It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Mau apa lo kesini?!" tanyaku sinis.
"Lo masih benci sama gue?" balas Rehan sendu. Yepp, nama dia adalah Rehan, mantan sahabatku. Memang semenjak insiden itu, dia selalu menghampiriku sekedar untuk meminta maaf. Tapi tidak sedikit pun ku gubris.
"Boleh gue minta air putih?" terdengar suara Raka di balik pintu. Saat itu juga mata Rehan terbelalak.
"Riko?" desisnya pelan.
"Riko? Gue Raka bukan Riko," balas Raka sambil mengulurkan tangan.
"Gu-gu-gue.. Rehan, salam kenal," balas Rehan gagap.
"Ambil aja Rak. Gue ada urusan sebentar dengan orang ini," ujarku. Raka mengangguk.
"Bukannya dia..."
"Bukan!" potongku. "Dia Raka pindahan dari Jakarta," lanjutku.
"Oh oky..." hening seketika. "Tapi mau kapan lo seperti ini? Gue ingin berteman lagi dengan lo, tidak bisakah lo menerima?" ujarnya putus asa.
Meskipun insiden waktu itu bukan sepenuhnya kesalahan dia, tapi entah kenapa hati ini tetap tidak terima. Tapi, mengingat kegigihan dia untuk meminta maaf dan untuk berteman, mungkin inilah saatnya. "Baiklah, lo gue maafin. Silahkan masuk." kulihat wajah dia berseri.
Kulihat di ruang tengah Raka sedang ngobrol dengan Rehan. Aku pun ikut bergabung dan hanya mendengar apa yang menjadi topik pembicaraan mereka.
"Yah begitulah. Adik gue meninggal karena kecelakaan lalu lintas." ucap Raka sendu. Mendengar hal itu, seketika ingatan terbang. Menerobos jutaan jam dan berhenti pada suatu masa. Dimana kata perpisahan harus terima.
Kejadian itu bermula ketika adik saya yang bernama Restin menjadi seseorang sangat pendiam. Entah apa penyebapnya, aku tidak tau.
Masa lalu...
。。Restin POV。。
Masa-masa SMP, aku hanya diam di sebuah kursi dengan sebuah pohon apel di belakangnya. Cenderung pendiam dan bertolak belakang dengan saudara kembarku. Atau bisa dibilang kakakku.
Seperti halnya perhatian. Kakakku selalu mendapatkan kasih sayang dari sekelilingnya. Entah itu ibu, guru, teman, bahkan penjaga gerbang sekalipun. Itu karena kakakku mempunyai otak yang begitu pintar dan cenderung ramah. Beda sekali bukan denganku? Karena aku adalah orang yang bodoh!
"Dek.. Mau ikut ke ladang membantu ibu?" terdengar suara kakak dari balik pintu kamarku. Seperti biasa, kalau sudah bertatap muka, pasti tatapanku selalu kosong dan hampa. Ditambah oleh mulutku yang terasa kaku karena sudah hampir 3 tahun aku tidak bicara. Membuat aku seperti makhluk yang menyedihkan di dunia ini.
"Yaudah.. Kalau gak mau ikut, kakak ke kebun dulu ya. Jaga rumah," ucap kakakku. Akupun langsung berdiri dan mengikuti kemana ia akan pergi. Atau lebih tepatnya ke kebun.
Selama perjalanan, yang ditangkap oleh mataku adalah hamparan sawah yang begitu luas dengan tumbuhan ilalang berada di pinggirnya. Aku tertegun. Akhirnya sebuah senyuman bisa terukir di bibirku yang begitu kelu. Bahkan, langitpun seperti ikut tersenyum dengan bentuk awan yang menyerupai bibirku. Bahwa indahnya pemandangan ini!
"Sore bu," ucap kakakku ramah sembari mencium punggung tangan ibuku bak anak yang esensinya harus memang begitu. Sedangkan yang kulakukan hanya berpaling ke arah langit yang mungkin sedang merasakan kesedihanku.
"Bu mana gunting sama sapu tangannya," seru kakakku. "Biar aku aja yang ngerjakan pekerjaan ibu," lanjutnya ketika gunting itu sudah berada di tangan. Lalu dengan hati-hati dia mencabuti dedauan yang sudah mulai mengering. Sedangkan ibu berarih ke pekerjaan memetik jagung yang ranum.
'Tidak akan berhasil..' lirihku dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan, kaki ini bergerak ke suatu tempat yang mempunyai banyak arti. Karena disini aku seperti nasi yang sudah menjadi bubur. Tidak dapat kembali lagi!
"Arrghh!" teriakku ketika aku terjatuh. Se-dingin apapun ibuku terhadapku, pasti dia akan kaget ketika mengetahui anaknya kecelakaan. Dan itu sejujurnya membuatku tersenyum... meskipun itu hanya sementara.
Dan benar saja... Aku menyesal telah terjatuh. Karena kakak dan ibuku harus menggendongku ke rumah yang jaraknya cukup jauh. Awalnya aku enggan dengan berontak melepaskan diri, namun yang ada aku hanya terjatuh. Karena rupanya persendianku ada yang tergeser.
Besoknya, aku pergi ke sekolah pagi-pagi sekali. Ya sekitar jam 5 dini hari. Tidak mungkin aku naik ojek atau naik becak. Karena aku tidak mau merepotkan ibu dengan menghambur-hamburkan uang dengan hal yang bisa ku tangani sendiri. Apalagi dengan membebankan oleh keadaanku yang sehabis jatuh kemarin. Daripada telat ke sekolah, inilah jalan satu-satunya... yaitu dengan berangkat pagi.
Rasa dingin menerpa kulitku. Maklum saja, aku tidak mempunyai mantel untuk menutupi baju seragamku. Ditambah ini masih pagi. Dengan jalan yang terpincang-pincang dan perut yang keroncongan, kupaksakan bibirku untuk tersenyum. Menertawakan hidup yang begitu perih!
Langit..
Setetes embum di pagi hari ini..
Mengingatkanku, bahwa embun itu seperti awan..
Yang pasti akan berubah menjadi air..
Bila disinari oleh matahari..
Sedangkan mataku..
Akan menjadi air..
Bila disinari oleh kebahagiaan orang lain..
Yang sejatinya, semua itu tidak bisa kudapatkan!
**
Bel berdering, murid berhamburan, kembali dengan berbagai makanan, akupun pergi ke taman.
"Huhh.." hembusan nafasku ketika punggungku berhasil bersandar di kursi taman belakang ini. Rasa sejuk yang di berikan oleh pohon apel yang ada di belakangku ini, jujur membuatku sejenak melupakan opini betapa perihnya hidup.
"Dek... ini kakak bawakan makanan buat sarapan. Pasti belum makan kan?" terdengar suara kakakku berkata lirih. Aku menoleh dengan tatapan kosong.
"Yaudah kakak simpen di sini ya." kakakkupun pergi. Meninggalkan sebuah penyesalan yang begitu sakit di ulu hati. Karena... aku kalah perang dengan kenyataan!
"Krruukk!!" suara perut laparku. Haha, sekonyong-konyongnya aku untuk berniat tidak makan... rupanya perut ini tidak bisa diajak ber-negosiasi. Karena tidak tertuju pada apapun dan siapapun.
"Kenapa sih dia harus seperti itu?" sayup aku mendengar suara lirih orang lain yang sedang membicarakanku. Kini aku sedang menangis dalam lahap makanku. Karena... makanan ini adalah kebahagiaan terakhirku. Sebelum, semuanya terasa dingin.
Dulu sekali, aku adalah orang yang ceria. Lebih ceria dari kakakku. Tetapi, semuanya berubah ketika aku mengetahui orientasiku. Aku menjadi pendiam meskipun dalam konteks rumah. Karena di sekolah aku masih bisa menampakan semburat kebahagiaan dari wajahku yang penuh dosa. Lalu, kekosongan kembali mencekam tatkala ayah meninggal. Aku sangat sedih! Sehingga... sosok aku yang barupun telah muncul. Karena sejak kematian ayah, ibu jadi dingin kepadaku. Dan itu... rasanya sakit!
Dan semenjak kejadian itu, banyak orang yang bertanya mengapa aku menjadi seorang pendiam. Dan tidak satupun juga pertanyaan mereka itu kujawab. Membuat aku benar-benar orang yang tidak mempunyai teman.
"Kenapa sih lo harus seperti ini!" lamunanku buyar. Dengan hati dan tubuh yang gemetar, kupaksakan untuk melihat orang yang begitu familiar buatku. Atau bisa dibilang... rasa sakit dari rasa sakit hidupku.
"Kenapa lo jadi berubah?! Dulu kita tidak seperti ini," lirihnya kelu. Tapi yang kupikirkan bukanlah lirihannya yang kelu, melainkan kepada kata 'kita' yang begitu lucu ditelingaku. Dulu, aku, dia, Riko dan kakakku selalu bersama. Atau bisa dibilang 4 se-kawan. Setiap harinya pasti akan diselimuti oleh canda dan tawa baik aku yang memulai, ataupun mereka. Hingga hal yang membuatku sulit bicarapun terjadi!
Kira-kira, waktu itu aku masih kelas 1 SMP. Rehan yang merupakan 'dia' mengajak aku dan kakakku untuk nginap di rumahnya karena orang tua Rehan sedang keluar kota. Singkat cerita, aku dan kakakku setuju. Dan ketika waktu menunjuk tepat jam 12 malam. Tiba-tiba aku ingin buang air kecil. Lalu kembali dengan tatapan tertuju pada buku harian yang terselip di bawah bantal. Aku bisa melihat buku itu karena ternyata Rehan sedang memeluk kakakku. Dan otomatis kepala Rehan tidak bisa menutupi buku harian itu.
Dengan rasa kantuk yang teramat sangat, kupaksakan mata ini untuk terjaga. Lalu mulai menelusuri halaman demi halaman buku harian ini. Dan ternyata... buku harian ini hanya coretan dari sekian banyak kegiatan yang Rehan lakukan. Ketika aku mau menyimpan buku harian itu kembali, tiba-tiba kertas berukuran A4 jatuh dengan bentuk yang sudah kusut. Lalu kubuka lipatan kertas itu, hingga muncullah deretan puisi dengan judul 'APEL.'
Apel..
Seberapa pun cantik rupamu, kou tidak mampu membuat hatiku bergetar..
Seberapa pun manis rasamu, kou tidak mampu membuat lidahku berseru senang..
Seberapa pun berharganya dirimu, bagiku ada yang lebih berharga darimu..
Karena sejatinya, apelku bukanlah kamu..
Bukan juga apel-apel yang lainnya..
Apelku adalah orang yang mampu membuatku senang..
Mengagumi keindahannya..
Dan juga membuat hidup lebih berwarna..
Dialah apelku..
Restan..
Lalu, sebuah deretan kalimat terpampang di belakangnya.
Sahabat Jadi Cinta.
Mendekripsikan cinta bagiku sangatlah tidak mudah. Karena cinta adalah sebuah kebahagiaan dan rasa sakit. Tapi bukankah itu penjabaran yang kelasik? Huh entahlah! Karena cinta itu datang dengan tiba-tiba. Tidak mengenal apa dan kepada siapa cinta itu bersemayam. Kalau bisa dibilang... hmm cintaku itu adalah buruh cuci. Kenapa? Karena lewat itulah awal aku merasakan jatuh cinta. Awalnya aku masih ragu, tapi kurasa cintaku bukan karena sebuah persahabatan. Yaph, anak buruh itulah yang menjadi sahabatku. Dan kenapa kubilang bukan karena persahabatan? Pertama, dia mempunyai saudara kembar. Dan aku lebih suka kepada kakak dari saudara kembar itu. Cintaku juga bukan karena bentuk fisik. Kenapa? Karena mereka berdua itu sama! Matanya, hidungnya, warna kulitnya, dan yang lainnya. Lalu apa yang membuatku jatuh cinta? Haha, kurasa hatinyalah yang membuatku jatuh cinta. Bukannya cinta itu adalah penyatuan antara dua hati?
Itulah yang kubaca dari google. Dan kepada sahabatkulah aku menemukan sebuah cinta. Meskipun hanya sepihak.
"Ja..ja..ja..jadi. Dia mencintai kakakku?" lirihku pelan. Untuk ke-sekian kalinya, mataku pun kembali menangis. Ternyata badai yang ada dalam hidupku itu, dibaliknya bukan pelangi. Melainkan sebuah petir yang tidak berhenti... sampai kapanpun.
"Please jawab!!" lamunanku kembali buyar. Langsung kembali ke dimensi yang sekarang. Dimana sebuah hati terus bergetar entah itu karena takut. Atau... ke hal yang lebih signifikan dengan perasaan.
"Tidak kah lo liat sikap kakak lo yang ramah itu? Mudah tersenyum, periang, dan lo!!" teriaknya berang. Kulihat ada 5 orang yang memperhatikan insiden ini. Dan ketika kutatap mata Rehan yang begitu bengis. Kupalingkan wajahku ke arah langit. Disaat yang bersamaan, kerah bajuku di tarik. Membuat aku tercekat dengan keadaan ini.
"Kenapa lo selalu nyusahin kakak lo?! Kenapa?!" sebegitu besarkah rasa cinta Rehan kepada kakakku? "Dia selalu sedih ketika melihat lo selalu begini! Tidak adakah rasa abdimu kepada kakak lo?!" lanjutnya. Namun aku masih bungkam.
"Bahkan dia hampir kecelakaan hanya karena lupa membawakan makanan buat lo," ucapnya melembut.
Kurasa ini saatnya untukku mulai bicara, "Gue tau gue ini bodoh, tolol, pecundang, dan... tidak pantas," lirihku menggantung. Sebelum Rehan menjawab, langsung kulanjutkan kalimatku. "Tidak pantas hidup. Karena, gue tidak diinginkan." meskipun terasa kelu untuk melanjutkan, tapi inilah saatnya.
"Tidak diinginkan oleh orang... yang melahirkanku. Tidak pernah mencapai... semua yang menjadi harapanku. Dan semua itu terasa bodoh, karena semua hal itu hanya rasa sakit yang kudapat. Bahkan, kalau bolem memilih. Gue ingin menyelesaikan masalah ini dengan jalan pintas. Agar semuanya puas dan gue akan tenang!"
"Bukk!!" Rehan memukul pipi kiriku. Bisa kudengar suara pekik-kan murid yang melihat adegan itu.
"Panggil guru!" perintah salah satu dari mereka. Akupun langsung sigap mencegah dengan isyarat tanganku. Mereka pun berhenti. Lalu kutatap Rehan yang bergetar. Bergetar karena marah.
"Gue tidak tau apa masalah lo. Tapi lihatlah kakak lo. Dia sayang banget sama lo! Dan apakah itu belum cukup untuk membuat lo tenang?!"
"Gue gak butuh!."
"Bukk!!" Rehan kembali memukulku. Kali ini aku tersungkur dengan hidung meneteskan darah.
"Cukup Han!" dari kejauhan aku melihat kakakku berlari. "Ade gue lagi sakit! Jadi, please jangan ikut campur!"
Lalu, akupun dibawa ke ruang UKS dan pulang dengan perasaan syok... dan kembali hampa.
"Kakak ambilkan kompres ya dek," ucap kakakku ketika mengetahui suhu tubuhku memanas.
"Gak usah kak. Biar Ade aja," balasku. Wajah kakakku berseri ketika mendengar aku bicara.
"Ok, kainnya ada di lemari ibu. Ambil aja," sahutnya. Aku mengangguk. Setelah aku menemukan kain itu, mataku pun tertuju pada sebuah buku coklat dengan sampul bertuliskan 'Diary.'
Karena penasaran, akhirnya kurogoh buku itu, untuk kemudian kubaca sebuah tulisan panjang dengan judul 'Dosa.?
'2000
Sebuah mata yang basah. Perlahan tapi pasti semuanya semakin melaju. Menuju lantai bercampur dengan darah. Dimana asal-muasalnya adalah akibat dari kebodohanku. Yang berakibat kepada adikku...
Kini dia sudah tidak ada. Menuju sebuah alam yang mungkin bahagia. Tidak se-sakit dunia. Dimana rasional sudah tidak ada.
Aku menyesal! Telah merayakan ulang tahunnya di sebuah taman nan-sepi di sebuah perkampungan. Hanya kami berdua. Bernostalgia mengingat masa kecil yang lalu-lalang nya sebuah kebahagiaan ataupun sakit. Dimana orang-orang tidur dengan nyenyaknya di malam hari, aku dan adikku malah have fun hanya dengan sepiring kue tart yang kubuat. Sementara ibu dan ayah, mereka sedang pergi ke rumah nenek karena beliau sedang sakit. Hingga... hal itupun terjadi. Ketika aku dan adikku mau pergi ke rumah, tiba-tiba dua orang laki-laki bertubuh tegap menghampiri kami. Saat itu aku merasa takut! Bahkan teramat sangat! Mereka terus tertawa sambil terus memandangiku dan adikku.
"Mulus juga bro," ucap salah satu dari mereka. Mendengarnya, lutut ini serasa kaku. Sulit untuk bergerak.
"Sikat aja bos!" dan tanpa diduga, mereka berdua langsung mencium adikku dengan buasnya. Yang satu memegang tubuh adikku yang berontak, dan yang lainnya membuka semua pakaian adikku lalu kembali menciumnya. Reflek aku langsung meninju muka kedua orang biadab itu. Tapi, sialnya tidak membuat kedua orang itu tersungkur. Malah sebaliknya... akulah yang tersungkur dan tidak mampu berdiri karena kekuatannya sangat kuat.
"Jangan bang," lirih adikku yang malang. Kini dia dipaksa untuk melumat pe*is salah satu dari mereka.
Adikku menangis sambil berontak, "Plak!" sebuah tamparan mendarat di lesung pipitnya. Aku menjerit! Dengan sekuat tenaga berusaha bangkit, namun sia-sia. Tidak mungkin aku meminta tolong karena taman ini jauh dari perumahan.
"Please bang jangan.."
"Arrghh! Kalau gak mau, gue kasih pelajaran buat pacar lo yang sok jagoan itu," desisnya berang. Adikkupun mulai melumat dengan derai air mata. Kuraba hidungku telah berdarah, air mata berjatuhan, apakah ini realitas kehidupan?
"Arghhh!! Sakit bang!!" aku terbelalak. Harus menyaksikan insiden paling mengerikan sejagad raya. Dimana adikku harus menahan rasa sakit di bagian... an.. '
"Sudah cukup! Ini bukan sebuah coretan harian ibu. Melainkan sebuah cerita yang pernah di alami ibu. Tapi, kenapa ibu menyimpan cerita tragis ini? Kenapa tidak sembunyikan dan biarlah menjadi masa lalu?" gumamku. Lalu, dengan rasa penasaran yang teramat sangat, ku telusuri buku diary ini hingga menemukan sebuah coretan yang lain.
'11, 05, 09
Masa lalu kembali hadir, dimana aku harus kehilangan adikku oleh para gay yang tidak punya hati. Dan ternyata, anakku merupakan salah satu dari mereka! Aku syok! Ditambah oleh kematian suamiku karena penyebap utamanya adalah anakku.'
"Cukup sudah! Ini sudah berakhir!! Akhirnya aku tau kenapa ibu membenciku. Lucu sekali memang, selama ini aku mencari penyebap kematian ayah. Tapi bodohnya ternyata aku mencari diriku sendiri!"
**Pulang Sekolah**
Rutinitas seperti biasa, telah aku lakukan. Dimana sebuah sepi menjadi temanku. Bungkam menjadi sikapku. Dan terntunya sebuah tangisan yang menjadi sahabatku. Kulihat matahari yang sudah menampakan semburat warna jingga. Haha, kenapa waktu terasa begitu cepat?
Langkahku mulai berjalan. Terpincang-pincang dengan tatapan kosong menyedihkan. Harusnya ini tidak kulakukan. Karena orang yang bisa menyembunyikan masalahnya dari orang lain adalah orang yang bijak. Tapi, bagiku tidak ada artinya. Aku tidak diinginkan. Ingat?!
"Tiddd!!" suara kelakson mobil membuatku kaget. Setelah ku tengok, dari arah kiri ada sebuah truk dengan kecepatan tinggi sedang menghampiriku. Sekuat mungkin aku menghindar. Namun yang kurasakan adalah rasa sakit yang... tunggu! Rasa sakit ini beda. Meskipun lebih sakit, tapi hanya seketika. Selanjutnya, gelap...
。。Restan POV。。
Sekitar jam 5 sore aku pulang dari sekolah karena saat itu ada sebuah latihan untuk perlombaan basket. Ketika berada di perjalanan, aku mendengar suara teriakan orang di jalanan. Dan alangkah kagetnya aku ketika melihat.
"Restin!!"
To be continued
@jerukbali
@tamagokill
@dekisugi
@Zhar12
@Klanting801
@heavenstar
@Sicnus
@rubysuryo
@Hyu_ghy
@Adam08
@callme_DIAZ
@jokerz
@Joy_juandre25
@Rynku
Mohon kritik dan sarannya
(^^)
seru.. tapi si raka kok kasar gitu.. kan ane jadi takut bacanya..
#mewek dikamar
#plaak
halaah.. opo tho yo..
f(^_^;
waah.. udh maenin POV dia.. ane jadi tertantang neh.. mohon banyak bimbingannya..
@Rynku ok. Tapi tergantung pembaca juga sih. Hehe. Thanks ya.
yg diatas lah pokoknya..
(^.^)
Hehe, setelah membaca komen ya..
Dan di atas di sebutkan Raka, bukan Riko. Hehe, kurang teliti. Bingung sih karena nama mereka hampir sama. Raka-Riko.
Bukan, hanya saat dibaca rasanya seperti membca cerita KCTT aja, aplagi saat saya baca ada banci nya , hahahha jadi keingatan deh.
Hah? Banci? Potret mana ya? Perasaan gak ada. Itu di cerita yang mana? Yang Potret Hidupku atau Misteri rumah nenekku?