It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
si @totalfreak ini mungkin udah bosen sama kita kali ya, @silverrain?? #nangis *sedih
tadinya mau pake akun @stamp tapi berhubung semua hal yg brkaitan dgn kantor pos yg paling manusiawi utk dijadiin nama akun cuma wessel, ya milih wessel. wkwkwkwkwk ada2 aja nih.
iya ah, telat. #natapBosen
enggak ada apa2 @masdabudd, ini cuma pribadiku yang laen, aku kan masih ababil wkwkwkwkwk
bukan gitu, tapi malu aja sbenernya bkin crita kyk gni pake akun yg totalfreak, kan jadinya aneh. apalagi aku punya tanggungan 2 crita yg belom kelar.
ada kok, cuma masalah di crita ini aku pungut dari bukunya Dharu berhubung konflik dan penyelesainnya terlalu berat buat usia mereka. jadi bkin crita terpisah. untuk masalah FAM 4 serahin aja ke @totalfreak , moga aja dia g lari dari tanggung jawab.
@masdabudd mana mungkin aku (totalfreak) bosen sama kalian? #pelukErat
Thx bnget buat @silverrain uda mau teriak2 panggil ane
Ya kan hny ngambil satu msalah aja. ntr klo baca bukunya dharu jg g bkal jauh2 ky gni, bedanya lbh ringan
Sunyi, hanya satu suasana itulah yang menguasai kami semenjak Jin Hee dan Dong Sun berpamitan dan meninggalkanku dengan Will berdua di sini, masih belum beranjak dari ruang makan yang menyatu dengan dapur apartemen kami. Aku tahu ini bukan pertama kali kami menghadapi sebuah masalah. Aku juga tahu bahwa malam seperti ini pernah kami alami beberapa kali sebelumnya. Tapi sekarang semua terasa lain bagiku jika kami harus membahas suatu masalah tentang Korea ataupun hal-hal lain yang terkait dengan Korea. Apalagi jika Will benar-benar pergi untuk waktu yang belum kuketahui.
Aku masih menunggunya untuk mengatakan padaku semua yang dia simpan selama ini. Tapi dari beberapa menit yang lalu setelah kepergian Jin Hee dan Dong Sun, dia masih membisu. Aku hanya berharap Will dengan cepat segera mengutarakan semuanya sebelum hal ini menjadi semakin sulit kuterima. Dan tentu saja, sebelum rasa cemasku semakin besar atau sebelum aku tidak dapat mencegah otakku untuk berpikir terlalu jauh. Kami akan baik-baik saja, hanya satu kalimat itu yang terus menerus kuyakini sampai detik ini. Walaupun aku tahu dan tak bisa menampik bahwa semua yang dia utarakan setelah ini tentu saja adalah hal yang sangat tidak kusukai.
Will menatapku, mengisyaratkan bahwa dia sekarang sudah siap untuk mengatakan semuanya walaupun sampai sekarang masih kulihat dengan jelas tangannya semakin gugup memegang cangkir kopinya. Untuk yang kesekian kali, aku sudah terhanyut dalam mata abu-abunya yang seolah membuatku mau tak mau harus membuang sedikit demi sedikit emosi dan membuat dinding tebal agar amarah tak sampai menguasaiku. Bukan hal mudah, tapi aku seperti tidak mempunyai pilihan lain.
“Tim, sebelum ayah meninggal, dia berpesan padaku untuk menjaga ibu dan kedua adikku.”
Hanya dengan satu kalimat pembukaannya, aku seperti sudah dapat mengira-ngira dan menebak semua kalimat setelahnya. Bukan berarti aku tahu persis apa yang akan dia ucapkan. Hanya saja, aku sudah mengerti inti dan maksudnya. Tapi aku juga tahu, Will ingin mengatakan semuanya dengan jelas tanpa tertinggal satu pun. Dan aku, akan diam.
“Aku pikir ayah memang sepenuhnya benar karena itu adalah kewajibanku sebagai anak sulung di keluargaku setelah kepergiannya. Tidak ada kata-kata yang kuucapkan saat itu, Tim. Aku hanya ingin mendengar semua pesan ayah dengan hati-hati. Saat-saat seperti itu telah berhasil membuatku bertekad untuk melakukan apa saja yang dia inginkan dan aku tidak akan membantahnya. Hingga napas terakhirnya, ayah hanya meminta satu hal itu padaku, ayah hanya menginginkanku untuk menjaga ibu dan kedua adikku.”
Sepertinya aku harus memaksa diriku sendiri untuk memikirkan bagaimana seandainya aku yang berada di posisinya, hanya untuk menemukan sebuah titik bahwa aku bisa mengerti perasaannya saat ini. Tentu aku harus setuju dengan Will. Itu adalah salah satu kewajibannya sebagai anak laki-laki pertama di keluarganya, sekalipun Anthony dan Sarah sudah mapan. Yang kutahu selama hidupnya, satu-satunya keputusan yang menentang keinginan keluarganya, terutama ibunya adalah dengan bersedia ikut dan menikah denganku di Assen. Selain itu, membatalkan pertunangannya dengan Jin Hee juga termasuk di dalamnya. Will memang bukan seorang anak yang gemar membantah kemuan kedua orangtuanya, hanya sekali, saat aku memintanya ikut bersamaku untuk menghindar.
“Sesaat sebelum itu, aku ingin berjanji padanya kalau aku akan melakukannya. Tapi ayah mencegahku. Dia bilang aku tidak perlu berjanji apa-apa padanya walaupun dia sangat ingin aku menjaga keluargaku, karena saat itu mungkin ayah juga memikirkanmu Tim. Bagaimanapun juga ayah sudah mengerti bahwa aku mempunyai keluargaku sendiri, aku memiliku, satu hal yang tentu saja ikut kupertimbangkan, satu hal yang ayah juga pertimbangkan. Ayah paham bahwa pernikahan kita membuat keluargaku kecewa dan sampai saat ini ibuku masih... tidak menyukaimu dan tidak rela jika kita menikah. Tapi saat itu, bisa kukatakan ayah tidak memaksaku. Ayah hanya memberiku sebuah pilihan.”
Will sudah kembali tenang, aku dapat dengan jelas melihat hal itu saat dia mengalihkan pandangannya dariku dan mulai meminum kopinya. Sebaliknya, walaupun mulai mengerti bagaimana perasaan dan posisinya saat ini, aku kembali harus menghancurkan pertahananku yang telah kubuat sendiri beberapa saat lalu dan aku sadar sepenuhnya, rasa cemas kembali menyerangku. Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini jauh lebih besar.
“Tahun ini Anthony sudah selesai menjalani wajib militernya dan akan menikah tahun depan. Sedangkan Sarah, kuperkirakan akan menikah dengan kekasihnya dua atau tiga tahun lagi. Sebagai kakak mereka, aku tentu saja ingin hadir dan mejadi orang yang mengabadikan momen-momen paling bahagia dalam hidup mereka. Mereka berdua memang sudah memintanya langsung padaku. Dan Jin Hee, aku juga ingin hadir di pernikahan Jin Hee dengan Dong Sun.
Selain itu, perusahaan milik Paman Sung menginginkanku kembali bekerja di sana karena tahun kemarin penjualan majalah mereka turun drastis. Paman ingin kembali menggunakan jasa dan ide-ideku seperti yang pernah kulakukan dulu saat kita belum menikah dan pindah ke Assen. Paman bahkan menawariku gaji yang jauh lebih besar dari yang sebelumnya jika seandainya aku setuju untuk bekerja lagi padanya.”
Dari semua yang telah Will katakan, alasan yang dia katakan paling akhir bahwa Paman Sung menawarinya gaji yang besar jika dia bersedia bekerja kembali, tidak kuhitung sebagai penjelasan pendukung bagi Will untuk kembali ke Korea. Materi, sekarang ini kami bahkan mempunyai lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan kami sampai akhir hidup kami, jika hanya untuk makan dan keperluan sehari-hari. Jadi kurasa Will sengaja memperbanyak alasannya agar terkesan bahwa dia memiliki alasan yang cukup untuk kembali ke Korea.
“Tim, aku sudah membeli tiket ke Seoul untuk minggu depan bersamaan dengan Jin Hee dan Dong Sun saat mereka kembali ke Korea.”
Detik ini juga aku seperti tidak bisa lagi menahan emosi yang bergemuruh dalam diriku. Walaupun sebelumnya dia sudah mengatakan padaku tentang ini, rasa-rasanya untuk mendengar kalimat itu kembali, sudah cukup untuk membuat hatiku kelu. Sederhana saja, itu karena aku tidak ingin dia meninggalkanku.
“Will, jadi...kamu benar-benar akan pergi? Meninggalkanku di sini? Untuk waktu yang bahkan kamu sendiri tidak tahu? Bahkan semua ini sudah kamu putuskan sepihak tanpa membicarakannya dulu padaku? Tidak ingin mendengar pendapatku atau mempertimbangkan apa yang kurasakan? Apa itu artinya aku bukan siapa-siapa bagimu?”
Aku tahu seharusnya aku tidak berteriak padanya pada akhir kalimatku, tapi tentu saja terkadang emosi selalu bisa menguasaiku dengan mudah jika sudah seperti ini. Dia sudah memutuskan tanpa mendiskusikannya denganku. Bagaimanapun juga, itu adalah sikap Will yang paling keterlaluan dan tentu saja sudah berhasil membuatku geram.
“Tim...”
“Apa? Kamu ingin bilang maaf? Kamu ingin meminta maaf padaku? Apa saat memutuskan hal itu kamu mungkin sesaat lupa kalau kita sudah menikah dan kamu sudah bersuami? Apa seperti itu? Aku bahkan seorang kepala keluarga, tapi ini yang kudapat darimu? Keputusan sepihak? Itu yang ingin kamu katakan padaku?”
Will beranjak dari duduknya dan mendekat ke arahku. Aku tahu apa yang akan dilakukannya padaku setelah ini. Dia akan menambah daftar “serangannya” padaku karena kalimat-kalimat yang dia ucapkan sebelumnya pada kenyataannya telah membuatku tidak tenang.
“Tim, aku sudah membeli dua tiket ke Seoul untuk kita berdua. Jin Hee juga tahu masalah ini. Aku tidak berencana kembali ke Seoul tanpamu.”
“Apa?”
Will sudah mengaitkan kedua tangannya pada leherku, memelukku dari belakang saat aku hendak bangkit dari dudukku karena spontanitas amarah yang tidak bisa kukendalikan sendiri. Mungkin saja dia ingin menetralisir rasa terkejutku setelah mendengar sebuah kalimat lain yang tak terduga darinya. Benar-benar tak terduga.
“Kamu ingin aku ke sana, Will? Ke tempat yang selama ini kuhindari? Ketempat yang bahkan aku sendiri tidak mau memikirkannya? Apa ini sebuah paksaan darimu?”
Perlakuannya yang terhitung jarang seperti ini, bersikap lembut padaku, sudah cukup untuk meredam amarahku dengan mudah secara perlahan-lahan. Nafasku yang beberapa saat lalu memburu, sudah mulai kembali bisa kuatur. Otot-otot di wajah dan tubuhku yang semula menegang, perlahan-lahan sudah mulai meregang. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana bisa sampai seperti itu, tapi sekarang Will sudah mempunyai kendali penuh atas diriku. Dia selalu bisa mengalahkanku dengan mudah dengan cara-cara seperti ini. Perlakuan yang seharusnya tidak kusukai.
“Aku tahu kamu tidak nyaman dengan Korea atau tidak siap untuk kembali ke sana, karena semua pasti akan mengingatkanmu pada masa-masa sulit kita berdua. Dengar Tim, semua keputusan ada di tanganmu. Semua yang kukatakan padamu sebelumnya hanyalah sebuah keinginanku, bukan keputusanku. Jika sekarang kamu tidak setuju dan menyuruhku untuk tetap tinggal, aku akan tinggal. Aku tidak akan pergi jauh darimu.”
Bahkan ketika Will menyatukan pipi kami dan mengeratkan pelukannya, aku sudah menghitung ini sebagai sebuah dukungan darinya. Karena pada kenyataannya, di dalam diriku sedang terjadi perang besar. Sebuah kebimbangan, kecemasan, ketakutan, seolah menyerangku di saat yang bersamaan. Dan pelukan Will adalah satu-satunya senjata yang kugunakan untuk melawannya.
“Jika seandainya kamu mengabulkan keinginanku dan kita pergi ke Korea untuk kembali berusaha mendapat restu ibuku, hadir di pernikahan adikku dan Jin Hee, merebut hati keluargaku agar mereka menerimamu, maka aku sangat berterima kasih. Kamu harus ingat, aku tidak akan memaksamu. Dengarkan kata hatimu Tim. Jika hatimu berkata untuk tetap tinggal di sini, aku akan mengubur semua keinginanku itu. Aku tidak akan kecewa ataupun sedih, aku janji.”
Setelah menenangkanku dengan perlakuannya, aku tahu sekarang ini Will kembali menyerangku dengan kalimatnya. Aku tidak tahu kapan pembicaraan ini akan berakhir dan keputusan seperti apa yang akan kuambil. Tapi, dia sudah berhasil menyiksaku dengan pilihan yang sulit.
“Sebenarnya aku sudah mempunyai beberapa rencana nanti jika seandainya kita jadi pindah ke Seoul. Aku tahu kamu sangat ingin hidup sederhana berdua denganku seperti setahun ini. Jika kamu memang menginginkan seperti itu, kita bisa membeli sebuah rumah kecil atau membeli apartemen seperti ini di manapun kamu mau. Kemudian memulai usahamu sendiri, dimulai dari sebuah rumah makan kecil, dan aku akan berhenti dari pekerjaanku di perusahaan Paman Sung dan mulai membantumu Tim.”
Dan lagi, setelah mengucapkan kalimat serangannya, Will mencium pipiku dengan lembut. Aku seperti benar-benar dipermainkan olehnya. Dia sudah memiliki rencana. Dan dari nadanya berbicara, dia memang sedang dalam posisi memaksaku untuk menyetujuinya. Dan seolah dia akan menjadikanku orang yang paling kejam jika aku menolak keras keinginannya.
“Jadi sudah sejauh itu kamu merencanakannya Will? Itu curang!”
“Hei, aku kan sudah bilang tidak akan memaksamu. Dan sebaiknya pikirkan dulu baik-baik. Jangan dijawab sekarang. Aku takut jika kamu buru-buru mengambil keputusan sekarang justru kamu akan bisa menyesal nanti. Bagaimana kalau tiga hari, cukup?”
“Baik, akan kupikirkan.”
Aku memang mengucapkan kalimat itu karena sudah tidak mempunyai pilihan lain. Jika yang ada dipikiranku sekarang ini hanya Will, atau keinginanku yang selalu membuat Will bahagia, sudah dipastikan kami akan terbang ke Korea minggu depan. Tapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Ini bukan soal memindahkan pakaian, barang, dan diri kami dari kota Assen ke Seoul. Tapi ini mengenai “menghadapi” kembali keluarga Will. Sesuatu yang sangat sulit kulakukan, bahkan untuk kupikirkan.
Bagiku, detik ini juga, menghadapi dunia bahkan terasa lebih ringan daripada harus menghadapi langsung keluarga Will, terutama ibunya. Setidaknya di dunia ini ada banyak sekali orang yang mengerti bagaimana perasaanku atau posisiku yang mungkin mereka bisa membelaku atau memberi semangat padaku. Tapi dalam keluarga Will, tidak ada hal seperti itu. Kalah sebelum bertanding, kurasa kalimat itu cocok untukku saat ini.
Selama ini kami memang terkesan menghindar, menjalani hidup senormal mungkin padahal masih ada yang kurang dari kehidupan kami. Jika dilihat kenyataannya selama ini, peluang yang kuhadapi untuk mendapat restu dari keluarga Will sangatlah kecil. Sangat kecil, bahkan bisa kubilang mustahil. Keluarga Will tidak sama dengan keluargaku. Perbedaaan budaya, latar belakang, lingkungan, pandangan, dan pola pikir, semuanya sudah menjelaskan padaku bahwa sekarang ini aku akan menghadapi sebuah kebuntuan. Mungkin memang hanya satu yang pada akhirnya masih bisa kuandalkan, yaitu sebuah keajaiban. Dan sesuai dengan apa yang Will katakan terlepas dari kata-kata provokasinya, aku akan mempertimbangkannya.
Keningku berkerut seketika saat aku merasakan tangan Will mulai beraksi menelusuri seluruh tubuhku. Sekali lagi sangat mudah baginya untuk merubah suasana hatinya. Beberapa menit yang lalu bahkan kami masih dalam keadaan canggung dan sekarang Will dengan sukses mengembalikan suasana seperti biasanya. Dia memang benar-benar aneh. Tetapi aku selalu bersyukur bahwa Will masih mempertahankan sifatnya yang satu ini. Karena, menghilangkan suasana tidak nyaman adalah hal yang paling kami butuhkan sekarang.
“Aww, ada apa denganmu? Kenapa memukul tanganku Tim?”
“Itu karena aku kira tanganmu memiliki otak dan kemauan sendiri, jadi aku hanya ingin menyadarkannya kalau perbuatannya sudah keterlaluan.”
“Kau ini... heh Tim, kamu pikir aku ini siapa? Aku hanya menuntut hakku darimu.”
“Lalu?”
“Itu pertanyaan aneh Tim, ayo cepat kita ke kamar. Atau ingin melakukannya di sini saja?”
Ada perbedaan besar jika kurasakan saat kami menjadi sepasang kekasih dan setelah kami menikah. Dulu, Will sama sekali tidak pernah senekat ini, maksudku berbuat macam-macam seperti ini. Tapi saat malam pertama kami setelah menikah, aku seperti sudah tidak mengenalnya. Dia seperti sudah tidak sungkan untuk meminta atau berbuat “aneh-aneh” padaku. Tentu saja, itu karena aku bukanlah orang lain baginya.
“Tidak bisa sekarang Will, malam ini aku sudah berjanji lagi dengan Joris akan menemaninya menonton siaran ulang final sepak bola kemarin. Kamu ingin aku melanggar janjiku lagi padanya? Hanya dua jam saja Will, tahan dulu oke?”
“Apa-apaan ini? Sebenarnya siapa suamimu? Aku atau Joris?”
“Apa? Aku tidak bermaksud seperti itu, Will.”
“Sudah lupakan! Aku langsung tidur saja.”
“Will, jangan seperti itu!”
“Aku terlanjur marah.”
Satu hal lagi, Will seperti tidak bisa menghilangkan sifat kekanak-kanakannya di saat-saat seperti ini. Jujur saja, aku justru menyukainya. Will seakan selalu membuat hubungan kami layaknya remaja-remaja yang pertama kali dimabuk cinta. Sikap cemburunya, suka marah-marahnya, ataupun sikap yang seharusnya tidak dia tunjukkan setelah kami menikah atau karena umurnya yang sekarang, dia masih menjaganya. Dia mewarnai kehidupan sehari-hari kami dengan cara yang unik, terlepas dari semua masalah yang kami hadapi selama ini. Lagi-lagi aku harus bilang, aku semakin mencintainya.
“Will, tunggu!”
****-****
Mataku seketika terbuka saat aku mendengar bunyi peringatan email masuk. Will masih tidur nyenyak di sampingku dengan wajah yang terlihat cukup lelah. Aku akui bahwa terkadang aku tidak bisa menahan diri untuk tetap memandangnya seperti ini, membelai wajahnya saat terlelap ataupun memberikan senyum padanya saat matanya tertutup. Aku ingin selalu melihat wajah ini dan dekat dengannya setiap malam sampai malam terakhirku, yang aku sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.
Aku masih berusaha untuk beranjak dari tempat tidur secara perlahan agar tidak menimbulkan suara sekecilpun yang bisa saja membangunkan Will. Dan pada akhirnya aku cukup kaget saat mengecek email yang baru saja masuk.
“Apa aku bermimpi?”
##Email##
Malam Tim! Apa di sana benar-benar sudah malam? Kudengar dari Jin Hee kalian akan berencana kembali ke Seoul minggu depan, apa itu benar? Kalau ada waktu, sekali-kali berkunjunglah ke tempatku, aku akan merasa sangat senang. Sudah setahun ini aku tidak bertemu denganmu. Aku ingin tahu apa kamu masih sama seperti yang dulu atau sudah berbeda setelah kalian menikah. Aku jadi sangat ingin tahu cerita tentang kalian selama setahun ini. Tidak keberatan ?
Satu lagi, jika selama di Seoul kamu membutuhkan bantuan, aku pasti akan membantumu. Lagipula kamu sudah berjanji padaku seandainya kamu membutuhkan bantuan di sini, aku adalah orang pertama yang harus kamu hubungi. Ingat?
Mudah-mudahan kita benar-benar bisa bertemu lagi, aku sudah tidak sabar.
Y.M.
##--##
Sekarang ini ada begitu banyak alasan yang kembali berhasil membuatku enggan untuk kembali ke Korea. Semua alasan-alasan itu terkadang bisa membuatku sangat cemas jika seandainya keadaan-keadaan yang sulit mungkin saja akan menguji kami selama di sana. Dari email ini sudah bisa kuambil kesimpulan, Will mengatakan pada Jin Hee bahwa kami berdua memang akan kembali ke Korea padahal Will menyerahkan semua keputusan itu padaku. Kurasa dia memang sudah yakin kalau aku akan menyetujuinya.
Tapi sekarang, aku seperti sudah mendahulukan sikap pesimisku karena aku memang takut. Aku seolah-olah merasakan bahwa ada suatu hal bisa saja akan terjadi di Seoul yang akan menyebabkan aku kehilangan Will. Selama ini aku tidak pernah meragukan sedikitpun perasaan Will padaku tapi hal itu terkadang juga membuatku takut jika kehilangannya.
Sosok yang kembali kupandang itu masih terlelap seperti tidak lagi menghiraukan apa yang tengah kukhawatirkan karena mungkin saja dia sedang berada pada mimpi yang dia harapkan. Mimpi indah yang membuatnya enggan untuk membuka matanya. Terlalu banyak hal yang bisa menyudutkan posisi kami. Setiap saat aku selalu meyakinkan Will kalau kami akan selalu bisa menghadapi saat-saat sulit itu, bisa membuktikan pada siapapun kalau kami tidak main-main. Tapi aku tidak akan mengungkiri bahwa jauh di dalam hatiku, aku juga merasakan sebuah kecemasan yang besar.
“Apa aku akan sanggup menghadapi mereka untuk yang kedua kalinya? Apa aku bisa?”
Akhrny!!! He3x. Agak mulai bisa diterka2 mau dibawa kemana ceritany tapi y gak th jg sih, ha3x.
Ttg komenku sebelumnya yg kayak drama Korea, aku bukan penggemar berat drama Korea, sekalipun ada bbrp drama yg aku suka. Cuma, aku takut aja, karena ini settingnya mgkn bakal pindah ke Korea, ceritanya bakal kena pengaruh drama Korea banget. Nggak papa sih, semoga aja nggak gampang ditebak ya? Soalnya, aku biasanya udah males duluan kalau ada cerita yg berbau Korea gitu. Just a matter of taste
Ada satu ganjelan atau mgkn krna akuny ngerasanya bgtu y?
*“Jadi sudah sejauh itu kamu merencanakannya Will? Itu curang!”
“Hei, aku kan sudah bilang tidak akan memaksamu...."*
Entah kenapa, aku ngerasanya kok emosi dan suasana yang dibangun sebelumnya, berubah setelah kalimat itu. Maksudku, sebelumnya, mereka serius banget, dengan Will dan Tim yang sama2 bimbang. Tapi, kalimat itu dan selanjutnya, bikin suasananya berubah jadi gak serius. Aku ngerasa kehilangan momentum disana. Perubahan suasananya jadi terlalu cepat menurutku.
Itu cuma perasaanku aja yang baca ya? hehehe. Mungkin yg lain nggak ngerasa gitu.
Updateannya lama bener Maaf kalau komennya panjang terus, hahaha.
Keep writing!
He eh, pembaca memang suka ditipu, tapi kyaknya aku gak bisa ngasih banyak kejutan di cerita ini. Inti konfliknya juga cukup basi (konflik dan penolakan keluarga). #susah, aku belom nyampe levelnya mah.
Kalau masalah selera, tentu aja hal2 sprti itu ngaruhin minat baca. Dan kyaknya yang minat sama cerita kayak gini sangat amat sedikit
Ini memang sengaja bang, waktu dialog ini muncul --> “Jadi sudah sejauh itu kamu merencanakannya Will? Itu curang!” (ada unsur protes, ejekan, candaan ringan, sama ketidakpercayaan) nah aku memang sengaja udah lenyapin suasana serius dan tegangnya karena sebelum dialog itu muncul, suasana hatinya Tim emang udah berubah sedikit demi sedikit sampai kalimat narasi ini --> (Dan seolah dia akan menjadikanku orang yang paling kejam jika aku menolak keras keinginannya.) ini bisa kukatakan sebagai kesimpulan pembicaraan mereka, di kalimat ini juga, terkesan Tim udah setengahnya pasrah, setengah meng-iya-kan, mulai tenang, dan kalimat itu aku jadiin batas akhir suasana seriusnya, antiklimaksnya memang disitu (ya walaupun itu lag-nya terlalu kentara, jadi kesannya mungkin jadi kagok banget). Karena jika dilanjutin ke bawah, suasananya memang udah beda (ngikut).
Dari awal, aku memang gak berencana buat suasananya konstan tegang dan serius sampai akhir part cerita (yg model2 kayak gini dan bakal muncul lagi di beberapa kejadian setelah ini).
Atau mungkin, lain kali jika aku berniat merubah suasana, mungkin memang seharusnya suasananya kurubah perlahan-lahan dengan penjelasan yang gak terlalu maksa dan tiba-tiba.
Ditambah lagi, aku juga gak tahu kalau itu justru bisa berkesan aneh dan menghilangkan feelnya. Udah jelas kalau gini, aku memang harus banyak belajar lagi.
skali lagi makasih bang Aby atas kunjungannya...
cerita ini bukan sambungan dari FAM, tapi konflik FAM aku alihkan ke cerita ini karena konflik seperti ini terlalu berat buat usia mereka.
he em, seorang pemimpin pun kadang tidak bisa terlepas dan menghindar dari pengaruh orang lain, apalagi pengaruh yang kuat. Terima kasih, ditunggu komen2 selanjutnya....
kok jadi merasa kalo sifat will ada di diriku ya..
ahh..will.. bisa2nya bikin tim ga berkutik kayak gitu.. )