It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
maklum baru 1x penyuntingan >.<
gK papa.. Woles aja..
karna ceritanya sueer demi neptunus. Keren bangeeet..
NYOT NYOT DIKENYOT..
( . )_( . )
lusa dah di update kok.. maap bnget ya >.<
harusnya jauh lebih rata gambarnya klo di scan X_X X_X
@Tsu_no_YanYan : sedikit hiburan kk :P
tebak, itu gambar si radhit di sesi yang mana hayooo
Part VII (Sebuah permainan)
Bibir ku saling bersentuhan dengan bibirnya. Ini pertama kali aku melakukannya. Ya, walau dengan seorang cowok, tetap saja ini yang pertama buat ku. Ku rasakan sesuatu menggerakkan tanganku. Pusing mulai ku rasakan. Sial..!! ternyata semua tadi hanya mimpi. Mataku masih terlalu berat untuk ku buka. Merasa kurang nyaman dengan perlakuan tersebut, ku paksakan mata ini untuk terbuka. Samar-samar, tapi terlihat begitu jelas sosok seseorang di hadapanku. Bagaikan seorang malaikat yang terdampar di bumi. Sejenak mata kami saling bertemu. Saat sedang asik ku nikmati keindahan wajahnya, tiba-tiba pikiran tentang mimpi tadi kembali muncul. Seketika wajah ku memerah. Malu karna dia yang ku mimpikan berada di hadapanku. Langsung saja ku tutupi wajahku dengan bantal. Jujur saja, sekarang aku mulai salah tingkah.
“Aaaarrgh..!!! kak Vino apa-apaan sih.” Rengek ku.
“Baru di lihatin gitu aja udah mewek.. hahahahaa.” Ujar kak Vino. “Udah bangun gih, aku antarin kamu balik, dah jam lima nih. Tapi cuci muka dulu sana.”
“Iya iya.” Segera aku beranjak dari ranjang dan melucuti pakaian ku satu persatu.
“Ehh, kamu mau mandi dit.??” Tanya kak Vino yang sedari tadi melihatku.
“Ehh.. umm.. enggak lah kak.”
“Terus itu kenapa pakaiannya di lepas semua.?? Kamu masih ngigau ya dit.??”
Ku perhatikan ke bawah. Ya, hanya celana pendek yang kini ku gunakan. Aku hanya menjawabnya dengan nyegir ala kuda. Sungguh ini hal yang paling memalukan yang pernah ku lakukan. Untung saja aku belum melepaskan boxer ini. Seandainya boxer ini terlepas, mau di letak dimana muka ku.
Ku kenakan kembali pakaian yang tadi ku lepaskan dan bergegas mencuci muka. Hanya sekedar untuk mengembalikan kesadaranku dan berharap tak ada lagi hal memalukan yang akan ku perbuat. Setelah selesai membasuh muka, kami pun mulai meninggalkan tempat ini dan menuju ke rumah ku.
Sepanjang pejalanan tak ada percakapan apapun yang kami lakukan. Aku hanya sibuk memikirkan tentang mimpi ku tadi. Ya, aku merasakan dilema tentang mimpi tersebut. Sebenarnya aku juga masih ragu kalau itu hanya mimpi belaka. Rasa penasaran yang menemaniku sedari tadi membuat mulut ini tak kuasa lagi membendung sebuah pertanyaan yang tarlontarkan untuk kak Vino.
“Kak... Tadi pas aku baru bangun, kak Vino habis cium aku ya.??”
Entah setan apa yang meresuki ku hingga pertanyaan tak layak itu keluar dari mulut ku. Sekarang aku benar-benar tak tau lagi harus berbuat apa jika saja kak Vino kurang berkenan dengan pertanyaanku tersebut.
Beruntungnya pembicaraan tersebut berubah haluan menjadi sebuah komedi. Dan ku rasa kak Vino menganggap itu benar-benar hanya sebuah lelucon.
Tak lama kemudian kami pun telah tiba di rumahku.
“Masuk dulu yuk kak.” Ajak ku sambil menarik tangan kak Vino.
“Aku gak bisa lama-lama tapi dit.” Ujar kak Vino.
“Yaudah gak apa. Yang penting kak Vino masuk dulu.”
Biasanya aku enggan untuk membiarkan seseorang singgah di rumahku. Mungkin karna aku memang lebih suka sendiri di rumah dan sudah terbiasa dengan keadaan yang sepi.
“Ini semua punya kamu dit.??” Tanya kak Vino yang sedang berdiri di depan lemari penghargaan.
“Bukan kak, hanya medali yang itu punya aku.” Jawab ku menunjuk medali yang ku dapatkan dari porseni beberapa waktu lalu.
“Terus sisanya punya siapa.??” Tanya kak Vino yang kini terlihat penasaran.
“Sisanya punya kak Nino, kakak kandung aku. Dan rasanya lemari ini juga gak bakal diisi lagi oleh penghargaan nya kak Nino.” Jawab ku rada lesu.
“Loh, emang kenapa.? Kalau dia bisa mendapatkan penghargaan sebanyak ini, rasanya menambah satu penghargaan lagi bukan hal yang susah kan buat dia.?”
“Iya, bukan hal yang susah buat kak Nino kalo dia masih hidup.”.
“Owh, maaf ya dit, aku gak tau.”
“Gak apa kok kak. Lagian kan ada kak Vino sebagai penggantinya kak Nino.” Ucapku dengan senyum lebar penuh harapan.
Kini kak Vino melirik sebuah foto yang terpajang di ruang tamu. Ya, foto keluarga ku yang tak mungkin bisa di perbarui kembali.
“Dit, itu kakak kamu.??”.
“Iya kak, mirip kan sama kak Vino.”
“Kalo di lihat sepintas sih rada mirip juga.” Ucap kak Vino membandingkan. “Kalo boleh tau, kakak kamu meninggal kenapa dit.??”
“Kak Nino kecelakaan waktu mau jemput aku pulang sekolah saat aku masih SMP sekitar dua tahun lalu. Dia meninggal saat perjalanan kerumah sakit. Kata dokter benturan keras di kepala kak Nino yang menyebabkan pendarahan di otak. Dan karna itu kak Nino gak bisa di selamatin” jelas ku, walau sebenarnya enggan untuk ku ungkit kembali.
Tidak selesai hanya sampai disitu, kak Vino kembali melanjutkan pertanyaannya.
“Terus orang tua kamu Dit.??”
“Mama lagi tugas keluar kota. Sedangkan papa, satu tahun lebih awal dari kak Nino.”
“Papa kamu juga..............??”
“Iya.” Ku potong perkataan kak Vino. “Papa meninggal karna serangan jangtung saat sedang tugas di balikpapan.” Jawab ku lirih.
Jujur saja, aku benar-benar enggan untuk menceritakan semuanya. Tapi entah kenapa perasaanku jauh lebih lepas dari sebelumnya. Ya, sejenak semua terasa jauh lebih ringan. Hingga tanpa ku sadari, air mata ku mulai mengalir melalui pipi ku. seketika kak Vino mendekap erat tubuhku. Terasa hangat dan nyaman, segala masalah yang selama ini ku pendam seakan pergi bersama air mata yang tak henti keluar. Ku sandarkan kepala ini di pudak kak Vino sebagai tempat pelampiasan emosi yang bahkan sudah lama tak ku ingat lagi. Ya, sesuatu yang tak bisa ku defenisikan dengan kata-kata.
***
“Lama tak jumpa. Apa kau sudah melupakan ku.?”
“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan mu, kita sudah mengenal sejak lama.?”
“Ya, ya. Tapi apa kau tahu ada yang tak beres dengan kita.?”
“Tentang apa.?”
“Sesuatu yang harus kau cari tahu sendiri.”
“Dimana aku bisa menemukannya.”
“Tak perlu kau cari. Kau hanya perlu menunggu.”
“Seberapa lama.?”
Dia hanya tersenyum dan kemudian berjalan pergi meninggalkan ku. Menuju ke dalam cahaya yang sangan terang hingga aku pun tak bisa melihatnya karna begitu silau. Sangat silau dan..
“Aaaarrrghh..!!!” aku pun terduduk. Hening menemaniku di pagi itu. Ku perhatikan jam di kamar ku. masih menunjukan pukul setengah lima lebih sedikit. Kembali aku termenung memikirkan mimpi tadi. Kenapa dia di dalam mimpi ku.? Apa yang tidak ku ketahui saat ini.?
Bingung membayangi ku dan mulai mengganggu ku. Ku baringkan kembali tubuh ini dan kembali kedalam tidur yang belum sempurna.
***
“Dit..!! Radhit..!! HP kamu bunyi tuh Dit.”
Berulang kali teriakan itu berkumandang di dalam rumah dan membuatku terjaga dari tidur ku. Ku raih handphone ku yang berada diatas meja belajar. Ternyata ada sebuah panggilan masuk dari kak Vino. Langsung saja ku jawab panggilan tersebut.
“Halo.. Ada apa kak telpon pagi-pagi gini.?”
“Pagi.? Ini udah sore kali dit.”
“Hah.? Sore.?”
“Iya, udah jam empat ini. Ehh, malam nanti kamu ada waktu gak dit.? Kita pergi nonton bola yuk.?” Ajak kak Vino.
“Ada sih, yaudah, kalau gitu aku tunggu di rumah ya. Kak Vino jemput aku.”
“Loh, kan kamu ada motor.” Ucap kak Vino rada sangsi.
“Kalau gak mau yaudah. Aku gak ikut deh kalau gitu.” Ujar ku yang terkesan seperti sebuah ancaman.
“oke deh oke. Entar malam aku jemput kamu.”
“Yaudah, aku tunggu ya kak.”
Pembicaraan itu pun berakhir. Ya, malam ini adalah partai final piala dunia antara Jerman dan Spanyol. Ku bongkar lemari ku, mencari sebuah pakaian yang sudah lama tak ku kenakan. Sebuah kaos berwarna merah yang bertuliskan nomer 9. Baju kebanggan negri matador di lapangan hijau. Ku letakkan baju tersebut di atas kasur dan mulai bergegeas mandi. Mempersiapkan diri untuk malam yang besar ini.
***
Malam pun tiba, dan saat yang di tentukan pun mulai datang. Seseorang mengetuk rumahku. Ku buka kan pintu. Benar dugaan ku, kak Vino datang lebih awal malam ini.
“Masuk dulu kak.” Tawar ku.
“Gk usah dit, kita langsung jalan aja.” Ujar kak Vino.
“Owh yaudah kalau gitu. Aku pamitan sama mama bentar ya kak.”
“Oke oke.”
Setelah berpamitan, kami pun langsung bergegas meninggalkan rumah ku. Kami melaju menyusuri setiap sudut malam di kota Jakarta yang dihiasi oleh cahaya lampu jalan. Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang segala hal. Tak jarang sebuah tawa menghiasi wajah kami. Jujur saja, ini hal terbaik yang pernah ku alami. Mungkin karna kini aku bisa berbicara lebih lepas tanpa harus di temani sepi lagi.
Tak lama kemudian motor yang dikendarai kak Vino pun berhenti di suatu tempat di daerah Semanggi. Sebuah cafe dengan suasana yang cukup menarik menurutku. Terlihat kak Vino mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. Sebuah sweeter berwarna putih dan hitam. Ya, simbol bahwa dia memegang Jerman.
Kami pun melangkahkan kaki masuk kedalam café tersebut. Sibuk mencari, akhirnya kami temukan sebuah tempat yang cukup nyaman untuk kami tempati saat menonton nanti. Di layar monitor yang disediakan, komentator masih asik berbicara panjang lebar tentang prediksi mereka yang tak jelas arahnya.
“Kak Vino, mending sweeternya di lepas aja deh. Udah pasti kok Jerman kalah.”ucapku memulai pembicaraan.
“Gak salah dengar nih. Bukannya kaos kamu aja yang di lepas.”
“Kalo di lepas, aku mau pake apa.”
Di sela-sela pembicaraan kami, seorang wanita berpakaiaan kaos putih datang menghampiri kami.
“Mau pesan apa mas.??” Ujar wanita tersebut.
“Coklat panas satu.” Ucap kami bersamaan.
“Oke deh, tunggu sebentar ya mas.” Kata wanita tersebut rada centil.
Ku perhatikan kak Vino cukup lama melirik wanita tadi. Sejenak pertanyaan iseng muncul di benak ku.
“Cantikan mana pelayan tadi sama Putri.??” Ujarku blak-blakan.
“Apaan sih.” Jawab kak Vino rada jutek. “Kalo sama pacar kamu, cantikan mana.??” Kak Vino balik bertanya.
“Kalo ada pacar juga, gak mungkin aku jalan sama kak Vino malam ini.”
“Tuh si Luna temen sekelas kamu kan mantep tuh, kenapa gak coba di dekatin aja.”
“Cewe kayak dia kak.?? Jadi pacar aku.?? Tunggu Spanyol menang dulu, baru aku tembak dia.”
Sebenarnya tak ada maksud serius dalam perkataan ku tadi. Tapi kak Vino mungkin menganggap ini cukup serius baginya.
“Kalau Jerman yang menang gimana.??” Kembali kak Vino bertanya.
“Ya berarti kak Vino yang nembak Luna.” Ku jawab saja dengan santai.
“Yaudah, kalo gitu kita deal ya.”
“Maksudnya..!!” Jujur aku cukup kaget saat kak Vino mengajak untuk bersepakat.
“Ya kita taruhan kan..?”
“Aku kan gak serius bilang kayak tadi kak.”
“Ya tapi kan kamu udah bilang, jadi kita deal aja deh.”
“Oke deh kalo gitu, terserah kak Vino aja.”
Tak ku sangka telah ku buat sebuah pertaruhan yang seharusnya tak ku buat. Tapi mau bagai mana lagi, aku sudah terlanjur juga sudah mengiyakannya secara tidak langsung. Yang jelas, nanti malam harus ku temukan jalan keluarnya. Ya, harus ku temukan.
Di akhir menit pertama, seorang pemain bernomer punggung 9 berhasil membobol gawang dari Jerman.
“Jerman bisa gak tuh.??” Dengan spontan kata itu terlontar dari mulut ku.
“Waktu masih banyak. Kemungkinan masih ada.”
Pertandingan kembali berlanjut. Dan hingga peluit panjang di tiupkan sebagai tanda akhir dari pertandingan, belum ada perubahan skor yang tercipta. Masih tetap 1-0. Spontan aku ikut berteriak kegirangan mengikuti mereka yang berbaju merah lainnya di dalam café ini. Tapi sejenak suka cita itu sirna saat kak Vino mengingatkan ku akan sesuatu.
“Ingat, jangan lupa nembak si Luna.”
“Iya, hari pertama masuk aku bakal tembak dia di belakang sekolah deh. Kak Vino jadi saksi ntar.”
Dan sekarang, aku benar-benar dilema saat seseorang yang membuatku nyaman saat ini seakan telah mengusirku menjauh dari kehidupannya. Ya, ini benar-benar membingungkan. Sangat-sangat membingungkan.
***
Kesunyian masih bersamaku malam ini. Sudah beberapa hari ini aku berusaha mencari solusi, walau tak kunjung juga ku temukan. Padahal besok adalah hari yang menjadi kesepakatan kami. Ku rasakan tenggorokan ini cukup kering. Ku langkahkan kaki keluar kamar mencari sesuatu untuk menghilangkan rasa dahaga yang ku rasakan. Dapur menjadi tujuanku. Ku lihat mama yang tertidur pulas di meja makan dengan berkas yang berserakan di sampingnya. Rasanya ingun ku suruh mama untuk pindah ke kamar agar dapat tidur lebih nyaman. Hanya saja aku tak tegi membangunkannya.
Tanpa sengaja ku lihat sebuah berkas yang masih tertutup rapat oleh amplop coklat. Di sampulnya tertulis nama sebuah rumah sakit. Sebenarnya aku cukup penasaran dengan amplop tersebut. Karna aku tahu bahwa mama bukanlah seorang dokter, jadi tak mungkin memiliki amplop tersebut kecuali jika ada yang sakit diantara kami. Tapi ku urungkan niat ku untuk mengetahui isi amplop tersebut. Mungkin saja ini adalah berkas rumah sakit milik nenek ku.
Setelah ku basuh tenggorokan ini dengan air, kembali aku masuk kedalam kamar. Kurasa aku membutuhkan bantuan seseorang saat ini untuk menyelesaikan masalah ku. Tapi ku rasa dia tak mungkin datang saat ini. Selain itu, hal ini mungkin akan bertambah rumit jika dia di sini.
Setelah cukup lama, ku temukan sebuah pemikiran yang cukup gila menurutku. Jujur saja, aku tak menyukai Luna. Dan sialnya aku tertarik kepada kak Vino. Tapi, apa akan ku ambil resiko ini. Apa aku berani terhadap kak Vino dan teman lama ku.? semua cukup membingungkan, tapi tak akan pernah ku ketahui jika tak ku coba.
***
Semalaman hingga pagi menjelang, tak ku dapatkan kesempurnaan dalam tidur. Dikarenakan pikiranku masih asik dengan konflik yang tak kunjung usai. Ku persiapkan diri bergegas untuk datang ke sekolah di hari pertama ini. Walau pikiranku saat ini sedang dipenuhi akan dilema besar. Tetap ku langkahkan kaki ku menuju kesekolah dan berharap suatu keajaiban muncul di hari ini. Ya, keajaiban besar yang membuatku bisa terhindar dari kesalahan situasi ini. Ku lagkahkan kaki perlahan menuju ke sokalah. Ingin rasanya berjalan selama mungkin . setidaknya hanya itu cara agar aku bisa menunda kejadian nanti.
“Be your self.” Seseorang baru saja berbicara pada di tengah perjalananku. “Apa susahnya sih mengakui keadaan mu. Kanapa harus kamu lakukan jika memang kamu tidak menyukai Luna. Kenapa nggak kamu jelaskan saja semua.”
“Kamu..!!”
Lagi-lagi dia. Apa dia tidak mengerti bahwa aku benar-benar tak menginginkan keberadaannya.
“Hei.. santai donk.. aku disini hanya mencoba menbantumu.”
“ya mungkin harus ku akui pada kak Vino, bahwa aku memang tak menyukai si Luna.”
“Hanya sebatas itu.?”
Sebuah pertanyaan kembali dilontarkannya. Seakan dia mulai menertawaiku dengan keadaan ini.
“Maksudmu, akui semuanya.?” Tanyaku sanksi.
“Kalau bisa, kenapa enggak. Gampang kan.?” Dengan santainya dia menjawab perkataan ku.
“Jadi itu yang kamu maksud membantuku.? Semua itu tidak lebih dari acara bunuh diri bagi ku.!!”
Mulai ku tekankan nada bicaraku. Dalam situasi pembicaraan yang mulai memanas ini, anak itu masih tetap bisa berbicara dengan nada santai.
“Hidup ini pertaruhan Dit. Jika kamu menginginkan sesuatu, maka ada juga yang harus kamu pertaruhkan untuk itu.” Jelasnya
“Jadi maksudmu, aku mempertaruhkan diriku sendiri.?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Kenapa harus cara seperti itu.? Apa nggak ada jalan lain”
“Yang kamu inginkan itu adalah sesuatu yang besar. Sesuatu yang ditabuhkan oleh banyak orang dan di enggankan oleh Tuhan. Apa mungkin kamu hanya mempertaruhkan sesuatu yang kecil untuk hal yang sebesar ini..?”
“Ya, aku mengerti sekarang. Mungkin saat ini aku hanya perlu sedikit bermain dengan situasi rumit ini.”
“Atur saja permainanmu. Semoga sukses dengan caramu sendiri.”
Anak itu pun berlari kearah persimpangan yang berlawanan dengan sekolah ku. tapi jujur saja, sampai saat ini aku masih belum mengetahui dimana ia bersekolah. Mungkin di pertemuan selanjutnya baru akan ku tanyakan tentang hal itu.
***
Gerbang sekolah. Saat ini seperti sebuah gerbang neraka yang dipoles dengan bentuk sedikit lebih cantik. Damn..!! biar secantik apapun gerbangnya. Neraka tetap saja neraka. Tak ada yang bisa mengganti isi situasi dalamnya.
Perlahan ku tapakkan kakiku melangkah memasuki areal sekolah. Mataku sibuk memperhatikan sekitar. Tak ada tanda-tanda dari kak Vino di pagi ini. Setidaknya itu lebih baik hingga kutemukan permainan yang cocok dengan situasi ini.
***
“Jadi Jepang menarik mundur pasukannya dari Indonesia setelah jatuhnya bom atom dengan ledakan dasyat di Hirosima dan Nagasaki. Saai itulah terjadi kekosongan pemerintahan di Indonesia. Dengan sigap para Founding Father mulai mempersiapkan kemerdekaan republik ini saat ada kesempatan tersebut.” Jelas pak Aidit Muso, si guru muda yang mengajar sejarah dan selalu terlihat santai itu. “ Sampai disini, ada pertanyaan.?”
Suasana kelas mendadak hening sejenak. Para siswa terlihat saling pandang satu sama lain. Seakan saling melempar beban untuk bertanya.
“Ya sudah kalau tidak ada, saya mengajar sampai disini dulu. Kalian diharapkan bisa tenang hingga jam istirahat. Selamat siang.”
Dan pak Aidit pun melangkah meninggalkan kelas. Tepat di depan pintu, terpaan surya menyerang pak Aidit seakan beliau hendak kembali ke surga. Aku hanya terpaku melihatnya seperti orang bodoh dengan fantasi konyol ku. Ya, mungkin karna sampai detik ini aku masih belum bisa menemukan cara agar terhindar dari masalah ku.
EIITT TUNGGU.!!!
Ledakan besar..?? Kekosongan..?? Dan sebuah kesempatan..??
Aku sudah memiliki ledakan besar. Yang tersisa sekarang hanyalah menunggu kekosongan dan mencari sebuah kesempatan. Tak ku sangka semua menjadi semudah ini. Walah masih sebatas konsep dasar. Tapi kurasa ini sangat efektif.
Rasanya pak Aidit memang seorang malaikat bagi ku di saat seperti ini. Materi yang baru saja dia berikan seakan membuka jalan pikiranku tentang permainan apa yang harus ku lakukan nanti. Ya, permainan akan di mulai. Hanya tinggal menungu aba-aba memulainya saja.
***
Jam istirahat tengah berlangsung. Aku berjalan santai menuju kantin, hendak membeli sesuatu untuk mengganjal isi perutku. Dari kelasku menuju kantin harus melalui kelasnya kak Vino. Gak ada salahnya jika ku temui dia sekarang. Toh, aku juga sudah cukup siap dengan keadaan siang nanti. Siapa tahu saja, ini adalah kali terakhir aku bakalan ketemu dengan dia. Setidaknya untuk sekedar menyapanya.
Beruntung, ternyata kak Vino sedang berada di kelas. Dan, Dia sedang asik melamun. Aneh, mungkin sedang ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Rasanya situasi sangat cocok mengerjainya. Sekalian aku mau menantangan. Ya, menguji keberaniannya untuk memenuhi janjinya.
“kak, ntar ya pulang sekolah.”
“ada apa pulang sekolah.”
Kenapa justru dia yang balik bertanya. Aku jadi bertanya-tanya dibuatnya. Apa dia lupa.? Atau sekedar pura-pura lupa.? Masa bodoh lah dengan sikap kak Vino kali ini.
“pokoknya aku tunggu di belakang sekolah, oke kak”. Balasku tanpa menjawab pertanyaan tersebut seraya ninggalkannya.
Ya. Mungkin perntanyaan balik darinya itu pasti sebuah ujian darinya. Seolah-olah kak Vino tidak mengingatnya, lalu saat aku juga berpura-pura lupa. Dia akan menertawai tentang betapa pengecutnya diriku. Untung saja aku tidak termakan permainannya. Hahahahaaa.
***
13.32 jam digital yang bersemayam dilengan kiriku sudah memberikan ku tanda waktu saat ini. Seakan hendak menyuruh ku untuk bersiap.
Dan….
Krriinggggg…..!!! kriiiiingggg….!!! Kriiiinggg…..!!!
Ya.. aku akan melakukannya.
Bersambung………………………………
@Tsu_no_YanYan
@Darkrealm
@Dimz
@Klanting801
@aicasukakonde
@boyzfath
@meong_meong
@greenbubles
@Bintang96
@halrien