It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
agreed with this om bro, abisnya tu cowok kyk gak punya istri aja kelakuanya. hahahaha
@mr_Kim, mei bi...
@shuda2001, masih panjang perjalanan yadi kesananya
“Mari nak, temani bunda di taman yuk, bunda senang sekali duduk di taman” ajak ibu Widya sambil berjalan ke arah belakang rumah.
Setiadi melihat satu taman yang tidak terlalu besar, namun sangat asri dengan satu pohon kecil terletak agak kepinggir, sementara ada 2 kursi kayu antic dengan meja yang sudah disiapkan teh dan kue tart sebelumnya.
“Duduk nak, bunda pengen kenal deh ama Setiadi” sahut ibu Widya sambil menatapnya dengan sorot mata yang teduh, membuat Setiadi merasa nyaman.
“Bu...” sahut Setiadi agak sungkan.
“Panggil saja bunda, saya lebih senag dipanggil bunda, apalagi sama kamu...”
“Bu... bunda... saya ucapkan terima kasih bunda sudah mau menerima kehadiran saya”
“Nak, sudah... tak usah bicara terlalu formal, memang gaya bahasa yang di ajarkan ayah seperti ini, sudah tidak bisa saya ubah lagi.”
“Nak, walau saya baru pertama lihat kamu, saya tahu dari sorot mata, ekspresi wajah, kalau kamu memang orang terpelajar dan punya hidup yang baik. Saya senang sekali kali ini buyung memlilih orang yang tepat.” Sahut wanita paruh baya sambil memegang cangkir teh.
“Nak, jangan takut, teh untuk diminum, kueh untuk dimakan, mereka bukan barang museum, ambil saja, bunda bukan lagi investigasi, bunda ingin lebih dekat saja”
“Iyah bunda, maaf kalau saya masih kaku, saya baru kali ini tahu kalau Hendra punya keluarga mapan.”
“Itu Hendra memang bunda tidak mengerti, dari sini ke Thamrin toh gak jauh, mobil dan supir pun sudah bunda siapkan, tapi kok mau- maunya kos, kecil, sumpek, gak sesuai sama selera bunda.”
“Mungkin itu tanda Hendra ingin hidup mandiri, belajar hidup sendiri, tanpa fasilitas mewah. Saya suka Hendra dengan prinsip hidup seperti ini, tidak menyalah gunakan fasilitas mewah, tapi mau hidup prihatin.”
“Iyah memang, teman hidup sebelumnya orang tidak benar itu... kerjanya Cuma nebeng fasilitas aja, sampe tabungan 31 juta milik buyung pun di kasih, lalu tiba- tiba Hendra pulang nangis ama aku, bilang dia ditipu... heeeehhh... ayah waktu itu murka. Mungkin dari situ buyung ingin merepresentasikan sebagai orang biasa, baru setelah mantap ia kasih tahu.”
“Bunda, itu yang memang terjadi pada saya. Saya tidak mengharapkan Hendra dari orang kaya, saya sayang Hendra karena sifat cerianya, sedangkan saya hidup sendiri sudah cukup secara finansial, sudah terbiasa mandiri dari kuliah.”
“Wah kamu benar- benar dewasa, yah... pantas gerak- gerik kamu tidak selaras dengan sosok fisik kamu, kamu terlihat seperti adiknya buyung malah, sekalipun buyung baru umur 24 tahun. Oh yah, orang tua kamu di mana?”
Setiadi tertegun...
“Orang tua saya di Bandung, hanya saja...”
Ibu Widya menatap dengan penuh arti, lalu Setiadi menceritakan masa lalunya. Ia sebenarnya sungkan menceritakan hal ini, apalagi kepada orang yang baru ia kenal. Namun bahasa tubuh ibu Hendra yang sangat ramah dan hangat membuatnya bercerita.
“Nak, setiap orang tua itu selalu akan bereaksi seperti itu, ketika mereka berhadapan dengan anak mereka yang berbeda. Saya tidak salahkan perasaan kecewa mereka, walau saya tidak menjustifikasi tindakan ayah angkat kamu. Nak, kalo nak Yadi mau, kamu anggap saja saya sebagai bunda kamu, bunda tahu dari awal kamu orang baek, kamu mampu menjaga buyung di sana. Kita tidak selalu terbuka kepada teman buyung, namun kali ini saya sungguh tergerak dan intuisi bunda tidak pernah salah, kamu orang baik.’
Setiadi mau tak mau harus menangis terharu, baru kali ini ia berhadapan dengan keluarga yang mau menerima pilihan hidupnya.
“Eh bunda lagi ngeteh nih”
“hehehe... gabung dong buyung, dari tadi kok ngumpet aja...”
Hendra pun mengambil kursi, dan menikmati teh pagi itu sambil bercerita tentang perkenalannya, kehidupan Setiadi.
Tidak lama sesudah itu mereka berpamit. Hendra diajak Setiadi untuk bersantai di rumah Jimmy, karena sedang tidak ingin kemana- mana.
Beberapa minggu sesudah itu, Satu Jumat sore menjelang bubaran kantor ponsel Setiadi berbunyi,
“Di, tolong gua dong, computer di rumah lagi rusak , sudah dari kemaren ngehang melulu” sahut Randy dari ujung telefon.
“Oh, kenapa lagi itu computer?”
“Gak tahu... gua tunggu lu di lobby aja”
“Boleh, sekarang?”
“20 menit lagi aja, belon kelar gua”
“Oke”
Setiadi memang sudah terbiasa menjadi montir computer dari teman- temannya. Sewaktu magang pun keterampilan Setiadi sudah menonjol, nyaris semua kerusakan computer mampu ditangani. Sementara kerjaan Setiadi hari itu tidak terlalu padat, hanya sepanjang pagi harus mengadakan “tactical meeting” dan sore menghadiri “board meeting” hingga jam 4 lewat. Ia hanya meneduhkan otaknya yang terasa penuh dan mengantuk.
“Di, yuk cabut” sahut Randy yang menelpon Setiadi. Setiadi pun berjalan turun ke bawah, menunggu cukup lama elevator. Butuh waktu 5 menit hingga bisa mendapatkan elevator. Setibanya di bawah, ia melihat Randy sedang duduk menunggunya. Setiadi sudah mengirim sms kepada Jimmy dan Hendra bahwa ia akan mampir ke rumah Randy membetulkan computer. Mereka pun langsung meluncur ke daerah Permata Buana, sambil Randy mampir ke restoran dekat daerah pasar Puri untuk membeli makan malam mereka.
Untuk pertama kali Setiadi menginjakkan kakinya di rumah Randy. Untuk ukuran 2 orang yang tinggal, rumah Randy terlihat besar. Setiadi pun tidak membuang waktu untuk memeriksa kerusakan computer, yang terletak di satu ruang tidur yang di ubah menjadi ruang kerja Randy.
“Ran, windownya rusak, ini gua harus install ulang. Ada file penting gak?”
“Udah gua simpen di disket, tuh di atas”
“Oh bagus dong, jadi enak reformatnya”
Lalu dimulailah proses panjang itu.
“Di, makan yuk, nih makannya”
Mereka pun menikmati santapannya. Sementara Setiadi melahap makanannya, imajinasi Randy melanglang buana, memikirkan kebersamaan lamanya. Sesaat rasa rindu kembali ke permukaan.
Setelah makan, Setiadi pun kembali memonitor komputernya yang masih dalam proses format ulang. Randy mengambil kursi. Menempatkannya bersebelahan dengan kursi Setiadi, sangat dekat dan duduk di samping Setiadi sambil melingkarkan tangan kanannya pada pundak Setiadi. Setiadi sebenarnya merasa jengah, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
“Nah, sekarang install window nya. Mana CD nya?”
Randy mengambil CD Window nya, memberikan kepada Setiadi.
“Nah dari sini sih udah gak gitu lama, beres deh.”
“Thanks yah Di, lu baek sekali” sahut Randy dengan mata menatap tajam kearahnya, membuat Setiadi tambah jengah.
“Yah kan ama temen...”
Tiba- tiba Randy memegang tangan kiri Setiadi, membelainya dengan lembut, membuat Setiadi terheran- heran.
“Ran, gua pulang dulu yah” sahut Setiadi
“Stay here for a while, Di, gua rindu lu...” sahut Randy datar.
Lama kelamaan, tangan Setiadi dipengang semakin erat. Setiadi berusaha menarik tangannya, namun sepertinya tangan Setiadi sudah dikunci oleh Randy yang tidak mau melepaskan tangannya.
“Yadi...” Randy menatap Setiadi.
Setiadi heran melihat Randy menatapnya begitu rupa. Ia melihat Randy menatapnya dengan pandangan nanar... tiba- tiba, tangan Setiadi dituntun ke leher Randy, membuatnya ia berdiri lebih dekat lagi dan tangan kanannya pun menyentuh leher Randy, bergerak ke arah mukanya. Setiadi sadar dan mulai ketakutan...
Randy tidak menghiraukannya. Ia tetap menatap Setiadi. Pandangan matanya sudah liar, nafasnya mulai memburu. Tangan kanan Setiadi yang sudah terkunci rapat diturunkan ke dada Randy yang berotot, merasakan detak jantung Randy yang berdegup kencang, membuat Setiadi makin takut. Setiadi pun menghentakan tangannya untuk melepasnya, namun tak ada hasil, sementara Setiadi merasakan tangannya terkunci bagai di borgol.
Tiba- tiba Randy menarik Setiadi dalam satu tarikan kencang, membuat Setiadi terkejut. Tubuhnya terlempar ke arah Randy, dengan sigap Randy melingkarkan tangan kanannya melingkari pinggang Setiadi. Ia terkejut bukan main, merasakan dadanya bertubrukkan dengan dada Randy sambil tangan kiri Randy memegang tengkuknya dengan kencang sekali membuat Setiadi mulai kesakitan serasa di cekik.
“Jangan Randy... jangan... Ran... lu kan udah...”
“Gua udah lama gak maen...”
Randy dengan suara tertahan terdengar sedikit parau tepat di telinga kiri Setiadi, membuatnya makin bergidik ketakutan.
“Randy, please... jangan Ran......”
Setiadi karena takut, tak mampu berteriak. Randy mencumbu Setiadi dengan liar, memeluk Setiadi kencang sekali sementara Setiadi meronta- ronta, tak mampu melepaskan diri darinya. Bagai ikan di sungai kering, Setiadi berusaha untuk melepaskan diri dari Randy yang masih dengan erat memeluk, mencumbunya.
“I want you so bad... “
Suara parau Randy kembali berdesis, sambil tangan kiri Randy memegang kepala Setiadi, membuat Setiadi tambah panic. Setiadi semakin berusaha meronta- ronta melepaskan dirinya dari pelukan Randy dengan sia- sia. Setiadi dengan kedua tangannya berusaha mendorong dada Randy, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk mendorong Randy jauh. Randy memepaskan kemejanya, sambil berusaha melepaskan kemeja Setiadi.
“RANDY... JANGAANNN... PLEASE DON’T... STOP IT...!” Setiadi berteriak,
Sejenak Randy kaget. Merasakan pelukan Randy mengendur, Setiadi menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Ia lari sekencang mungkin. Ia dengan gesit menyambar tasnya, yang terletak di lantai dekat meja kerja Randy, dengan badan gemetar menahan takut ia berlari terbirit- birit ke arah pintu rumah. Di depan pintu, dengan sigap ia memutar gagang pintu, namun terkunci...
‘MANA KUNCINNYA... GAWAT...’ Setiadi sudah benar- benar ketakutan. Randy mengunci rumahnya dan ia tidak melihat kunci rumahnya di sekitar dia. Dengan panic ia memutar- mutar gagang pintu yang tetap terkunci. Matanya melotot mencari kunci kesana kemari dari meja dekat pintu membuka semua laci, namun ia tidak melihat kunci dimanapun.
BRUKK... ia merasakan tubuh nya di peluk dari belakang. Jantung Setiadi pun meloncat,
Cerai kan dulu tuh si cindy