It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
pm ya kalau gak mau di mention. haha... Keep kalem bacanya
Maksudnya?
Iya. Hehe...
Siapa? (d)
"Rak, bukankah kamu juga berasal di SMA 5? Apakah kamu kenal dia?" tanyaku pelan. Raka terdiam sebentar lalu menggelengkan kepala.
"SMA 5 di Jakarta banyak. Tapi gak tau juga. Mungkin dia dulunya 1 SMA denganku namun beda kelas," jawabnya. Baiklah... Tidak terlalu penting juga.
"Selamat siang anak-anak..." Bu Nina—guru PKN—dengan santainya masuk ke dalam kelas. Memang dia adalah guru kiler paling kejam di sekolah ini. Itu mengapa, semua murid jadi diam.
"KALIAN DENGAR GAK! SELAMAT SIANG ANAK-ANAK!" bentak bu Nina tiba-tiba. Serentak semua murid menjawab dengan kalimat, "Siang bu..."
"Tapi ini masih pagi bu," semua murid tertuju pada asal suara. Ternyata dia adalah Asep. Besar juga nyali dia ternyata.
"Emang kamu tau dari mana ini masih pagi?" tanya bu Nina sambil mendekat. Aku yang natapnya aja udah ngeri. Apalagi berhadapan langsung.
Sekilas aku menatap Asep. Tak ada rasa takut sedikit pun dari pancaran wajahnya. "Anu... saya reflek bu. Karena di jam tangan saya, masih menunjukan pukul sembilan," ucapnya sambil tersenyum.
"Baiklah anak-anak, hari senin kita akan mengadakan kemping di salah satu tempat wisata di Maribaya. Kita disana akan mengikuti sebuah perlombaan. Peserta yang akan ikut adalah kelas 11. Untuk itu, ibu mohon kelas ini akan dikirim kesana karena hanya 1 kelas yang boleh mengikuti perlombaan tersebut. Ibu percaya dengan kelas ini. Dan untuk seleksinya, akan dilaksanakan pada hari ini," ucap bu Nina.
"Yes! Pasti kelas kita lulus seleksi," sahut Raka penuh semangat.
"Aku ogah ah. Males tau," balasku cepat.
"Ayolah... bukankah prinsip hidupmu adalah mencari sebuah pengalaman? Bahkan aku ingat dengan kata-katamu, 'Guru terbaik adalah sebuah pengalaman. Jadi apapun pengalaman itu, pasti akan aku lakukan.'" Aku tersentak ketika mendengar kalimat Raka. Siapa dia? Kenapa dia begitu tau akan diriku? Maksudku, kita baru kenal beberapa hari atau minggu. Apakah semudah itu dia tau tentangku? Well, meskipun informasi yang tidak berarti.
"Darimana kamu tau itu, Ka?" tanyaku sembari menatapnya. Dia tidak menjawab.
"Akhem..." aku menengadahkan kepalaku ke samping. Disana ada bu Nina yang sedang berkacak pinggang.
"Kalau kamu gak mau belajar, silahkan pergi keluar!" teriaknya.
"Tidak bu. Tadi Restan hanya menyemangatiku agar kelas kita lulus seleksi," ucap Raka cepat.
"Baiklah... yah, seperti yang ibu bilang tadi. Kelas ini adalah kelas terbaik kalau dilihat dari segi kesisiplinan. Kalian selalu mengikuti kegiatan pramuka. Beda sekali dengan kelas lain. Meskipun tidak semuanya."
**
Saat ini kami sedang diseleksi. Memang hanya ada 7 kelas yang mengikuti. 3 kelasnya lagi sudah pasti kabur entah kemana. Dan sepertinya juga, aku ingin kabur karena kegiatan itu berlangsung selama 7 hari. Gila bukan? Walaupun sepertinya menarik, tapi aku gak mau merepotkan ibu. Pasti perlu uang yang tidak sedikit untuk kegiatan tersebut.
Seleksi dimulai dengan kerapihan baju yang sekarang sedang kami kenakan. Dan ternyata... Suck! Kelas IPA 1—kelasku—mendapat juara 1 dari semua kelas. Argh! Harusnya tadi aku gak pake baju pramuka atau semacamnya. Tapi apa boleh buat. Mungkin aku bisa menggagalkan di tes selanjutnya.
"Baiklah anak-anak, sekarang tugas masing-masing kelas adalah membuat 5 pasang tandu. Kelas yang berhasil memasang lebih cepat, berarti dia akan mendapatkan poin," ucap bu Nina. Memang dia adalah guru PKN sekaligus pembina pramuka.
Ketika mendapat komando, semua murid serentak mengambil tali dan kayu. Itu pun tak luput dari perintah Raka. Sedang aku? Aku hanya diam. Menatap mereka dengan tatapan datar dan malas.
"Restan!" aku berpaling ketika suara Raka mengagetkanku. "Sudah aku bilang, tugasmu adalah mencari tali yang disembunyikan di sekitar taman ini! Aku percaya kamu pintar dalam memecahkan sandi. Jadi, bergegaslah!" teriaknya sambil melemparkan kertas yang di gulung.
Aku berjalan mengambil kertas itu dengan setengah berlari. Ketika aku memegang kertas itu, ternyata ada tangan lain yang berhasil mengambil kertas itu secara bersamaan. Setelah aku lihat, ternyata dia adalah Asep. "Aku akan membantumu," ucapnya sambil tersenyum. Aku masih bergeming tanpa menjawab apa-apa.
"Baiklah... sepertinya kamu tidak menerima orang baru," ucapnya lalu beranjak pergi.
Aku menahan dia dengan memegang tangannya. "Kamu boleh membantu," ucapku kemudian. Dia mengangguk lalu tersenyum.
"Coba lihat gambarnya." Aku membuka gambar yang kupegang dengan cepat. Disana ada sketsa taman lapangan ini dengan keterangan yang tidak kumengerti.
"Di keterangan ada 3 warna yang berbeda. Mungkin disalah satu sketsa, ada tali yang telah disembunyikan."
"Benar. Tapi, diwarna yang mana kita akan mencarinya? Gak mungkin kan kita mengeceknya satu-satu? Lagian, andaikan kita tau tali itu ada di warna Merah, gak mungkin juga kita mengeceknya satu-satu. Setiap warna, mempunyai titik yang banyak."
"Kamu benar. Untuk mengetahuinya, berarti kita harus paham dulu sketsa gambar ini. Coba kamu pahami dulu," ucapnya. Aku mengangguk seraya meneliti apakah ada petunjuk yang lain. Tapi sekeras apapun aku berusaha, aku tidak menemukan apa-apa.
"Coba balik kertasnya." Aku mengangguk. Dan ternyata, dibalik kertas itu ada tiga kata yang letaknya berbeda. Itu seperti sandi.
"Sandi ini artinya bendera." Aku menunjuk kata yang dicat warna merah.
"Kalau ini artinya P3K," ucap Asep. Dia menunjuk warna biru.
"Berarti..." Ucap aku dan Asep secara bersamaan. "Sandi ini adalah sebuah tali!" aku dan Asep tersenyum. Yah, rupanya dia adalah teman yang asik.
"Tapi dimana letaknya? Kita sudah mengetahui tali itu berada di warna hitam," tanya Asep. Aku memperhatikan kata-kata itu dengan teliti. Tapi, tidak ada petunjuk lain. Kecuali, hanya letaknya aja yang berbeda.
"Menurutku, kita bisa mengetahui tali itu sesuai letak sandi ini. Jika sandi ini letaknya berada di kiri, seharusnya di sketsa ada warna hitam berada di kanan. Coba kita lihat..." jelasku. Asep membalikan kertas itu dengan cepat.
"Kamu benar! Hahaha, semoga saja berhasil. Tapi aku gak tau dimana tempatnya," kata Asep sambil melihat sekeliling. Munkin untuk mengantisivasi jika kelompok lain sudah berhasil.
"Aku tau. Ayo ikut aku." Aku berjalan dengan berlari ke suatu tempat. Tempat itu adalah taman yang ada kolamnya. Yup. Karena dalam sketsa, di lingkaran hitam terdapat gambar yang sepertinya adalah kolam. Seingatku, tidak ada kolam yang lain kecuali di tempat itu.
Ketika sampai, aku melihat bu Nina beserta 3 pelatih pramuka. Seketika langkahku terhenti karena dalam peraturan tidak boleh mencari di luar taman. Tapi, ini kan taman? Jadi, aku beranikan diri untuk mencari di sekitar taman. Asep juga melakukan hal yang sama.
2 menit aku mencari namun aku tidak menemukan tali itu. Aku memanggil Asep dengan gerakan tanganku. Dia mengangguk. "Ada yang tidak beres. Kenapa mereka hanya menatap kita?" ucapku ke Asep.
"Mungkin dia sedang memperhatikan kita. So, alangkah lebih baik jika tali itu segera kita temukan."
Aku mengangguk. "Menurutku, tali itu berada disekitar kolam. Tapi aku takut sama bu Nina. Lihat tatapannya itu. Argh! Menyeramkan tau," bisikku ke telinga Asep.
"Kamu gimana sih!? Itu hanya tes untuk melihat keberanian kita. Pokoknya ikutin aku, lalu bersikap apa adanya. Dan ingat, jangan terlihat takut." Aku mengangguk dan mengikuti Asep.
"Permisi..." Ucap Asep ramah. Lalu mulai mencari dan akhirnya ketemu. Sekilas, aku melihat bu Nina saling menatap bersama pelatih pramuka. Serentak mereka mengangguk.
"Kalian berdua coba kesini," ucap bu Nina. Aku dan Asep menghampiri bu Nina dengan menunduk.
"Kenapa kalian berdua yang mencari ini? Bukannya kebersamaan itu adalah hal yang paling penting untuk mencapai tujuan?" tanya bu Nina.
Aku menarik nafas sebelum menjawab. "Ini adalah permintaan Raka. Atau bisa di bilang, kami menyebut dia sebagai pemimpin. Entah apa yang melandasi dia untuk membagi tugas seperti ini, yang jelas aku menarik kesimpulah bahwa dia menekankan sebuah kerja sama dalam kelompok kami." Ada jeda sebentar. "Dalam tugas, seperti yang ibu bilang. Bahwa kami harus membuat 5 tandu secepat mungkin. Tidak mungkin kami harus membuat tandu secara bersamaan. Itu akan memakan waktu yang sangat lama. Jadi, kelompok kami menekankan sebuah kepercayaan," jelasku. Bu Nina mengangguk.
"Mengenai kebersamaan, kurasa kelompok kami menekankan perihal itu. Contohnya saja, Raka tidak membiarkan Restan untuk mencari tali ini sendiri," lanjut Asep. Kulihat bu Nina dan pelatih pramuka tersenyum.
"Baiklah... semoga kalian berhasil." Kami berdua mengangguk seraya meninggalkan tempat ini dengan berlari. Ketika sampai di taman, rupanya belum ada kelompok yang berhasil menemukan tali.
"Great!" teriak Raka girang. Kulihat teman-teman yang lainnya juga ikut bahagia. "Hanya tinggal 1 tandu lagi. Ayo cepat selesai kan!" ucapku spontan. Tapi, mereka tidak menuruti perintahku. Haha, harusnya aku sadar. Peranku bukanlah seorang pemimpin. Tapi Raka.
"Tunggu apa lagi? Ayo kerjakan!" teriak Raka. Aku tau ada nada emosi disana. Itulah mengapa aku malas mengikuti kegiatan ini. Mungkin mereka kesal sama aku karena setiap mereka mengajakku bicara, aku selalu diam.
Ketika mereka selesai membuat 5 tandu, mereka langsung pergi ke lapangan upacara. Disana ada bu Nina dan beberapa pelatih lainnya.
Aku melangkah dengan perasaan sedih ke toilet. Lalu membasuh mukaku di wastafel. "Kehadiranku mungkin tidak akan berarti banyak. Raka telah mendapatkan teman-teman yang menuruti segala perintahnya. Kurasa, itu sudah cukup untuk memenangkan perlombaan nanti di Maribaya. Semoga saja, dengan berdiam disini aku akan dikeluarkan," gumamku.
Entah kenapa setelah memikirkan hal itu dadaku terasa sakit. Apakah aku cemburu? Ataukah takut? Mengingat Raka adalah orang yang cerdas, ramah, dan menyenangkan. Itu tidak menutup kemungkinan untuk dia mendapatkan teman yang banyak.
Sedangkan aku? Rupanya sendiri itu tidak selamanya terasa menyenangkan. Kini aku tau apa artinya sahabat atau teman. Mereka adalah sebuah hiburan hati agar hidup itu menjadi berwarna. "Arrghh!" ternyata aku telah menangis. Segera ku usap air mataku dan memicingkan mataku. Berharap semua yang kurasakan bisa hilang.
Lama aku melakukan hal ini. Merasakan basah yang menjalari pipiku. Tak lama kemudian, aku merasakan ada sentuhan yang hangat. Ketika aku membuka mata, ternyata di hadapanku ada Raka dan Asep. Raka sedang mengusap air mataku. "Aku tidak mengerti dengan air matamu yang ini," ucapnya.
"Ini hanya air mata karena kelilipan. Bentar lagi gak akan terasa perih kok," jawabku sambil menjauhkan tangan Raka dipipiku.
"Dua-duanya?" sekarang Asep yang bertanya. Ku jawab saja dengan anggukan.
"Kita menang, Res. Tes selanjutnya adalah membuat tenda. Ayo kita ke lapangan." Raka menarik tanganku.
"Aku gak mau, Ka. Kalian saja yang pergi kesana. Aku mau disini. Lagian, tidak adanya aku gak akan berpengaruh banyak kan? Kelas kita pasti menang."
"Kalau gitu aku gak akan ikut." Aku menatap Raka dengan malas.
"Aku juga," ucap Asep. Membuatku bingung apakah harus ikut, atau tetap pada pendirianku.
"Emangnya kenapa kalian gak mau ikut?" tanyaku.
"Ingat... kamu adalah sahabatku," balas Raka.
"Baiklah... tapi biarkan aku melakukan hal sesukaku. Dan ingat, jangan protes!" Raka mengangguk lalu kembali menarikku ke lapangan. Saat ini adalah waktunya istirahat. Tapi bukan berarti kami semua—anak grade 2—bisa makan seenaknya, karena dalam seleksi ini anak grade 2 tidak boleh makan di kantin.
"Teman-teman, tolong kemari!" teriak Raka. Seketika semuanya mendekat untuk kemudian merapat.
"Sudah kalian ketahui kita gak boleh beli makanan di kantin, sedangkan seleksi ini diadakan sampai besok. Otomatis kita akan bermalam disini. Nah, bu Nina hanya memberi 3 makanan berkabohidrat. Yakni jagung, singkong, sama ubi. Saya hanya ingin tanya, makanan apa dulu yang ingin kalian makan?"
Semuanya jadi riuh memperdebatkan soal makanan. Ada yang memilih jagung, ubi, atau singkong. "Bagaimana jika jagung saja?" ucapku ke Raka.
"Boleh juga. Tapi terserah mereka juga sih," jawab Raka.
"Mohon perhatiannya sebentar!" ketika suasana telah kembali hening, Raka melanjutkan pembicaraannya. "Restan mengusulkan makanan pertama kita adalah jagung. Apakah kalian semua setuju?" tanya Raka. Tidak ada 1 orang pun yang menjawab.
"Jadi gini. Kalian berhak mengacuhkanku, atau menganggapku tidak ada. Yang jelas, jika kalian setuju ya tidak masalah. Jika kalian tidak setuju, no problem." Ada jeda sebentar sebelum aku melanjutkan. "Sudah kalian ketahui seleksi bukan hanya hari ini, tapi besok juga. Sudah pastinya besok akan ada tes yang mungkin saja akan lebih sulit dari yang tadi. Istiratnya pun hanya terbatas. Jika kita memakan jagung sekarang, itu akan mempermudah untuk kita nantinya di istirahat besok. Karena prosesnya, jagung itu akan memakan waktu yang sangat lama," jelasku panjang lebar.
"Aku setuju!" teriak Asep. "Kita tidak tau apakah besok istirahatnya sebentar atau lama. Tapi pastinya, alangkah lebih baik jika kita waspada."
"Aku juga setuju. Menurut kalian?" tanya Raka. Aku tersenyum ketika ada 2 orang yang membelaku. Disaat seperti ini, biasanya Rehan yang selalu membelaku.
"Aku setuju..." jawab Santi. Dia adalah perempuan pintar dan aktif di berbagai organisasi. Sikapnya juga terkesan angkuh dan tidak suka bergaul. Tapi anehnya, dia selalu mendapatkan teman. Beda sekali denganku.
"Baiklah jika kalian semua setuju. Sekarang jam 5 petang. Masih ada waktu untuk sampai pada jam 7 malam. Setelah selesai masak, nanti akan ada acara makan bersama dan api unggun di lapangan basket."
**
"Akhirnya selesai juga. Masih ada waktu 20 menit lagi," ucap Raka. Memang kalau bisa di bilang, sekarang aku dan teman sekelasku tidak sungkan lagi untuk menyapa. Sehingga pekerjaan apapun akan terasa mudah karena kerjasamanya baik.
"Bagaimana dengan keadaan Rehan ya? Apakah dia akan ikut kemping?" tanyaku sembari menerawang.
"Dia tidak terlihat di IPA 5. Apakah dia tidak mau ikutan?"
"Gak tau juga sih. Mungkin dia lagi rapat PMR," jawabku.
"Tunggu! Apa kamu bilang? PMR? Kalau gitu, Rehan pasti ikut. Karena nanti disana, kita akan disatukan sama PMR."
"Ha? Baiklah... kita cari dia yuk," ajakku. Raka mengangguk lalu memegang tanganku.
"Hey! Kok kalian gak ngajak aku sih!?" dari kejauhan aku melihat Asep berlari ke arahku. "Aku belum akrab sama mereka. Jadi, boleh kan aku menjadi sahabatmu?" tanya-nya penuh harap. Aku memalingkan wajahku ke Raka. Dia mengangguk untuk mempersilahkan.
"Baiklah..." Aku setuju karena Asep adalah orang yang baik. Dia juga sangat perhatian kepadaku. Tadi aja ketika tanganku berdarah katika mengambil kayu, Asep sangat khawatir dan memberiku hansaplas. Tidak berarti memang, tapi aku sangat senang.
"Kita mau kemana?" tanya Asep.
"Ke ruang PMR," jawabku.
Setelah tiba di ruang bercat putih ini, aku langsung mengetuk pintu. Tak ada jawaban dari dalam sana. "Mungkin dia tidak ada," ujar Raka.
"Tapi lampunya menyala. Mungkin mereka sedang rapat. Yasudah, kita kembali saja ke tenda."
"Baiklah..."
Ketika sampai, Raka langsung menyuruh kelas kami pergi ke lapangan. Disamwa, api unggun dengan ukuran besar sudah menyala. Aku tersenyum ketika melihat ini semua. Karena orang yang selalu bersamaku adalah Raka. Orang yang selalu aku cinta.
"Bagi yang sudah datang, silahkan kalian duduk di sekitar api unggun."
"Ayo teman-teman kita duduk!" seru Raka. Kelas kami duduk di kotak warna biru. 5 menit kemudian, seluruh murid sudah duduk sambil memakan makanan sesuai masing-masing kelas.
"Sambil kalian makan, saya mempunyai sedikit renungan untuk kalian." Aku tersendak ketika mendengar suara itu. Bukankah itu suaranya Rehan? Tapi dimana asal suaranya?
"Ini minum," ucap Raka dan Adi secara bersamaan. Langsung ku ambil air mineral pemberian Raka karena letaknya dekat denganku.
"Itu suara Rehan kan?" ucapku kemudian.
"Iya. Dia ada di... sana!" balas Raka sambil menunjuk podium yang biasanya tempat pembina pidato ketika upacara.
Pandangan pun teralih ke Rehan. Semua murid, tak terkecuali. Tapi disana bukan Rehan saja. Ternyata dibelakangnya ada pengurus osis yang sedang memegang alat musik. Ada gitar, drum, bass, dan keyboard. Alunan musik perlahan terdengar. Dari nadanya, aku bisa menyimpulkan bahwa lagu yang akan Rehan mainkan bernuansa slow. Entahlah... mari kita lihat.
"Sebelum itu, aku ingin menyembahkan 1 buah lagu yang berjudul Enigma - Return To Innocence. Meskipun lagu ini adalah lagu lawas, tapi dengarkanlah." Semua murid memberikan tepuk tangan yang sangat meriah. Lalu hening kembali ketika Rehan mulai bernyanyi.
"That's not the beginning of the end
That's the return to yourself." Entah kenapa, sepertinya aku sangat menyukai suara Rehan. Sangat merdu dan serak. Bahkan, semua murid pun seperti sangat menikmati suara dia.
"The return to innocence Love - Devotion Feeling - Emotion Love - Devotion Feeling - Emotion Don't be afraid to be weak Don't be too proud to be strong Just look into your heart my friend That will be the return to yourself The return to innocence If you want, then start to laugh If you must, then start to cry Be yourself don't hide Just believe in destiny Don't care what people say Just follow your own way Don't give up and use the chance To return to innocence."
"That's not the beginning of the end That's the return to yourself The return to innocence Don't care what people say Follow just your own way Follow just your own way Don't give up, don't give up To return, to return to innocence. If you want then laugh If you must then cry Be yourself don't hide Just believe in destiny."
Lagu pun berakhir. Disambut oleh tepuk tangan yang sangat meriah. Bahkan ada yang berteriak untuk menyuruh Rehan bernyanyi lagi.
"Mohon perhatiannya sebentar," ucap Rehan. Semua murid kembali diam.
"Kurang lebih arti dari lirik lagu ini adalah...
Itu bukan awal dari akhir
Itulah kembali kepada diri sendiri
Kembalinya bersalah
Cinta - Pengabdian
Feeling - Emosi
Cinta - Pengabdian
Feeling - Emosi
Jangan takut untuk menjadi lemah
Jangan terlalu bangga menjadi kuat
Hanya melihat ke dalam hatimu teman saya
Itu akan kembali kepada diri sendiri
Kembalinya bersalah
Jika Anda ingin, kemudian mulai tertawa
Jika Anda harus, kemudian mulai menangis
Jadilah diri sendiri tidak menyembunyikan
Hanya percaya pada takdir
Jangan peduli apa yang orang katakan
Ikuti saja cara Anda sendiri
Jangan menyerah dan menggunakan kesempatan
Untuk kembali ke bersalah
Itu bukan awal dari akhir
Itulah kembali kepada diri sendiri
Kembalinya bersalah
Jangan peduli apa yang orang katakan
Ikuti saja cara Anda sendiri
Ikuti saja cara Anda sendiri Jangan menyerah, jangan menyerah Untuk kembali, untuk kembali ke kepolosan.
Jika Anda ingin kemudian tertawa Jika Anda kemudian harus menangis Jadilah diri sendiri tidak menyembunyikan Hanya percaya pada takdir." Aku mencoba memahami apa yang Rehan katakan. Tapi sepertinya, aku tidak menemukan kata-kata untuk mengartikan lirik itu.
"Atau jika ku artikan kembali, lirik itu menyuruh kita untuk menjalankan hidup apa adanya. Tak peduli seberapa beratnya hidup, jika kita mempunyai cinta, maka akan terasa tenang. Cinta disini bukan hanya cinta seorang kekasih, tetapi bisa diartikan cinta seorang sahabat, keluarga, atau siapapun yang menyayangi kita. Mereka akan senantiasa berada disamping kita. Untuk menumbuhkan sebuah kepercayaan, dan makna dari setiap hidup. Yang kita butuhkan hanya saling percaya. Entah kepada diri sendiri, atau orang lain. Selanjutnya, takdir yang menentukan."
Kini, aku merasa bodoh karena telah bersikap layaknya seperti anak kecil. Rehan benar. Dalam hidup, kita pasti membutuhkan sahabat atau seseorang yang menyayangi kita. Tak peduli dengan beratnya setiap cobaan yang Tuhan berikan. Asalkan ada mereka, pasti semuanya akan terasa mudah.
"Sekarang, mari kita benahi diri kita. Bahwa hidup itu bukan hanya untuk mencari kesenangan belaka. Sekarang, renungkanlah apa yang saya katakan. Semoga dengan ini, kalian bisa sadar."
Perlahan semua lampu telah dimatikan. Termasuk api unggun. Beberapa perempuan ada yang berteriak ketakutan. Tiba-tiba, aku merasakan tanganku di peluk erat. "Res, aku takut," desis Raka ditelingaku. Aku bisa merasakan tubuh dia mulai gemetar.
"Tenang. Aku selalu bersamamu, Rak," ucapku menenangkan. Kini, lampu yang dibiarkan menyala hanya di tempat Rehan. Itu pun padam dalam hitungan detik. Semuanya gelap gulita. Teriakan ketakutan perlahan mulai terdengar.
"Res, aku takut." Raka memelukku erat.
"Coba bayangkan..." Ucap Rehan tiba-tiba. Membuat semua teriakan berangsur hening. Perlahan, lagu Opick - Bila Waktu tlah Berakhir telah diputar.
"Coba bayangkan jika setelah pulang nanti, kalian melihat ada banyak orang di rumah kalian. Saat itu... kalian bertanya. Apa yang sedang terjadi?
Lalu kalian membuka pintu. Terdengar suara isak tangis dari saurada atau kerabat kalian. Saat itu, kalian belum mengerti apa yang sedang terjadi. Saudara kalian pun menuntun kalian untuk melihat 2 orang yang sudah tertutup kain putih. Tak lama kemudian, kalian menyadari apa yang sedang terjadi..." perlahan, air mataku turun ketika mendengar rantaian kata yang begitu menyatat. Yup. Aku menangis.
"Perlahan... tangan kalian bergerak untuk membuka kain itu. Dengan gemetar... dengar air mata... kalian tetap membuka kain itu. Setelah kalian membuka, sosok dalam kain itu adalah kedua orang tua kalian. Air mata pun dengan tidak sopannya membasahi pipi kalian. Lalu, apa yang kalian lakukan? APA YANG KALIAN LAKUKAN!" teriak Rehan penuh dengan penghayatan. Air mataku sepertinya terus mengalir. Bisa kudengar juga seluh murid menangis dengan suara tertahan.
"KALIAN HANYA BISA MENANGIS!" isak tangis kembali membahana. "Ketika orang tua kalian masih hidup, kalian selalu membantah apa yang menjadi titahnya. Selama 9 bulan, ibu mengandung. Lalu melahirkan kita tanpa mengharap balasan. Tapi... APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN KEPADA MEREKA!? Setiap hari, mereka bekerja demi menghidupi kita. Memberi makan, membiayai, tapi... apakah kita pernah membalas kebaikan mereka? Tak banyak dari kita yang selalu membuat orang tua kita menangis. Tapi, dengan sabarnya orang tua kita menyembunyikan kesedihannya." Aku memeluk Raka dengan sangat erat. Kurasa Asep juga jelah memelukku.
"Saat itu juga, pandangan kalian mengabur. Lalu terbangun dengan tatapan tertuju ke atap kamar kalian. Saat itu kalian tersenyum. Karena ternyata kalian telah bermimpi. Tak lama kemudian, pintu kamar kalian terbuka. Disana saudara kalian menyuruh untuk ikut ke makam. Kalian pun kembali menangis. MELIHAT BATU NISAN KEDUA ORANG TUA KALIAN!"
Sekarang tangisan tidak lagi tertahan. Semuanya membuncah diiringi oleh musik yang begitu menyayat. "Sekarang... bersyukurlah ketika cinta itu telah hadir dalam kehidupan kalian. Ketika kalian bertemu dengan orang tua kalian, peluk dia. Lalu katakan "Aku sayang kalian..."
Semua musik berhenti. Sekarang, yang terdengar adalah suara tangis. "Dalam hitungan ke 10, kalian buka mata kalian. 1...2...3...4...5...6...7...8...9...10." Aku membuka mata dengan perlahan. Lalu mengerjap karena secara tiba-tiba aku merasakan silau. Ternyata, anak-anak journal telah memotret kami. Suara gaduh tak terima pun mulai terdengar. Kami semua tertawa.
"Arrghh!" tiba-tiba Rehan berteriak. Sontak, kami semua langsung melihat ke arah dia karena lampu sudag menyala.
"Punggungku terasa berat!" teriak Rehan. Lalu menunduk seperti orang...
"Arrghh!" teriak Rehan sambil melompak gak jelas ke arah kami. Semua murid berteriak. Termasuk aku tentunya.
"Raka, Asep, kenapa Rehan!?" teriakku sambil memeluk Raka.
"Arghh!" teriak Rehan lagi. Sepertinya dia telah kerasukan siluman. "SEDANG APA KALIAN DISINI? KALIAN MENGGANGGU KETENANGANKU!" teriak Rehan. Suasana mulai tak terkendali.
To be continued
@tyo_ary @kimo_chie @agungrahmat @Bintang96
@Taylorheaven
Bikin cerita, langsung post. Haha, pasti banyak typo. Karena tidak ku edit cerita ini. Haha..