It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehehe maaf maaf, mungkin besok malam atau malam minggu.
**** - ****
“Apa pada akhirnya kamu jadi menyerahkan urusan restoranmu itu pada Emma, Tim?
“Sebenarnya aku ingin Jill yang mengurusnya, Will tapi kamu pasti tahu kalau dia sama sekali tidak tertarik dengan bisnis restoran. Dan aku tidak mungkin lagi meminta Dad untuk melakukannya.”
Seperti biasanya, aku dan Will menghabiskan malam kami hanya berdua di dalam kamar. Tentu saja aku merasa beruntung karena malam ini tidak ada kunjungan baik dari Ilse yang kuketahui sudah berangkat lagi ke Osaka kemarin, ataupun Jin Hee dan Dong Sun yang pasti sudah kelelahan setelah acara jalan-jalan mereka yang ternyata hanya berputar-putar di Drenthe, Groningen, dan Friesland. Mereka mengaku ingin menyimpan kunjungan ke tempat-tempat yang lain untuk acara bulan madu mereka setelah menikah.
Sebenarnya sekarang ini aku masih memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang Jin Hee yang bisa dengan mudah melupakan perasaannya pada Will dan rasa sakit hatinya hanya selama kurang lebih satu setengah tahun, setelah impiannya kami hancurkan,. Ditambah lagi, dia sudah memantabkan dirinya untuk menikah dengan Dong Sun. Aku tidak tahu bagaimana bisa tapi jika memang pada kenyataannya Jin Hee benar-benar yakin dengan keputusannya kali ini, maka aku hanya bisa berharap bahwa dia akan menemukan kebahagiaannya, bersama Dong Sun.
“Bagaimana dengan Nicky?”
“Apa maksudmu, Will? Nicky masih sembilan belas tahun dan belum lulus dari pendidikannya.”
“Ah iya, kamu benar.”
Aku tertawa. Sebenarnya, aku sangat menikmati saat-saat seperti ini. Hanya berduaan dengan Will, membicarakan semua hal yang terlintas di benak kami, memainkan dan mengacak-acak rambut Will karena dia selalu menjadikan tubuhku sebagai sandaran punggungnya, ataupun melingkarkan tangan kiriku pada lehernya. Sedangkan Will sendiri seperti tidak mau melepaskan tangan kananku, terus-menerus memegang dan menciumnya berulang kali. Memang, dari semua perlakuan lembut yang bisa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, Will hanya dapat bersikap lembut dengan cara-cara seperti ini, selain memelukku tempo hari jika dia sudah berniat membujuk atau merayuku. Dan sisanya pasti berujung pada teriakan kesal, sikap galaknya, atau kejadian-kejadian lain yang tidak akan pernah kulupakan.
Aku tahu sampai saat ini Will selalu ingin memberikan sebanyak mungkin kenangan indah padaku, setidaknya itulah yang dikatakannya berulang kali. Masih teringat saat kami pertama kali berkencan, dia mengajakku ke Sky Lounge untuk makan malam, yang dia tidak tahu kalau aku sebelumnya sudah sering ke sana. Dan pada akhirnya dia membuatku muntah-muntah karena pilihan makanannya yang tidak kuketahui ternyata terbuat dari cumi-cumi. Itu karena tampilan luarnya tidak terlihat seperti makanan yang membuatku mual itu, lagipula Will sudah mengatakan kalimat penegasannya agar aku tidak protes. Dia juga pernah mengajakku ke Grand Hyatt di Yongsan untuk bermain ice skating. Memang tempatnya sangat romantis dan bisa kubilang menakjubkan. Tapi karena keasikan bermain, Will akhirnya menabrakku hingga aku terjatuh sebanyak tiga kali. Bukan hanya menabrakku, tapi benar-benar menabrakku dengan lumayan keras.
Dia juga sering mengajakku bersepeda di taman Han-gang tiap akhir pekan. Tapi pernah satu kali dia menggodaku habis-habisan yang tengah bersepeda dan pada akhirnya aku menabrak semak-semak, tentu saja aku sangat malu dan yang dilakukan Will saat itu hanya menahan tawanya. Selain itu, saat Will mengajakku untuk bersenang-senang di Lotte World, dia berhasil menjadikanku patung penunggu di depan pintu toilet karena dia mempunyai masalah dengan perutnya yang disebabkan salah makan.
Aku pernah satu kali membuatnya kaget pada hari ulang tahunnya sekitar dua tahun yang lalu, dan saat itu tidak ada yang bisa kulakukan kecuali mendengarnya marah-marah selama berpuluh-puluh menit sampai lilin kue ulang tahunnya yang telah kusiapkan hampir meleleh seluruhnya dan sup rumput laut yang kubuatkan untuknya menjadi dingin. Dan yang paling tidak bisa kulupakan adalah peristiwa terbakarnya tempat tidur kami karena lilin bodoh Will saat malam pertama kami di Assen karena dia sok ingin bersikap romantis seperti halnya perlakuanku padanya selama ini. Apakah untuk menambah daftar itu aku perlu menyebut kejadian di Pantai Eurwangni saat aku mengajaknya ke Incheon?
Will memang berhasil membuatku tidak bisa melupakan kejadian-kejadian itu, walaupun semuanya berakhir ‘tragis’. Dulu, aku memang merasa kesal padanya. Tapi sekarang aku justru sangat ingin mengulangnya, dan entah kenapa aku merasakan kejadian-kejadian itu telah berubah menjadi kenangan manis yang tidak akan hilang dari benakku. Setidaknya Will berhasil, walaupun untuk merubah kejadian menyebalkan menjadi kenangan manis, aku butuh waktu tahunan, atau hanya dua puluh empat jam, atau mungkin begitu kami meninggalkan tempat-tempat itu.
Dari satu tahun dan satu bulan ditambah tepatnya dua minggu yang telah kami lewati di Assen, aku kehilangan beberapa malam berharga karena tidak bersamanya seperti ini. Aku ingat ketika Will harus ke Munich selama tiga hari ketika usia pernikahan kami baru menginjak satu setengah bulan. Aku merasa sudah berbuat konyol waktu itu karena begitu aku terbangun di pagi hari dan kusadari Will tidak bersamaku ketika aku membuka mata, aku bersikap seperti orang gila karena langsung berteriak-teriak mencarinya ke seluruh ruangan apartemen dengan rasa panik yang luar biasa. Begitu aku mulai tenang dan teringat bahwa Will masih di Munich, aku spontan tertawa karena merasa lega dan tentu saja tertawa untuk menertawai sikap berlebihanku sendiri. Memang tidak bisa kupungkiri bahwa aku merasa takut. Saat itu, di awal-awal pernikahan kami, kehilangan Will selalu menghantuiku karena begitu aku memikirkan Will yang tidak ada di sampingku, bayang-bayang keluarganya selalu muncul mendominasi pikiranku. Sekali lagi, bukan berarti aku membenci keluarganya, tetapi memikirkan keluarga Will kadang berhasil memaksa pikiranku untuk menganggap aku kehilangan Will.
“Tim?”
“Ada apa Will? Kenapa kamu terlihat serius seperti itu?”
Masih di atas tempat tidur kami, tapi bedanya sekarang Will sudah duduk bersila menghadapku dengan tatapan setengah tajamnya. Mungkin, dia ingin bicara serius denganku kali ini. Dan jika dugaanku benar, aku tidak akan pernah heran bahwa topik yang akan kami bicarakan lagi-lagi mengenai kepindahan kami ke Korea. Topik ini seolah-olah tak akan pernah kami lewatkan untuk dibahas setiap saat begitu aku dan Will mempunyai waktu senggang berduaan seperti ini. Dan pembahasan masalah ini sepertinya tidak akan berhenti sampai pada akhirnya kami benar-benar sudah menginjakkan kaki kami di Incheon.
“Will, apa aku pernah bilang padamu kalau kadang kamu bisa terlihat sangat menyeramkan dengan pandanganmu itu saat ruangan remang-remang seperti ini? Kamu seperti mayat hidup yang siap untuk menelanku hidup-hidup. Jadi, katakan sesuatu!”
Bahkan, candaanku sepertinya tak mampu menggoyahkan ekspresi seriusnya. Mungkin kali ini aku lagi-lagi harus menuruti apa yang dia inginkan meskipun membahas Korea sama saja dengan sengaja membuat diriku sendiri masuk ke dalam suasana tidak nyaman.
Beberapa hari sebelum ini, kata-kata Korea atau yang berhubungan dengan Korea dan keluarga Will, sudah jutaan kali terdengar oleh telingaku. Baik itu diucapkan Will, ayah, Jin Hee, ataupun Dong Sun.
Aku tadinya berharap bahwa seiring dengan semakin seringnya mendengar kata-kata itu, aku akan terbiasa dengan sendirinya, atau yang lebih kuharapkan yaitu aku akan merasa bosan. Tapi kenyataannya tidak sama sekali. Aku tidak akan pernah terbiasa atau merasa tenang sebanyak apapun aku membahas masalah ini apalagi setelah aku menjalani kehidupanku di Assen bersama Will setahun ini, sekalipun aku sudah pernah tinggal di Korea selama sepuluh tahun sebelumnya. Tapi, di sisi lain, aku sudah mempunyai tambahan satu sejata baru untuk memberi motivasi dan semangat pada diriku sendiri, yaitu kata-kata Dong Sun kemarin malam, “Salah satu cara jitu untuk menyingkirkan rasa takut adalah dengan menghadapinya”. Pada keyataannya, aku bahkan tidak menyukai kalimat itu. Tapi aku tidak mempunyai cukup alasan untuk tidak membenarkannya kali ini.
Aku bisa saja menganalogikan bahwa aku sedang berada di sudut ruangan di mana tepat di depanku ada seekor singa yang buas dan lapar. Sebelum aku terpojok, aku memang selalu lari dari singa itu karena kupikir aku memang tidak mempunyai cara lain untuk menghadapinya. Dan ketika aku sudah menyadari bahwa aku tidak bisa lagi berlari untuk menghindar, maka satu-satunya cara yang tersisa adalah melawan singa itu. Meskipun terdengar sangat sulit untuk melakukannya, tapi tetap saja aku masih mempunyai kemungkinan menang, walaupun sedikit. Aku pasti akan merasakan takut, tapi jauh di dalam diriku ada tekad yang besar untuk menang melawannya. Dong Sun memang benar, karena pilihan untuk berdiam diri, pasrah, dan merasa kalah dengan keadaan adalah pilihan buruk yang sia-sia ketika aku sudah tidak bisa lagi menghindar. Setidaknya, aku akan berusaha.
“Masih tiga hari lagi sebelum kita berdua pindah, apa malam ini aku harus memberi kesempatan kedua padamu untuk kembali memikirkan keputusanmu itu?”
Kedua alisku terangkat begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak bisa kupahami selama sekian detik. Apa Will baru saja menyuruhku memikirkan kembali keputusanku itu? Untuk sesaat, aku berpikir bahwa Will sedang tidak sadar dengan apa yang dia ucapkan. Maksudku, mungkin dia sedang mengantuk atau apa sehingga semua perkataannya menjadi sedikit aneh.
“Apa maksudmu dengan aku harus memikirkan ulang keputusanku itu, Will?”
Will menghela napas dan mengalihkan pandangannya dariku. Akhir-akhir ini, harus kuakui, ada begitu banyak hal yang dengan mudah membuatku merasa bahwa ‘ini tidak benar’. Bukan sebuah kesalahan, hanya saja dalam beberapa situasi aku akan merasa ‘salah’ atau berpikir ‘seharusnya tidak seperti ini’. Misalnya, beberapa hari yang lalu ketika aku dan Will ke Groningen, menunjukkan pada ayahku ataupun pada orang-orang bahwa aku merasa tidak siap dengan keputusan yang telah kuambil sendiri adalah sesuatu yang salah. Sehingga selama ini aku berusaha menunjukkan pada mereka bahwa aku memang siap dengan semua konsekuensinya walaupun aku sangat tidak menyukainya. Atau kemarin, saat aku tiba-tiba mengeluh pada Jin Hee dan Dong Sun ketika Will tidak ada di dekat kami, yang mana seharusnya hal itu tidak terjadi. Bahkan saat itu Dong Sun menyebutku plin-plan dan kebingungan sedangkan Jin Hee menyebutku sedang dalam masa ‘krisis kepercayaan diri’. Dan sekarang, ketika Will secara tiba-tiba menyuruhku untuk memikirkan kembali keputusanku itu, yang bisa saja mengartikan bahwa seolah-olah keputusanku yang sebelumnya tidak berarti sama sekali, adalah sesuatu yang seharusnya tidak dia ucapkan padaku.
“Aku memang sangat senang ketika kamu menyetujui keinginanku untuk pindah ke Korea, Tim. Aku juga pernah bilang padamu bahwa aku tahu kamu pasti masih sulit untuk kembali ke sana. Aku memang sangat ingin pulang dan kembali berusaha membuat keluargaku mengerti. Tapi sepertinya aku baru sadar sekarang kalau aku mungkin terlalu jauh menekan dan memojokkanmu. Aku tahu kenyataannya bahwa kamu tidak pernah merasa baik-baik saja semenjak mengambil keputusan itu beberapa hari yang lalu. Tapi aku sudah seperti tidak peduli dengan itu. Untuk pertama kalinya masalah seperti ini berhasil membuatku bersikap egois padamu, Tim. Aku semakin sadar bahwa beberapa hari ini aku sudah mengabaikan bagaimana perasaanmu. Aku menutup mata atas hal itu padahal aku jelas-jelas mengetahuinya.”
Tepat seperti yang kupikirkan selama ini. Kami berdua memang berada di posisi yang sulit. Seandainya jika kami berdua bisa dengan mudah mengabaikan perasaan kami atau tidak mempedulikan dan masa bodoh dengan apa saja yang akan terjadi nanti, maka tidak akan ada hal yang sulit untuk dihadapi dan kami bisa melakukan apapun tanpa berpikir panjang. Tapi pada kenyataannya kami berdua hanya manusia biasa yang masih bisa merasakan ragu, takut, tidak nyaman, ataupun terluka. Sehingga setiap kali kami berdua harus menghadapi suatu masalah entah besar ataupun kecil yang melibatkan perasaan kami di dalamnya, pasti akan selalu berujung pada pertimbangan panjang dan rumit, seperti halnya sekarang ini.
“Tim, pikirkan sekali lagi! Malam ini! Aku akan merasa bersalah padamu jika kita sudah pindah ke Korea tapi hal itu justru akan semakin mempersulitmu.”
Situasi yang kami berdua alami sekarang ini seakan-akan telah berhasil membuat posisi kami kembali bertukar tanpa kami minta. Dan aku juga bisa mengatakan bahwa pembicaraan seperti ini adalah ‘sesuatu yang semestinya tidak terjadi’ lainnya. Will menginginkanku kembali memikirkan keputusanku itu di saat aku sudah tidak ingin mengingkarinya dan memang berniat tidak akan mengingkarinya. Aku masih teringat beberapa hari yang lalu tentang betapa kerasnya dia berusaha membujukku dengan kata-katanya agar aku menyetujui rencananya. Tapi sekarang, seolah-olah perasaan ragu justru menyerangnya. Dia tidak ingin mempersulitku? Tapi aku juga tidak mau terus menerus melihatnya hidup denganku dalam keadaan yang tidak tenang.
“Apa yang kamu katakan, Will? Memangnya aku tidak akan merasa bersalah jika terus-menerus menahanmu di sini sementara jauh di sana kamu masih mempunyai keluarga? Apa kamu ingin aku menambah daftar kesalahanku? Apa kamu pikir aku akan tahan selalu melihat beban yang kamu tanggung itu tidak akan hilang untuk selamanya? Kembali ke Korea memang sangat menggagguku, tapi melihatmu bersamaku dengan beban yang bisa saja tidak akan pernah hilang itu akan lebih membuatku tidak tenang.”
“Tim, pikirkan sekali lagi!”
Will seperti tidak mendengar ucapanku dan aku hanya terus menerus memandang wajahnya yang belum kembali menatapku, berusaha mengukur seberapa besar kesungguhannya kali ini.
“Bagaimana seandainya aku benar-benar merubah keputusanku dan tetap menahanmu di sini, bersamaku, untuk selamanya?”
Sekali lagi, menantang Will dengan cara seperti ini, aku merasa ini sangat salah. Pada kenyataannya, sedikitpun tidak ada niat bagiku untuk merubah keputusanku sebelumnya. Dan kami akan tetap terbang ke Korea, tidak peduli aku siap atau tidak. Tapi seolah aku juga tidak bisa menahan diriku untuk berandai-andai seperti itu, menanyakan pada Will jika aku merubah keputusanku dan membuat kami tidak beranjak dari Assen. Jujur, aku tidak merasa menyesal sama sekali telah berbicara seperti itu. Mungkin, itu adalah wujud dari sebagian kecil dari diriku yang memang menginginkan kami tetap tinggal di sini. Tapi kupastikan, hal itu tidak akan mempengaruhiku.
“Aku sudah mengatakannya padamu, Tim. Jika keputusanmu memang seperti itu, maka aku sudah berjanji untuk mengubur keinginanku itu dan tidak akan merasa sedih atau kecewa. Jadi?”
Kali ini Will kembali menatapku. Aku tahu dia sudah berjuang keras agar kalimat itu terucap dari mulutnya. Dan tentu saja aku sangat tidak menyukainya karena saat ini juga aku sudah merasa hampir menjadi orang yang kejam. Terlebih, kepada Will.
Selama ini, Will dan perasaanku sendiri adalah dua hal yang selalu menjadi bahan pertimbanganku setiap kami menghadapi masalah ini. Dan ketika aku sudah bertekad mengalah dan memprioritaskan Will dalam segala hal, maka yang menjadi pertimbanganku adalah hanya Will saja, sehingga pada akhirnya aku akan selalu mengabulkan keinginannya. Sedangkan Will mempunyai pertimbangan satu lebih banyak dariku, yaitu perasaannya sendiri, aku, dan keluarganya. Sama sepertiku, Will bisa mencoret perasaannya sendiri dari daftar pertimbangan sehingga hanya tersisa aku dan keluarganya. Sehingga sangat jelas, Will tidak mungkin hanya memikirkan salah satu diantaranya. Dan permintaan yang dia ajukan beberapa saat lalu, terkesan sangat dipaksakan. Kalau aku tetap memutuskan untuk pindah ke Korea, maka Will akan selalu mencemaskanku. Tapi jika aku merubah keputusanku dan tetap tinggal di Assen, maka Will tidak akan pernah bisa berhenti memikirkan keluarganya.
“Kemari!”
Aku membalikkan badannya, membuatnya kembali menyandarkan punggungnya pada tubuhku dan aku memeluknya dari belakang. Detik ini juga, aku sangat ingin berkata padanya bahwa kami berdua seperti dua remaja labil yang sedang kebingungan karena menghadapi satu masalah saja. Tapi, mengingat hal itu akan memancing rasa kesal dan sikap galak Will, aku tidak akan mengatakannya. Sepertinya sikap plin-plan dan krisis kepercayaan diri yang Jin Hee dan Dong Sun katakan padaku, juga menyerang Will sekarang ini.
“Aku sedang memikirkan hal lain, Will. Ingat satu tahun yang lalu? Ketika malam itu aku datang padamu dan mengajakmu ke Assen?”
Ada keheningan selama beberapa detik setelah ucapan terakhirku. Aku memang sudah kembali menguak satu kejadian menyakitkan bagi kami berdua. Tapi aku hanya berusaha melakukan sebuah upaya untuk menjadikan peristiwa itu sebagai bahan pertimbangan keputusanku malam ini, jika Will memang benar-benar memberi kesempatan kedua bagiku untuk memikirkannya kembali. Tapi sekali lagi akan kupastikan bahwa tidak akan ada yang berubah dengan keputusanku yang sebelumnya. Dan juga, aku melakukan ini untuk membantu Will meyakinkan dirinya ketika perasaan ragu justru menyerangnya seperti ini. Ini adalah rencana dan harapannya, jadi memang sudah seharusnya dia tidak merasakan keraguan, hanya karena mencemaskanku.
“Setahun yang lalu adalah saat-saat di mana aku merasakan sebuah pertentangan besar dalam diriku karena telah mengambil sebuah keputusan besar. Di satu sisi aku hanya ingin memperjuangkanmu. Tapi di sisi yang lain, aku telah berhasil membuat seorang anak menentang keinginan ibunya. Pada akhirnya aku memang bahagia, tapi di saat yang bersamaan aku juga merasa bersalah padamu. Pada waktu itu, aku telah menjadi orang paling egois sedunia hanya karena ingin memperjuangkanmu, Will. Mungkin, bagaimana perasaanku saat itu kurang lebih sama seperti apa yang kamu rasakan sekarang, ketika kamu memintaku mengambil keputusan untuk kembali ke Korea atau tidak. Seperti itu? Kamu merasa sangat egois padaku karena memaksaku untuk mengiyakan permintaanmu, sedangkan kamu sendiri merasa sangat senang dengan keputusanku?”
Aku tidak melihat langsung wajah Will dan kedua mata abu-abunya, walaupun sekarang ini aku sangat ingin melihatnya. Tapi, anggukan kecil kepalanya sudah menjawab sebuah tanda tanya yang baru saja kuajukan padanya.
“Dan kamu benar, Will. Sama seperti apa yang kamu katakan tadi. Saat melihatmu menghampiriku di bandara Incheon dan mengatakan padaku bahwa kamu memutuskan untuk ikut denganku ke Assen, tidak ada kata-kata yang bisa menggantikan rasa bahagiaku saat itu. Kamu tahu? Saat itu bahkan aku seperti tidak peduli dengan apa yang kamu rasakan seluruhnya. Aku tidak peduli bahwa kamu masih menyimpan sebuah kesedihan karena meninggalkan keluargamu, sebuah beban yang berat. Kamu merasa seperti itu kan sekarang? Kamu merasa sangat senang dengan keputusanku yang menyetujui permintaanmu sedangkan hal itu juga membuatmu buta dengan beban yang sedang kurasakan?”
Will kembali mengangguk.
“Sekarang, katakan padaku tentang apa yang kamu rasakan saat mengambil keputusan itu dan menjalani kehidupan kita yang sekarang!”
Aku bertaruh besar jika keadaanku yang sekarang sama persis dengan keadaan Will saat itu. Bedanya, mungkin masalah yang kami hadapi tidak sebesar yang dulu. Tapi, apapun yang dirasakan Will setahun yang lalu saat memutuskan untuk ikut dengaku ke Assen, tidak akan jauh berbeda dengan apa yang kurasakan saat aku mengambil keputusan untuk kembali ke Korea.
“Saat itu, aku tidak memikirkan banyak hal karena semuanya sudah kupikirkan selama enam bulan saat aku jauh darimu, sesuai dengan permintaan ibuku. Aku akan mengutuk diriku sendiri jika menganggap bahwa ibuku juga sudah bersikap egois karena memaksaku untuk menjauhimu. Aku sadar, ibu hanya ingin sebuah kebahagiaan untukku. Tentu saja ibuku ingin aku bahagia dengan melihatku menjalani hidup dengan cara yang dia anggap benar dan seharusnya. Aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa sikap ibu seperti itu karena masih belum mengerti bahwa aku juga bisa dan hanya bisa bahagia dengan caraku sendiri, yaitu dengan bersamamu, Tim. Setulus apapun aku menyayangi ibuku dan selalu ingin menuruti semua keinginannya ataupun berbakti sebagai anaknya, tapi jauh dalam di hatiku, aku hanya manusia biasa yang mempunyai keinginan untuk meraih kebahagiaan dengan caraku sendiri. Aku juga egois kan, Tim? Bahkan pada ibuku sendiri.”
Sekali lagi, sekeras apapun aku mencoba memahami bagaimana posisi Will saat ini tentang ibunya, aku tidak akan pernah bisa memahaminya seratus persen. Mungkin, aku bisa memahaminya, tapi tidak seluruhnya karena sesuai apa yang kupikirkan selama ini, aku tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai seorang ibu yang berbeda pandangan denganku. Ibuku yang sekarang, bahkan menerima keadaanku yang sebenarnya tanpa pikir panjang, walaupun mungkin rasa kecewa juga pasti dirasakannya.
“Ada begitu banyak pertimbangan yang semakin lama membuatku menjadi seperti orang gila. Awalnya, aku hanya mengatakan satu kalimat pada mereka, ‘Aku ingin bersama Tim’. Ibuku hanya menatapku tak percaya, Anthony dan Sarah diam tak bersuara, sedangkan ayah hanya tersenyum menyemangatiku dan menatapku iba. Ketegangan dan tekanan yang kurasakan saat itu membuatku mengucapkan kalimat kedua yang sampai sekarang sangat kusesali. Bukan karena aku menyesal telah mengambil keputusan itu, tapi menyesal karena aku telah menyakiti ibuku lebih dalam. Seharusnya aku bisa menahan diri saat itu.
Aku bilang pada ibuku bahwa aku telah memenuhi keinginannya untuk menjauhimu. Dan saat itu aku hanya meminta ibuku untuk mendengar dan memenuhi apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku sangat keterlaluan, Tim. Aku bahkan menuntut keadilan dari ibuku sendiri.”
Jika aku melihat hal itu dari berbagai sisi, aku tidak akan menyalahkan Will hanya karena dia ingin didengar dan ingin dimengerti, terlebih oleh ibunya sendiri. Dan jika salah satu rasa kasih sayang yang paling tulus di dunia ini adalah rasa kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, aku juga tidak akan pernah bisa menempatkan ibunya di posisi yang bersalah karena permintaannya yang membuatku dan Will berpisah selama setengah tahun. Menyalahkan keadaan pun akan terdengar salah karena memang tidak ada gunanya.
Will dan ibunya, aku tahu keduanya juga berada di posisi yang sulit saat itu. Seperti yang telah dikatakan Will, ibunya tentu melakukan ini semua karena rasa kasih sayangnya dan ingin melihat Will bahagia. Tentu saja kata ‘bahagia’ di sini adalah Will menikah dengan seorang wanita dan memiliki kehidupan yang seharusnya, seperti apa yang telah ibu Will rasakan dengan suaminya. Tapi jika kusamakan dengan keadaan keluargaku, di mana ibuku menginginkan aku bahagia tanpa menyebutkan cara bagaimana aku mendapatkannya, maka apa yang aku dan Will dapatkan sekarang adalah kebahagiaan yang sebenar-benarnya. Tapi aku tahu, lagi-lagi aku tidak akan bisa dan tidak seharusnya menyamakan keadaan keluarga Will dan keluargaku.
Jika ditanya aku berada di pihak mana, jelas aku akan menjawab di pihak Will karena aku dapat mengerti apa yang dirasakannya, terlebih sekarang karena aku suaminya. Aku hanya ingin menghabiskan hidupku dengan orang yang kucintai, sama seperti mereka, hanya itu. Memang, Will adalah seorang pria, tapi aku mencintainya. Mereka bilang ini salah, ini gila, ini tidak rasional, dan lelucon. Tapi hanya satu kalimat yang bisa menjawab dan menanggapi itu semua, yaitu ‘aku mencintainya’. Terkadang ada beberapa pikiran yang terlintas di benakku hanya jika aku berpikir tentang orang-orang yang tidak mengerti kami, yaitu apakah aku harus meneriakkan kalimat ‘aku mencintai Will’ kemudian setelah itu aku memotong nadiku dan mati setelahnya sehingga dapat membuktikan pada mereka kalau aku benar-benar mencintai Will? Bahkan, jika aku memang melakukan hal itu, sepertinya mereka justru akan menganggapku sebagai orang gila yang seharusnya tidak dihiraukan.
Saat aku menyadari bahwa tidak ada lagi kata-kata yang kudengar dari Will, aku hanya bisa berharap bahwa Will sudah mengerti apa yang kurasakan sekarang tentang keputusanku walaupun apa yang dikatakan sebelumnya belum mengarah kepada apa yang dirasakannya saat itu ketika mengambil sebuah keputusan untuk ikut denganku ke Assen.
“Jadi, Tim. Apa kamu merasa serba salah, semakin tertekan, terbebani, bingung, cemas, dan takut saat mengambil keputusan itu tapi kamu tetap berusaha membuat dirimu sendiri merasa yakin? Dulu, aku merasakan semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Apa kamu juga seperti itu sekarang?”
“Ya, itulah yang kurasakan. Semuanya terasa sulit bagiku, tapi kali ini aku ingin melakukannya untukmu, untuk kebahagiaan kita nanti. Setahun lalu kamu sudah berani mengambil keputusan untuk ikut denganku ke sini, sesuai permintaanku. Dan sekarang, aku tidak akan pernah menyesali keputusanku untuk kembali ke Korea bersamamu. Tidak ada yang perlu dicemaskan, Will.”
“Dan harus ada yang dikorbankan. Aku sekarang mengerti, Tim. Kita akan baik-baik saja kan?”
Harus ada yang dikorbankan, menurutku hanya itu yang membedakan situasi sekarang dengan situasi satu tahun yang lalu. Sekarang ini aku memang tidak mengorbankan apa-apa untuk kembali ke Korea dan menghadapi keluarga Will, walaupun Will menganggapku telah mengorbankan perasaanku sendiri. Sedangkan dulu, Will mengambil sebuah keputusan yang membuatnya mengorbankan keluarganya, dalam hal ini meninggalkan keluarganya untuk ikut denganku. Aku berani bertaruh hal itu pasti membuatnya merasa bersalah dan menambah daftar alasan yang membuatnya harus kembali ke Korea untuk mencoba memperbaiki semuanya dengan cara lain. Mungkin akan sama persis ketika aku memecahkan sebuah guci hias. Aku memang tidak akan pernah bisa meghilangkan retakannya, tapi aku tetap masih bisa menyatukan dan mengembalikannya ke bentuk yang semula.
“Walaupun memang berat dilihat dari sisi manapun, aku tidak akan merubah keputusanku itu, Will. Kita akan tetap pergi. Jadi aku minta kamu berhenti membahas masalah ini dan berhenti mencemaskanku sehingga kita bisa mulai fokus untuk berusaha membuat keluargamu mengerti. Paham?”
“Aku tidak yakin, Tim. Sepertinya aku tidak akan pernah bisa berhenti mencemaskanmu.”
“Aku akan baik-baik saja, Will. Sungguh!”
“Aku tahu itu hanya kalimat penghibur, agar aku berhenti mencemaskanmu. Sekarang saja, kamu masih terlihat tidak baik-baik saja.”
“Sudah kubilang aku akan baik-baik saja. Lagipula, selama ini kita selalu bisa melalui semuanya. Memang tidak mudah, tapi lihat kita sekarang!”
“Tim, aku sedang mencemaskan hal lain. Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Kamu akan tetap bertanya kan meski aku bilang tidak boleh?”
Will bangkit dari rebahannya, duduk bersila dan menatapku. Bedanya, kali ini dia terlihat tidak serius. Tatapan mata dan ekspresi wajahnya sama persis ketika tempo hari dia pulang dari Seoul dan mencoba membagi bebannya denganku. Aku tentu saja sudah dapat menyimpulkan bahwa ada hal lain yang tengah menganggunya sekarang, dan seperti katanya baru saja, dia sedang mencemaskan hal lain. Jika pada kenyataannya Will ingin membahas tuntas semua masalah atau beban kami sebelum akhirnya kami terbang ke Korea, maka tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya.
“Tim, ini tentang Young Min.”
Mendengar nama itu keluar dari mulut Will terlebih setelah setahun lebih kami menikah, aku merasa mulutku terjahit begitu saja sehingga aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk menanggapinya selama beberapa detik. Yang kulakukan hanyalah diam menatap kedua mata Will. Aku tidak menangkap ekspresi dan nada bicara yang menyiratkan bahwa dia sedang cemburu, dan menurutku itu adalah satu-satunya hal baik yang bisa kurasakan sekarang, mengingat sebelum kami menikah dulu dia selalu kesal tiap kali aku menyebut nama itu.
Tentu saja aku menyadari bahwa jika selama beberapa hari ini kami berdua selalu membahas masalah Korea, topik tentang Young Min cepat atau lambat pasti akan muncul sebagai bahasan utama kami, diluar keluarga Will. Tapi aku benar-benar tidak menyangka bahwa Will akan membahasnya sekarang. Masih ada tiga hari sebelum kami ke Korea, jadi sebelumnya aku berharap Will membahas Young Min pada hari terakhir. Setidaknya aku akan memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan keluar dari mulutnya. Karena sekarang ini, aku sama sekali tidak tahu bagaimana situasi yang sebenarnya, terlebih menyangkut Young Min. Tapi sekali lagi Will sudah terlanjur ingin membahasnya sekarang dan sangat tidak lucu jika aku sampai mengalihkan topik atau menyuruhnya untuk menunda membahasnya.
“Lalu apa yang ingin kamu tanyakan, Will?”
“Sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang akan kutanyakan padamu. Aku tidak mau menekanmu dengan pertanyaan-pertanyaanku, tapi aku hanya ingin tahu. Aku sudah membaca email darinya yang sudah dikirimkan padamu, Tim.”
“Lalu kenapa kamu merasa cemas, Will? Kalau mau aku bisa saja menghapus email itu dan menyembunyikannya darimu. Tapi aku tidak melakukannya karena bukankah seharusnya masalah seperti ini tidak perlu dicemaskan? Jika kamu bertanya bagaimana keadaan atau perasaan Young Min padaku yang sekarang ini, aku tidak tahu jawabannya. Aku hanya berharap bahwa satu tahun ini merupakan waktu yang cukup bagi Young Min untuk mengambil keputusan seperti Jin Hee.”
“Ya, aku juga memikirkan hal yang sama. Tapi dia ingin bertemu denganmu setelah kita tiba di Seoul. Jadi, kamu akan menemuinya?”
Kali ini aku benar-benar menangkap gelagat tidak tenang dan khawatir dari nada bicaranya. Sebenarnya aku merasa heran dengan sikapnya, karena biasanya dulu dia selalu marah-marah padaku jika kami membahas masalah yang berhubungan dengan Young Min. Kuacungi jempol untuk Will kali ini karena dia sepertinya sudah berusaha meredam emosinya. Walaupun aku tahu, dia masih tidak menyukai Young Min dan sangat ingin melarangku untuk terlalu sering berhubungan dengan Young Min, terlebih setelah dia tahu bahwa Young Min menaruh hatinya padaku sekitar tiga tahun yang lalu.
“Kamu juga pasti sangat paham situasinya, Will. Sama sepertimu yang merasa bersalah pada Jin Hee karena pernikahan kita, aku juga merasakan hal yang sama pada Young Min. Sama sepertimu yang ingin hubunganmu dengan Jin Hee tetap baik-baik saja sebagai seorang teman, aku juga seperti itu. Terlebih, aku dan Young Min memang sudah berteman hampir sepuluh tahun saat aku di Korea. Perasaanku pada Young Min, tidak akan ada bedanya seperti kamu memposisikan Dong Sun dalam hidupmu. Kamu berteman lama dengan Dong Sun kan? Walaupun kamu seorang gay sekalipun, tapi kamu tidak pernah jatuh cinta pada Dong Sun. Begitu juga denganku, itulah yang kurasakan sekarang.”
“Tapi, jika Young Min masih ....”
“Itu akan menjadi urusanku, Will. Aku juga akan menyelesaikannya begitu kita pindah ke Korea nanti. Jujur saja, sampai sekarang masih terasa aneh bagiku jika aku harus menghadapi sikapmu yang terlewat cemas seolah-olah aku akan berpaling kepada pria lain. Aku tidak harus menyakinkanmu lagi kan? Aku sudah membuktikannya padamu dan lihat kita sekarang, aku selalu bersamamu, aku milikmu. Kamu tahu bahwa semuanya sudah berubah sekarang. Aku bukan lagi pria mata keranjang yang suka lirik sana lirik sini. Aku bahkan masih belum percaya kalau dulu kamu bilang aku mempunyai sifat seperti itu. Jadi, aku anggap masalah Young Min juga selesai untuk sementara. Masih ada yang ingin dibahas?”
Senyum dan gelengan kepala Will sudah berhasil membuatku menghela napas panjang. Aku tahu Will menganggap masalah ini tidak akan pernah selesai sampai kami yakin perasaan Young Min padaku sudah berubah, setidaknya sama seperti Jin Hee. Jika aku berada di posisi Will dan Jin Hee masih merasa tersakiti dan benci kepada kami, aku yakin hal itu akan membebaniku. Dan malam ini sepertinya malam yang memang cukup menguras emosi dan pikiranku hanya dengan membahas berbagai masalah dan kenyataan yang sedang menungguku tiga hari lagi di Korea. Aku bahkan sepertinya tidak bisa membayangkan berapa kali atau berapa banyak emosi yang akan kualami jika aku sudah menghadapinya langsung. Tapi, aku mempunyai Will.
Aku meraih tubuh Will dan merebahkannya di tempat tidur kami. Sepertinya aku yang harus memulainya kali ini.
“Jadi, kamu ingin melakukannya atau tidak malam ini? Kalau tidak, aku akan tidur.”
“Aku tidak yakin kamu akan bisa tidur, Tim.”
Aku memicingkan mataku menatap Will dan disambut oleh tawanya. Bahkan, di saat-saat seperti ini, ada begitu banyak hal yang terlintas di benakku. Rasa-rasanya baru kemarin aku berjalan-jalan di Pantai Seongjeong dan Taman Amnan, kemudian bersantai di Locandi Rossi ketika hujan saat aku berkunjung ke kota Busan. Dan rasanya baru kemarin juga aku bertemu dengan pria aneh, kurus, bertopi, berjaket hitam, dan membawa kamera di lehernya dan sekarang aku menemukan pria itu sedang bersamaku di sini dengan banyak perubahan, baik perubahan dari Will maupun kehidupan kami. Waktu memang berjalan sangat cepat dan tidak terasa aku sudah bersamanya selama empat tahun lebih.
Selain itu, ada begitu banyak hal yang kusyukuri saat ini. Ini bukan soal mendapatkan pria berwajah tampan –menurutku- atau bertubuh sempurna seperti Will, walaupun aku juga harus bersyukur atas hal itu, tapi ada banyak hal yang lebih penting dari itu. Aku sudah sering merasakannya, ketika aku menatap wajahnya atau hanya saat berada di dekatnya, itu adalah saat-saat dimana aku selalu berpikir, ‘inilah tujuanku hidup selama ini’. Jika Will memang benar-benar seorang yang digariskan takdir akan selalu bersamaku, sudah seharusnya aku tidak merasa takut kehilangannya. Yang harus kulakukan hanyalah memperjuangkannya dan terus menerus mencintainya.
“Heh Tim! Kenapa malah melamun dan hanya menatapku seperti itu? Kenapa tidak cepat dimulai? Lama sekali!”
Mendengarnya yang selalu berteriak protes di saat-saat seperti ini, aku hanya bisa memandangnya dengan bosan.
“Kamu ini selalu saja merusak suasana. Aku hanya sedang memikirkan satu hal. Aku boleh meminta sesuatu, Will?”
“Apa?”
“Apa nanti di Soeul aku boleh sekali-kali pergi ke Yongsan? Hanya untuk mengenang masa lalu. Aku janji tidak akan macam-macam, Will.”
“Memangnya ada apa di Yongsan? Apa kamu ingin bermain ice skating denganku lagi di Hyatt?”
Kurasa aku memang benar-benar harus menjelaskan semuanya.
“Bukan itu, Will. Aku bukannya ingin ke Hannam. Aku hanya ingin ke Munbae. Kamu ingat restoran masakan Eropa yang kudirikan dulu di sana bersama Bibi Seo? Aku sangat ingin berkunjung ke sana. Selain itu, aku juga ingin pergi ke Itaewon. Kamu tahu? ya... tempat ‘itu’.”
Seperti dugaanku, Will tidak akan pernah merasa senang dengan permintaanku yang ini.
“Jangan bilang kalau kamu ingin ke gay bar yang ada di sana! Tidak bisa! Langkahi dulu mayatku!”
“Will, sudah kubilang aku tidak akan macam-macam. Aku hanya ingin menemui beberapa teman lama. Bagaimanapun juga dulu aku mempunyai beberapa teman dekat yang bekerja di sana yang dulu selalu menyemangatiku di saat-saat sulit. Dan bukankah baru saja aku sudah menjelaskan padamu? Kenapa kamu masih saja seperti ini?”
“Ini wajar, Tim. Kamu tidak ingin aku membunuh semua pria yang menyentuhmu di bar itu kan? Kenapa tidak menemui mereka di luar?”
“Kamu berlebihan. Aku ingin ke bar itu karena aku ingin merasakan suasana yang dulu, tentu saja akan terasa lain jika aku harus bertemu mereka di tempat lain. Ini bukan soal melirik semua pria di sana dan mengencani mereka. Aku bisa menahan diri dan aku hanya datang berkunjung. Aku janji tidak akan minum atau main mata. Dan kamu bisa ikut, tapi aku tahu kamu sama sekali tidak suka datang ke tempat seperti itu.”
Will menatapku seakan dia sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kalau aku boleh menebak, persetujuanku kembali ke Korea seakan menjadi pertimbangan yang patut dia perhitungkan untuk mengabulkan permintaanku ini. Dan kurasa, Will memang merasa tidak mempunyai pilihan lain selain mengabulkan permintaanku yang satu ini. Setidaknya, bertemu dengan beberapa teman lama akan menghiburku dan membuatku nyaman di Korea nanti.
“Baik, tapi aku minta satu hal. Begitu ada pria yang menggodamu, tunjukan cincin ini dan bilang kalau kamu milikku. Jangan sampai ada yang berani macam-macam denganmu.”
“Aku janji! Dan satu lagi, sesudah tiba di Korea nanti apa aku boleh...”
“Haaaaaah, kalau kamu bicara terus-terusan seperti ini kapan kita akan mulai, Tim? Aku sudah tidak tahan lagi. Kalau begitu aku saja yang memulainya”
Hanya dalam hitungan beberapa detik kami sudah bertukar posisi. Will sudah menindihku dan menyerangku dengan ciumannya. Aku hanya berharap Will tidak membuatku bangun kesiangan besok karena besok adalah hari terakhirku di restoran dan aku ingin meninggalkan kesan yang baik kepada seluruh pegawaiku sebelum berpamitan pada mereka. Dan ini sudah hampir lewat tiga jam dari jam tidur normal kami. Tapi sepertinya permainan kami akan berlangsung sangat lama karena sudah tiga hari ini kami tidak melakukannya.
Dan di daftar harapanku yang lain, mengingat betapa sulitnya kami berdua memperjuangkan cinta dan kehidupan kami, aku hanya bisa berharap bahwa segala masalah ataupun rintangan yang sedang menunggu, akan kami bisa lalui dengan mudah. Kami bisa melakukannya dan kami akan baik-baik saja.
**** - ****
baca updatean kamu memang butuh mood yg luar biasa, soalnya pasti banyak
Apa ya? Ada yang sedikit mengganjal buatku, tapi mungkin udah agak telat sih, tapi nggak papa ya? hehehehe.
1. Will digambarkan agak kekanak-kanakan dibanding Tim, okelah, nggak masalah sifat itu.Tapi, kenapa mereka sampai menikah? Maksudku, menikah itu a big deal. Aku nggak bisa bayangin Will yang sifatnya seperti itu bisa memutuskan untuk menikah sama Tim. Apalagi sampai ninggalin keluargaya di Seoul. Kalau misalnya sifat dia seperti itu, dengan pengalaman hidup yg pernah harus milih antara keluarga atau Tim, rasanya agak...gimana gitu kalau sifat dia nggak berubah dgn semua yg pernha terjadi sama dia.
2. Akan lebih dramatis kalau kepulangan Will ke Korea disebabkan oleh suatu hal yg terjadi dalam keluarga Will, hingga nggak ada pilihan lain buat Will selain pulang. Menurutku itu akan jauh menimbulkan konflik yg lebih kompleks. jadi, Tim nggak bisa memilih. Dia harus ikut Will ke Korea karena terpaksa dan pergolakan batin dia bisa dieksplor lbh banyak disitu.
3. Di updatean yg pertama, menurutku terlalu banyak kejadian di masa lalu yg diceritakan. Waktu Will ama Tim pergi kesini, ngelakuin ini, ngelakuin itu. Nggak ada salahnya sih diceritakan, tapi jangan sekaligus dalam satu paragraf. Sisain buat chapter2 yang lainnya. Pasti lebih nendang deh. Memang sih, mereka pasti punya banyak kenangan, tapi nggak semuanya harus diceritakan. Perlahan2, mungkin cari momen yg tepat buat nempatin kenangan2 itu, sesuai dengan plotnya.
Anyway, ini cuma pendapatku ya? Hehehehe. Nggak perlu ditelan mentah2. Ini cuma opiniku sebagai pembaca. Kamu penulisnya, jadi keputusan ada di tangan kamu
Pemilihan kata, menurutku baik2 aja kok. Mungkin perlu sedikit bermain sama kata2 lain aja, hehehe. Aku juga kadang gitu Kita sama2 belajar ya?
Keep writing! Nggak sabar nunggu mereka sampai Korea
Cheers,
ABI
Jadi gini nih (ini opiniku), yang dimaksud ‘agak kekanak-kanakan’ bang aby di sini aku kurang bisa nangkep nih batesan2nya. Menikah emang bukan sesuatu yg remeh, tapi masa sih seseorang harus nunggu dulu buat ngilangin ‘sifat kekanak-kekanakannya’ (atau nunggu dia pure mature) baru bisa ngambil keputusan nikah? bukankah orang biasa kalau dah umur matang, pasti dah kepikiran buat nikah gak peduli dia punya ‘sifat kekanak2an’ atau enggak (sifat kekanak2an di sini maksudku bukan pola pikir yang masih anak2)? Yang penting sudah waktunya, sudah yakin, dan siap lahir batin aja <-- ini juga dah bagian sifat dari 'mature' kan?
Punya salah satu sisi sifat ‘agak kekenak-kanakan’ bukan brarti dia gak bisa ngambil keputusan besar seperti buat nikah kan bang. Karena ‘agak kenakan-kanakan’ di sini bukan brarti Will didominasi sifat ‘kekanak-kanakan’nya (atau pure kekanak-kanakan) kyak anak umur sebelasan yg gak bsa ngambil sikap tegas atau keputusan sendiri buat hidupnya. Mungkin, ini memang sifat yang terlihat dari luar dan apa yang reader tangkap dari narasi Tim (lebih ke sikap atau tingkah laku Will yg cemburuan, mudah marah, manja, dan suka merajuk) tapi, di dalam diri Will, mungkin bisa saja gak sepenuhnya sesuai sama apa yang terlihat (ngeles, wkwkwkwk), buktinya dia bisa ngambil keputusan sebesar itu (aku asumsiin reader belum tahu seratus persen apa yang ada di dalam diri dan sifat Will karena ini POVnya Tim), skali lagi Ini juga opiniku lho bang.
Jadi arah berpikirku bukannya “bagaimana mungkin dengan sifat agak kekanak-kanakan seperti itu, Will bisa ngambil keputusan nikah dan ninggalin keluarganya?” tapi dibalik, aku pengen reader berpikir “bagaimana sih sifat yang sebenernya dari Will sampai berani ngambil keputusan nikah? Padahal kelihatannya masih kekanak-kanakan gitu.” Tapi, kayaknya memang gak berhasil sepenuhnya sih. hehehe
Mungkin, selain penjelasan di atas, Will bisa saja punya tekad, atau keinginan besar, dan ‘kebutuhan’? <--- ini yang agak gimana gitu, kalau pasangan gay butuh gak sih kayak ‘kepuasan batin’ buat punya rumah tangga sendiri? Tentu saja sama pasangan gay-nya (aku masih gak paham sih, tapi mungkin orang2 di luar sana masih ada yg punya pola pikir kyak gini? Siapa yang tahu?). Ini bukan soal nyamain dengan kaum hetero, tapi walaupun gak banyak, tapi pasti ada yg kayak gini.
Kalau masalah sifat yang gak berubah, apa gak apa-apa jika aku bilang kalimat klise dan membosankan kayak ‘tergantung masing2 orang’? Ada yg bsa berubah, ada yg gak sama sekali, ada yg ninggalin bekas dikit. Kita kan gak akan pernah tahu titik dimana sifat seseorang bisa berubah karena keadaan atau pengalaman di masa lalu, bahkan untuk semua kejadian berat dalam hidupnya. Kita bisa aja bilang ‘seharusnya dia bisa berubah dong’ (tentu saja ini opini dan menurut pandangan kita) tapi kalau kenyataannya dia belum brubah, ya mau gimana lagi? ‘ukuran’ kita untuk kejadian yg bisa ngerubah sifat orang kan gak selalu sama dengan ‘ukuran’ kejadian orang itu yang bisa ngrubah sifatnya sendiri. Ini aku juga beropini sih. hahahaha
Untuk masalah ini, hmmmmmmm..... bisa sih dan oke banget kedengerannya, tapi masalahnya aku lebih pengen nunjukin alasan mereka pulang karena Will-nya. Ya soalnya dulu, aku dah bikin Will nentang dan ninggalin keluarganya.
(Sebenarnya tulisanku ini punya semacam satu aib (yg berkaitan sama komentar bang aby yang ini) dan baru akan kelihatan di chapter selanjutnya dan pasti bakal bikin reader gak “sreg”)
Pasti ntar dikritik abis2n deh.
Ini maksudnya yang pertama awal cerita atau yg pertama yang di atas?
Kalau maksudnya yang di atas itu ya.... aku juga kepikiran kyak gitu sih bang, hehehehehe
Gak apa-apa bang, kluarin aja semua pendapatnya, aku seneng banget lah ini bisa bikin aku berpikir banyak. dan Pokoknya bang, makasih yang sebanyak-banyaknya buat komentar, masukan dan tanggapannya dan selalu nyempetin mampir ke sini. Gak nyangka bang aby bakal nanggepin terus.
tapi kalo dibandingkan dengan KAI milik @abiyasha gw milih KAI. gaya bahasanya KAI itu ribet, tapi gw selalu penasaran karna gaya bahasanya itu yg punya selera tinggi. Gw aja bacanya kalo mood gw lg enak aja, itulah tengilnya cerita KAI..
slmat datang dulu nih buat reader baru @adhi_07
aduh, tapi kok bandinginnya sama karyanya bang Abi sih, jelas lah aku kalah jauuuuuuuh. Walaupun untuk karyanya bang Abi aku baru baja KLB, itupun belum selesai, tapi dari yang udah aku baca tentu aja tulisanku kalah telak diliat dari mana2nya. ibaratnya aku ini bayi yang baru belajar berdiri, klo bang Abi dah bisa lari kemana2.
trima ksih buat komentarnya. Untuk EYD dan typo ntar lebih aku perhatiin lagi....
kalo ente ibarat bayi yg baru lahir, ane ibaratnya malah msh didalem kandungan, padahal udah lbh dr 12 bulan dikandung ) prematur kan? )
setengahnya lagi besok aja deh..
takut ketiduran pas baca..wkwkwk
emang bener kata bang abi, butuh mood yg tinggi kl mau baca ini.. #:-S
otak saya cetek, susah kl diajak baca yg berat2 8-}