It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kak @erickhidayat : masih ada 2 twist yang tidak terduga kak. Selagi saya membuat cerita, coba kakak tebak ya apa 2 twist itu. Wkwkwk )
@erickhidayat bener banget kak. i'm certain
Hehe, untuk itulah... aku senang sekali menikmati atau membuat cerita.
Lanjut
Gaya bahasa ceritanya agak membosankan , kayak gak real ceritanya
Saran : mungkin gaya bahasa'a bisa diganti .
Contoh : "Lo menangis, Restan?" Bisa diganti jadi "Lo nangis res?". Nah menurutku sih kayaknya itu lebih ringan
Cuma kasih saran sedikit
@inlove makasih kak. Semoga bisa mempertahankan.
@erickhidayat gak akan ada lagi kok. Hehe
@Bintang96 SIAP LAKSANAKAN! Hehe. Makasi kak...
#hormat wkwkwk
setelah baca part ini, dan aku pikir2 sendiri :-D, mungkin yg bikin aku agak bingung tuh, mreka kan masih anak sekolah dan konfliknya terkesan agak memaksakan gitu, kayanya kurang lama jika untuk mengenang masa lalu tiba2 lupa sama sekali, padahal kan baru bebrapa tahun,
Yg kedua, percakapan mereka itu koq gmn ya? Terasa kaku aja tiap aku bacanya, kesannya dibuat buat bgt, maap ya , percakapan kaya punya kamu ini aku rasain jg pas baca crita @erickhidayat , maap ngundang2 ya, hehe, ini sekedar koment loh, hehe,
Buat crita yg bener2 bisa ngalir kya nyata itu emang susah, karna aku jg bukan penulis, B-), tapi mungkin dipart2 selanjutnya bkal lebih baik
Kak @Taylorheaven makasih. Pantengin terus ya kak. Hehe
@arieat iya kak. Tapi...
Siapa? (c)
Aku membuka pintu rumah dengan perlahan. Sepertinya ibu tidak ada di dalam karena semua lampu mati. Kunyalakan dan kuedarkan pandanganku ke sekekeliling ruangan. Nampaknya sama seperti dulu. Tidak yang berubah kecuali cat putih yang telah memudar warnanya. Entah berubah jadi kuning atau coklat.
"Nak, kamu sudah pulang?" terdengar suara ibu dari dalam kamar. Aku langsung berjalan ke kamar ibu dan mengetuk pintu.
"Restan boleh masuk, bu?" ucapku kemudian.
"Ya silahkan..."
Setelah mendapat persetujuan dari ibu, aku pergi ke dalam dan duduk di tepi ranjang. Disana ibu sedang berkutat dengan buku catatan tanpa melirikku sedikit pun. "Kamu belum makan kan?" tanya ibu. Aku mengangguk meskipun itu sia-sia karena ibu tetap fokus dengan buku catatan—yang kuyakini ibu sedang menggambar.
"Maaf ibu belum masak nasi. Tapi di dapur ada jagung sama singkong." Lagi-lagi ibu tidak melihatku. Ada apa dengan ibu? Tunggu! Aku melihat ada tetesan air di buku ibu. Apakah ibu sedang menangis?
"Ibu kenapa?" aku bertanya dengan sedikit khawatir. Meskipun ini bukan pertama kalinya ibu menangis, tapi tetap saja aku benci akan hal itu. Karena bagaimanapun, setiap anak pasti ingin melihat ibunya sendiri menangis haru. Bukan seperti sekarang ini.
"Ibu hanya ingat sama ayah kamu, Restin, dan Kak Aldy..." Lirih ibu.
"Kak Aldy?" tanyaku bingung. Sepertinya aku belum pernah mendengar nama itu. Tapi yang pasti, mungkin dia teman ibu sewaktu SMP or SMA. Tapi tunggu, ibu kan gak melanjutkan pendidikannya sampai SMA.
Aku mendengar ibu menghela nafas. Sebelum itu, aku berhasil merebut buku yang ibu pegang ke genggamanku. Meskipun ibu yang menyerahkannya sendiri.
Di buku itu terdapat 5 gambar. 2 orang bentuk gambarnya jelas, sedangkan 3 gambar lainnya samar. Letaknya pun ibu pisah antara jelas dad samar. Sekarang aku mengerti apa maksud dari gambar ini. Ibu sedang menjabarkan sebuah keluarga—sudah jelas keluargaku—dalam bentuk seni lukis. Rasanya, aku juga ingin menangis ketika melihat ini.
Yang pertama adalah ketika melihat gambar ibu. Dia sedang memelukku dari belakang. Tatapan ibu begitu datar, tanpa melihat kedepan. Seakan masa depan adalah sebuah bencana yang tidak mau ibu hadapi. Tapi disisi lain, aku menangkap sebuah arti dari rangkulan ibu. Karena aku lupa. Ternyata ibu memelukku dengan 1 tangan dan ditempelkan di dadaku. Sedangkan tangan yang satunya lagi memegang dada ibu sendiri. Aku menangkap bahwa, akulah satu-satunya orang yang ibu punya. Dan tentunya... akulah harapan ibu. Itu mengapa, ibu melengkungkan sebuah senyum. Meskipun dalam gambar tersebut terlihat sekali senyum yang dipaksakan.
Yang kedua adalah ketika melihat gambar Restin. Letak gambar dia berada di atas. Tentunya dengan gambar yang tidak jelas. Itu menandakan, bahwa Restin sudah tiada. Dalam gambar tersebut, mata Restin dibuat se-dramatisir mungkin—walau kenyataannya memang begitu. Dalam mata itu, aku menangkap segala rasa sakit yang kuyakin tidak bisa kuhitung. Terlihat begitu kosong dan penuh kebencian. Entahlah... aku kurang paham maksud ibu menggambar seperti ini. Tapi tunggu! Bukankah itu sebuah buku? Apakah gambar buku itu adalah buku diary-nya Restin? Lalu, apakah ibu menyimpan buku diary Restin? Huh, akan aku tanyakan nanti.
Dan yang terakhir adalah gambar kedua pria. Dalam gambar tersebut, tidak ada sembuat rasa sakit dari pancaran wajah mereka. Lalu apa yang membuat dadaku sesak? Yup. Sampai saat ini aku belum mengetahui siapa ayahku. Apakah gambar yang sedang tersenyum, atau gambar yang sedang tertawa.
Ketika aku melihat semua gambar itu secara bersamaan, sesak yang kurasakan malah membuncah. Air mataku turun tanpa ada komando dariku. Entah perasaan apa yang menjalari tubuhku. Aku tak sanggup menjabarkannya. "Aku mengerti apa yang ibu rasakan...," ucapku parau. "Sekarang aku mengerti..." lanjutku seraya memeluk ibu.
"Sudahlah nak. Maaf ibu telah membuat suasana menjadi tak enak. Biarkan gambar ini menjadi potret keluarga kita. Mulai dari sekarang... dan seterurnya." Ibu tersenyum dan mengusap rambutku.
"Tapi, Restan belum mengerti dengan gambar Restin. Disaat Restan ingin menjabarkannya, pasti ada kalimat ambigu yang keluar dari pikiran. Itu membuatku bingung."
"Suatu saat kamu akan mengerti, nak," ujar ibu. "Ibu juga belum mengerti. Pastinya ada banyak hal yang belum kita ketahui."
"Lalu, apa maksud dari buku itu?" aku menunjuk buku yang sedari tadi ingin kutanyakan.
"Ibu belum tau maksudnya apa. Tapi, carilah buku itu. Mungkin saja itu akan menjawab rasa penasaran kita," jawab ibu. Aku mengangguk lalu tersenyum.
**
Aku terbangun jam 6.30. Sontak aku langsung bangkit dan bergegas pergi mengambil handuk dan alat mandi. Sebenarnya aku bisa saja mandi di kamar mandi rumah ini. Tapi ada suatu hal yang membuat kran air—pemberian dari tetangga—menjadi tidak jalan. Aku berinisiatif untuk memanggil seseorang agar ibu tidak susah mengambil air. Tapi dibantah dengan keras oleh ibu dengan alasan tidak punya uang. Akhirnya, aku pun harus berjalan menuju pemandian yang ada dibawah rumahku. Sumber dari air itu berasal dari sungai.
Ku buka pintu rumah dengan belari. Keti menutupnya, tenggorokanku tercekat ketika melihat Raka ada disini. "Raka, kamu ngapain ada disini?" ucapku datar.
"Nunggu kamu. Tapi ternyata kamu belum siap," balasnya. "Tunggu sebentar..." Raka melihat jam di tangannya. "Sudah jam 6 lewat 35 menit."
"Iya gue tau. Mendingan lo ke sekolah duluan deh. Gue mau mandi dulu," ucapku seraya pergi. Kuhiraukan Raka yang sedari tadi memanggilku. Ketika sampai, aku langsung melucuti semua pakaianku dan bergegas mandi.
Setelah selesai, buru-buru aku melilitkan handukku dan berbalik dengan cepat. Lagi-lagi, aku tercengang karena Raka ada disana. "Arrgh! Raka, apa yang lo lakukan!?" teriakku menggelegar.
"Hanya cuci mata," jawabnya santai. Lalu tersenyum dengan tatapan tertuju pada tonjolan yang ada di handukku.
"Raka diam disana!" teriakku ketika Raka mendekat. Tetapi Raka tidak peduli dengan perkataanku. Dia tetap berjalan lalu menyentuh dadaku.
"Harusnya, aku kesini setiap hari." Aku melotot tajam ke arah dia. Sejujurnya, aku bingung dengan Raka. Siapa sih dia? Aku bertanya dalam hati untuk ke sekian kalinya.
"Sejujurnya, gue tidak tau dengan pemikiran lo. Kenapa lo selalu melakukan ini? Kenapa Raka!" ucapku dingin. Seketika, Raka menjauhkan tangannya dari dadaku. Rupanya suasana berubah menjadi serius.
"Karena..."
"GUE BELUM SELESAI!" sekarang amarahku sudah memuncak. "Gue tau lo itu pria tampan. Jadi sangat tidak mungkin jika gue menjadi pacar lo. Gue orang miskin. Sedangkan lo? Kita bagaikan langit dan bumi!" lanjutku tanpa mengecilkan volume suara.
"A-aku..."
"SUDAH GUE BILANG GUE BELUM SELESAI!" Raka terdiam melihat emosiku yang meluap-luap. "Gue sadar Rak! Sekarang gue sadar! Betapa bodohnya gue telah mencintai lo! Tapi sekarang, gue sadar akan suatu hal. Bahwa lo itu bukanlah Riko. Lo sama dia beda. Tapi, nyatanya gue gak bisa menerima itu! Jika ketemu lo, maka hati gue akan tenang!" entah bagaimana caranya, ternyata aku telah menangis. Yup. Aku ingin melurus semua ini.
"Untuk itu, gue mohon lo pergi dari kehidupan gue. Karena entah perasaan gue saja, gue merasa lo itu cinta sama gue. Tapi di waktu yang lain, sikap lo itu tidak demikian. Sebelum harapan itu menjadi besar, gue hanya ingin menjauh." Sekarang aku mulai bisa tenang. Meskipun aku tidak yakin akan bisa menjauhi Raka, tapi apa boleh buat? Aku tidak mau merasakan sakit jika nantinya harapan malah berbanding terbalik.
"Yah... Aku sangat mengerti dengan apa yang kamu katakan. Perkataanmu juga ada benarnya. Yaitu, aku mencintai kamu, Res. Tapi..." ucap Raka menggantung.
"Tapi apa?"
"Nothing. Umhh... bisa gak kita jadi sahabat saja?" balasnya sambil mentatap lekat mataku.
"Entahlah, Rak. Itu sama saja lo akan menyiksaku."
"Please..."
"Baiklah... Tapi, gue mohon jaga sikap lo. Jangan lakukan hal seperti tadi atau semacamnya. Serta, ikut sertakan Rehan kemana pun, dimana pun, dan kapan pun jika lo mau bicara sama gue. Jadi intinya, dimana ada lo harus ada Rehan." Raka mengangguk dengan senyumannya yang mengembang.
**
Aku dan Raka sampai ke sekolah jam 7.30. Ini semua gara-gara insiden tadi. Tapi untungnya, sikap Raka sudah mulai berubah. Dia tidak lagi menunjukan rasa pehatian atau senyuman mesumnya.
"Pasti kita dihukum," ujar Raka seraya turun dari motor. Aku menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Kenapa kamu jarang tersenyum?" tanyanya. "1 lagi, dan jarang bicara?" aku menatap dia. Lalu memutar bola mata karena itu pertanyaan yang tidak penting.
"Hey tunggu!"
**
1 minggu sudah berlalu. Entah apa yang terjadi denganku, kini aku bisa tertawa lepas melihat tingkah sahabatku—Raka dan Rehan. Sejak insiden aku marah-marah sama dia, ternyata Raka menganggapi itu dengan seius. Maksudku, setiap kali aku memutuskan untuk meninggalkan atau menjauhi dia pasti Raka memunculkan semangat 45-nya agar bisa berbaikan lagi denganku. Baik, mungkin ini sudah di luar bayanganku. Karena yang kupikirkan adalah Raka akan bosan dengan sendirinya melihatku yang selalu cuek terhadap dia. Tapi sialnya, aku selalu tersenyum ketika dia mulai bercanda atau menghiburku. Peran Rehan juga hampir sama. Namun, Pengaruh Raka yang paling besar membuatku untuk kembali merasakan senyuman.
Sekarang, aku tidak lagi memikirkan cinta. Aku tidak peduli lagi soal itu. Karena buatku sahabat adalah hal yang paling utama. Tapi disisi yang lain, entah kenapa aku selalu melihat sisi pribadi Raka yang lain. Yaitu suka tersenyum—dipaksakan—ketika melihatku bahagia atau tersenyum. Walaupun aku sendiri bisa merasakan Raka terlihat bahagia. Tapi aku yakin sekali bahwa dalam senyumannya itu tersebunyi hal aneh. Entahlah…
Jam istirahat telah usai beberapa menit yang lalu. Aku dan Raka masuk ke kelas dengan perasaan bahagia—sebenarnya hanya Raka sendiri sih. Karena tadi di taman Raka telah ditembak oleh Ridi. Meskipun hatiku terasa sakit, tapi untungnya rasa sakit itu telah menguap entah pergi kemana. Karena melihat senyuman Raka tentunya.
Kadang aku merasa aneh. Masa cewek sih yang nembak owok? Mungkin dunia udah kebalik kali ya? “Gimana? Tadi lo nerima dia kan?” tanyaku kemudian. Oh iya aku lupa bilang, ternyata Raka adalah seorang bisex.
“Kagak. Gue gak suka terhadap dia. Penampilannya itu lohhh… Arrgghh! Gue gak suka tipe cewek yang mengutamakan penampilan!” Lho? Lalu, kenapa dia dari tadi tersenyum?
Tak lama kemudian, Pak Budi datang dengan membawa seorang murid. Mungkin dia adalah murid baru. Dari perawakannya, dia mempunyai rambut pirang dan kulit yang bersih. Memang bisa dikatakan murid yang tampan, Tapi, mungkin hatiku akan selalu untuk Raka. Well, jangan salah paham dulu. Aku hanya ingin Raka bahagia. Bukankah cinta tak harus memiliki?
Setelah Pak Budi berbicara singkat mengenai murid itu, akhirnya sesi perkenalan pun dimulai. “Perkenalkan, nama saya adalah Asep Septian. Asal sekolah saya adalah SMA 5. Semoga kita bisa berteman dengan baik,” ucap dia sambil tersenyum. Pak Budi menyuruh siswa itu untuk duduk di belakang bangku yang sedang kududuki. Ketikadia melewatiku, aku merasa jengah karena dia melontarkan senyum ke arahku. Bukannya aku tidak mau dia bersikap ramah, Tapi matanya itu lohh… Arrgh!
To be continued