soalnya kalau di hpku udah fit satu layar kanan kirinya.
harus pede dengan karya sndiri ya bang? dan harus heppy? Oke sip. bakal diinget terus sarannya.
muacch juga. hehehehe
Dan kali ini update-nya 3 kali lebih panjang. Dialog dan narasinya 50:50.
Part 2
**** - ****
Untuk pertama kalinya, aku membiarkan kedua tanganku terus menerus meremas rambutku kuat-kuat seperti ini hanya untuk melenyapkan berbagai macam pikiran mengganggu yang tidak kunjung hilang dari kepalaku. Walaupun aku tahu tidak ada gunanya, tapi untuk ukuran orang yang bingung dan gugup sepertiku, tindakan seperti ini merupakan salah satu cara yang bisa kulakukan sebagai usaha untuk menenangkan diri. Sebelum ini, aku sudah berjalan mondar-mandir seperti orang linglung, berkali-kali mengatur nafas, serta menatap diriku di cermin untuk beberapa menit hanya untuk mengejek bayangan yang ada di sana. Bahkan mulutku tidak bisa berhenti untuk memaki diriku sendiri sebagai seorang pengecut. Kali ini, aku hanya berharap Will segera muncul di hadapanku karena dengan begitu paling tidak aku akan mempunyai alasan untuk bersikap tenang.
Rasa gugup yang kualami seperti ini mulai menyerang setelah kedua kakiku berjalan keluar dari apartemen dan terasa semakin parah begitu pesawat yang kami tumpangi lepas landas dari Bandara Schiphol Amsterdam. Bahkan dari delapan ribu lima ratus kilometer lebih jarak yang telah kami tempuh dari Amsterdam ke Incheon, aku hanya bisa menggenggam tangan Will tanpa berniat melepaskannya untuk sedetikpun. Setelah itu, kata ‘bingung’ atau pertanyaan ‘aku harus bersikap seperti apa’ seolah berhasil memenuhi kepalaku begitu aku menginjakkan kaki di Bandara Internasional Incheon dan merasakan atmosfir dingin Korea yang sudah tidak kurasakan selama setahun terakhir. Dan tentu saja, selama lima puluh menit perjalanan yang kami tempuh dari Incheon ke Kota Seoul, untuk kedua kalinya aku tidak mau melepas tangan Will dari genggamanku. Sikap-sikapku yang sekarang memang bisa kubilang konyol dan aku mengakuinya. Tapi apa yang bisa kuperbuat jika pada kenyataannya aku seakan-akan sudah tidak bisa mengendalikan diriku sendiri?
“Makan malamnya masih lama, Tim. Sebaiknya kita istirahat dulu.”
Aku rasa-rasanya sangat ingin segera berdiri dan memeluk Will setelah melihatnya muncul dari balik pintu, walaupun Will baru kembali dari sepuluh menit yang lalu setelah dia mengantarku ke kamar ini. Tapi, aku menahan diriku kuat-kuat untuk tidak melakukannya dan memutuskan untuk tetap duduk di tepi tempat tidurnya, tidak mengalihkan pandanganku darinya yang mulai berjalan menghampiriku dengan sehelai handuk putih yang dia bawa di tangan kirinya. Setidaknya apa yang kuharapkan beberapa saat lalu sudah kudapatkan, Will ada di sini. Pasti akan terkesan sangat berlebihan jika aku menunjukkan padanya betapa aku masih merasa tidak baik-baik saja sekarang, apalagi setelah perlakuanku padanya selama perjalanan kami kemari.
“Sudah berapa kali kubilang, Tim? Berhenti menatapku seperti itu!”
Will mengambil duduk di sampingku. Sebenarnya aku sangat ingin sekali mengatakan apa saja yang menurutku setidaknya akan bisa mengembalikan suasana seperti saat kami berdua bercengkerama di apartemen kami, minimal menanggapi kata-kata yang baru saja dia ucapkan dengan sebuah candaan atau ejekan untuknya. Tapi, hari ini aku memang jarang membuka mulutku untuk berbicara banyak kepada Will karena takut jika suaraku tiba-tiba tercekat tanpa bisa kukendalikan.
“Hei! Kenapa rambutmu berantakan seperti ini, Tim?”
Aku segera menggenggam tangan Will yang tengah merapikan rambutku. Lalu tangan kananku dengan cepat meraih tengkuknya dan menariknya ke arahku sampai pada akhirnya kening kami bertemu. Sepertinya untuk kesekian kali tubuhku menolak untuk berkompromi dengan niatku sebelumnya yang tidak ingin menunjukkan pada Will bahwa aku masih merasa tidak tenang.
“Tim?”
“Lima menit, bisa kita tetap seperti ini selama lima menit saja, Will?”
Aku sering kali membaca kisah atau menonton film romatis di mana saat seseorang bersama dengan orang yang dicintainya seperti yang kulakukan sekarang, maka yang akan dirasakan setelahnya adalah waktu seakan berhenti atau paling tidak akan melambat dengan sendirinya. Tapi aku tidak pernah merasakan seperti itu. Ratusan kali aku melakukan hal seperti ini terhadap Will, bagiku tidak akan pernah merasa cukup. Pada kenyataanya waktu tetap berjalan normal dan bahkan terasa cepat berlalu.
Ya, terkadang aku memang merasa bahwa waktu bisa berjalan sangat cepat sampai-sampai aku tidak menyadarinya. Seperti yang kupikirkan sekarang, rasa-rasanya baru kemarin aku menghabiskan waktu sepanjang malam di balkon apartemen bersama Will dengan dua lapis selimut yang menyelimuti tubuh kami sebelum kami berkunjung ke Groningen, kemudian mendengar puisi aneh Will, dan bertengkar dengannya hanya karena aku tertidur saat dia bercerita tentang pekerjaannya hari itu. Tapi yang kutahu, kemarin yang kumaksud sudah menjadi minggu lalu dan aku menyadari bahwa di sinilah aku sekarang. Mengingat kejadian-kejadian yang pernah kulakukan dengan Will di Assen akan terasa lebih menyiksaku kali ini karena hal itu akan semakin menunjukkan padaku bahwa aku tidak mempunyai kekuatan untuk kembali ke sana, ke tempat itu, ke masa-masa seperti itu, setidaknya dalam waktu dekat.
“Sebaiknya kita mandi dulu, Tim.”
Sepertinya mulai saat ini aku benar-benar membutuhkan Will lebih dari apa yang kubayangkan. Jelas saja ini bukanlah zonaku, ini adalah tempat di mana untuk sementara waktu aku harus menikmati rasa gugup dan cemasku tanpa henti, dan juga ini adalah tempat di mana aku selalu akan merasakan kesulitan untuk mengendalikan diriku. Aku merasa seperti capung kecil tak berdaya yang terjebak di jaring laba-laba. Hanya bisa menunggu dengan tidak tenang dan berharap bisa terbebas dari jerat ini secepat mungkin. Sebelumnya aku memang bertekad untuk melawan dan tidak lagi berniat untuk menghindar. Tapi sekarang, semangat dan tekadku seakan sudah menguap begitu saja semenjak aku menatap pintu rumah Will.
“Mandinya nanti saja, Will. Bisa aku minta tambahan waktu lima menit lagi?”
“Tapi ini sudah lewat lima belas menit, Tim.”
Tidak ada lagi kata-kata yang kudengar dari Will begitu kulingkarkan kedua tanganku pada lehernya. Tidak ada lagi suara yang kudengar kecuali detikan jam dinding dan suara hembusan napasku yang memburu. Aku masih enggan untuk melepas Will walaupun waktu lima menit yang kuminta untuk kesekian kalinya telah habis.
Aku merasakan kedua tangan Will mulai membuka kancing kemejaku satu-persatu dengan perlahan-lahan kemudian beralih menyentuh leherku dan berakhir di kedua pipiku. Jarak adalah salah satu hal yang kubenci saat ini, tapi Will benar-benar sudah membuat jarak di antara kami sehingga aku tidak bisa lagi menikmati ketenangan saat kening kami bertemu seperti beberapa saat yang lalu.
“Kita akan mandi sekarang, kemudian istirahat. Kamu terlihat sangat berantakan!”
Aku tidak menghiraukan perkataan Will dan kembali mencoba meraih tubuhnya. Tapi tidak seperti yang kuharapkan, kali ini Will dengan sigap mencegah tubuhku untuk mendekat.
“Will, aku mohon!”
“Tidak! Sudah kubilang mandi!”
Will sudah melucuti kemeja yang kukenakan, menyisakan kaos tipisku dan memberikan handuk yang sedari tadi dia pegang padaku. Tapi, untuk beberapa saat aku tetap diam di posisiku, tetap memandang Will. Aku merasa sangat enggan untuk melakukan kegiatan apapun sekarang, aku hanya ingin menatap Will dan berada di dekatnya seperti ini selama mungkin.
Dengan ekspresi kehilangan kesabaran, Will berdiri, meraih tanganku dan mulai menarikku paksa untuk segera berdiri. Tapi, aku menahannya.
“Kalau begitu, sebaiknya kamu dulu, Will. Aku akan mandi setelahmu.”
Will menatapku dengan wajah kesalnya. Sepertinya, aku merasa bahwa Will sedang berusaha menciptakan suasana seperti yang dulu sering kami alami. Karena selama kami di Assen, setidaknya satu kali dalam seminggu, Will selalu mengajakku mandi dengannya. Dan kerap kali aku menolak atau bersikap jual mahal padanya karena aku tahu kegiatan mandi itu akan dibawa kemana walaupun pada akhirnya Will selalu berhasil menyeretku secara paksa masuk ke dalam kamar mandi. Tapi untuk sekarang, kurasa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menuruti keinginannya.
“Seperti yang kamu bilang sebelumnya, Will. Hari ini sangat melelahkan apalagi kita baru tiba. Dan berapa kali aku sudah bilang padamu kalau aku tidak suka melakukannya di tempat itu.”
“Kenapa kamu berpikir seperti itu? Aku hanya bilang mandi, dan itu artinya kita memang hanya akan mandi.”
“Apa? Jadi, tidak melakukan yang ... lain?”
“Heh, Tim! Memangnya ada yang salah jika kita melakukan hal lain? Selama ini kamu juga tidak akan pernah menolak kalau kita sudah memulainya kan?”
“Will, hanya saja aku merasa ini bukan waktu yang tepat. Lagipula... .”
“Bukan waktu yang tepat? Lalu kapan? Apa kamu berniat mau menunggu empat hari lagi? Setelah ibu dan Anthony pulang dari Jeju? Di saat rasa tidak nyaman yang kamu rasakan itu bertambah berkali-kali lipat? Apa kamu pikir itu tidak akan lebih menganggumu? Dan ketika hari itu tiba, apa salah jika aku mencemaskanmu yang bisa saja membatasi dirimu sendiri bahkan untuk menyentuhku karena rasa tidak nyaman itu?”
“Will, ini bukanlah hal penting yang harus kita bahas.”
Will mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Jadi menurutmu hal seperti ini tidak penting? Ini soal hak, ini soal kewajiban, ini juga soal kebutuhan, dan ini soal kita bedua. Jadi, tidak penting? Bagaimana jika sekarang aku menuntutnya darimu?”
“Will, mengertilah! Aku hanya tidak bisa.”
Sebenarnya aku sangat ingin tahu apa yang ada dipikiran Will sekarang ini. Bagaimana dia bisa berpikir bahwa aku bisa bercinta dengannya dalam keadaan kami yang seperti ini? Pada kenyataannya aku benar-benar tidak bisa memenuhi keinginannya karena kepalaku sedang dipenuhi oleh ribuan hal yang sampai sekarang, aku masih tidak bisa menghilangkannya, bahkan untuk beberapa saat.
“Maaf, Will!”
Kali ini, pandangan Will sudah kembali normal, tidak menatapku tajam dengan wajah kesalnya. Dia kembali duduk di sampingku, menghembuskan napas dengan berat dan mulai menatap kosong ke arah depan kami.
“Menurutmu apa yang harus kulakukan, Tim? Bukankah aku sudah melakukan hal yang benar? Kenapa sepertinya kamu tidak mendukungku?”
“Apa maksudmu, Will?”
“Apa kamu tidak paham juga? Aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman berada di sini, Tim. Aku tentu saja tidak ingin melihat suamiku merasa asing di rumahku sendiri. Aku hanya berusaha menciptakan suasana yang sama persis saat kita hidup setahun di Assen agar kamu melupakan sejenak semua beban pikiranmu itu. Aku ingin kita bisa bersikap dan menjalani hari-hari normal kita di sini, tidak hanya di Assen. Karena bagaimanapun juga di sinilah tempatku yang sebenarnya. Ini adalah rumahku, yang berarti menjadi rumahmu juga.”
Aku melirik ke arah Will yang sekarang tengah menatapku dengan ekspresi ‘apa aku salah?’-nya. Ternyata benar tentang apa yang kupikirkan sebelumnya, dia memang tengah mencoba membuatku merasa seperti di Assen, dengan segala kebiasaan kami.
Will merapatkan tubuhnya denganku. Tapi pandangannya kembali ke arah depan dan beberapa saat kemudian, dia tersenyum.
“Kita sedang menghadapi situasi yang membuat kita berdua merasa tidak nyaman, gugup, dan takut. Kamu pasti merasa seperti itu kan? Begitu juga denganku. Tapi, jika kita berdua sama-sama gugup dan takut, mungkin kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini karena kita berdua akan selalu merasa kesulitan untuk melaluinya. Kita berdua akan menjadi lemah dan selalu merasa kebingungan. Mungkin selama kita bersama maka kita akan baik-baik saja. Tapi, itu tidak akan cukup, Tim. Kamu tahu itu kan?
Bukankah di Assen kita beberapa kali menghadapi situasi yang seperti ini? Kamu tahu aku akan mudah merasa kesal dan marah atas segala hal yang tidak kusukai, entah itu masalah sepele ataupun serius. Sering kali aku marah dan aku juga tahu terkadang kamu pasti ingin marah. Tapi, kamu selalu bisa mengendalikan emosimu kan? Sehingga selama ini tidak ada masalah yang tidak terselesaikan. Karena seperti yang sering kamu bilang, kalau kita berdua sama-sama marah, masalah yang ada bisa menjadi runyam dan mungkin akan membebani pikiran kita. Aku selalu berterima kasih padamu karena selalu bisa bersabar mengahadapi sifat-sifatku, Tim.”
Will merengkuh bahuku dan menempelkan dahinya pada pelipis kiriku. Aku sekarang merasakan bahwa Will sedang menghidup udara sebanyak yang dia bisa, dan menghembuskannya dengan cepat.
“Aku tahu, Tim. Kali ini, aku yang lebih bisa mengatasi dan mengendalikan rasa gugup dan takut itu karena bagaimanapun juga ini adalah rumahku, ini adalah tempatku, dan mereka adalah keluargaku. Jadi, kamu tidak perlu repot mencari cara atau memaksa dirimu sendiri untuk bersikap tenang, karena jika kamu lakukan, mungkin itu justru akan semakin menekanmu dan menambah beban pikiranmu. Untuk kali ini saja, biarkan aku menjalankan tugasku, karena sekarang adalah giliranku. Aku akan berusaha membuatmu nyaman berada di sini. Aku akan selalu menemanimu sama seperti yang kamu lakukan ketika kita baru pindah ke Assen. Kamu tahu? Aku telah belajar banyak darimu.”
Setidaknya, untuk sesuatu yang tidak kusangka akan dikatakan oleh Will di saat-saat seperti ini, sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa jauh lebih tenang dari yang sebelumnya walaupun rasa gugup dan takut itu masih ada dan sepertinya tidak akan pernah bisa hilang. Kalau dengan bersikap seperti hari-hari biasanya di Assen bisa membuat kami berdua merasa jauh lebih baik, maka sepertinya aku juga harus kembali bersikap seperti biasanya. Setidaknya aku akan mencobanya.
“Kamu tahu, Will? Aku bahkan masih tidak percaya kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutmu. Berapa hari kamu memikirkannya?”
Aku merasakan sebuah kelegaan saat mencoba untuk menggoda Will seperti yang sering kulakukan selama ini, hanya dengan beberapa kalimat saja. Rasanya seperti aku berhasil membuat sebuah lubang besar dan mengalirkan ‘udara segar’ masuk ke dalam diriku yang entah bagaimana bisa membuatku merasa lebih baik. Mungkin aku memang tidak akan pernah bisa merasakan ketenangan sepenuhnya, jadi tidak ada yang bisa kulakukan di sini kecuali mengikuti apa yang dikatakan Will.
Tapi, karena ucapanku itu juga, membuat Will kembali menegakkan tubuhnya dan mencengkeram kuat kaosku, sesuai dengan apa yang kuperkirakan. Karena Will akan selalu kesal jika aku sudah menggoda atau mengejeknya seperti ini.
“Kamu sedang bercanda kan? Tapi kenapa candaanmu itu selalu terdengar menyebalkan di telingaku? Jangan meremehkanku! Apa tidak bisa kamu memujiku untuk sekali saja ha?”
“Haaaaah, aku semakin mencintaimu saja, Will!”
Aku mendaratkan satu ciuman dengan cepat yang mungkin akan berlangsung sangat lama sebelum Will kembali melayangkan kata-kata kesalnya padaku. Tapi hanya beberapa detik setelah bibir kami bertemu, lagi-lagi Will membuat jarak di antara kami dan membuat ciumanku berakhir begitu saja, tidak seperti yang kuharapkan.
“Baik, Tim. Sekarang ayo kita mandi.”
“Oh Tuhan, Will sudah berapa kali kubilang kalau aku tidak suka melakukannya di tempat seperti itu. Tidak paham juga?”
“Sudah jangan cerewet!”
**** - ****
“Makan malamnya masih lama, kenapa kamu tidak istirahat dulu?”
Sekarang ini aku merasa sama sekali tidak menyesal karena telah meninggalkan Will yang sudah terlelap, dan meninggalkan kamarnya yang kuanggap sebagai tempatku satu-satunya untuk bersembunyi, hanya untuk pergi ke bawah menemui Sarah di ruang makan. Karena semenjak aku tiba di rumah ini, salah satu pikiran yang terus menganggguku adalah sikap Sarah.
Saat menyambut kedatangan kami, aku memang hanya melihat raut wajah penuh kegembiraan dari Sarah, yang tentu saja karena disebabkan Will kembali ke sini. Tapi, sikapnya padaku, tidak seperti apa yang kubayangkan. Dia bahkan melihatku dan menundukkan kepalanya untuk menghormatiku. Memang ada banyak kemungkinan kenapa dia bersikap seperti itu, entah karena keberadaan Will dan tidak ingin merusak suasana atau ingin memperlakukanku sebagai tamu.
Aku memang tidak ingin memberi harapan palsu pada diriku sendiri dengan mengira-ngira dan berharap bahwa Sarah memang sudah berubah. Aku bahkan tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaanku sendiri tentang ‘Jika seandainya Sarah sudah berubah dan tidak membenciku seperti dulu, apa alasannya?’. Dia bisa saja mengacuhkanku, seperti sikapnya dulu padaku. Tapi, ada pikiran yang menggelitik dan berbisik pada diriku sendiri bahwa apa yang kulihat bukanlah halusinasi, bahwa Sarah sudah menganggapku.
Memang tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku saat Sarah menyambut kami, itulah penyebab kenapa aku terus saja menyebut diriku sendiri sebagai seorang pengecut yang menyedihkan dan pada akhirnya membuat rasa gugup semakin menguasaiku. Karena satu hal itu pula, aku bahkan berniat ingin terus bersembunyi di kamar Will. Tentu saja, aku memang terkesan tidak mempunyai keberanian sedikitpun untuk menyapa atau hanya sekedar menanyakan kabar kepada adik iparku sendiri, padahal aku sangat ingin melakukannya.
Tapi di sinilah aku sekarang, berdua dengan Sarah di ruang makan dengan secangkir kopi panas dan beberapa potong buah semangka kesukaanku selama aku di Korea dulu. Untuk sampai di tempat ini, aku bahkan harus berperang dengan diriku sendiri yang tetap menginginkan aku berdiam diri di dalam kamar Will. Membuat kedua kakiku tetap berjalan seberat apapun aku melangkah dengan rasa gugup yang berlipat ganda. Bahkan, langkahku sempat terhenti beberapa kali dan berniat untuk mengurungkan niatku menemui Sarah.
Tapi, lagi-lagi aku merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa saat Sarah mendapatiku sampai di tempat ini dan mengucapkan kalimat padaku ‘Apa kamu ingin secangkir kopi?’-nya, ditambah sebuah senyuman darinya.
“Sarah, aku ingin bertanya sesuatu.”
Aku tidak mendengar jawaban darinya, hanya kedua alisnya yang terangkat di balik kacamatanya.
“Apa kabar?” Tanyaku lirih, tapi aku menangkap sebuah keraguan selama mengutarakan pertanyaan itu.
Beberapa saat kemudian, aku hanya melihat reaksi Sarah yang membuatku merasa sudah seperti mengajukan pertanyaan konyol. Sarah hanya tertawa pelan, mungkin dia tidak menyangka aku akan menanyakan pertanyaan seperti itu karena pada kenyataannya ada jutaan pertanyaan yang ingin kuajukan padanya. Dan menanyakan kabar adalah pertanyaan pertamaku, sama seperti Will yang terus menanyakan kabar Jill dan Nicky tiap kali kami berkunjung ke Grongingen.
“Aku baik-baik saja. Apalagi hari ini aku merasa sangat senang karena bisa melihat langsung dan menyambut kakakku pulang.”
Aku memang tidak berharap banyak karena aku tahu yang dimaksud dengan ‘kakak’ adalah hanya Will saja. Berbicara dengan Sarah seperti ini kurasa sudah sangat cukup bagiku sehingga mungkin dalam waktu dekat, aku tidak akan berharap lebih. Mendapat pengakuan dari keluarga Will memang salah satu hal yang paling kuinginkan karena memang itulah tujuan kami pulang ke sini. Tapi, dari awal aku sudah mengira-ngira bahwa jika seandainya harapanku terpenuhi, setidaknya akan memakan sedikit lebih banyak waktu. Tidak dalam sekejab apalagi jika aku belum melakukan apa-apa.
“Tim, sebenarnya bukan itu kan yang ingin kamu tanyakan?”
Selain aku, tentu saja Sarah akan menyadari bahwa sikapnya padaku kali ini sangatlah berbeda. Bagaimanapun juga, dia pasti lebih mengetahui tentang dirinya sendiri. Jadi, aku tidak heran jika pertanyaan seperti itu dia ajukan padaku sekarang.
“Tidak, aku memang sangat ingin menanyakan kabarmu. Aku sangat ingin melakukannya, seperti Will yang selalu menanyakan kabar Jill dan Nicky ketika mereka bertemu. Karena terkadang untuk hal-hal seperti itu, aku sangat merasa iri pada Will.”
Ada raut wajah bingung yang kulihat dari Sarah. Dan baru kusadari, untuk sebuah awal, aku sangat menyesal telah membawa topik yang membandingkan adik-adikku yang jelas sudah menerima kehadiran Will dalam keluargaku dengan Sarah yang kutahu, belum bisa menerimaku. Pasti kata-kataku telah membuatnya tidak nyaman.
“Maaf, Sarah. Aku tidak bermaksud.”
Sarah menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak apa-apa, Tim. Hanya saja, memang seperti inilah keadaan keluargaku. Aku harap kamu mengerti.”
Kejutan yang lain. Hanya dengan mendengar kata-katanya yang memintaku agar mengerti tentang keadaan keluarganya yang sulit menerimaku, semakin membuatku ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini. Tentu saja meminta agar aku mengerti, tak pernah sekalipun kudengar sebelumnya, kecuali berulang kali diucapkan oleh Ayah Will.
“Jadi, kalau aku boleh bertanya, kenapa kamu bersikap lain padaku kali ini?”
Jika aku benar, mungkin pertanyaan seperti inilah yang ingin didengar dan ditunggu oleh Sarah. Tapi, sarah tidak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan dia mengangkat cangkir tehnya dan meminum tehnya perlahan. Pandangan matanya yang kosong tertuju pada tengah-tengah meja makan, bukan kepadaku.
“Dulu aku tidak menyukaimu, Tim. Dan sekarang aku masih tetap tidak menyukaimu. Tapi, bedanya mungkin kali ini aku tidak membencimu. Aku harus minta maaf untuk sikapku yang dulu. Aku harap kamu juga bisa mengerti posisiku saat itu. Karena selain ayah, aku juga sangat mengidolakan kakak. Walaupun dia orang yang galak dan suka marah-marah, tapi aku sangat menyayanginya. Itu karena dari kecil, aku paling dekat dengannya. Jadi, setelah mendengar pengakuan kakak, rasanya aku seperti disiram air es yang sangat dingin sehingga membuatku beku dan tidak bisa berbuat apa-apa. Itu adalah hal yang paling mengejutkan dan paling tidak kuduga seumur hidupku. Bahkan, walaupun aku sangat dekat dengannya, ternyata itu tidak menjamin aku tahu tentang kakakku sepenuhnya. Aku... merasa sangat terpukul dan entah karena rasa tidak terima atau marah, aku menyalahkanmu sepenuhnya.”
Aku masih mendengar perkataan Sarah dengan seksama. Kali ini aku dapat memahami semua kata-katanya karena semuanya sesuai dengan apa yang kupikirkan selama ini.
“Tapi sekarang, jika memang seperti itulah kakakku yang sebenarnya, apa yang bisa kuperbuat? Karena pada kenyataannya aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Dulu aku hanya berharap bahwa pengakuannya itu hanya sebuah gurauan dan pada akhirnya kakak akan tetap menikah dengan kak Jin Hee. Tapi semakin lama aku semakin tahu bahwa harapanku itu tidak akan pernah terwujud.
Dulu, aku sering bertanya pada diriku sendiri kenapa aku memiliki harapan seperti itu. Dan ketika aku menjawab dengan jawaban bahwa aku ingin melihat kakakku bahagia, aku menyadari bahwa sebenarnya aku semakin tidak tahu apa-apa tentangnya. Aku ingin melihat kakakku bahagia, tapi aku seakan-akan sudah memaksakan sebuah harapanku sendiri pada kehidupannya dan aku bersikap seolah aku tahu segala hal yang terbaik untuknya. Selain itu, dulu aku juga sering berkata ‘apakah kakak tidak memikirkan perasaan ibu? Perasaan kami?’ dan menggunakan kalimat itu sebagai usaha untuk meyadarkannya. Tapi sekarang aku justru tersadar, saat mengucapkan kalimat itu, aku bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaannya saat itu dan apa yang diinginkannya. Yang kupikirkan saat itu hanyalah aku, hanyalah kami, padahal ini menyangkut pilihan hidupnya.”
Aku dapat melihat dengan jelas raut sendu Sarah. Ini adalah hal baru yang belum kuketahui yang mungkin bisa saja menjadi salah satu alasan yang menyebabkan perubahan sikapnya padaku.
“Setahun ini, aku memikirkan banyak hal. Bukankah kakak itu sama saja denganku? Aku mempunyai harapan dan keinginanku sendiri untuk menjalani kehidupanku kelak. Menikah dengan Alex dua atau tiga tahun lagi. Kemudian membeli sebuah rumah di Daegu, tinggal di sana dan memulai kehidupan rumah tanggaku sendiri. Sampai sekarang ibu masih tidak setuju jika aku meninggalkan Seoul, tapi tetap saja aku mempunyai keinginanku sendiri. Bukankah situasinya sama saja walaupun masalah yang dihadapi kakak berbeda denganku, walaupun masalah yang dihadapinya adalah sebuah masalah besar?
Kalau memang aku selalu berpikir seperti itu, bukankah seharusnya aku membiarkan kakakku menjalani apa yang sudah menjadi pilihannya untuk bahagia? Walaupun sampai sekarang aku masih tidak mengerti bagaimana bisa kakakku bahagia dengan cara seperti itu, tapi pada kenyataannya kakakku memang bahagia kan? Lalu kenapa aku harus menuntutnya? Bukankah dia hanya meminta sebuah pengertian? Bukankah dia hanya ingin didengar sebagai manusia biasa yang mempunyai keinginan? Hal-hal seperti inilah yang dulu belum kusadari, Tim.
Mungkin sekarang ini, aku akan mulai menyerahkan semua keputusan di tangan kakak walaupun sampai sekarang aku belum bisa menerima keadaannya yang seperti ini. Aku akan mendukungnya walaupun aku tidak setuju, aku ingin melihat kakakku bahagia walaupun dengan cara yang tidak seperti apa yang kuharapkan. Semua terasa sulit bagiku, tapi aku akan berusaha mencobanya. Yang kuperlukan hanyalah waktu yang sedikit lebih lama untuk bisa mengerti.”
Sarah kembali menatapku.
“Aku tahu tujuan kalian pulang ke Korea, Tim. Jadi, kita lihat apa yang bisa kulakukan untuk membantu kalian nanti saat ibu dan Kak Anthony pulang dari Jeju.”
Apakah pernah terlintas dalam pikiranku bahwa hari pertamaku di Korea akan mengalami hal mengejutkan seperti ini? Jawabannya tidak. Selama aku di Assen, aku bahkan selalu memikirkan dan mengeluh betapa sulitnya aku akan membuat keluarga Will mengerti dan menerima keadaan serta pernikahan kami. Duduk berdua bersama Sarah setelah aku tiba di sini tanpa menghadapi rasa benci dari Sarah saja sudah termasuk hal yang mengejutkan bagiku, dan tentu saja aku tidak pernah menyangkanya. Jadi, mendengar Sarah mengatakan bahwa dia ingin membantu kami mewujudkan apa yang menjadi tujuan kami ke Korea, sudah kuanggap sebagai sebuah keajaiban.
Sekarang ini, aku seperti menghadapi kenyataan bahwa aku harus mulai mencoret Sarah dari daftar orang dari keluarga Will yang harus kami hadapi dalam masalah ini padahal aku belum melakukan apa-apa. Benar-benar diluar perkiraanku.
“Tapi, aku sama sekali tidak mengerti, Sarah.”
Sarah kembali menghembuskan napasnya dan menatap cangkir teh yang dipegangnya.
“Sudah kukatakan sebelumnya bahwa setahun ini aku sudah banyak berpikir. Apa kamu mengira bahwa setahun setelah kepergian kalian, tidak terjadi apa-apa di sini? Karena pada kenyataannya ada banyak hal yang membuatku harus memikirkan kembali semuanya.”
“Apa maksudmu, Sarah?”
“Tentu saja kamu tidak mengerti, Tim. Karena kamu belum tahu. Kakak pasti menyembunyikan hal ini darimu.”
“Will menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Tenang saja, bukan masalah yang besar. Hanya saja setahun ini aku dan kakak terus menjaga komunikasi kami. Setidaknya dua kali seminggu kakak mengirimiku email. Dan kami juga kerap mengobrol di internet, hampir setiap hari. Kamu pasti tidak tahu kan? Aku sudah menyangka bahwa kakak pasti pandai menyembunyikan hal ini darimu. Memangnya dia memakai alasan apa? Kamu tidak curiga sama sekali?”
Terjawab sudah pertanyaanku selama ini kenapa Will selalu tidak suka diganggu saat berkutat dengan laptop atau komputernya. Selama ini dia memakai alasan ‘pekerjaan’ seperti mengedit foto-fotonya atau menghubungi klien dan juga kata-katanya seperti ‘jika kamu ingin pekerjaanku cepat selesai, jangan menggangguku dan tunggu saja aku di kamar’, tapi aku tidak menyangka sama sekali jika di samping itu dia menyempatkan waktu berkomunikasi dengan Sarah. Kalaupun dia memberitahuku yang sebenarnya, aku sama sekali tidak akan keberatan. Lalu kenapa dia menyembunyikan hal ini dariku?
“Sebulan setelah kepergian kalian ke Assen, kakak selalu menghubungiku lewat email dan messenger, tidak kupungkiri saat itu aku sangat merindukannya dan tentu saja mencemaskannya. Mulai saat itu kami sering mengobrol, kalau tidak salah yang terakhir adalah dua hari yang lalu saat kakak memberitahuku kalau dia akan pulang. Jadi itulah sebabnya kenapa hari ini aku di sini, tidak ikut ibu dan Kak Anthony berlibur ke Jeju. Hanya untuk menyambut kakakku. Sementara sampai sekarang ibu dan kak Anthony belum tahu kalau kakak pulang.
Pada awalnya aku selalu menanyakan bagaimana kabarnya, bagaimana hari-harinya atau semua hal yang berhubungan dengannya. Tapi kakak selalu mengalihkan pembicaraan, dan dia tidak pernah berhenti membahasmu dalam obrolan kami. Dia mengatakan padaku banyak hal seperti ‘Hari ini aku sangat kelaparan karena Tim tidak sempat membuat sarapan untukku’. ‘Besok adalah hari ulang tahun Tim, apa yang sebaiknya kuberikan untuknya’. ‘Hari ini aku akan membunuh Tim karena dia sudah berani memasukkan keju ke dalam kulkas’. ‘Hari ini aku ingin makan di restoran mahal tapi Tim melarangku, dia itu sangat pelit’ atau ‘Hari ini Tim sangat menyebalkan karena menyiramkan air ke tubuhku saat membangunkanku, aku semakin membencinya’. Selain itu dia juga sering mengirimkan foto-fotomu dan foto kalian.”
Baiklah, setelah ini aku akan membuat perhitungan dengan Will karena dia sudah berani membongkar semua kejelekanku pada adiknya. Bahkan saat mengatakannya, Sarah seperti tidak bisa menahan tawanya. Tentu saja hal itu membuatku malu, walaupun aku bersyukur suasana di antara kami berdua tidak setegang sebelumnya. Tapi tetap saja, kenapa Will tidak menceritakan hal-hal yang baik saja?
“Aku tahu kakak melakukan itu semua karena ingin membuatku terbiasa denganmu. Dia juga seperti berusaha keras membuatku mengerti bahwa dia sudah mendapatkan kebahagiaannya, dengan hidup bersamamu. Sudah kubilang aku tetap saja tidak mengerti bagaimana bisa dia bahagia dengan menjalani hidup seperti itu, tapi pada kenyataannya aku memang melihat dan merasakan bahwa kakakku benar-benar bahagia. Semakin lama, aku merasa hariku tidak akan lengkap jika tidak mendengar kakak menceritakanmu atau semua hal yang dia alami denganmu. Aneh kan? Aku bahkan tidak bisa mengerti kenapa aku bisa merasakan hal seperti itu. Mungkin karena aku selalu bisa merasakan kebahagiaan dari kalimat-kalimatnya yang menceritakanmu.
Untuk satu hal yang lain, yaitu tetap menjaga kakakku tersenyum dan bahagia walaupun mungkin dalam hatinya masih menyimpan beban karena kami belum sepenuhnya bisa menerima keadaan kalian, aku harus mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih banyak, Tim.”
“Sarah, tidak perlu berterima kasih.”
“Tidak, aku memang harus berterima kasih padamu. Dan selain kakak, ayah juga selalu berusaha membuat kami di sini mengerti.”
Lagi-lagi hal mengejutkan harus kuhadapi kembali. Ini bukan soal kenyataan bahwa Ayah Will juga berusaha membantu kami, tapi mendengar Sarah menyebut kembali tentang Ayahnya sudah pasti mengingatkanku kembali akan pahitnya kejadian empat bulan yang lalu.
“Tim, aku belum minta maaf padamu tentang satu masalah ini. Aku benar-benar minta maaf. Empat bulan yang lalu, aku dan kakak tidak mempunyai pilihan lain kecuali memenuhi permintaan Ayah. Aku bisa bayangkan betapa bingung, kecewa, atau marahnya dirimu setelah mendengar kabar itu dari kakak saat pulang ke Assen setelah dua minggu kepergiaannya ke sini. Aku benar-benar minta maaf.”
Aku merasakan kedua tanganku bergetar begitu saja saat Sarah semakin mengingatkanku tentang kejadian itu. Memang benar, saat itu aku bingung, kecewa, dan tentu saja sangat ingin menumpahkan kemarahanku. Tapi lagi-lagi aku harus berusaha mati-matian untuk mengendalikan diriku, hanya untuk Will dan Ayahnya. Bahkan sampai detik ini, aku masih tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti.
**** - ****
(4 bulan yang lalu)
Tanganku benar-benar bergetar hebat karena saat ini tubuhku masih dikendalikan oleh rasa terkejutku. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali tetap berusaha agar surat terakhir yang Ayah Will berikan untukku tidak terjatuh begitu saja dari genggaman tanganku, sementara Will masih berdiri diam di depanku.
“Will, apa-apaan ini?”
“Tim, selain surat itu, aku mempunyai pesan terakhir ayah untukmu beberapa hari sebelum ayah dioperasi. Aku harus menyampaikannya langsung padamu, jadi anggap saja yang berbicara setelah ini adalah ayah.”
Aku melihat butiran air mata yang terlihat jelas memenuhi kedua mata Will. Dia terlihat masih berusaha bersikap tegar di hadapanku walaupun aku tahu, dia tengah hancur saat ini, sama sepertiku. Tapi, aku masih tidak percaya. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang tengah kuhadapi saat ini. Sangatlah tidak mungkin aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi karena pada kenyataannya aku memang dalam keadaan sadar sepenuhnya. Tadinya, aku hanya berharap bahwa setelah dua minggu kepergian Will ke Korea karena pekerjaannya dan hari ini aku menyambut kedatangannya, kami bisa melepas rindu, kami bisa menebus kebahagiaan yang terlewat selama dua minggu ini. Tapi sekarang, justru kenyataan pahit yang harus kuhadapi dan kuterima bersama kepulangan Will ke Assen.
“Tim, tidak ada yang bisa kukatakan lagi padamu selain kata maaf dan terima kasih. Aku tahu, keputusanku kali ini pasti akan membuatmu kecewa dan marah. Bukan berarti aku tidak menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku, tapi aku hanya tidak ingin membuatmu mencemaskanku. Dan aku juga minta maaf jika selama ini keluargaku masih belum bisa menerima pernikahan kalian. Mereka hanya belum mengerti dan aku berharap kalian berdua bisa bersabar sedikit lagi.”
Air mata itu pada akhirnya jatuh juga dari kedua mata Will, tapi tetap saja dia nampak berusaha bersikap baik-baik saja. Tetap memandangku dengan penuh ketegaran. Sedangkan aku, aku bahkan tidak tahu bagaimana keadaanku sekarang ini. Satu hal yang kusadari, aku masih menatap Will dengan rasa tidak percayaku.
“Aku juga ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah memberi kebahagiaan pada Will, dan terima kasih karena tidak membenci keluargaku. Mungkin aku tidak bisa melihat semua orang-orang yang kucintai bahagia, tapi aku yakin suatu saat nanti kalian semua pasti akan bahagia. Aku menitipkan Will padamu, tolong jaga putraku dan... “
Will menundukkan wajahnya, dapat kulihat dengan jelas dia berusaha mengatur napasnya. Dan air mata itu, tetap tidak bisa berhenti.
“Dan aku minta maaf jika selama ini ataupun setelah ini, putraku akan menyusahkanmu. Aku tahu pasti di sana Will selalu membuatmu sakit kepala. Jadi maafkan dia. Dan aku juga berharap kalian berdua kelak bisa benar-benar bahagia. Untuk terakhir kalinya, aku mengucapkan terima kasih padamu.”
Tanpa berpikir, aku langsung memeluk Will dan mendekapnya erat-erat sebelum tubuhnya membungkuk untuk memberi hormat padaku. Aku memang kecewa dan aku memang ingin marah, tapi apa manfaat yang kudapat jika aku marah? Tidak ada! Semua telah terjadi begitu saja tanpa kuketahui.
Semua memori dan kenangan tentang pertemuanku dengan Ayah Will sebelum kepergianku ke Assen tergambar jelas di benakku saat ini. Bagaimana kami berdua selalu membahas dan mencemasakan Will dan keluarganya, atau ketika Ayah Will untuk pertama kalinya memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan ‘ayah’. Dan paling tidak bisa kulupakan, tentang persetujuannya agar aku membawa pergi Will ke Assen ketika keadaannya sudah sangat sulit saat itu. Aku benar-benar berhutang banyak padanya. Tanpanya, aku tidak akan pernah mempunyai keberanian yang cukup untuk memulai semuanya, dengan Will.
“Aku minta maaf, Tim.” Kurasakan Will membalas pelukanku lebih erat. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk sementara, membagi kesedihan dan menguatkan satu sama lain, hal yang sangat kami butuhkan ketika kami hanya berdua.
“Kamu tidak tahu betapa aku sangat ingin mengabarimu tentang ini, Tim. Tapi ayah selalu melarangku. Karena dia selalu memikirkanmu. Dia tidak ingin kamu mencemaskannya, bukan karena dia tidak menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku. Dia sangat menyayangimu, Tim. Jika kamu ingin marah, marah saja padaku.”
Puncak dari rasa sakit itu akhirnya kurasakan juga karena aku sudah tidak lagi bisa membendung air mata yang sedari tadi ingin mendesak keluar. Aku mengambil nafas sebanyak yang kubisa, berusaha melawan rasa sakit dan sesak yang sedang memenuhi rongga dadaku. Tapi aku tahu, semuanya sia-sia.
**** - ****
“Tim...?” Aku kembali tersadar setelah Sarah memanggil namaku. Pasti untuk beberapa saat tadi aku sedang melamun.
“Walaupun aku masih saja tidak mengerti kenapa ayah mengambil keputusan seperti itu, merahasiakan penyakitnya, operasinya, dan... kepergiannya dariku, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga mengerti keadaan kalian, jadi tidak perlu minta maaf, Sarah.”
Kami berdua tersenyum. Aku yakin, baik aku ataupun Sarah tersenyum karena tidak tahu bagaimana harus bereaksi atas pembahasan masalah ini.
“Jika kamu tidak keberatan, apa boleh aku tahu apa yang dilakukan ayah setelah kepergianku dan Will ke Assen?”
“Oh soal itu. Kami hanya bertiga di rumah ini, sementara Kak Anthony masih menjalani wajib militernya. Setiap hari ayah selalu membahas kakak ketika kami bertiga berkumpul. Pada awalnya aku juga ikut terdiam, sama seperti ibu. Tapi beberapa bulan setelah kepergian kalian dan beberapa kali mendapat email dan mengobrol dengan kakak di internet, aku selalu ikut menanggapi kata-kata ayah jika kami sudah membahas masalah kakak. Beberapa kali ayah juga ikut membaca email ataupun melihat foto kalian yang kakak kirimkan padaku. Walaupun saat itu kami tahu, ibu juga masih berhubungan dengan kakak, memintanya pulang untuk menyuruhnya memikirkan kembali semuanya, dan... memintanya untuk berusaha kembali menikah dengan seorang wanita.”
Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
Walaupun sekarang ini aku sudah mendapatkan sedikit jalan terang dengan Sarah yang akan membantu kami meski dia sendiri belum bisa menerima keadaan kami, tapi aku juga tidak boleh mengharapkan bahwa apa yang kualami dengan Sarah hari ini, akan sama terjadi jika aku sudah menghadapi ibu Will ataupun Anthony.
“Sepertinya kita berdua memikirkan hal yang sama, Tim. Membuat ibu mengerti bukanlah hal yang mudah karena dulu sebelum hari pengakuan kakak, aku selalu bisa melihat sebuah harapan yang besar bahwa ibu bisa melihat kakak menikah secepatnya. Dulu, ibu berulang kali menyindir kakak karena kakak sudah berulang kali menghadiri dan menjadi fotografer pernikahan teman-temannya, tapi sampai saat itu bahkan kakak belum mengenalkan seorang wanita pun pada ibu padahal usia kakak sudah menginjak dua puluh tujuh tahun. Menurut ibu, itu adalah usia yang sudah terlalu terlambat bagi seorang pria untuk menikah. Aku mengerti, itu hanyalah kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya kan? Sampai pada akhirnya kakak mengenalkan Kak Jin Hee, teman lama yang sudah menaruh hati padanya.
Sebenarnya kak Jin Hee juga ikut andil, dia juga salah satu orang telah berhasil membuatku berpikir kembali. Dia memperlihatkan padaku sikap tegar untuk menghadapi masalah ini. Dan dia bisa memaafkan kakak sesakit apapun perasaannya saat itu. Mungkin sama denganku, kami sama-sama sulit menerima, tapi kak Jin Hee adalah seorang yang dengan nyata berusaha tidak menuntut apa-apa dari kakak.”
“Jadi, Will, ayah, dan Jin Hee?”
Sarah mengangguk. Aku paham sekarang, setahun telah berlalu dan ternyata banyak sekali yang kulewatkan karena keputusanku untuk menutup diri dari semua hal yang berhubungan dengan Korea dan keluarga Will. Aku benar-benar buta selama ini.
“Sementara untuk kak Anthony, aku kurang begitu paham apa yang dipikirkannya atau bagaimana perasaannya karena selama masalah ini muncul, kak Anthony hanya bisa pulang beberapa kali selama menjalani wajib militernya. Saat hari di mana kakak memutuskan untuk ikut denganmu ke Assen dan saat ayah meninggal. Tapi aku yakin, kak Anthony tidak akan pernah bisa berhenti memikirkan masalah ini. Dan aku berharap semua berjalan lancar sesuai apa yang kita harapkan.”
Masih belum terbiasa bagiku tapi aku sangat bersyukur ketika Sarah menggunakan kata ‘kita’ yang berarti tidak hanya aku dan Will, tapi dia termasuk di dalam kata ‘kita’ itu. Paling tidak sekarang saat aku kembali ke Korea dan tidak bisa lagi bertemu dengan ayah Will dan mendapat dukungan darinya, ada Sarah yang menggantikannya.
Saat aku hendak menanggapi kata-kata Sarah, aku seperti merasakan kehadiran seseorang di sekitar tangga menuju lantai dua dan saat ini juga aku seperti merasa sudah diawasi. Tentu saja aku bisa menyimpulkan kalau itu adalah Will. Dan pasti dia tadi hanya pura-pura tidur, saat aku memutuskan untuk meninggalkannya sendirian di kamar.
“Sepertinya dari tadi, kita tidak hanya berdua, Sarah.”
“Kamu baru menyadarinya, Tim?”
Kali ini Sarah kembali tertawa pelan.
“Sebaiknya kamu ke atas, istirahat dulu karena kalian pasti lelah. Makan malam masih satu setengah jam lagi. Nanti aku akan memanggil kalian begitu waktunya tiba. Dan, Tim...?”
“Ya...?”
“Aku minta maaf, mungkin selama ini aku lancang tapi aku belum bisa memanggilmu dengan sebutan ‘kakak’. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku mungkin butuh waktu sedikit lebih lama lagi.”
Aku menggeleng pelan dan tersenyum.
“Berdua denganmu di sini, berbicara banyak hal dan mengetahui bahwa kamu tidak lagi membenciku walaupun kamu masih tidak menyukaiku, mendengar kamu ingin membantu kami dan menjelaskan padaku banyak hal yang tidak kuketahui, sudah lebih dari apa yang kuharapkan selama ini, terlebih di hari pertamaku di Korea. Terima kasih banyak, Sarah.”
Untuk terakhir kalinya kami berdua saling tersenyum sebelum aku kembali ke kamar Will untuk membuat perhitungan dengannya.
**** - ****
“Aku tahu kamu hanya pura-pura tidur. Kamu menguping pembicaraanku dengan Sarah kan? Itu tidak sopan, Will! Will?”
Will masih tidak bergerak sama sekali, masih berpura-pura tidur bahkan setelah beberapa menit aku kembali ke kamar ini.
“Jangan membutku memaksamu, Will!”
Aku mendekatkan wajahku dan mencium bibir Will, kemudian menekan kedua pipinya sampai mulutnya terbuka. Dan tidak seperti dugaanku, dia masih tidak bereaksi sama sekali. Jadi, aku membungkam mulutnya dengan mulutku sementara kedua jariku menutup hidungnya.
Beberapa saat kemudian tentu saja Will meronta-ronta karena tidak bisa bernapas, dan berusaha mendorong tubuhku. Aku membiarkan Will mendapatkan udara dengan melepas kedua jariku yang semula menutup hidungnya. Dan ketika aku mendapatkan lidahnya, aku melumat dan menggigitnya sehingga membuatnya makin kelabakan. Jika Will menyebutku sadis karena ini, maka aku bisa mengembalikan ejekan itu dengan mengingatkannya tentang perlakuannya padaku yang seperti ini pada hari ulang tahunku di Assen.
“Aha hang hahu hahuhan, Him?”
“Apa, Will?”
Aku masih melihat Will menutup mulutnya setelah ‘aksi menggigitku’ selesai. Dia masih memandangku tak terima. Perlakuanku kali ini masih dalam kategori bukan apa-apa jika dibandingkan perlakuan Will padaku saat itu, karena dia tidak berhenti menggigit lidah dan bibirku saat aku tidur siang di hari ulang tahunku sampai aku kelelahan karena terus-menerus meronta dan berusaha menjauhkan Will dariku, yang tentu saja saat itu usahaku sia-sia.
“Kubilang, apa yang kamu lakukan? Bukannya memberi ciuman yang enak, kenapa justru menjahiliku?”
Aku melipat kedua tanganku di depan dadaku, masih terduduk di tempat tidur, di samping Will yang masih terbaring.
“Karena kamu curang, Will. Jadi kamu pantas mendapatkannya.”
“Cu... curang bagaimana?”
Aku menatapnya tajam dan kembali berniat memberinya ‘pelajaran kedua’ tapi Will langsung mengangkat kedua tangannya, menyerah.
“Aku mengerti. Aku mengerti, Tim.”
“Jadi, katakan padaku!”
Will ikut duduk bersila di depanku. Dan sedetik kemudian dia nampak berpikir.
“Ehem... kejutan!”
Aku hanya bisa menatapnya dengan raut wajah bosanku karena aku tidak terkejut sama sekali sekarang. Mungkin jika Will mengatakannya pada saat aku dan Sarah memulai pembicaraan kami, aku akan terkejut. Tapi sekarang?
Will masih bertahan dengan ekspresi senang dan bangganya, jadi mau tidak mau aku harus menghargai usahanya.
“Ya, aku sangat terkejut.” Kataku sedatar mungkin.
Seketika raut senang dan bangga Will lenyap diganti wajah kesal yang ‘tidak terima’.
“Kamu ini menyebalkan sekali, Tim. Bukan seperti ini reaksi yang kuharapkan darimu setelah setahun ini aku berusaha membuat satu kejutan untukmu. Benar-benar tidak menghargai sama sekali.” Teriaknya kesal.
“Setahun? Membuat kejutan? Untukku?”
“Apa kamu pikir aku mengajakmu kembali ke Korea itu tanpa persiapan apa-apa? Aku sudah menyiapkan semuanya tahu tidak? Aku selalu memikirkannya selama di Assen. Kamu pikir aku akan tega mengajakmu kembali ke Korea jika aku hanya bisa memberimu beban?”
“Jadi ini salah satu alasan lain yang menyebabkan kamu sampai berani mengajakku kembali ke Korea? Karena pada kenyataannya Sarah sudah tidak seperti dulu?”
Ekspresi wajah Will yang tadinya nampak kesal, sekarang kembali murung.
“Maaf, mungkin hanya ini satu-satunya alasan menggembirakan yang bisa kuberikan padamu karena selebihnya, pasti akan menambah beban pikiranmu.”
Aku memicingkan mataku menatap Will penuh selidik. Benar-benar ada alasan yang lain?
“Jadi, selain ingin melaksanakan pesan terakhir ayahmu, membuat keluargamu mengerti, hadir di pernikahan Anthony dan Jin Hee, kembali bekerja di perusahaan Paman Sung, dan Sarah yang sudah tidak seperti dulu dan berniat membantu kita, masih ada alasan lain?”
Kali ini Will hanya mengangguk.
“Masih ada banyak alasan yang belum kukatakan padamu, Tim. Dan aku memang tidak akan mengatakannya kecuali kamu nanti akan tahu sendiri. Jika aku mengatakan semuanya sekaligus, itu akan sangat membebani pikiranmu dan aku akan sangat merasa bersalah. Aku harap kamu bisa mengerti.”
Aku meraih tubuh Will dan memeluknya. Apa yang kudapatkan hari ini, sudah lebih dari cukup. Selama setahun dia berusaha sendirian membuat Sarah mengerti tanpa sepengetahuanku hanya untuk memberi satu kejutan padaku di hari pertamaku di Korea? Apakah dia tahu betapa bahagianya aku saat tahu tentang ini?
“Lalu kenapa tempo hari kamu memberi pilihan padaku untuk memilih kembali ke Korea atau tidak?”
“Itu karena aku yakin kamu akan memutuskan untuk kembali ke Korea. Aku adalah satu-satunya alasan yang membuatmu menyetujui rencanaku. Karena kamu selalu memikirkanku kan, Tim?”
“Terima kasih, Will. Terima kasih.”
“Dan sekali lagi maaf, Tim. Mungkin dua alasanku yang lain akan kamu ketahui besok. Tapi, bukan aku yang akan mengatakannya. Aku berharap, kamu masih bisa mengerti posisiku setelah kamu mengetahuinya. Dan aku minta kamu berjanji bahwa kamu tidak akan menyalahkan dirimu sendiri.”
Will berhasil membuatku heran.
“Lalu? Bagaimana aku bisa tahu alasannya jika kamu tidak mengatakannya padaku?”
“Karena mungkin mereka yang lebih bisa menjelaskan padamu. Mereka yang lebih mengetahui situasinya, Tim. Aku takut jika aku yang mengutarakannya, kamu akan salah paham.”
“Mereka? Siapa?”
Will memandangku lekat-lekat. Seperti yang kulakukan sebelumnya, kali ini Will menyatukan kening kami. Apa aku akan mendengar kejutan lain dari Will kali ini?
“Tim, kamu akan mengetahuinya besok dari Sarah dan Young Min.”
pro dan contra dikomen pasti ada, Bro.. Ambil positifnya aja..
Dari segi tulisan udah ada karakternya, kok
Anyway, i cant wait for the next chapter. Keep up the good work @wessel!
Once again, updateanny banyaknyo...hihihihi. Cuma kalau dibaca beda waktu, feelnya keburu ilang. Makanya, sekali ada waktu, sekali baca juga.
Apa ya? Ada dua kalimat kalau nggak salah, yang keliatannya belum selesai. Aku cuma nemu satu, dicari lagi yg satu nggak ketemu Ini salah satunya
“Maaf, Sarah. Aku tidak bermaksud.”
(Apakah kamu bermaksud melanjutkan kalimat itu dengan ... atau memang aada lanjutannya?)
Terus kalimat ini - “Maaf, Will!” - Minta maaf kok pakai tanda seru? Kesan kalau dibaca kan jadinya bukan permintaan maaf yg tulus, jadi malah kayak bentak gitu. Minor sih, tapi ngaruh ke feel nya lho
Tentang surat Ayah Will. Rasanya, agak janggal ya Ayah Will menyebut dirinya sebagai AKU kepada Tim. Kesan orang tuanya nggak dapet. Harusnya, pakai aja Ayah atau Papa, jadi yang baca, ngerasa feelnya bahwa yg nulis surat itu Ayahnya Will. Again, ini minor juga, tapi menurutku ngaruh ke feelnya.
Terus kalimat ini - “Ehem... kejutan!” - Tim udah tahu bahwa sikap Sarah nggak kayak dulu lagi jadi, kenapa harus ada kalimat ini? Sekalipun Will pengen bilang bahwa sikap Sarah itu sebagai kejutan buat Tim, mungkin bisa dipakai kata2 lain? karena buat Tim, ini bukan kejutan lagi.
Overall, aku bisa nangkep chapter ini dan yang harus kamu lakuin adalah, banyak baca dan banyak nulis. Yakin deh, percaya kalau lama2, tulisan kamu bakal jadi lebih baik. Banyak baca itu ngaruh lho ke cara kamu nulis, karena kamu bakal dapet ilmu2 baru tentang tanda baca, intonasi dsb. Aku juga masih belajar kok, karena kadang masih ada yg salah2 juga, hehehehe.
Nggak pengen terlalu banyak komen #MintaDitoyor tapi, semua ini buat kebaikan kamu juga karena aku sebenernya iri sama kamu. Cerita2ku nggak ada yang mengkritisi seperti ini , padahal aku pengen banget dikritik jadi, jangan anggap ini sebagai cara aku bilang tulisan kamu nggak bagus ya? Please jangan beranggapan kayak gitu. Aku cuma pengen tulisan kamu jadi lebih baik lagi, itu aja. Karena cerita ini, jenis cerita yang mungkin bisa aku tulis. I see a great deal of myself in you, kalau kata Miranda Priestly
Keep writing!!! and reading!!!!
Nah, penulis harusnya nggak boleh ngerasa kayak gini. Kalau kamu memang dari awal berniat bikin karakter kamu jauh diatas usia kamu, kamu harus 'mengubah' diri kamu jadi karakter itu. Gunakan imajinasi kamu, kalau misalnya tokoh kamu usianya X, kira2, cara berpikirnya bakal kayak apa ya? Itu tugas penulis untuk menjadi orang lain selain dirinya sendiri. Gampangnya, posisikan diri kamu jadi aktor deh, aku selalu gitu.
Aktor kan selalu berperan berdasarkan naskah dan naskah2 itu, tentu saja nggak sesuai dengan kepribadian mereka. Kamu udah pernah liat The Reader-nya Kate Winslet atau Iron Lady-nya Meryl Streep? Disitu, mereka berperan jadi nenek2, orang yg usianya jauh diatas usia mereka dan jelas, mereka belum jadi nenek2 kan? Sama juga penulis harus seperti itu. Posisikan diri kamu jadi karakter2 kamu, karena kamu yang menciptakan karakter2 itu, kamu harusnya tahu cara berpikir, sifat, sikap ataupun tindakan yang bisa dilakukan karakter kamu itu. You are the characters.
Jadi, jangan pakai alasan berat atau susah tentang karakter yang kamu buat sendiri. Kalau memang kamu berniat dari awal bikin karakter yg usianya jauh diatas kamu, jadilah karakter itu. Percaya deh, karakter2 kamu nanti bakal punya nyawa, bukan cuma sekedar nama. Aku juga belum sepenuhnya mampu bikin karakter yg bener2 bulet dan hidup, masih belajar banyak ttg satu hal itu.
Anyway, sori ya kalau keliatannya aku cerewet, banyak omong dan sok menasehati aku cuma pengen tulisan kamu jadi lebih baik, terlepas nanti kamu bener2 mau jadi penulis beneran atau nggak. Punya tulisan yg rapi dan enak dibaca itu nyenengin, sekalipun buat dibaca sendiri. Jadi, aku bener2 berharap, kamu anggap semua komenku ini bukan sebagai cara buat jatuhin mental kamu atau bilang tulisan kamu nggak bagus. But, sebagai masukan aja. Aku juga butuh masukan dari siapapun yang mau karena aku anggap, tulisan2ku juga masih butuh banyak dibenahi. Jadi, jangan anggap aku udah tingkat dewa juga nulisnya ya? Aku sama kayak kamu, kita sama2 belajar. OK?
Itu aja sih, hehehehe. Sori ya? kalau komen ngabisin tempat mulu, hihihihi
RT sm bang Aby!
pasti! dan selama ini banyak banget kok positifnya.
asik, syukur deh nambah satu yang suka. heheheh
ya, agar tidak merasa asing di tempat lain saja sepertinya itu cuma satu2nya cara yang kepikiran sama Will
aku memang gak bermaksud nglanjutin. Aku bisa saja lanjutin dengan kalimat "... membandingkanmu dengan adik atau keluargaku" (yang udah nerima Will), tapi aku gak nganjutin karena di situ aku dah gambarin Sarah dan Tim sama2 tahu inti dari kalimat "Maaf, Sarah. Aku tidak bermaksud” itu. (Tim tahu terlihat dari narasi, dan Sarah, dari ekspresi bingungnya). Soalnya akan lebih gak ngenakin suasana lagi jika aku nyebutin secara gamblang lanjutan kalimat itu.
udah kecatet bang, makasih koreksinya.
kalau masalah penggunaan kata "aku" dari ortu ke anak, masa sih agak janggal? Soalnya di kehidupan sehari2 kalau berdialog ada sebagian pake "aku" langsung, bisa sih pake "papa/mama" tapi aku pribadi malah kadang ngrasa gak sreg dengan itu. Mungkin ini masalah lingkunganku? ya soalnya ortuku pake bahasa "aku" bukan nyebut diri mereka "bapak/ibu". tapi trima kasih atas masukannya yang ini, gak kepikiran sampe situ soalnya. jadi, sebelum ini aku juga gak kepikiran buat nyari referensi ttg orangtua di Korea gimana nyebut diri mereka saat bicara sama anaknya. hehehehe
iya sih aku sebenernya bisa pake kalimat lain, tapi di sini aku sengaja karena pengen nyiptain "Krik2 momen" kayak kasus kalau orang ngasih kejutan yang udah sangat terlambat/keburu yang dikasih kejutan udah tahu. Nah jatuhnya bakal garing kan? Itu sebenernya tujuanku.
nah krik2 momen itu dijelasin di narasi Tim yang ini :"Aku hanya bisa menatapnya dengan raut wajah bosanku karena aku tidak terkejut sama sekali sekarang. Mungkin jika Will mengatakannya pada saat aku dan Sarah memulai pembicaraan kami, aku akan terkejut. Tapi sekarang?"
jadi itu bener2 kusengaja.
nangkep maksudku bang????
memang slama ini bang aby bner2 belom dapet komentar seperti ini dari reader bang aby? hehehe mungkin lain kali ada bang yang bakal mengkritik.
harus komen banyak bang #maksa
ditunggu terus komennya.