It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Makanya, mungkin aku aja yang ngerasa kayak gitu Kan nggak ada yang protes lagi kan selain aku? hehehehe. Iya, mungkin memang terlalu cepat perubahan suasananya. Aku tahu memang setelah itu, suasananya udah agak santai, cuma di bagian yg itu aja sih. Again, ini menurutku ya? Nggak perlu ditelan mentah2 juga apa yang aku bilang, soalnya kita juga sama2 belajar kok. Aku juga belum ahli banget dalam bidang nulis. Itu cuma yang aku rasain.
Aku malah suka tema2 yang sedikit serius gitu karena tantangannya, menurutku disitu. Kita bermain dengan emosi yang lebih dalem kalau temanya agak serius
Keep writing!!!
(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩__-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)
maap maap, mungkin baru bsok atau besok lusa. hehehehe
wah berari yuzz bisa bikin si @ehem_ehem gak berkutik dong????
situasi2 tertentu???? hemmmm #tebar sate
kok satenya sampe dibawa kesini??
oh harus, topik ini harus dibawa kemanapun dan kapanpun
“Will, besok aku akan pergi ke Groningen untuk berpamitan pada Dad.”
Will yang tengah duduk di sampingku dan berkosentrasi pada lembar-lembar foto di tangannya, pada akhirnya menoleh padaku. Setidaknya itulah yang kutangkap dari sudut mata kiriku karena aku memang tidak melihatnya secara langsung. Hanya dengan satu kalimat itu, seharusnya Will sudah mengerti mengenai topik apa yang sedang kubicarakan padanya sekarang. Jika dia memang benar-benar sudah bisa menduganya, pasti yang dia inginkan sekarang ini adalah mendengar sebuah kabar gembira dariku. Walaupun aku baru saja pulang dari bekerja, tapi aku sudah tidak bisa lagi untuk tidak mengatakan padanya sekarang juga, tentang keputusanku mengenai kepindahan kami ke Korea.
“Dan di hari minggu nanti kita bisa mulai bersiap-siap mengurus segala keperluan kita untuk pindah ke Seoul. Apa kamu ingin ikut ke Groningen sekalian? Mom selalu menanyakanmu dan kurasa Jill akan senang jika bisa bertemu lagi dengan kakak iparnya. Oh ya, kamu bisa bilang pada Jin Hee dan Dong Sun kalau kita memang akan ikut mereka kembali ke Korea minggu dep...”
Rasa-rasanya aku seperti ditabrak oleh sebuah mobil berkecepatan tinggi sekarang ini saat Will tanpa kuduga dan secara tiba-tiba memelukku ketika aku masih duduk di sampingnya, sebelum aku menyelesaikan penjelasan panjang tentang persetujuanku. Lembar-lembar foto yang semula ada di tangannya, sekarang ini kulihat sudah berhamburan di lantai dan beberapa ada yang jatuh di atas meja. Sepertinya Will benar-benar tidak bisa menahan dirinya dari luapan bahagia yang dia rasakan sekarang karena aku mulai merasa sesak dengan pelukan eratnya, dan tawa renyahnya semakin terdengar jelas di telingaku.
Aku tidak memanfaatkan waktu tiga hari yang Will berikan padaku dikarenakan aku tidak mau terlalu lama menyiksa diriku sendiri dengan pikiran-pikiran buruk tentang Korea, sementara cepat atau lambat, aku harus mengambil sebuah keputusan. Tentu saja Will selalu menjadi prioritas utama bagiku karena akan sangat kejam dan keterlaluan seandainya aku sampai tidak mengabulkan keinginannya. Dan ketika aku berada pada sebuah keadaan yang membuatku yakin bahwa kami memang harus kembali ke Korea, maka pada saat itu juga aku seperti sudah menutup pikiranku dari segala hal yang membuatku kembali ragu. Dan sekarang, aku sudah mengatakan padanya. Dan siapa yang menyangka, aku akan melihatnya sesenang ini.
Selama mengucapkan kalimatku tadi, aku berusaha membenamkan dalam-dalam semua rasa cemas dan takutku. Menghilangkan dan menghalau semua pikiran buruk yang mungkin akan terjadi nanti selama kami di Korea. Termasuk, sikap dingin ibu Will dan sikap tidak suka adik-adiknya padaku karena hal-hal tersebut sudah selayaknya kumaklumi. Keluarga Will sepenuhnya adalah warga Korea semenjak ayahnya berpindah kewarganegaraan. Dan menurut pengakuan Will, orangtuanya tinggal menetap di sana setelah mereka menikah. Adik-adiknya tumbuh dalam lingkungan dan budaya yang menentang dan menolak kami. Ayah Will yang pada akhirnya sudah tiada adalah satu-satunya orang dari keluarganya yang bisa merestui pernikahan kami. Keadaan yang sekarang ini memang sulit, mungkin tidak akan ada bedanya dengan keadaan saat kami menjadi sepasang kekasih. Atau justru mungkin lebih sulit daripada yang pernah terbayang dalam benakku.
Aku tahu Will ingin keluarganya menerimaku, menerima keadaan kami dan merestui pernikahan kami, seperti ayahnya yang telah tiada. Walaupun pada kenyataannya, ibu dan kedua adiknya menganggap pernikahan kami adalah sebuah lelucon yang tidak pernah terjadi atau sebuah kesalahan yang secepatnya harus diperbaiki. Keluarganya memang tidak membencinya, hanya saja seperti yang telah dikatakannya, mereka masih memintanya untuk hidup normal dan menikah dengan seorang wanita atau mungkin paling tidak, mereka ingin Will menjauhiku seperti kejadian satu setengah tahun yang lalu setelah Will membuka jati dirinya pada keluarganya. Sesuai dengan apa yang diinginkan ibu dan kedua adiknya, atau bisa kubilang sesuai dengan yang mereka harapkan.
Aku juga paham bahwa Will selalu ingin berusaha membuat mereka semua mengerti, satu hal itulah yang menjadi keinginan terbesarnya semenjak kami menikah. Apalagi melihat kenyataan bahwa keluargaku menerima kehadiran Will dengan tangan terbuka. Beberapa kali kami sempat berkunjung ke Groningen dan makan malam bersama di sana bersama keluargaku. Selama itu pula, aku tahu satu hal. Sebuah rasa iri dan keinginan yang besar bahwa kami dapat melakukan semua hal kepada keluarganya seperti halnya saat bersama keluargaku, selalu terpancar dari mata Will.
Aku memang melihat raut dan senyum bahagianya saat kami makan malam bersama, ada Ayah, Ibu, Jill dan Nicky. Tapi di saat yang bersamaan, aku juga mengetahui, sebuah rasa sesak selalu memenuhi rongga dadanya ketika dia teringat dengan keluarganya. Sehingga tak mengherankan, sekali atau dua kali kadang kulihat dia melamun di tengah-tengah acara canda tawa kami. Pandangan kosong, senyum yang perlahan memudar, dan pikirannya yang sudah tak fokus, adalah hal-hal yang kadang dilakukan Will yang membuatku mau tak mau ikut merasakan rasa sesaknya. Aku selalu berpikir bahwa mungkin saja kejadian-kejadian seperti itu adalah salah satu alasan dari begitu banyak alasan yang membuatnya ingin kembali ke Korea, untuk mewujudkan apa yang dia harapkan.
Di sisi lain, tidak hanya Will yang merasakan sebuah rasa iri karena aku juga merasakannya, dan sepertinya tidak jauh berbeda dengannya. Aku selalu ingin bisa memperlakukan keluarganya sama seperti apa yang sudah Will lakukan pada keluargaku. Kedekatan dan keakrabannya dengan ibu dan kedua adikku yang Will tunjukan selama ini, terutama kedekatannya dengan Jill, selalu berhasil membuatku iri. Bagaimanapun juga aku selalu ingin melakukan hal-hal seperti itu pada ibu Will dan kedua adiknya. Memberikan senyum dan kata-kata sapaan saat bertemu dengan mereka, mendapat pelukan dan ucapan selamat datang saat aku mengunjungi mereka, atupun menghabiskan waktu untuk mengobrol atau sekedar bercengkerama dengan mereka, makan malam bersama, serta melakukan beberapa kegiatan bersama di akhir pekan. Karena memang sudah seharusnya aku mempunyai satu keluarga baru setelah menikah dengannya.
Sebenarnya, aku bisa saja menolak keinginannya untuk kembali ke Korea dan memutuskan untuk tidak beranjak dari Assen, kalau perlu selama-lamanya. Tentu saja dengan melihat bagaimana kehidupan kami berdua setahun ini setelah menikah menjadi satu-satunya alasanku untuk menolaknya. Memang, terlepas dari semua hal yang tidak berkaitan dengan kami berdua, ini adalah apa yang kami inginkan. Kehidupan seperti inilah yang kami harapkan akan selalu bertahan. Aku bahagia, dan begitu juga dengan Will. Tapi jika kami melihat keluar, tentu saja kehidupan kami yang sekarang tidak sesempurna apa yang terlihat atau seperti yang kurasakan. Dan aku memang selalu tidak bisa menampik, jauh dalam lubuk hati suamiku, ada sebuah kekosongan dan ketidaklengkapan karena keluarganya yang masih menentang kami. Mungkin sekarang memang sudah saatnya, seperti kata-kata Will kemarin, tidak ada lagi kata menghindar dan bersembunyi walaupun aku tahu ini bukanlah perkara mudah.
Dimulai dari detik ini, mungkin yang perlu kulakukan hanyalah menguatkan diriku untuk menghadapi mereka. Aku tidak membenci mereka, hanya terkadang aku butuh melindungi hatiku agar tidak akan ada satu celahpun yang membuatku menjadi ragu atas perasaanku pada Will, begitu juga sebaliknya. Aku sudah memikirkan kemungkinan terburuk dari semuanya yang bisa berdampak besar pada pernikahan kami, dan satu-satunya harapanku adalah kami selalu bisa bertahan, dan aku tidak akan menyerah.
Memang, akan sangat tidak masuk akal jika aku berharap keluarganya akan menerimaku dengan mudah dan dalam waktu yang singkat. Tapi jika aku ingin memotivasi diriku sendiri, aku harus mulai berpikir bahwa semuanya akan berjalan lancar, sesuai dengan apa yang kami inginkan. Dan mulai sekarang juga, aku harus memikirkan semuanya. Aku harus merencanakan semuanya.
“Sampai kapan kamu akan terus memelukku seperti ini Will? Sudah lepaskan!”
Aku dapat melihat raut kelegaan yang sangat besar saat aku kembali memandang wajah dan kedua mata abu-abunya. Dan mau tidak mau memang harus kuakui, kembali ke Korea sepertinya sangat berarti banyak untuknya. Aku juga hanya berharap bahwa keputusanku ini membawa dampak yang baik untuk kami walaupun untuk mewujudkan apa yang kami impikan, kami masih harus berjuang keras.
“Tunggu dulu, kamu serius kan? Coba ulangi sekali lagi!”
Aku sangat paham bahwa itu hanyalah sebuah pertanyaan basa-basinya yang tidak harus kujawab atau kutanggapi dengan serius. Karena, beberapa saat yang lalu aku sama sekali tidak mengucapkan kalimat ambigu ataupun menampakkan raut wajah bercanda. Mungkin tujuan Will mengajukan pertanyaan dan sebuah perintah agar aku mengulangi perkataanku hanyalah sebuah cara agar kebahagiaan yang tengah dia alami bertambah dua kali lipat, atau menyeretku dalam rasa bahagia seperti yang dia rasakan.
Dulu, aku berulang kali berkata pada Will bahwa kami berdua bisa membuktikan pada dunia dan pada siapapun bahwa pernikahan kami bukanlah main-main. Kami juga memiliki cinta yang patut kami perjuangkan, kami juga berhak mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan apa yang kami impikan. Tentu saja selama ini Will menganggap keluarganya termasuk dalam kata “dunia” dan “siapapun” yang sering kubicarakan. Tapi secara pribadi, Will tidak akan pernah tahu bahwa aku membuat sebuah pengecualian untuk keluarganya. Jika aku menjadi seorang pengecut karena satu hal ini, itu memang benar. Kuakui, aku memang akan menjadi seorang pengecut jika sudah dihadapkan pada permasalahan yang berkaitan dengan keluarga Will. Tapi sepertinya, dari sekarang aku harus mulai membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku harus mulai membuktikan pada dunia, pada Will, dan pada diriku sendiri bahwa kata “dunia” dan “siapapun” memang tidak ada sebuah pengecualian, walaupun pada kenyataannya, sekarang ini aku belum merasa siap sepenuhnya.
“Apa kamu ingin aku berubah pikiran?”
Menggoda Will seperti ini merupakan kegiatan paling asik yang tidak akan pernah kulewatkan setiap harinya. Aku memang selalu tidak dapat menahan diriku untuk tidak melihat wajah kesal dan protesnya, sesuatu yang sangat kurindukan dan selalu kubayangkan setiap saat. Selalu, saat aku tidak bersamanya. Mungkin alasan lain aku melakukan hal itu sekarang adalah aku sedang berusaha menghilangkan suasana tidak nyaman yang sempat membuatku tegang beberapa saat lalu.
“Apa maksudmu, Tim? Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak salah bicara atau sedang tidak sadar.”
“Dengar Will, sebenarnya ini memang sulit untukku. Tapi, sama sepertimu, aku juga sangat ingin keluargamu menerimaku. Walaupun ini bukan hal yang mudah, tapi kamu benar, kita memang harus mencobanya.”
“Apa kamu sudah yakin?”
Aku tidak dapat mencegah diriku untuk menghela napas panjang setelah mendengar pertanyaan itu. Menurutku, itu adalah pertanyaan lain yang seharusnya tidak kudengar darinya. Aku tahu dia sangat ingin kembali ke Korea. Jadi mendengarnya bertanya padaku apakah aku yakin atau tidak, sangat bertolak belakang dengan kalimat-kalimat penjelasannya kemarin, ketika dia mengatakan padaku seberapa besar keinginannya untuk kembali ke Korea. Dia memang tidak mengucapkan kalimat paksaan kemarin, tapi dilihat dari posisinya berbicara dan nada berbicaranya, sudah sangat jelas bahwa dia sedang berusaha membuatku mengiyakan permintaannya.
“Mulai sekarang, aku harus yakin Will. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku sendiri. Jika aku selalu menunggu diriku sendiri untuk yakin dengan sendirinya, percayalah, kita tidak akan pernah pergi dari Assen, selamanya.”
Aku tahu, ucapanku tadi setidaknya sudah berhasil menumbuhkan sedikit rasa tidak nyaman baginya. Karena, aku memang terkesan terpaksa menyetujui rencananya dan ini bukan kemauan murniku. Aku ingin menjadi bagian dari keluarga Will seutuhnya, itu memang benar. Dan agar hal itu terwujud, aku sadar sepenuhnya bahwa aku tidak mungkin selamanya berdiam diri di Assen dan tidak melakukan apa-apa. Jika Will merasa aku sedang dalam keadaan tertekan, aku akan jadi seorang pembohong jika aku tidak membenarkannya. Aku memaksa diriku sendiri untuk menyetujui rencana Will, ini juga benar. Walaupun aku sama sekali tidak menyukai prosesnya, tapi satu hal yang kutahu, aku harus mengalah. Aku harus mengalah untuk Will dan untuk kebahagiaan kami nanti.
“Tidak ada yang perlu kamu cemaskan Will. Aku akan baik-baik saja, kita akan baik-baik saja.”
Di saat-saat seperti ini, ketika aku memandangnya lekat-lekat, entah kenapa aku ingin sekali mendengar kalimat “Aku mencintaimu, Tim” keluar dari mulutnya. Aku sangat ingin mendengarnya, mungkin hanya untuk membantu menguatkan diriku atau sebagai sebuah penyemangat untukku, sesuatu yang sangat kubutuhkan sekarang ini. Karena sampai sekarang, dia tidak pernah mengucapkan kalimat itu padaku. Bahkan, saat kami menjadi sepasang kekasih, saat dia melamarku, saat kami menikah dan menjalani kehidupan kami berdua setelahnya, aku belum mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya, satu kali pun. Aku memang tidak akan pernah tahu seratus persen apa yang sebenarnya ada di benak dan hatinya karena aku sendiri selalu tidak bisa untuk tidak mengatakan padanya kalimat itu setiap harinya.
Sebenarnya aku pernah mengajukan sebuah pertanyaan padanya tentang kenapa dia tidak pernah dan sepertinya tidak mau mengatakan kalimat itu padaku. Dan seperti biasa, dengan nada kasar dan menyebalkannya dia menjawab, “Untuk apa aku mengucapkan kalimat itu? Bukankah kamu sendiri sudah tahu? Apa kamu tidak merasakannya? Apa perlu aku mengucapkan kalimat itu setiap detik untukmu? Menyusahkan saja! Kamu akan besar kepala nantinya tahu tidak?”.
Mulai saat itu, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya dengan setengah berteriak dan nada kasar, selalu kuartikan sebagai pengganti kalimat “Aku mencintaimu” dan tentu saja, sebuah perhatiannya yang besar untukku. Aku sangat yakin tanpa keraguan sedikitpun, Will sangat mencintaiku tanpa harus mengucapkan kalimat itu.
“Heh Tim, kenapa sekarang kamu menatapku seperti itu?”
**** - ****
“Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu?”
Aku menghentikan niatku yang semula ingin meminum kopi panasku saat pertanyaan itu lagi-lagi harus kudengar. Bedanya, kali ini diajukan oleh ayahku sendiri. Saat aku menoleh ke arahnya, aku hanya melihat ekspresi ayah yang seperti tidak sabar untuk segera mengetahui jawabanku atas pertanyaannya. Aku mengerti, karena sesuai dengan apa yang dipikirkannya, terlalu aneh baginya jika tahu kalau aku akan segera pindah ke tempat yang selama ini mati-matian kuhindari. Ke tempat di mana aku hampir kehilangan Will jika dulu aku tidak mempunyai sebuah keberanian membawanya ke Assen untuk menghindar.
“Dad, jika aku terlalu lama memikirkannya, jutaan pikiran dan firasat buruk akan selalu menyerangku. Jika hal itu terjadi dan semakin berlarut-larut, masalah ini akan selalu menghantui kami.”
Sepertinya hanya dengan beberapa kalimatku, sudah berhasil membuat ayah mengurungkan niatnya untuk terus menerus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya atas topik yang sama. Mungkin aku bisa bernapas lega sekarang karena aku berharap, ayah berhenti membahas masalah ini, setidaknya untuk saat ini. Aku sama sekali tidak bermaksud berusaha menghindar untuk membahasnya. Hanya saja, setidaknya aku masih mempunyai waktu sekitar seminggu penuh untuk menyiapkan diri, selain menyiapkan keperluan kepindahan kami. Dan jika orang lain bertanya padaku tentang seberapa yakin ataupun seberapa siap aku menghadapi masalah ini, rasa-rasanya hal itu justru semakin menekanku ke dalam keadaan yang lebih sulit, dan tentu saja aku merasa semakin terpojok. Aku sudah memaksa diriku sendiri untuk merasa yakin walaupun pada kenyataannya, aku memang belum siap sepenuhnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang diutarakan ayah, mungkin bisa saja memunculkan keraguanku kembali dan aku tidak mau hal itu sampai mempengaruhiku. Setidaknya, aku sudah mengambil keputusan dan membicarakannya pada Will. Aku tidak akan pernah mau mengingkari keputusanku walaupun ada sebagian kecil dari diriku yang ingin menarik kata-kataku itu dan membujuk Will agar tetap tinggal di Assen bersamaku. Tapi, seperti tekadku sebelumnya, aku harus mengalah.
Sekarang, aku mengikuti pandangan Ayah yang tertuju pada Will yang tengah memotret ibu dan Jill di halaman depan yang tentu saja, didominasi warna putih dari salju di sekeliling mereka. Sebenarnya akan menyenangkan jika mereka melakukan itu pada saat musim semi yang hanya tinggal terhitung beberapa minggu lagi. Tapi sangat disayangkan, saat musim semi itu tiba, aku dan Will sudah tidak ada di sini. Ini adalah kunjungan kami terakhir ke Groningen dan aku pasti akan sangat merindukan mereka. Merindukan kebersamaan kami, merindukan kehangatan dan kebersamaan dengan keluargaku, satu hal yang sulit bahkan tidak mungkin kudapatkan di Korea.
“Kalau begitu, jangan lupa untuk memberi kabar. Dan jangan lupa untuk terus memeriksa kesehatanmu.”
“Dad, haruskah kita bahas ini lagi? Aku sehat-sehat saja, tidak ada yang perlu dicemaskan.”
Sebenarnya, aku selalu ingin menyuruhnya berhenti mencemaskanku secara berlebihan seperti ini. Ayah memang sudah merelakan kepergian ibu karena penyakit kanker paru-parunya dua puluh tahun silam. Tapi rasa kehilangan itu sepertinya masih belum hilang bahkan setelah ayah menjalani dua puluh tahun hidupnya setelah kepergian ibu, setelah menikah dan memiliki keluarga baru. Rasa kehilangan itu seperti berubah menjadi sebuah rasa cemas dan ketakutan yang berlebihan, seakan selalu berhasil membuatnya tidak akan pernah merasa tenang setelah mengetahui hasil pemeriksaan kesehatan kami dari rumah sakit. Ayah memang selalu memaksa kami untuk melakukan pemeriksaan rutin setidaknya dua bulan sekali dan tidak ada yang bisa membantahnya. Tapi aku sangat mengerti, ayah tidak mau kejadian di masa lalu itu terulang kembali setidaknya di usianya yang sudah menginjak lima puluh enam tahun.
“Tapi kamu tidak akan pernah tahu Tim, tetaplah periksa kesehatanmu dan kirimkan hasilnya padaku!”
“Dad...”
“Hanya dengan cara itu aku bisa merasa tenang. Jadi, lakukan saja!”
‘
Kekhawatiran ayah yang menganggap bahwa penyakit kanker dari ibu berkemungkinan menurun padaku secara genetis seakan sudah menyita seluruh pikirannya. Dia tidak akan pernah lupa untuk membahas masalah seperti ini setiap kali aku datang berkunjung atau tiap kali aku bersamanya. Dan selama ini pula aku tidak akan pernah bosan untuk menyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, setidaknya sampai detik ini.
“Tetaplah jaga kesehatanmu. Jangan merokok atau terlalu banyak minum minuman berakhohol. Selalu jaga pola makanmu, istirahat yang cukup dan kamu juga harus selalu...”
“Dad, aku akan baik-baik saja. Tidak perlu mencemaskanku!”
Selalu saja seperti ini. Sikap dan raut wajah cemasnya selama ini secara tidak langsung selalu meneriakkan padaku betapa sakitnya dulu saat ayah kehilangan ibu. Bahkan, seolah sampai kapanpun juga rasa sakit itu tak akan pernah sembuh sekeras apapun ayahku mencoba untuk melupakannya. Merelakan kepergian ibu seperti tak cukup untuk menghilangkan bekas rasa sakit dan kehilangan itu dari hidupnya, mungkin karena terlalu besar. Hal seperti ini kadang selalu menantangku untuk memikirkan bagaimana keadaanku kelak jika aku harus kehilangan Will. Aku tahu, pasti akan sangat menyakitkan. Bahkan hanya dengan berkata atau membayangkannya saja sudah cukup membuatku ketakutan.
“Kamu sangat mirip dengan Anissa, sama sekali tidak mau jika ada orang lain mencemaskanmu.”
“Aku sudah mendengar itu jutaan kali. Tentu saja aku mirip dengan Mom, aku anaknya kan?”
Setidaknya, sekarang ini aku sudah bisa melihat senyum dan tawa ayah sebelum aku meninggalkannya ke Korea minggu depan. Karena, pada kunjungan terakhirku kali ini, aku sama sekali tidak mengharapkan hanya mendapat tatapan penuh kecemasan dan kata-kata perintahnya untuk menjaga kesehatanku yang bahkan hampir selalu kudengar semenjak aku berusia sepuluh tahun.
“Kapan kamu akan kembali ke sini?”
“Tenang saja, Dad. Aku akan sering pulang dan mengunjungimu.”
Baru kali ini aku melihat ayah bersikap seolah-olah akan kehilanganku untuk selama-lamanya. Seharusnya bagi kami berdua, hidup terpisah sudah menjadi hal yang wajar. Mulai dari usiaku yang menginjak dua puluh tahun sampai di usiaku yang sekarang, aku sudah hidup mandiri jauh darinya. Walaupun, setiap hari ayah tak pernah absen untuk selalu menghubungiku dan mengingatkanku untuk mengirimkan hasil pemeriksaan kesehatanku.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan saat tiba di Korea nanti?”
Sekali lagi, sepertinya aku selalu tidak akan pernah bisa terlepas untuk kembali membahas topik ini. Aku memang berniat untuk memikirkan dan merencanakan semuanya. Tapi untuk sekarang ini, aku masih belum tahu apa-apa. Mungkin sedari tadi ayah ingin mengucapkan padaku bahwa dia tidak setuju dengan keputusanku. Kembali ke Korea, berarti aku harus kembali menghadapi saat-saat sulit. Tapi, akhir-akhir ini yang selalu memenuhi pikiranku adalah memberikan kebahagiaan pada Will sesempurna mungkin. Dan saat aku memikirkan hal-hal seperti itu, “kembali ke Korea” selalu membayang-bayangiku.
“Aku sudah mempunyai banyak rencana, Dad. Ini memang tidak mudah, tapi aku tidak akan pernah tahu hasilnya jika aku tidak berusaha mulai dari sekarang kan? Sebelum semuanya menjadi lebih rumit.”
Mungkin untuk sekali ini, tidak ada salahnya jika aku berbohong hanya untuk membuat ayah berhenti mencemaskanku. Walaupun ada kemungkinan, ayah tahu aku sedang berbohong. Memang akan terdengar sangat salah jika aku mengutarakan atau menunjukkan padanya tentang seberapa tidak siapnya aku saat ini.
“Kalau masalahnya bisa serumit itu, seharusnya dulu kamu jangan menikah dengan orang Korea Tim.”
Aku mengalihkan pandanganku pada Nicky yang tengah duduk di lantai, di antara kedua kakiku sambil memainkan PSP-nya. Untuk sesaat, bahkan aku seperti tidak menyadari kehadirannya karena sedari tadi dia hanya diam dan berkutat dengan PSP-nya, tidak mengeluarkan sepatah katapun dan seperti tidak menguraukan pembicaraan kami. Tapi kalimat pertamanya, cukup mengejutkan bagiku.
“Anak kecil tidak akan pernah mengerti urusan orang dewasa.”
“Tim! Jangan menyebutku anak kecil lagi! Aku sudah sembilan belas tahun. Lagipula, kenapa kamu dulu tidak menikah dengan Mark saja? Jadi kamu tidak perlu menghadapi masalah seperti ini kan?”
“Sudah kubilang anak kecil tidak akan pernah bisa mengerti. Jadi diam saja, Nick.”
Terlepas dari berapa usia Nicky, kedewasaannya, dan sejauh mana dia berhasil memahami permasalahanku, apa yang dia ucapkan tadi adalah sebuah pernyataan sederhana yang bisa kubenarkan. Jika dulu aku sangat menginginkan kehidupan yang tenang tanpa adanya permasalahan klasik kaum gay seperti konflik keluarga ataupun penolakan dari lingkungan, aku tidak akan memilih Will untuk menjadi pendamping hidupku yang sangat jelas merupakan seorang warga Korea dengan keluarga yang menolak keras pernikahan sesama jenis. Tetapi, aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang ini karena aku sudah memantabkan hatiku bahwa Will adalah orang yang kupilih menjadi pendamping hidupku dan mau tidak mau aku harus memperjuangkannya. Dan sangatlah keterlaluan jika sekarang ini aku sampai berani menyesalinya. Sederhana, aku mencintai Will.
Perkataan Nicky beberapa saat lalu, juga seolah-olah berhasil membuka kembali pikiranku tentang ibu. Ibuku adalah warga Indonesia yang kuketahui, pernikahan sesama jenis ataupun penyuka sesama jenis sendiri masih belum dapat diterima secara baik-baik, tidak jauh berbeda dengan Korea. Jika seandainya ibu masih ada di hadapanku sekarang ini, aku sangat ingin tahu reaksi apa yang akan diberikannya padaku. Apakah menyerahkan semua keputusan padaku atau mungkin sama seperti ibu Will, berharap aku kembali menjalani kehidupan secara normal menurut pandangan orang-orang pada umumnya.
Tapi ayah pernah bilang padaku bahwa pesan terakhir ibu padanya hanyalah dia ingin aku bahagia. Tanpa mempedulikan bagaimana cara aku memperoleh kebahagiaan itu, aku sudah mendapatkannya sekarang ini, sesuai apa yang diinginkannya. Aku sangat bahagia, dan itu karena aku memiliki Will, karena aku bersama Will.
“Apa kamu sedang memikirkan ibumu, Tim?”
Pertanyaan lain yang diutarakan ayah, telah berhasil membuatku tak mempunyai pilihan lain untuk menjawab pertanyaan itu dengan sebuah anggukan kecil. Ayah seolah bisa dengan mudah mengetahui seluruh pikiranku jika kami sedang membahas masalah Korea atau keluarga Will. Mungkin dalam satu situasi, memikirkan ibu adalah satu-satunya cara agar aku mengerti bagaimana perasaan dan posisi Will secara keseluruhan. Tapi kenyataannya, ibu sudah tidak ada dan aku tidak akan pernah tahu apakah dia setuju atau tidak dengan caraku menjalani kehidupanku yang sekarang. Aku juga tidak akan pernah tahu apakah ibu akan merestui pernikahanku dengan Will. Selamanya, hal ini akan menjadi sebuah misteri bagiku. Sesuatu yang tidak akan pernah kuketahui jawabannya secara pasti.
“Dad, jika Mom masih hidup, apa dia akan kecewa padaku? Seperti ibu Will yang kecewa pada Will?”
Ayah meletakkan koran yang sempat dia baca untuk beberapa saat yang lalu dan kembali menatapku.
“Kita tidak akan pernah tahu Tim. Aku tidak akan pernah tahu apa yang akan dikatakan atau apa yang akan dirasakan Anissa jika dia masih hidup sekarang ini. Apa dia akan kecewa atau akan merasa ikut bahagia bersamamu. Tapi, yang kutahu kamu itu bukan anak kecil lagi yang harus kami atur. Kamu punya kehidupan dan keputusanmu sendiri. Jika pada kenyataannya kamu sekarang ini sudah bahagia, apa yang bisa kuperbuat?”
“Tapi, apa mungkin Mom akan bersikap seperti Paman Yudi?”
Entah kenapa aku selalu saja memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang ibuku. Terutama setelah aku menghadapi penentangan dari ibu Will. Aku selalu berharap ibuku bisa mendukungku, sehingga mungkin saja kebahagiaanku akan terasa lebih lengkap.
“Walaupun mereka kakak beradik, tapi tetap saja mereka berdua tidak sama, Tim. Mereka hidup di lingkungan yang berbeda. Ibumu di Jakarta, pamanmu di Colorado. Tentu saja mereka akan memiliki pandangan yang berbeda. Mereka memiliki perasaan masing-masing, hati masing-masing, dan pikiran masing-masing. Kamu tidak bisa menyamakannya begitu saja.”
“Apa secara tidak langsung Dad ingin mengatakan bahwa bisa saja Mom akan menentangku seperti halnya ibu Will?”
Ayah sepertinya tidak ingin menjawab pertanyaan terakhirku, membiarkan tanda tanya besar itu tetap ada sampai kapanpun juga. Aku memang seperti berusaha mencari celah agar aku yakin, ibu akan selalu mendukungku jika sekarang dia masih bersamaku. Memang, tidak sepenuhnya akan benar jika aku menyamakan begitu saja antara ibu dengan adiknya, Paman Yudi. Mungkin aku memikirkan hal seperti itu sebagai bentuk penyemangat yang kuciptakan sendiri. Terkesan menyedihkan, tapi sekarang ini aku memang butuh begitu banyak hal yang bisa menyemangatiku.
“Dad, menurutmu dibalik senyum dan tawa itu, apa yang sebenarnya Will rasakan?”
Ayah kembali menatapku kemudian mengarahkan pandangannya ke arah Will yang masih di luar rumah bersama ibu dan Jill. Tapi kali ini mungkin ayah tahu, ini hanyalah sebuah pertanyaan retoris dariku yang tidak perlu dia jawab. Ayah bukanlah Will, jadi tentu saja ayah tidak bisa menjawabnya, walaupun dengan mengira-ngira.
“Kami berdua berbeda. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu yang tidak setuju dengan kehidupan kami yang seperti ini. Sekeras apapun aku memaksa diriku untuk memahaminya, aku tidak akan pernah bisa merasakan secara pasti bagaimana persisnya berada di posisinya. Atau, jika seandainya Mom tidak setuju, apa aku akan bisa membuatnya mengerti? Apa aku bisa bersikap seperti Will? Aku tahu Will sepertinya menyimpan beban itu sendiri walaupun dia selalu ingin membaginya denganku, dia selalu menganggap bahwa permasalahan keluarganya adalah tanggung jawabnya sendiri dan aku tidak perlu ikut campur terlalu banyak. Dia juga tidak pernah berhenti tersenyum saat bersamaku, meyakinkan padaku bahwa dia baik-baik saja. Tapi di balik itu semua, bagaimana perasaannya yang sesungguhnya? Aku sangat ingin tahu. Bahkan, aku terkadang selalu berandai-andai jika kami berdua bertukar posisi. Apa keadaannya akan sama? Apa aku akan bersikap seperti Will dan apakah dia akan mengambil keputusan sama sepertiku?”
“Jadi, itu termasuk salah satu pertimbanganmu untuk pindah ke Korea?”
“Apa yang bisa kuperbuat, Dad? Kembali ke Korea, membuat keluarganya mengerti dan menerima kami seperti sudah menjadi keinginan terbesar Will. Kami memang bahagia, tapi aku akan merasa menjadi orang yang sangat kejam jika terus menerus menahan Will di Assen padahal Will masih mempunyai keluarga yang tidak mungkin tidak kami pedulikan. Di sisi lain, kembali ke korea selalu bisa membuat rasa takutku muncul setiap saat.”
“Masih sama seperti yang dulu, Tim? Takut?”
“Tentu saja aku sangat takut, Dad. Di Korea nanti mungkin saja hal yang tidak pernah terduga akan terjadi. Paling buruk, mungkin aku akan kehilangan Will, seperti halnya satu setengah tahun yang lalu. Rasa takut itu selalu bisa muncul dan menguasaiku, walaupun terkadang aku bisa menepisnya. Selama ini aku selalu menyemangati diriku sendiri bahwa kami akan bertahan. Tapi tetap saja, aku tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Jika kemungkinan itu akan terjadi, aku harus apa? Membawa Will menghindar lagi? Membuatnya menentang keluarganya untuk kedua kalinya?”
Ayah memijat pundakku begitu tahu aku menghela napas panjang. Biasanya, aku akan mudah merasa tenang jika ayah sudah melakukan hal semacam ini. Tapi, kali ini entah kenapa aku sama sekali tidak bisa tenang sedikitpun.
“Aku tahu, tidak akan mudah berada di posisi Will. Tapi aku juga berada di posisi yang sulit sekarang ini. Jika sebelumnya aku tidak pernah mengandalkan sebuah keajaiban, entah kenapa sekarang ini aku seperti butuh banyak keajaiban yang menjamin aku tidak akan kehilangan Will. Aku tidak mau kehilangan dia, Dad.”
malah jd kayak narasi.. T-T
Oh ternyata mereka pindah? kirain cm kunjungan sementara ke korea itu..
#pura-pura ga baca masalah sate
enggak, itu semacam curhat ke bokapnya, jadi emang panjang. di awal2 dlu malah ada satu part yang isinya dialog semua dan hampir gak ada narasinya, wktu Will curhat.
part sbelum ini dh ngejelasin yg dimaksud will itu pindah. nih dialognya Will
"Sebenarnya aku sudah mempunyai beberapa rencana nanti jika seandainya kita jadi pindah ke Seoul. Aku tahu kamu sangat ingin hidup sederhana......”
pura-pura ga baca masalah sate?
#nyodorin sate
bener sih.. jd inget kata2 Kristan ke Dharma yg blg kl saat tiba waktunya nanti bukan Bryan yg harus ditemenin.. tp Dharu.. So sad kl Dharu sm Bryan hrs menghadapi situasi kayak gini..
Kl konfliknya kayak gini mah emang keberatan buat mereka..haghaghag
#pura2.ga.liat.sate
#kipasin sate biar baunya menyerang hidung @yuzz
#malah OOT ke sate sih,udah ah