It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ckckckck...
Lanjuut...
Dear all...
Mungkin kalian bingung dengan cerita ini. Tapi saya ingin tanya, bingung dari mananya? Biar saya nanti perbaiki
Gini... Mereka mempunyai sahabat. Restan, Restin, Riko, Rehan. Restan pacaran sama riko, sedangkan restin suka sama rehan tapi si rehannya suka sama restan.
Aku yakin, kalian bingung dengan si Raka. Kenapa dia tiba-tiba masuk ke kehidupan restan dan seolah tau apa-apa? Bahkan restannya juga tidak mengerti.
Tapi, itulah cerita ini. Membuat suatu kebingungan yang akhirnya terpecahkan. Mengenai judul, aku ingin sedikit membahasnya.
Sedikit info, Potret Hidupku adalah sebuah potret salah satu dalam tokoh itu. Yang dimaksud tokoh itu bukan Restan, tapi melainkan salah satu dari Raka, rehan atau restin. Dalam potret hidupku, dibelakangnya ada tulisan (terlahir kembali) berarti, orang yang menjadi potret itu...
Kalian pasti tau jawabannya...
Hehe
Lanjuut aah.
Begitulah.. Semoga pembaca bisa menebak.. Karena dalam cerita ini, banyak misterinya. Wkwk
Makasih
*manggurt2*
Kenapa manggut manggut kak? Hehe
Sebenarnya, identitas Raka akan aku sembunyikan. Maksudku, biar ada kesan "tebak menebak" para pembaca. Tapi, gak papa deh. Happy reading all
Potret 6
Siapa (a)
Raka POV
Aku bingung kenapa sampai saat ini Restan belum kembali ke kelas. Padahal, ini sudah pelajaran ke 2 sejak istirahat tadi. Apakah ini ada hubungannya denganku?
Sejujurnya, aku tidak mau melakukan hal ini. Dengan bodohnya aku membuat sebuah perjanjian. Yang sampai saat ini aku menyesal telah berjanji seperti itu.
Aku mempunyai adik bernama Riko. Kami saudara kembar. Karena suatu hal, aku bersekolah di Jakarta sedangkan Riko di Bandung. Saat itu aku sedang latihan badminton. Ketika aku selesai main, rupanya mama telah menelfonku.
"Iya, ma?"
"Nak, cepet pulang! Adikmu kecelakaan!"
Mendengar hal itu, aku langsung pergi ke rumah dengan perasaan tak tenang. Disana ada ayah yang nampaknya sedang khawatir. "Ayah, Riko ayah..." Aku berkata dengan panik.
"Iya ayah tau. Ayo kita ke Bandung!" Aku dan ayah pun pergi ke Bandung dengan perasaan panik.
Setibanya, aku langsung pergi ke rumah. Tapi ternyata... kami sudah terlambat. Riko sudah tidak ada.
Semenjak kejadian itu, aku sulit sekali untuk melemparkan senyum. Bahkan, hanya untuk tertawa. Sahabatku saja yang bernama Asep, sudah angkat tangan. "Lo bilang, adik lo kecelakaan ya?" aku mengangguk ketika Asep bertanya seperti itu.
"Lo tau siapa penyebapnya?" aku menggelengkan kepala.
"Harusnya lo cari tau. Kadang kala, balas dendam itu akan membuat perasaan kita jadi lebih tenang." Aku menatap Asep dengan penuh tanda tanya.
"Jadi gue harus mencari supir yang menabrak adik gue gitu?" tanyaku.
"Bisa jadi. Tapi, cari dulu siapa orang yang menjadi penyebap adik lo meninggal. Seperti teman, musuh, atau orang yang benci kepada dia," balasnya.
"Baiklah! Gue berjanji, gue akan membuat orang yang menjadi penyebap adik gue meninggal tak tenang! Lihat saja nanti." Aku mengepalkan kedua tanganku. Mungkin jika aku anime, banyak kilatan listrik disekelilingku.
"Argh! Gue gak nyuruh lo untuk balas dendam lho. Tapi, jangan seumur hidup lo membuat dia—orang yang menjadi penyebap—terus-terusan gak tenang. Lo harus berhenti ketika dia benar-benar merasa tersiksa." Aku mengangguk dan menarik nafas panjang. Berarti aku harus pindah sekolah ke Bandung.
**
Yap. Itulah yang aku sesalkan. Aku sudah berjanji untuk membuat hidup Restan tak tenang. Dengan membuat dia cinta kepadaku, lalu aku seolah tidak peduli terhadapnya. Parahnya, aku malah cinta beneran kepada Restan. Arrgh! Dan juga, ternyata Restan adalah teman masa kecilku. Dulu sekali, ketika aku SD aku terpilih untuk lomba atletik.
Ketika perlombaan dimulai, aku berlari dengan sekuat tenaga. Tapi yang menjadi perhatianku bukanlah untuk menjadi pemenang. Tetapi memperhatikan seorang lelaki yang bekerja keras sekali untuk sampai di finis. Laki-laki itu sangat imut. Entah dorongan apa yang membuatku untuk mendekatinya. Hingga aku pun berlari dengan sekuat tenaga dan sampai di finis dengan urutan pertama. Sedangkan laki-laki itu di urutan ke 2.
"Hey... Siapa nama mu?"
"Aku Restan, kak." Dia tersenyum. Sejak saat itu, aku langsung jatuh cinta kepada senyumannya.
"Arghh!" aku berteriak.
"Kamu kenapa, Raka?" kulihat semua murid di kelas ini menatapku. Perlahan mereka tertawa—meskipun tidak keras.
"Tidak bu. Aku kebelet pipis. Saya ijin ke air ya bu."
Setelah mendapat persetujuan dari bu Tika, aku langsung pergi keluar. Sesampainya di WC aku hanya membasuh muka-ku di wastafel. Lalu kutengadahkan kepalaku ke depan. Melihat wajahku dari pantulan cermin. "Apa yang harus aku lakukan?" desisku pelan. Jika saja Asep tidak memberiku ide seperti itu, mungkin tidak akan begini keadaannya. Meskipun aku berterimakasih karena dengan kejadian ini, aku bisa bertemu dengan Restan.
Kutelfon Asep dengan perasaan bimbang. Ini salah dia. Kenapa sih harus Restan yang menjadi penyebapnya?
Lama telfonku gak di angkat. Mungkin dia sedang belajar.
"Hallo? Whats happen?"
"Gue bingung, Sep."
"Bingung kenapa bro?"
"Tau gak orang yang membuat meninggal itu siapa?"
"Gak. Emangnya siapa?"
"Gue pernah cerita kan sama lo tentang pria yang membuatku jatuh cinta akan senyumannya?"
"Ya, terus?"
"Ya itu dia. Orang itu yang menjadi penyebap adik gue meninggal..."
"Lah kok bisa? Emang lo udah cari kebenarannya?"
"Ya. Gue udah cari. Entah takdir memihak gue, atau entahlah... Yang jelas, ketika gue masuk disalah satu SMA di Lembang, aku ketemu sama Restan—pria yang juara lomba lari. Lalu aku terus deketin dia, dan ternyata aku tau gimana kejadiannya."
"Lah kenapa harus bingung?"
"Aduh, Sep! Lo kenapa sih!? Gue itu cinta sama Restan. Masa gue harus membuat orang yang gue cinta gak tenang? Ditambah... tadi dia nembak aku."
"Hah!? Nembak? Kok kamu belum mati?"
"Asep serius!"
"Iya iya. Hmm, sulit juga ya? Gue sih angkat tangan kalau ngurusin model ginian."
"Gue menyesal banget. Elo sih... kenapa coba elo membuat usul seperti itu?"
"Gue kan gak maksa, Ka. Ya jalani aja. Buat dia tidak tenang sampai dia benar-benar gak kuat. Ketika saat itu tiba, lo urus segalanya agar keadaan kembali menjadi tenang."
"Yah... mungkin itu jalan satu-satunya. Semoga, hati Restan tidak pindah ke lain hati."
Tuts tuts tuts...
Aku memutuskan sambungan. Kutarik nafas sejenak. Semoga aku bisa menjalankan perjanjian bodohku ini.
**
Ketika kembali ke kelas, aku langsung duduk di tempat duduk-ku. Rupanya Restan masih belum ada. Kemana tuh anak ya?"
"Yasudah anak-anak. Jangan lupa kerjakan LKS hal 36," tutup bu Tika. Disaat yang sama, aku keluar kelas sekedar untuk mencari Restan.
Kumulai dari taman yang ada dipinggir lapangan basket. Ternyata tidak ada. Kulanjut ke kantin, lab yang ada disekolah, bahkan sampai ke parkiran. Tapi Restan tetap gak ada. Kemana dia sih?
Akhirnya aku duduk di taman yang ada di pinggir lapangan basket. Ada beberapa murid yang berlalu-lalang di tempat ini. Mungkin aku harus tanya kepada mereka.
"Hey kamu!" aku menunjuk orang yang sedang memperhatikanku. Dari tampangnya, aku yakin bahwa mereka anak cheers.
Serentak mereka berlari menghampiriku. Kuhitung ada sekitar 5 orang. "Ada apa, Kak?"
"Bisa minta tolong gue gak?" mereka semua saling berpandangan. Lalu berdebat tentang siapakah orang yang menjadi penolongku.
"Stop! Gue hanya ingin tanya, gue kan belum tau seluk beluk SMA ini. Nah gue hanya ingin tau nama tempat yang ada disini," ucapku sedikit keras.
"Oh... di SMA ini hanya ada taman, lab, kantin, dan ruangan praktek doang. Tapi taman disini ada 2," ucap wanita dengan gigi dipagar.
"Ada 2? Dimana tuh?"
"Dibelakang kelas grade akhir. Ada kok. Tapi kecil. Mau gue anter?"
"Gak usah. Lagian, gue mau ke kelas kok. Makasih ya." Aku langsung pergi dari tempat ini dan pergi menuju taman yang disebutkan perempuan itu.
Pantas saja taman ini tidak bisa ditemukan. Karena ternyata, letaknya sama sekali tidak strategis. Masa ada taman di belakang kelas? Maksudku, di belakang kelas yang lain—grade 1 dan 2—hanya ada WC. Sedangkan di grade akhir ada taman. Itu pun di kelas paling ujung.
Dari kejauhan, aku melihat ada seseorang yang tergeletak di rerumputan. Kudekati orang itu dan ternyata... dia Restan! Oh Tuhan!
Aku langsung membawa dia ke ruang UKS. Untungnya, disana ada anggota PMR yang sedang berjaga. "Apakah teman saya gak kenapa-napa?" tanyaku disela pemeriksaan.
"Kurasa dia cuman kecapean. Mungkin dia belum makan," balas pria yang kuyakin dia adalah ketua PMR.
Ketika kuingat-ingat... ASTAGA! Dari pagi Restan kan belum makan? Arghh! Dasar bodoh! Gara-gara si Ridi, aku jadi lupa mengajak Restan untuk makan di kantin.
10 menit, 20 menit, 30 menit Restan belum bangun juga. Aku jadi semakin khawatir. Kuusap rambut dia dengan perlahan. Lalu meneliti setiap inci pada wajahnya. "Restan, andai saja kamu tau. Aku sangat menyesal... Aku-aku... aku mencintaimu..." kudekatkan bibirku ke bibirnya. Rasanya, aku butuh melampiaskan kekesalanku.
**
Restan POV
Aku terbangun ketika aku merasakan bibirku basah. Aku merasakan hembusan nafas menerpa kulitku. Setelah kubuka mata, ternyata Raka telah menciumku. Dia memicingkan matanya dengan bibir terus menciumku.
Ingin rasanya aku membalas ciuman itu. Tapi kuurungkan karena jika aku melakukan itu, maka ciumannya akan berakhir.
Ahh... Takdir rupanya tidak memihakku. Karena ciuman itu hanya berakhir dalam durasi 1 menit. Aku pun membuka mataku dan pura-pura seperti telah bangun tidur. "Raka..," ucapku seraya mengucek mata.
"Restan, kamu udah bangun?" Raka terlihat khawatir.
"Dimana aku?"
"Di UKS. Bentar yah..." Raka berlari keluar. Entah kemana dia, yang jelas dia kembali dengan membawa beberapa roti dan sebotol air putih.
"Nih makan. Kamu belum makan kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Tapi kujauhkan roti itu dihadapanku.
"Kenapa, Restan?" tanyanya kecewa.
"Harusnya aku yang tanya begitu. Kenapa kamu, Raka?" aku menatap bola matanya. "Kenapa kamu menciumku? Tinggalkan aku sendiri, Raka." Aku menatap ke atas dengan perasaan sesak.
"Aku khawatir kepadamu." Aku melirik Raka lalu tertawa.
"Bukan itu!" sergahku. "Kenapa kamu menciumku? Aku hanya ingin tidak mau terlalu berharaf. So, tinggalkan aku sendiri. Sekarang... dan seterusnya!" aku menatap tajam ke arah dia. Aku merasakan tangan Raka bergetar. Dia menatapku sendu.
"Aku... a-ku..." Raka berucap parau. Perlahan, aku melihat ada buliran air mata Raka. Seketika, rasanya aku kembali sesak. Bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Aku mengusap air matanya dengan tanganku. Hening... Itulah suasana yang terjadi. "Aku tidak tau siapa kau, Raka. Apa maksudmu menciumku, menolongku, hadir dikehidupanku, menangis dihadapanku, aku sangat tidak tau. Sekarang aku bingung. Aku ingin menjauhimu. Karena kamu sudah menolakku. Tapi disuatu sisi kau seolah-olah membutuhkanku, mencintaiku, menyayangiku, tapi hanya disaat tertentu. Aku bingung denganmu Raka. Jika tujuanmu hanya mempermainkanku dan membuat hatiku sakit, jujur aku tidak percaya. Karena ada kesungguhan dibola matamu. Tapi, apa yang membuatmu tidak pernah menjawab pertanyaanku!?" aku berkata seolah semua yang kuucapkan adalah hal yang menyakitkan. Meskipun memang begitu keadaannya.
"Aku... juga mencintaimu."
"Lalu, apa yang membuatmu menolakku!?" tanyaku berang. Lagi-lagi dia tidak menjawab. Arrgh! Percuma!
"Sudahlah... antar saja gue ke kelas. Gue mau pulang," ujarku kemudian. Sekarang aku menggunakan kata lo-gue kembali.
Raka mengangguk. Lalu membantuku berdiri dan memapahku untuk pergi ke kelas. Disaat yang sama, bel pulang telah bertending.
Semua orang memperhatikanku dan Raka. Memang tidak ada yang peduli denganku. Karena mungkin penyebapnya adalah sikapku yang pendiam. Mereka enggan berteman dengan orang yang hanya mengeluarkan sepatah atau dua patah kata. Tapi aku tidak peduli. Mereka ya mereka. Asalkan aku bahagia dengan duniaku, kurasa bukanlah masalah.
Ketika sampai di depan kelas aku melihat Rehan disana. Dia langsung berdiri dan berlari ketika melihatku. "Kenapa kamu?"
"Hanya kecapean. Bentar, gue ambil dulu tas ya." Raka membantuku untuk mengambil tas lalu kembali lagi keluar.
"Mau pulang sama gue?" rupanya Rehan juga mengganti kata aku-kamu menjadi lo-gue.
"Restan pulangnya sama aku," ucap Raka cepat.
"Baiklah. Kita pulangnya barengan aja. Toh rumah aku dan Restan searah," balas Rehan. Aku mengangguk.
Sesampainya di parkiran, aku langsung menunggangi motor Raka. Ketika Raka hendak mau pergi, ada seseorang yang memanggil dia. "Raka, anter gue pulang dong. Supir gue gak bisa datang karena ada kepentingan," ujar Ridi sambil memegang tangan Raka.
"Umm, baiklah. Res, lo pulangnya jalan aja ya. Atau lo pulang sama Rehan aja," ucap Raka. Aku langsung turan dari motor dia dan langsung menunggangi motor Rehan. Kulihat Ridi senang sekali ketika Raka memperbolehkan untuk menaiki motornya. Ditambah, dia langsung memeluk pinggang Raka erat. Raka pun sepertinya tidak menolak.
"Kurang ajar dia!" ucap Rehan sambil melepaskan helm-nya.
"Udah Han, gue gak kenapa-napa kok," cegahku.
"Tapi..."
"Cepat pergi!" potongku. Rehan mengangguk lalu kutatap Raka yang dia sendiri sedang menatapku. Aku melihat dia tidak begitu senang dengan apa yang dia lakukan. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja. Ingat, Ridi adalah orang yang sangat cantik. Mungkin Raka adalah bisex. Jadi, bukan hal yang sulit untuk dia pindah ke lain hati.
"Lo menangis, Restan?"
"Nggak kok."
To be continued
@Zhar12
@Klanting801
@heavenstar @Sicnus
@rubysuryo @Hyu_ghy
@Adam08 @callme_DIAZ @jokerz @greenbubles @Joy_juandre25
@Rynku @arieat
@edogawa_lupin
@chibipmahu @rizal21 @erickhidayat
@Aii @Bintang96 @zeamays
@mr_Kim @agungrahmat @Gigiharis_Krist @BejatYU @aicasukakonde @gu2ntea
@inlove @Taylorheaven @half_blood @boyzfath @tyo_ary
Semoga dengan chapter ini pembaca tidak bingung. Oh iya bagi yang gak mau di mention diceritaku, PM aku aja ya. Thanks buat yang ngikutin cerita ini.