It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mencintai kenangan bukan berarti kau tak bisa melupakan masa lalu, itu hanya berarti bahwa engkau cukup kuat untuk menghargai apa yang dulu pernah membahagiakan serta melukaimu..
....
“Sama-sama tante.” Balas Rendy sambil tersenyum kepada tante Nuri.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar dibuka, dan ternyata Eta-lah yang datang.
“Hei, Chand.” Sapa Eta sambil tersenyum.
“Hai, Ta, darimana..??” tanyaku.
“Oh, ini, aku baru aja beli makanan buat mama..” katanya seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya ke arahku. “Kamu datang sama siapa..??” tanya Eta.
Aku hanya memalingkan kepalaku ke arah Rendy, yang terlihat sedang bercanda dengan teman-teman sekelasku yang lain di dalam kamar itu.
“Eh, temenin aku keluar yuk.” Kurasakan seseorang berbisik di telingaku, aku menoleh, Rendy. “Iya.” Balasku.
“Tante, Eta, kita keluar sebentar dulu ya, nanti kita balik kok.” Kataku ke arah Tante Nuri dan Eta.
“Oh, iya Chand,sama Rendy, hati-hati ya.” Pesan tante Nuri.
“Iya tante.” Balas aku dan Rendy serempak.
Kami menutup pintu kamar itu, dan aku hanya mengekori Rendy yang entah mau pergi kemana.
Tiba-tiba saat melewati sebuah jendela kaca yang besar, langkahku terhenti karena menatap sesuatu.
Di ruangan itu, terdapat 3 buah inkubator. Pasti ruangan ini adalah untuk meletakkan bayi-bayi yang lahir prematur, pikirku. Tapi dari 3 buah inkubator yang berada di ruangan itu hanya satu yang terisi, yaitu inkubator disudut ruangan dengan penyangga berwarna kuning.
Walaupun baru berumur 17 tahun, aku selalu ingin punya anak terlebih lagi perempuan. Jika anak pertamaku benar-benar perempuan, akan kuberi nama Millenia. Dan jika anak pertamaku laki-laki, akan kuberi nama Goldierre. Nama itu selalu kudengung-dengungkan, kuocehkan, kuteriakkan kepada orang tuaku, teman-temanku, dan Anita, sahabatku, yang selalu menganggap aku agak gila.
Tiba- tiba dari arah belakang kurasakan ada yang memegang bahuku, kuangkat mukaku dan ternyata itu Rendy. Jantungku berpacu sangat cepat, aku yakin jika ada perlombaan, jantungku dapat mengalahkan kecepatan ferrari.
“Kau tahu” Katanya. “Jika aku harus mempunyai bayi dengan siapapun di dunia ini, aku akan memilihmu untuk menjadi orangtuanya bersamaku. Karena aku tahu, bahwa kau akan sangat mencintainya.”
Aku hampir pingsan mendengarnya.
“kau lihat bayi di ujung sana..??” tunjuknya ke arah bayi di dalam inkubator itu.
Aku mengangguk. “Itu bayi kita.” Katanya.
Hening. Wajahku pasti sudah berwarna Ungu sekarang, karena warna merah tak dapat lagi menjelaskan rasa yang ada di dalam hatiku.
Kutatap wajahnya. Dia hanya tersenyum, sambil tetap menatap bayi itu.
“Hahahahahahaha..”
“Cie-Cie, Bayi Kita nih yeee.. Hahahahah”
Aku sangat kaget, SANGAT LUAR BIASA KAGET. Kubalikkan badanku dan kulihat bahwa ternyata ada Anita dan teman-temanku yang lain disitu.
Anak-anak sialan. Aku hanya mampu mendunduk sambil meringis. Rendy..?? Seperti biasa, cuek, namun kulihat ada semburat merah di pipinya. Dia.. Malu..?? Ini bukan Rendy yang biasanya. Apa dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya tadi..?? pikirku.
Anita datang dan mengagetkanku.
“Bayi kita, em..??” katanya sambil menggodaku.
“Ayolah, kau tahu bagaimana usilnya dia.” Kataku. “Dan kalimat itu keluar dari mulutnya, bukan mulutku, jadi bisa kau bayangkan sendiri.”
“Karena dia yang mengatakannya itulah yang membuatku agak heran.” Kata Anita.
Sudahlah, pikirku.
“Temenin aku ke kantin dong.” Kata sebuah suara.
Aku menoleh dan melihat Nia, teman sekelasku yang dari dulu memang menaruh hati pada Rendy, bergelayutan di tangannya. Rendy menatapku, dan aku hanya tersenyum. Akhirnya mereka berdua pergi ke kantin rumah sakit.
“Hal itulah yang membuatku tak boleh bermimpi lebih jauh.” Kataku kepada Anita. “Nia dan Rendy sangat cocok, dan aku..?? Aku bahkan tak diterima masyarakat karena aku menyimpang.”
Anita hanya mengelus punggungku.
End of Flashback
Aku merasakan nyeri pada tanganku. Aku melihat ke arah tanganku dan ternyata Odi, dengan wajah kesal sedang menatapku. “Om kenapa sih..?? Odi teriak-teriak gak dengar-dengar juga.” Katanya kesal.
“Hehehe, maaf di, om melamun tadi.” Kilahku.
“Om, om, jangan melamun terus dong. Odi kan gak ada temen cerita nanti, kalau om melamun mulu.” Katanya dengan wajah menggemaskan yang mampu membuatku mencubit pipinya seharian.
“Hehehe, iya deh maaf. Nah, Odi lapar gak..??” Tanyaku.
“Huuh, iyanih om, Odi lapar banget.” Katanya.
“Kalau gitu, ayo temenin om ke kantin, om juga lapar nih.” Kataku.
“Asyikk, ayoooo om, les goo.” Dan aku hanya dapat tertawa melihat antusiasmenya itu.
Eh, sebentar aku kan gak tahu orangtuanya siapa dan dimana..?? Kenapa aku langsung main nyolong anak orang aja..?? Dituduh nyulik baru tahu rasa.
“Odi, Odi,Odi!!!! Tunggu.”
Aku menoleh ke arah suara itu.
Dan waktu serasa berhenti.
“Goldierre!! Kamu dari mana sih..?? Udah papa bilang berulangkali jangan pergi sendirian. Kenapa kamu masih melawan..??” Bentak lelaki itu.
“Odi gak jalan sendiri kok pa, Odi sama om Chand. Iya kan om..??” katanya sambil memegang tanganku.
“Oh, kamu sama om ini..?? Maaf pak su..”
Lelaki itu menatapku.
Aku kalah, mataku sudah berkaca-kaca bahkan sebelum dia sempat menatapku.
“Chand..??” tanya lelaki itu.
“Apa kabar Rendy..??” kataku sambil berusaha keras tersenyum ke arahnya.
Belum sempat aku bernafas, belum sempat aku menenangkan diriku yang masih bergetar, namun dia telah memelukku.
Dan aku merasa utuh. Seperti merasakan bagian puzzle yang hilang dalam tubuhku menemukan bagiannya lagi. Seperti anak kecil yang tersesat kembali menemukan jalan pulang.
Aku terisak dalam pelukannya. Agak aneh memang, tidak, bukan agak aneh, tapi SANGAT ANEH melihat seorang lelaki dewasa sepertiku terisak dalam pelukan lelaki lain yang tetap memelukku tak perduli jasnya telah basah oleh air mataku.
Dan Odi, Odi yang ternyata anak Rendy itu hanya mematung melihat papanya memeluk lelaki lain yang baru saja ditemuinya 20 menit yang lalu.
“Om Chand. Odi laper. Katanya mau ke kantin ayo ah.” Rengek Odi.
Dan airmataku berubah menjadi tawa karena suara manja itu.
“Hahaha, iya sayang ayo kita ke kantin.” Kataku sambil membersihkan mukaku dari air mata, dan memberi kode kepada Rendy, ayahnya, agar mengikuti kami.
Dan sepanjang perjalanan ke kantin tampaknya Odi lebih memperhatikanku daripada ayahnya yang tampak santai dan cuek di belakang kami.
“Ayo kita duduk disitu om.” Pinta Odi. “Iya sayang.” Kataku. “Odi mau makan apa..??”
“Odi mau makan ayam goreng aja deh om.” Katanya.
“Kalau kamu Dy..??” tanyaku kearah Rendy. Dia tersenyum dan menatapku, dalam.
“Aku akan makan apapun yang kamu pesankan.” Katanya sambil tersenyum.
Aku kembali tersipu. Aku melangkahkan kakiku ke arah counter makanan, memesankan ayam goreng, Mie goreng untukku dan Nasi goreng untuk Rendy.
Kulihat mereka berdua sedang bercanda ketika aku melihat ke arah mereka.
“Hayooo, Odi, cerita-cerita om ya..??” kataku sambil menggelitiki pinggang Odi.
“Hahaha, gak kok Om. Papa tuh yang bilang katanya om dulu waktu sekolah bawel banget.” Lapor Odi.
“Ih, kok jadi ngelaporin papa sih di..?? Gak adil ah!” kata Rendy.
“Iya sih, dulu om bawel. Tapi papa kamu tuh suka banget tidur di kelas. Hahahaha..” aku dan Odi tertawa lepas.
Dan Rendy hanya menggaruk kepalanya, yang entah sudah keberapa juta kali kuyakini, tidak berkutu dan berketombe.
Ketika makanan kami datang, aku dan Rendy berbagi tentang pengalaman kami.
Seperti biasa, Rendy selalu ingin aku yang bercerita dulu.
Aku pun mengisahkan kepadanya bagaimana aku terpaksa masuk ke Universitas yang dipilihkan orangtuaku hanya karena mereka tak mau aku kuliah jauh-jauh, walaupun aku telah diterima di PTN di luar provinsi yang telah kuidam-idamkan sejak SD.
Bagaimana aku berusaha keras mencari beasiswa ke New York City, kota impianku sejak kecil dan tak pernah kembali sejak 11 tahun yang lalu, dan tentang kehidupanku yang lain, walaupun kehidupan percintaanku tak pernah kusinggung karena setiap lelaki yang mencintaiku aku sakiti karena aku tak dapat mencintai mereka sebesar cintaku kepada Rendy. Ya, Rendy.
Dia hanya mendengar dengan tenang.
“Sekarang giliranmu, dodol.” Kataku kepada Rendy.
Dia tersenyum dan mengisahkan kehidupannya setelah SMA. Bagaimana dia kembali ke kota asalnya di Jawa Timur, dan kembali bertemu dengan Nia, teman sekelasku yang begitu memujanya, dan terpaksa menikahinya setelah Nia meminta pertanggung jawaban setelah Nia hamil saat mereka pacaran. Pacaran, pikirku. Sudah kuduga mereka berdua berjodoh.
Kata Rendy, Nia ternyata keguguran saat usia kehamilannya berumur 5 bulan. Dan mereka mendapat anak lagi pada tahun 2005, yaitu Odi ini.
Kutatap Odi, yang saat ini tengah melahap ayam gorengnya. Pantas saja, aku seperti mengenalnya. Matanya adalah mata Rendy, dan alisnya adalah alis nia.
“Eh, iya aku lupa ngucapin selamat lagi.” Kataku agak berat.
“Selamat untuk..??” tanya Rendy.
“Anak keduamu, tentu.”
“Anak??” tanya Rendy.
“Iya, adik Odi, Nia baru saja melahirkan kan..??” tanyaku agak bingung.
“Ohh, itu bukan anakku, dia itu keponakanku, anak adik Nia.”
“Ohh.” Gumamku.
“Nia, sudah meninggal saat Odi berumur 3 tahun.” Tambah Rendy.
“Astaga, maaf, aku tak bermaksud.” Kataku menyesal.
“Tak apa-apa. Kami sedang mengurus perceraian sewaktu dia mengalami kecelakaan.”
“Perceraian..??” Tanyaku.
“Iya, dia menemukan bahwa aku masih mencintai cinta pertamaku, walaupun tak mengetahui keberadaannya.” Kenang Rendy.
Astaga, hebat sekali cinta pertama Rendy, mampu membuatnya mencintai selama itu.
“Dia menemukan foto kami yang selalu kusimpan di dalam dompetku, dan memintaku memilih, aku menjelaskan bahwa aku tak bisa mencintainya sebesar cintaku pada Cinta pertamaku, dan dia memilih perceraian. I never love her either. It’s just that pregnancy.” Kenangnya.
“Namun, aku mencintai Odi, aku sangat mencintainya.” “Dia seperti pengingat kepada cinta pertamaku. “ kata Rendy.
Aku menoleh ke arah Odi yang ternyata sedang memperhatikan kami bercengkrama, ah betapa Odi sangat menawan, pikirku.
Aku baru saja memperhatikan bahwa gigi Odi sama seperti gigiku. Gigi kami kecil dan rapi serta kami memiliki spasi diantara dua gigi depan kami. What a coincidence, pikirku.
“Kata papa, gigi Odi dan nama Odi merupakan kesamaan dan pemberian orang yang papa cintai, seperti papa mencintai Odi.” Celotehnya.
Kutatap Rendy, dia agak salah tingkah.
Ehh..?? Aku agak tersentil, bentuk gigi kami sama. Apakah ini berarti..?? Ah, bukankah agak terlalu cepat mengambil kesimpulan itu..?? Aku menggeleng kepalaku pelan dan merutuk kebodohanku.
Tapi sebentar, aku merasa agak janggal dengan nama Odi, bukankah tadi kudengar Rendy memanggilnya dengan nama..
“Goldierre. Itu nama lengkap Odi, bukankah nama itu sangat bagus, Om..??” kata Odi sambil tersenyum kearahku.
Nama itu, itu nama anakku kelak. Bukankah Rendy mengetahuinya..??
Saat aku menoleh ke arahnya, dia sudah tidak ada di tempat, ternyata dia sedang membeli minuman untuk kami.
Dan nama itu, bukankah kata Odi barusan, nama itu diberikan oleh orang yang sangat dicintai ayahnya..?? Nama itu adalah ideku. Ideku.
Apakah ini berarti aku adalah cinta pertama Rendy..??
Dan tiba-tiba malaikat disurga menjatuhkan aku dari awan mimpiku.
Bodoh, tolol, idiot. Rutukku kepada diriku sendiri.
Kalaupun dia gay, aku akan mengetahuinya. Radarku tak pernah gagal.
Aku kembali menatap Rendy, kulihat saat dia tengah membayar minuman yang dia beli, sesuatu jatuh dari dompetnya.
“Hey, aku ke toilet dulu ya, jaga Odi.” Teriaknya dari tempat minuman itu.
Aku tak terlalu memperdulikannya.
“Odi, tunggu om disini ya.” Kataku pada Odi.
Odi hanya menjawab dengan anggukan karena dia masih asyik melahap ayam gorengnya.
Aku berjalan ke arah tempat minuman itu, dan mengambil sesuatu yang kelihatannya seperti sebuah foto yang dilipat, dan tampak usang. Dibaliknya terdapat gambar love yang sudah mulai pudar.
FOTO!! BINGO. Mungkin saja aku dapat melihat wajah cinta pertama Rendy, walaupun bukan aku, yang penting rasa penasaranku bisa terobati, pikirku.
Saat kubuka foto itu, hatiku mencelos keras sekali.
Dan aku menangis, air mataku seperti waduk yang hancur.
Kenapa..??
Karena di foto itu kulihat foto dua orang remaja, yang di sebelah kanan aku yakini adalah Rendy, karena dia tinggi sekali dan karena potongan rambut spike adalah siganture stylenya, dia terlihat sangat bahagia.
Sedangkan remaja yang disebelah kiri adalah remaja bertubuh gempal, berkulit cokelat, berambut cepak, berpipi chubby dan sedang memasang tampak jutek karena teman disebelahnya sedang mencubit kedua pipinya. Anak itu kukenal, anak itu adalah anak yang sering menjadi bahan tertawaan di sekolah kami dulu karena dia agak feminim. Walaupun dia cerdas dan sering mengikuti lomba, banyak teman kami yang tetap membully-nya. Aku kenal dengan anak itu. Aku sangat kenal dengannya.
Aku mengenalnya lebih dari siapapun di dunia ini. ANAK ITU AKU.
**End Of Bayi Kita Part 2
Bagaimana nih ceritanya..??
Colek :
@tamagokill
@Monic
@Zhar12
@Im_White
kayaknya happy ending nih
lanjuttt....
:x O:-) [-O< :o3 :bz
Thank You..
Part 3
Bisakah kita terus bersama..?? Bisakah kita terus mencoba..??
“Itu cinta pertamaku, aku sangat mencintainya. Dan tetap mencintainya.” Gumam seseorang dibelakangku.
“Dia teman terbaikku, dia motivatorku, aku berjanji pada diriku sendiri akan menjaga dan melindunginya walaupun kadang aku gagal karena sering kulihat dia menangis sendiri di toilet karena dibully siswa-siswa lain. Kuberi nama anakku seperti nama yang selalu diinginkannya pada anak lelaki pertamanya kelak, Goldierre. Ketika anakku tumbuh besar aku selalu bersyukur melihat betapa anakku sangat mirip dengannya. Aku bersyukur karena aku dapat mengenang cinta pertamaku hanya dengan menatap wajah anakku sendiri, karena aku tak tahu dimana aku harus mencari cinta pertamaku itu.” Tambah suara itu.
Kubalik badanku.
“Aku menghabiskan seluruh masa hidupku dengan mencintainya, dan menyesali kebodohanku karena tak menyatakan cintaku kepadanya, hanya karena aku takut digunjingkan. Namun setelah dia pergi, aku sadar, kehilangan dia lebih menyakitkan dan menakutkan dibandingkan
digunjingkan orang.” Gumam pemilik suara itu, Rendy.
“Aku mencintaimu Chandissyn Schlovenn. Dari pertama kali mataku memandang matamu, sekarang dan akan tetap seperti itu.”
Aku terisak sangat keras, sampai-sampai aku harus menutup wajahku dengan kedua belah tanganku.
Kurasakan tubuhku ditarik ke suatu tempat.
Aku menarik tanganku dari wajahku. Ini toilet, pikirku.
“Maaf, aku tak bisa membiarkanmu menangis di depan umum, nanti aku dihajar karena membuat mahkluk seindah dirimu menangis.” Katanya sambil tersenyum.
Aku bersumpah, malaikat yang tadi menjatuhkanku dari surga, tiba-tiba menjemputku lagi.
“Aku tahu, kau juga mencintaiku. Saat Nia meninggal, aku menceritakan semuanya kepada Anita yang juga datang ke pemakamannya, dan Anita menceritakan segalanya kepadaku. Namun aku sudah mengetahuinya sebelum itu. Kau ingat 14 tahun yang lalu saat kita menjenguk Ibunya siii...”
“Eta” sahutku.
“Iya, Eta, kau ingat saat kusebutkan soal “Bayi Kita”..?? Aku bisa merasakan bagaimana matamu menceritakan betapa kau sangat mencintaiku. Dan aku tahu, aku sudah lama mencintaimu.” Jelasnya.
Aku terdiam, sebesar itukah dia mencintaiku..??
“Jadi, “ dia berlutut, di lantai toilet yang kotor itu (oh Tuhan). Kemudian berdiri lagi dan celingak-celinguk seperti mencari sesuatu, dan mengambil karet yang terletak di samping washtaufel, membilasnya dengan air, mengikatnya dua kali, hingga tampak seperti.. Cincin..??
Dan kembali berlutut.
“Ya Tuhan, berdirilah, kau akan mengotori celanamu.” Sahutku.
“Aku bisa membeli celana tak berguna ini. Ratusan. Tapi aku tak akan pernah bisa menemukan orang seperti kau lagi. Jadi, Chandissyn Schlovenn, I won’t take these precious time for nothing. Be mine..??” katanya.
Dan malaikat itu langsung meletakanku di awan paling indah yang pernah kulihat.
Aku terdiam, hatiku akan keluar dari tempatnya jika aku bergerak sesenti pun.
“Aku mencintaimu..” aku terisak.
“Lebih dari kau mencintai Honda Kuningmu yang selalu mengantarku pulang.” Kataku sambil terisak.
Dia tersenyum, dan memasangkan karet itu di jari manis tangan kananku, lalu berdiri dan memelukku.
Aku bersumpah, saat dia memelukku, semua rasa sakit yang diberikan oleh percintaan yang gagal selama 11 tahun di New York City itu, hilang, menguap tak berbekas. Dan aku bersumpah, saat dia memelukku, sesuatu jatuh di pipiku, aku mendongak dan mendapati, dia, Rendy, Lelakiku, lelaki paling cuek dan manly yang pernah aku temui, menangis sambil tersenyum ke arahku. Aku membenamkan wajahku ke dadanya dan berterima kasih kepada Tuhan, karena aku boleh diijinkan lagi untuk bersamanya.
Tiba-tiba,
“Papa.. Papa.. Om Chand..” itu suara Odi.
“Ren, Dy, udahan deh, tuh Odi nyariin.” Kataku.
“Umm.. Gak mau ah..” katanya manja.
MANJA..?? Sejak kapan lelaki yang pernah menghajar satu geng motor karena membuatku menangis ini menjadi manja..??
“Dy, itu anak kamu di luar nungguin.” Kataku.
“Eh iya, yah, hehehe” tawanya gugup.
Akhirnya dia melepas pelukannya, dan membersihkan mukanya dengan sapu tangannya. Aku juga membersihkan mukaku dengan sapu tanganku.
Dan kami menuju ke arah Odi, yang sudah menunggu kami dengan cemberut.
“Papa kemana aja sih..?? Odi kan capek nunggunya. “ Gerutu Odi. “Om Chand juga, ga adil nih, pergi gak ngasih tahu Odi. Om udah bosan sama Odi ya..??” Katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Aduh, enggak kok sayang. Om sama Papa tadi ke toilet buat cuci muka sebentar. “ Jelasku. “Om ga bosan kok sama Odi. Ga mungkin bosan malah.” Tambahku sambil tersenyum kearah Rendy. Tentu saja, bagaimana bisa aku bosan kepada anak dari lelaki yang aku cintai ini..??
“Jadi..?? Udah dong ngambeknya.” Kataku pada Odi.
“Hehehe, mantap deh Om. Tapi Om ikutan pulang sama kita ya?” Kata Odi.
Aku tersentak. Eh?? Pulang bersama mereka..?? Tentu saja aku mau. Tapi secepat inikah..?? lagipula ada Ibuku di rumah sakit ini.
“Err, bagaimana ya..??” kataku ragu.
Dan aku merasakan tanganku digenggam, aku menoleh ke belakangku dan aku melihat Rendy menatapku dengan tatapan memohon. Oh, ayolah, bagaimana bisa aku menolak permohonan dari dua Pria menawan ini..??
“Ok deh, tapi kita ke tempat teman Om dulu yah.” Kataku kepada Odi.
“Oki Doki Om, Rebes!!” jawab Odi sambil tersenyum lebar.
“Kita mau kemana emang..??” Tanya Rendy saat kami mulai berjalan.
“Ke tempat Anita. Dia baru saja melahirkan di rumah sakit ini.”
“Anita..?? Anita sahabatmu itu..??”Tanya Rendy.
“Iya, gak lama kok. Gak Papa kan??” Aku menoleh ke arah Rendy.
“Of course not.”
Saat kami tiba di depan kamar Anita, dengan gugup aku mengetuk pintunya dan mengajak Rendy serta Odi masuk.
“Permisi.” Sapaku
“Iya, oh, Chand, sini masuk. Kamu sama siapa..??” Tanya Anita.
“Hai Anita, apa kabar?” sapa Rendy.
“Astaga, Rendy..?? kaukah itu..??”
“Iya Anita, ini aku, Rendy. Bagaimana persalinanmu..??” Tanya Rendy.
“Puji Tuhan lancar. Eh, Odi sini sayang, apa kabar..??” Tanya Anita.
“Baik tante.” Jawab Odi yang tampak kebingungan. Tentu saja, terakhir kali Odi melihat Anita, ia masih berumur 3 tahun.
“Namanya siapa, nit..??” Tanya Rendy kepada Anita.
“Nia. Milennia Shelonne.” Jawabku kepada Rendy sembari tersenyum.
Rendy tampak kaget dan langsung menatapku, sementara Anita tampak menundukkan kepalanya.
“Semoga saja dia menjadi anak yang luar biasa cantik serta berbakti. Karena kalau tidak, akan kusiksa Ibunya.” Kataku sadis yang langsung disambut tawa Rendy serta ibu Anita yang sedari tadi berada di dalam kamar itu. Sementara Anita..?? Tampak shock.
“Hahahah, ayolah Anita, aku hanya bercanda.” Tawaku keras.
“Hahaha, kau memang sadis sedari dulu Chand. Tak pernah berubah.” Tawa Anita gugup.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dan muncullah Ibuku.
“Well, siapa anak yang manis ini..??” Tanya Ibuku kepada Odi.
“Nama saya Odi, tante.”
“Odi. Lucu sekali nama kamu anak manis.” Kata Ibuku sambil tersenyum kepada Odi.
“Terima kasih tante.” Balas Odi sopan.
“Anak siapa ini Chand..??” Tanya Ibuku kepadaku.
Aku menoleh kearah Rendy, yang tampak agak gugup.
“Anak saya tante.” Jawab Rendy.
“Well, Rendy right..??” Tanya Ibuku.
“Iya tante. Saya Rendy.” Jawab Rendy.
“Apakabar nak Rendy..??” Tanya Ibuku yang tampak tidak terlalu senang dengan kehadiran Rendy.
“Baik tante.” Jawab Rendy yang masih agak gugup.
Aku tak tahu apa yang terjadi di antara Rendy dan Ibuku, yang aku tahu hanyalah hubungan Rendy dan Ibuku agak kurang bagus. Dan jujur, aku sangat sedih dengan kenyataan itu. Maksudku, bagaimana bisa Wanita yang aku cinta bisa begitu dingin kepada lelaki yang menguasai hatiku..??
“Well, mum, I need to go with these guys, I’ll see you guys soon, Ok..??” pamitku kepada Ibuku serta Anita dan Ibunya.
“Ok.” Jawab Ibuku acuh. Anita dan Ibunya hanya tersenyum.
“Goldierre, ayo!” panggil Rendy kepada Odi yang tampak senang melihat anak Anita.
“Goldierre!” seru Ibuku dan Anita terkejut.
Sepertinya mereka kaget dengan kenyataan bahwa dalam sehari aku harus menerima shock therapy yang diakibatkan oleh bertemunya aku dengan dua anak yang bernama sama seperti anak-anak dalam impianku. But, who cares..?? I got my man here with me now.
“Ya, namanya Goldierre. Semuanya kami pamit.” Kataku sambil tersenyum.
Kami keluar bersamaan, aku menutup pintu dan kami menuju pintu keluar.
Kami kembali melewati ruangan yang berisi incubator-inkubator.
“Siapa sangka Tuhan akan mengijinkan aku dan kamu kembali berdiri di sini, menatap Inkubator yang sama, namun dalam status yang berbeda..??” bisik Rendy lembut di telingaku.
Aku tersenyum, dan menatap ke arahnya. “Andai saja kita bisa bertemu bayi itu lagi. Dia pasti sudah besar sekarang. Tapi aku tak perduli, aku sudah memiliki kamu dan Odi. Buatku itu lebih dari cukup.” Kataku.
Dan Rendy menggenggam tanganku erat.
Tiba-tiba saja aku merasa kebelet pipis. Akhirnya kusuruh Rendy dan Odi keluar duluan dan aku menuju kearah toilet yang terletak disamping ruangan incubator tersebut.
Setelah selesai buang air kecil, aku kembali melewati ruangan tersebut, namun kali ini ada seorang anak lelaki yang berusia sekita 13 atau 14 tahunan yang berdiri di depan ruangan tersebut bersama seorang wanita yang tampaknya Ibunya.
“Kau tahu..?? 14 tahun yang lalu, kamu lahir di rumah sakit ini. Dan karena kamu lahir prematur, kamu diletakkan di ruangan ini, di incubator di pojok sana yang berpenyangga kuning.” Jelas wanita itu.
Langkahku terhenti.
“Wah berarti 5 Maret 1998, aku berada di kotak itu dong ma..??” celoteh anak itu.
Aku membalikkan tubuhku menghadap dua orang itu dengan perasaan yang tak bisa terperikan.
“Maaf ya lama.” Kataku kepada Rendy dan Odi.
“Gapapa kok Om.” Kata Odi sambil tersenyum.
“Kamu ngapain aja..??” Tanya Rendy.
Dia paling tidak suka dibuat menunggu.
Aku mengeluarkan smartphoneku, dan menunjukkan sebuah foto.
“Kamu ingat kapan kita pertama kali melihat “Bayi Kita”..??” kataku.
“Tentu, aku selalu ingat hari itu. 5 maret 1998” Jawab Rendy. “Kenapa?”
“Anak lelaki ini, bernama Didi Reza Purnama, dia lahir premature pada tanggal 5 maret 1998, dan dia adalah satu-satunya bayi yang diletakkan di incubator di ruangan bayi premature pada hari kelahirannya. Dia diletakkan di..”
“Inkubator pojok berpenyangga kuning.” Sambung Rendy.
Rendy mengambil smartphoneku dengan tatapan tidak percaya dan memandang foto yang ditampilkan. Di dalam foto itu terdapat aku dan seorang anak lelaki berkulit cokelat dan bertubuh tinggi. Entah kebetulan atau memang keajaiban Tuhan yang membuatnya memiliki warna kulitku dan tinggi tubuh Rendy.
“Dimana dia..??” Tanya Rendy.
“Kita terlambat, dia sedang mengejar pesawat ke New York, dia tinggal disana sejak 12 tahun lalu. Bisakah kau percaya itu..?? Aku bertemu bayi kita, dan selama 11 tahun aku tinggal di tempat yang sama dengannya.” Kataku.
“Kau tahu, aku tak terlalu perduli dengan semua ini. Karena yang terpenting bagiku adalah Kau dan Odi.” Kata Rendy sambil menatapku sendu. “Jangan pernah tinggalkan aku lagi. Kau tak tahu betapa besar aku mencintaimu.”
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku..”
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, Rendy telah melumat lembut bibirku.
Aku hampir saja terlena dengan ciumannya, namun aku tersentak mengingat kami tidak hanya berdua di mobil ini. ADA ODI!!
Saat aku menoleh ke belakang, ternyata malaikat kecilku itu telah tertidur.
Rendy tersenyum dan berkata : “Kita punya banyak waktu, dan aku yang akan memastikan itu.”
Aku hanya tersenyum, menyadarkan kepalaku di dadanya seraya ia menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari rumah sakit.
Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengembalikannya kepadaku.
Terima kasih Tuhan.
Terima kasih.
The End
Epilog
“Kau kenal dengan lelaki tadi, Di..??” Tanya seorang wanita yang tengah mengendarai mobilnya.
“No, mum, I don’t. It’s just..”
“It’s just what..??” Tanya wanita itu lagi.
“Nope, nevermind.” Kata Didi sambil merenung.
Entah bagaimana cara Didi menjelaskan ke Ibunya perasaan bahagia dan aneh yang diraskannya ketika ia berpelukan dengan lelaki tadi. Ia merasa nyaman dan dilindungi, padahal lelaki tadi baru 4 menit ditemuinya. Belum lagi fakta bahwa Didi merupakan orang yang sangat sulit bergaul. Ibunya saja heran kenapa lelaki itu begitu akrab dengan Didi.
“Mungkin dia seseorang yang berarti bagi hidupku, hanya saja aku tak tahu.” Pikir Didi.
Didi tersenyum sambil merogoh smartphonenya, menelusuri contact dan menekan layar touchscreennya.
“Halo..?? Om Chand..?? Aku udah di bandara, sampai ketemu lagi ya. God bless you.”
Didi mematikan smartphonenya dan tersenyum.
what a waste of time..
Thank God I can still finish this "Bayi Kita" Short story..
For those who read, God Bless You. and thanks for reading..
(Fiksi)
Part 1
“Jadi papa beli HP apa..??” tanya Mamaku.
“Uhh, ya itu, si Nokia. Udah dibilang udah punah juga, tetep aja ngeyel.” Sungutku.
“Ya udahlah, mungkin memang beliau sukanya HP yang begituan, biarin aja lah.” Sambung mama.
“Iya, iya. Lagian yang pake kan papa, yang punya uang kan papa, yang sengsara juga kan papa. Hihihi.” Aku tertawa.
“Yaudah, sana istirahat. Besok kamu kuliah kan..??” tanya mama.
“Iya, aduh malas banget deh.” Sungutku.
Walau dengan langkah gontai, akhirnya aku masuk ke kamar, berganti baju, melakukan ritual bersih-bersihku di kamar mandi, dan berdoa lalu bersetubuh (eh) dengan tempat tidur dan gulingku.
05.00 AM
Kringggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg.
“Iya, iya siap pak, saya siap menjadi head Fashion Designer dari label bapak.” Aku berdiri sambil meletakkan tanganku di samping kepalaku seperti posisi orang hormat.
“Hihihihi, mimpi lagi ya..?? Cacian deh luu.” Suara sesorang mengagetkanku.
Dan ternyata itu adalah kakak perempuanku, Sinta.
“Sialan!” Rutukku dalam hati.
Lagian juga, ini alarm kerjanya ngagetin mulu! Eh, tapi kalau gak dikagetin bisa terlambat ke kampus juga ding. Yang salah tuh tubuh dan alam bawah sadar aku. Kalau mimpi, ya mimpi aja lah! Mbok gausah pake kaget terus ngelanjutin mimpi dalam posisi yang memalukan dong!!
“Kalau belum bangun juga, nanti mama siram pakai air panas!” teriak mamaku dar luar.
“EH..?? Air panas..??” waduh, bisa rusak nih kulit.” Pikirku. Kaboooorrr..
Setelah melewati proses yang cukup lama, akhirnya aku sudah siap untuk ke kampus.
Setelah memberi salam kepada kedua orang tuaku (Kakakku sudah pergi entah kemana ) aku pun berjalan kaki ke depan jalan raya untuk menunggu angkot.
Setelah mendapatkan angkot yang kosong (Aku anti angkot penuh. Why? Because I sweat a lot! Jadi aku gak bisa deket-deket orang lain atau pergi ke tempat yang terlalu panas. Kalau udah keringatan, aku suka jadi risih sendiri.)
Ah ya, maafkan ketidaksopananku.
Perkenalkan, namaku Luka. Bukan Luka bakar, Luka gores ataupun Luka operasi ya guys. Nama lengkapku Lukas Aprillio. Tapi panggilan Lukas terlalu bibliah, dan aku lebih suka dipanggil Luka. It somehow cool (for me at least). Walupun namaku keren, aku gak keren kok (Lagi-lagi menurut aku).
Sering kesel juga sih, gimana enggak..?? Kalau di kamar, atau toilet di rumah, entah mengapa cermin tuh baikkkkkk sekali (atau licik?) karena aku merasa muka aku tuh kinclong dan imutt banget. Tapi kalau udah di public places, entah mengapa aku tuh kelihatan lebih gendut, lebih item dan somehow, lebih TUA! Aku tahu aku agak berlebihan, tapi aku yakin, pasti ada yang merasa sama denganku (please don’t let me be the only one).
Okay, skip those bullshits. Aku kuliah di sebuah universitas negeri di Bandung dengan major “English Literature”, kecintaanku pada bahasa Inggris membuatku tak berpikir dua kali untuk masuk di jurusan ini. Btw, aku sekarang udah ada di kampusku, sedang berjalan ke arah program studiku, setelah perjalanan selama 30 menit dan 3 kali berganti angkot (pheww).
“KALU!”
Aku tersenyum. “Pasti dia.”pikirku.
Perkenalkan, orang yang memanggilku ini adalah orang yang sangat istimewa. Kenapa aku begitu yakin dia adalah orang yang kumaksud, padahal aku bahkan belum menoleh ke arah si pemanggil tersebut..??
Karena dia dunia ini, tidak ada orang lain yang memanggilku “Kalu” selain dia. “Kalu” stands for Luka btw, dia mengubahnya.
“Panggilanku kepadamu harus berbeda.” Begitu katanya, saat aku bertanya kenapa ia memanggilku Kalu. Aku tersenyum.
“Tuh kan, gilanya kumat. Senyum-senyum sendiri. Emang kamu cakep boleh senyum?” Tanya orang itu.
“Bodo amat! Muka-muka aku. Cakep atau enggak kan bukan masalah.” Berondongku.
“Buset, iya iya. Masih pagi juga udah semangat bentakin orang. Lagi dapet, bu?” tanya orang itu lagi.
“Iya, dapet amanat untuk ngebunuh kamu!” kataku berlalu meninggalkannya.
“Aduh, aku jangan ditingggal. Aku beliin minuman deh, kamu tunggu dimana??” tanyanya lagi.
“Gimana kalau di tempat biasa?” usulku.
“Lantai 3 lagi..?? Gak takut dibilang pacaran lagi..??” dia tersenyum usil.
AS-TA-GAH!! Mukaku pasti udah berubah orange sekarang.
“Hahahaha, gak papa kok, tunggu disana ya, Ka!” katanya sambil berlari.
Marcell Vermillo.
Ya, nama orang itu, tepatnya lelaki itu Marcell Vermillo. Dia biasa dipanggil Marcell, atau Chell. Tapi aku memanggilnya “Marlo”. Ketika dia bertanya kenapa, aku menjawab karena aku mau memanggilnya dengan cara yang berbeda pula. Seperti cara dia memanggilku.
Aku pun berjalan ke arah gedung perkuliahan kami, menyapa beberapa temanku, dan menaiki tangga ke arah lantai ke 3.
“Ayoo, mau ngapain?” sesorang tiba-tiba menarik lenganku.
Ah, ternyata sahabatku, Ayu.
“Nggak ngapa-ngapain kok, Yu. Mau duduk-duduk aja.” Kataku.
“Nggak ngapa-ngapain gimana? Wong tadi aku lihat sendiri kamu sama “Pangeran” kamu lagi ketawa-ketiwi di bawah kok.” Katanya (eh) berapi-api.
“AYUUUU!” teriakku sambil mendekap mulutnya.
“Kalau ada yang dengar gimana yu? Aduh mulutmu harus kusunat deh kayaknya.” Aku melotot kepadanya.
“Aduh, iya-iya. Maaf pak. Aku kan yakin gak ada orang disini.” Katanya sambil mengusap-usap bibirnya. “Lagian, kalau mulut aku disunat, noh nyari temen lain yang bisa kamu curhatin.” Katanya sambil melotot balik kearahku.
Eh? Bener juga ding. Hehehe
“Kalian gimana?” tanya Ayu.
“Gimana apanya?”
“Ya itu, hubungannya.” Kata Ayu tak sabar.
“Ya gitu yu, kayaknya gak bisa deh. Aku nyerah deh. Aku capek. Bukan karena aku gak cinta sama Marlo, hanya saja, aku gak yakin dia sama kayak aku. Kan kasihan kalau aku sahabatan sama dia Cuma karena itu, lebih baik aku relain dia deh. Mungkin aja entar aku dpat yang lebih-lebih. Hehehe.” Tawaku getir.
Ya, aku mencintai Marlo.
Ya, aku gay. Dan yang tahu hanya Tuhan, Ayu, dan orang-orang yang melihat akun Manjamku.
Tapi ya begitulah. Aku gak yakin aku bisa mendapatkannya.
*To be continue*
Cerita yg hanyut.
@tyo_ary : Terima kasih banyak udah mau dibaca..
ternyata benar kata orang klo jodoh ga kan kemana
@Monic
@agran
Hey, Bayi Kita Part 3 aka Final Partnya udah dipost tuhh..
In case kalian gak tahu..
Jbu