It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
okay: @Gabriel_Valiant @masdabudd @tio_justalone @kimo_chie @cowok_pat1 @Aland_Herland
***Lanjut***
DEG
Jantungku seakan berhenti.Jadi ini arti dari firasatku?Aku langsung merasa bahwa aku sudah tidak berpijak di bumi, Pikiranku melayang. Aku merasa… Sakit.Tanpa sadar mataku tiba-tiba mengeluarkan air.Aku?Menangis?
Dan akhirnya aku pingsan!!
***
Entah berapa lama aku pingsan, yang jelas aku sudah berada dalam ruangan yang sepertinya adalah UKS sekolah. Yang aku rasakan saat ini hanyalah pusing. Kupandangi sekeliling ruangan ini….. Tak ada orang lain selain diriku. Hingga akhirnya aku ingat dengan kejadian tadi. Ya, Verdi ada di rumah sakit sekarang. Tapi? Apa yang harus aku lakukan?
Apa aku harus menyusul ke rumah sakit juga?
Bagaimana caranya? Ini kan masih jam sekolah! Huh…. Aku tunggu saja sampai pulang sekolah nanti.
***
Ting-ting Ting-ting
Huaaa… akhirnya bel pulang sekolah berbunyi juga. Saatnya menjenguk Verdi di rumah sakit. Owh ya, aku harus bertanya lebih dulu dimana Verdi dirawat.
“Emmm, Nin! Kamu mau pulang ya?” tanyaku pada Nina yang tadi dapat kabar kalau Verdi kecelakaan(entah dari siapa aku tidak tahu. Nggak penting juga).
“Iya, ada apa?” Tanya Nina sembari melangkah keluar kelas.
“Itu si Verdi emang dirawat di mana?”
“Owh, dia dirawat di RSUD Dr. Sosodoro Djati Koesumo.”
“Owh makasih ya”.
Rumah sakit itu tidak terlalu jauh dari sini. Paling hanya sekitar 2 km. Aku bergegas memakai jaket dan menggendong tasku. Baru saja aku mau keluar, Tiba-tiba dia muncul di hadapanku. Kalian tahu? Iya, Si Rendi . dia muncul hanya dengan menggunakan singlet warna putih saja dengan kaus olahraga yang tersampir di pundaknya. Ahhh, bikin horny aja nih.
Lengannya yang kekar dengan ditambah bulu halus yang sedikit terlihat membuatnya semakin seksi. Ditambah dadanya yang bidang, semakin menambah sempurna sosok yang ada di hadapanku ini.
Stop! Aku tidak suka padanya, aku benci tatapan penuh nafsunya.
“Ada apa?” tanyaku ketus. Aku jadi Ill fell dengan dia semenjak tatapan penuh nafsunya waktu di gudang itu.
“Kamu kenapa sih Dek? Aku salah apa sih? “ tanya Rendi sembari menatap wajahku dalam-dalam seperti ingin mencari sesuatu di kedua bola mataku.
Aku tidak mungkin menjawabnya. Karena aku tahu pasti dia akan tersinggung. Dan mungkin saja dia akan menghajarku.
“Gak ada apa-apa” ujarku pada Rendi sembari memalingkan wajahku darinya. Aku harus sadar kalau dia memang lebih tampan dari Verdi, Rendi juga lebih tinggi, putih, dan lebih atletis darpada Verdi.
Bukan berarti si Verdi gendut ya. Dia juga proporsional, lengannya terlihat besar dan kokoh. Tapi dari bibir mereka berdua. Aku tidak bisa membandingkannya.
Verdi punya bibir sedikit tebal berwarna merah muda yang hampir terlihat transparan. Sedangkan Kak Rendi, dia punya bibir tipis yang punya warna merah segar yang selalu terlihat basah. Ditambah dengan bulu halus diatas bibirnya semakin menambah seksi bibirnya.
Aduh, kenapa malah ngomongin bibir Verdi sama si Kak Rendi sih? Aku kan harus buru-buru pulang. Agar bisa segera ke rumah sakit dan menjenguk Verdi.
“Dek? Kok ngelamun?” ujarnya sembari melambai-lambai di depan wajahku. Kutepis tangannya dari depan wajahku dengan sekali sentakan.
“Udah ah, gw mau pulang. Kalo mau ngomong besok aja! Gw lagi banyak urusan” ku langkahkan kakiku menuju parkiran dengan sedikit berlari. Entah kenapa aku bisa sangat khawatir pada Verdi sekarang.
Namun, aku merasa seperti ada yang mengikutiku dari belakang. Kutolehkan kepalaku dan melihat kalau Rendi mengejarku.
Hufffttt, kuhela nafas panjang untuk sedikit menenangkan fikiranku. Kak Rendi langsung menhampiriku yang terdiam melihatnya berlari.
“Ada apa sih kak?” tanyaku dengan wajah kubuat kesal. Aku sebenarnya tidak kesal, tapi hanya sedikit risih. Kak Rendi yang sudah berhenti di hadapanku melihat sekeliling. Ia seperti mencari sesuatu. Ia menatap wajahku dalam-dalam.
Tiba-tiba kedua tangannya memegang wajahku dan seketika itu juga….
“CUPPP”
Sebuah ciuman mendarat tepat di bibirku. Aku seketika itu juga terkaget. Namun, aku tidak melawan ciuman ini. Aku merasa aneh dengan ciuman ini. Aku…Menyukainya.
Bibir Kak Rendi terasa sangat lembut dan manis bagiku.
Tapi?
Astaga! Seperti mendapat sebuah kekuatan yang sangat besar, kudorong Kak Rendi dengan sekuat tenaga hingga ia jatuh tergeletak.
“Awww” hanya itu saja yang keluar dari dalam mulutnya. Itu wajar saja, mengingat aku mendorongnya lumayan keras tadi.
Aku yang merasa bebas langsung berlari untuk segera menuju ke parkiran dan pulang.
Kudorong sepedaku hingga keluar gerbang sekolah.
Sesampainya disana kutolehkan kepalaku kearah belakang untuk memastikan kalau Kak Rendi tidak mengikutiku. Setelah merasa yakin kalau dia tidak ada, kupacu sepedaku secepat mungkin kearah rumah.
Aku ingin segera bertemu dengan Verdi. Aku ingin memastikan kalau dia baik-baik saja.
***To Be Continued***
maaf ya kalau masih berantakan dan, semoga suka.
and JANGAN LUPA KOMEN ya guys.....
okay bye-bye..
Ahiauw...
Okay
SElamat menikmati dan semoga ceritanya gak bikin ngantuk ya?
@Gabriel_Valiant @masdabudd @tio_justalone @kimo_chie @cowok_pat1 @Aland_Herland
***Lanjut***
Sesampainya di rumah aku langsung berganti baju dan bersiap-siap pergi ke rumah sakit. Kukenakan kaos lengan panjang warna putih dan baju warna merah pekat.
Kurapikan sedikit rambutku. Kuambil dompet dan kunci motor yang kutaruh di atas meja. Setelah siap, aku berpamitan dan menitipkan kunci rumah pada pamanku yang kebetulan rumahnya ada di samping rumahku.
Kustarter motor Honda Supra X 125 D miikku. Kupacu sepeda motorku kearah Rumah sakit sekencang yang motor ini bisa. Aku sangat mengkhawatirkan Verdi sekarang.
***
Sesampainya di rumah sakit, kuparkirkan motor ku dan menguncinya. Akan sangat tidak lucu jika sepeda motor kesayangan ku ini hilang bukan? Tempat yang aku tuju pertama kali adalah meja resepsionis. Kuhampiri petugas dengan wajah Cantik dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibir merah lipsticknya itu. Aku mencoba bertanya dimana ruangan Verdi dirawat.
“Permisi mbak” sapaku kepada petugas itu.
“Iya selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?”
“Begini mbak, teman saya yang bernama Verdi dirawat di
rumah sakit ini. Bisa saya tau ruangannya?” tanyaku pada petugas cantik tersebut.
“Sebentar ya, saya carikan datanya!” kulihat petugas itu mengotak atik computer yang ada di depannya tresebut.
TING
“Mas, dia dirawat di Ruang Asoka no 3”
“Owh begitu ya? Terima kasih ya mbak”
“Sama-sama”
Aku mulai mencari dimana kira-kira Ruang Asoka itu. Kudongakkan kepalaku untuk mencari plang penunjuk rung yang biasa ada di rumah sakit. Dan, Asoka menuju kearah …….. Kanan dari tempatku berdiri saat ini. Kulangkahkan kakiku menyusuri lorong Rumah Sakit yang temaram ini.
Ku lihat nomer yang ada di setiap atas pintu ruangan.
1, 2 dan…
Ini dia! Kuketuk pintu berwarna biru tersebut dengan perlahan…
TOK-TOK
“Masuk” Kudengar suara lirih dari dalam ruangan, yang dapat dipastikan adalah suara Verdi. Kuputar gagang pintu tersebut dengan sangat perlahan agar tak mengagetkan Verdi.
Kulihat Verdi yang tengah asyik memainkan laptop yang ada di pangkuannya. Dia tidak terlihat seperti orang yang habis kecelakan. Dia kelihatan baik-baik saja. Kuhampiri Verdi dan duduk di bangku dekat tempat tidurnya itu.
“Ver!” kusapa Verdi dengan sehangat mungkin.
“Ehhh kamu Riz? Aku kira tadi siapa!” Verdi sepertinya orang yang murah senyum. Dia selalu memberi senyuman hangat untukku. Senyum yang selalu dapat menggetarkan hatiku. Senyuman yang selalu kubawa dalam mimpi ku. Aku tau, aku baru kenal Verdi sehari. Tapi? Inilah yang kurasakan. Aku seperti mendambanya.
“Emmm, gimana keadaanmu? Kata Nina kamu kecelakaan. Terus kamu disini gak ada yang jagain?”
“Aku baik-baik aja kok Riz, aku sebenarnya juga gak kecelakaan kok! Aku disini emang sendiri.”
“Terus kamu yang bener kenapa? Mama sama Papa kamu kemana? Kok aku gak ngeliat.” aku penasaran, seharusnya kan kedua atau salah satu orang tua Verdi menjenguknya disini. Tapi mereka sepertinya tidak ada.
“Aku Cuma jatuh dari sepeda aja tadi. Dan itupun cuma lecet di kaki aja.Tadi mereka kesini tapi balik lagi. Katanya ada urusan pekerjaan di Surabaya. Mama aku aja tuh yang lebay bin alay. Baru jatuh dari sepeda aja di suruh ke rumah sakit.” Verdi mendengus sebal.
Huh, kalo tahu begini? Mungkin saja aku tidak akan menjenguk Verdi ke Rumah Sakit. Kalau diperhatikan sih dia memang tidak seperti orang yang baru saja kecelakaan. Kedua tangannya tidak satupun tertancap selang Infus. Dia juga tidak diperban.
“Terus kamu boleh pulang kapan?” aku berinisiatif untuk bertanya karena aku ingin dia cepat kembali ke sekolah.
“Sekarang juga boleh sih. Semua biaya perawatan udah ada yang atur. Tapi? Aku pulangnya naik apa?” Verdi memasang ekspresi layaknya sedang berfikir keras. Dahinya sedikit berkerut dan dengan mata yang terpejam membuat ekspresi wajahnya benar-benar terlihat lucu.
“Kamu udah bisa duduk biasa kan? Kalo udah, aku bisa anterin kamu naik motorku.” Tawarku pada Verdi. Kapan lagi coba bisa boncengin orang kayak dia.
“Boleh deh. Ya udah yuk. Kita pulangnya sekarang aja. Entar keburu malem” YES!!! Berhasil….
“Ya udah yuk. Aku bawain tas kamu ya?”. “Iya”
Kukemasi barang-barang Verdi. Mulai dari Handphone, Charger, Laptop, Dan sebuah tas yang lebih kecil dari tas sekolahnya yang aku pun tidak tahu apa isinya. Kulihat Verdi yang mencoba berdiri dari kasurnya. Huhhh… dia memang tidak apa-apa. Buktinya dia dengan mudah bangkit dari kasurnya.
“Ayo Riz!” ajak Verdi sembari memegang lenganku. Aku seperti merasa ada sesuatu yang menjalar dari tangan Verdi. Ahhh, sudahlah! Lupakan!
Aku dan Verdi berjalan beriringan sembari berbicara hal tidak penting. Kalau menurutku Verdi tipe orang yang asyik. Setiap kali aku melontarkan sebuah pertanyaan, dia pasti akan nyambung dan tidak lemot tentu saja.
Sesampainya di Parkiran kuambil kunci yang kutaruh di saku celana. Kukenakan Helm dan kustarter motor ku.
“ Riz, kamu bawa helm lagi nggak?” Owh ya, aku baru ingat kalau Verdi tidak bawa helm kesini. Kutarik lagi kunci motorku dan kumasukkan ke lubang di bawah jok motorku.
Kuambil sebuah Helm INK yang masih baru. Aku saja belum sempat memakainya.
“Nih!” kusodorkan helm tersebut pada Verdi. Dan dengan sangat pintarnya langsung ia kenakan dan menguncinya. Kunaiki lagi motorku dan menarik kunci tadi dan aku kembalikan pada tempat yang seharusnya. Tas Verdi tadi aku pakai di pundak sedangkan tas yang lebih kecil aku taruh di depan. Tanpa meminta persetujuanku, Verdi langsung naik ke atas motor. Dan langsung berpegangan pada pinggang ku.
Ya tuhan… Kenapa aku jadi gugup begini ya?
“Rizky? Ayo!” . “Ehhh, iya-iya.” Tanpa babibu lagi kutancap gas meningggalkan parkiran rumah sakit dan menuju ke Rumah Verdi.
***
Sesampainya di pagar rumah Verdi. Aku Terkejut dengan ukuran rumahnya yang sangat besar. Rumah bergaya Victoria klasik dengan cat warna putih yang menambah kesan mewah pada rumah ini. Ditambah lagi tiang-tiang besar yang menyangga balkon rumahnya, semakin menambah kesan megah rumah ini.
“Verdi, ini beneran rumah kamu?” tanyaku dengan rasa sedikit tidak percaya. Aku masih kagum dengan rumah sebesar ini.
“Iyalah, Kenapa? Jelek ya?” Whaaat? Rumah seperti ini dibilang jelek? Rumah ini bahkan lebih bagus dari kerajaan-kerajaan dongeng yang pernah aku lihat di televisi.
“Kamu bercanda? Rumah sebagus ini kamu bilang jelek?”.
“Rumah ini memang kelihatan bagus, tapi aku kesepian di rumah ini! Mama papa ku jarang di rumah. Mereka sibuk sama urusan Pekerjaan” Verdi kemudian tertunduk dangan ekspresi sedih. Ternyata, nasibku dan Verdi tidak berbeda jauh. Kita sama-sama membutuhkan kasih sayang, terutama dari orang tua.
Aku mendekat dan mencoba mengelus punggungnya. Aku mencoba untuk sedikit menenangkannya. Aku juga ikut merasakan kesedihan yang Verdi alami.
“Aku tau Ver. Aku juga ngalamin hal ini. Tapi aku bisa bertahan, dan kamu, juga harus bisa” Kuucapkan kalimat tersebut dengan sungguh-sungguh. Aku tidak ingin Verdi selalu merasa sendiri.
“Aku akan selalu ada buat kamu Ver!” . “Kamu serius?”
Kuanggukan kepalaku sebagai tanda persetujuanku. Kemudian Verdi mengacungkan jari kelingkingnya seperti,,,,,
“ Sahabat?” sahut Verdi tiba-tiba. Tunggu! Apa dia bilang? Sahabat? Bukankah ini terlalu cepat? Tapi sudahlah. Aku tidak ingin Verdi terus merasa sendiri. Aku akan selalu berusaha ada disisinya. Kukaitkan jari kelingkingku pada kelingking Verdi dan berkata…
“Sahabat” selesai aku mengucapkan kalimat itu. Aku mencoba menatap wajah Verdi. Pandangan kami saling beradu, DAN?
“DEG”
Aku Jatuh Cinta pada Verdi.
*** To Be Continued***
Maaf yah Guys kalo ada kata iklan di part ini. Habis mau gimana ya? Aku juga bingung! Hehehe
JAngan lupa komen ya guys! Aku BEner-bener pengen dapet koment dari kalian. Entah sekedar nyampah atau sekedar bilang lanjut…. TERSeRAAAhhh kalian.
Okay ….Bye-bye
Ahiauw…
aq blum brani bang.
iya bang, ini cerita real. emang gk smunya sih. 90% asli 10 % aq tmbahin biar seru.
@Gabriel_Valiant
@masdabudd
@tio_justalone
@kimo_chie
@cowok_pat1
@Aland_Herland
@asz_2468
@nega
@rifsipelangi
Jangan lupa komen lo ya!!!!!
***Lanjut***
Kini aku berbaring nyaman di sebuah kasur ukuran Queen size yang empuk. Ini jelas bukan kasurku, bukan pula di kamarku. Aku sekarang ada di rumah Verdi. Ya, aku berencana menginap disini.
Lagipula besok hari libur. Jadi tidak masalah kalau aku tidak pulang kerumah hari ini. Jika kalian bertanya Verdi dimana? Dia sedang ke dapur untuk mengambil minum dan makanan kecil.
Aku mulai menyusuri jengkal demi jengkal kamar ini. Dindingnya dicat biru sapphire yang sejuk. Sedangkan lantainya memakai marmer warna putih mengkilap yang sangat mewah. Dipojok kamar terdapat sebuah lemari super besar yang ukurannya hampir 2 kali lemariku di rumah.
Baru saja aku ingin beranjak dari tempatku berdiri.
Pintu kamar ini tiba-tiba terbuka. Sosok Verdi yang aku sukai eh ralat Aku cintai, masuk dengan membawa sebuah nampan berisi 2 gelas orange juice dan beberapa bungkus makanan ringan.
“Ehhh Riz, nih kamu minum dulu! Pasti kamu hauskan?” tanya Verdi sembari menyodorkan segelas orange juice padaku.
“Thanks ya Ver.” kuucapkan kata tersebut sembari tersenyum kecil yang langsung dibalas olehnya. Astaga, senyuman Verdi sepertinya lebih indah dari biasanya. Aku tidak tahu apakah karena aku sedang jatuh cinta atau apa, tapi yang jelas aku sangat menyukai dan mencintai apapun yang ada di dalam diri Verdi.
“Riz, sore-sore gini kayaknya seru deh kalo kita berenang. Badan aku gerah banget.” ujar Verdi sembari berniat membuka kaos. Nah lo? Sebelum dia sempat mebuka bajunya aku langsung menyelanya terlebih dulu.
“Tapi Ver, aku kan gak bawa baju ganti.”kulihat Verdi mengurungkan niatnya untuk membuka baju. Aku mencoba mencari alasan yang paling logis saat ini. Bukan berarti aku tidak bisa berenang loh ya? Aku hanya tidak mau “adikku” terbangun ketika melihat Verdi bershirtless ria. Kalau dia curiga bagaimana?
“Yaudah kalo nggak mau, tapi kita mandi bareng ya?” Mampus, gimana nih? Kalo dia curiga sama aku gimana?
“Gak bisa mandi sendiri?” aku terpaksa bangun agar Verdi tidak terus-menerus merecokiku.
“Ya bisa, tapi?” aduh, kenapa pakai digantung segala sih? Kenapa hamper semua orang suka sama yang bergantung? Kaya titit aja! Ups… Aku langsung saja bangun dari tempat tidur dan mendorong Verdi kearah kamar mandi yang sedikit terbuka. Kudorong dia hingga benar-benar masuk kedalam dan menutup pintu.
“Mandi sendiri aja ya? Owh ya, sabunnya jangan kamu abisin!” aku melontarkan candaan kecil agar aku tidak terlihat seperti orang yang terlalu serius.
“Iya-iya. Dasar bawel!” aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar ucapan Verdi. Huh… Kutarik nafas dalam-dalam untuk menyegarkan paru-paru ku. Hari ini adalah hari dimana aku merasakan yang namanya jatuh cinta. Hari dimana aku bisa merasakan indahnya jatuh cinta.
Terserah kalian jika ingin berkata kalau kisah hidupku seperti sinetron-sinetron di layar kaca. Tapi, inilah kenyataannya. Aku merasa bahagia.
***
Menikmati udara malam sembari bermain gitar adalah hal yang sangat suka kulakukan. Aku akan merasa sangat bebas jika dalam keadaan seperti ini. Aku bisa melepaskan seluruh kepenatan yang ada. Tapi kali ini ada yang berbeda!
Kalian tahu? Ya, aku tidak sendiri sekarang. Tidak juga di atas balkon rumahku.
Aku sedang berada di balkon rumah Verdi. Tentu saja aku bersama nya. Kami sudah sangat akrab sejak kami pulang dari rumah sakit. Kami benar-benar seperti sepasang sahabat yang sudah lama saling mengenal.
Padahal aku fikir baru kemarin pagi aku bertemu dengannya.
Tapi inilah kehidupan. Hal yang bagi sebagian orang harus dilalui dengan waktu yang lama. Bisa aku alami dalam waktu yang relatif singkat. Terima kasih Tuhan.
Kembali lagi ke tempat dimana aku berada sekarang. Aku dan Verdi sedang menyanyikan sebuah lagu dari Cassandra, Cinta terbaik. Verdi yang bermain gitar. Sedangkan aku yang bernyanyi.
Lagu ini sangat pas untukku. Lagu yang menggambarkan perasaan ku pada Verdi. Aku sebenarnya lebih suka dengan lagu Pujaan hati dari kangen band. Tapi, aku kan sedang bersama Verdi. Aku tidak berada jauh darinya. Ketika Lagu sampai di Reff. Tiba-tiba Verdi ikut bernyanyi.
“Meski, ku bukan yang pertama. Di hatimu, tapi? Cintaku terbaik untukmu. Meski, ku bukan bintang di langit. Tapi cintaku yang terbaik”
Oh God. Lirik lagu ini benar-benar bisa masuk ke dalam hati. Ditambah lagi kami, lebih tepatnya sih aku. Menyanyikannya dengan penuh perasaan. Ketika lagu berakhir barulah aku sadar bahwa dia, orang yang kucintai a.k.a Verdi. Mungkin, tidak akan membalas perasaan ku.
“Ver, aku mau tidur dulu boleh ya?” entah kenapa ada sebuah perasaan sakit di hatiku sekarang. Aku juga tidak tahu kenapa.
“Loh, kok buru-buru? Ini masih sekitar jam 8 lo!” ucap Verdi seakan mengingatkan ku. Aku tahu ini masih jam 8, tapi aku merasa lebih baik tidur sekarang.
“Nggak tau nih Ver. Aku udah ngantuk banget nih.” Aku mencoba mencari alasan yang paling masuk akal penyebab keinginanku tidur lebih awal. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah ini. Namun, kakiku terhenti ketika Verdi tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku.
“Ya udah deh. Aku ikut kamu aja” aku hanya bisa mengikuti keinginannya. Tidak mungkin kan kalu aku melarangnya tidur? Kami berdua pun melangkah masuk ke dalam rumah super megah dan masuk ke dalam kamar Verdi. Ku hempaskan tubuhku ke kasur yang super empuk ini. Yang tentu saja Verdi ikut berbaring di sebelahku.
“Riz, kamu nggak cuci muka dulu?” ku tolehkan kepalaku ke arah kanan dan melihat Verdi yang sedang menatapku sendu. Aku tidak tahu kenapa tatapannya berubah seperti itu.
“Nggak usah Ver. Aku udah ngantuk banget nih. Malem!” aku mencoba untuk menggeser badanku mendekat kearah Verdi dan menarik selimut. Aku tahu aku terlihat aneh sekarang. Jadi, biarkan!
“Ya udah kalo gitu, malem juga!” Verdi lirih tepat di telingaku. Hembusan nafas nya yang hangat seketika membuatku merinding.
Huuuuhhh… Kuhela nafas panjang hingga akhirnya mimpi pun menyapaku.
***
“Huaaaa” dasar Verdi kurang ajar. Orang lagi enak-enak tidur malah dicipratin pakek air. Kan kaget?
“Rasain! Makanya kalo tidur jangan kaya kebo! Udah, cepet bangun! Kita sarapan dulu. Bi Inah udah masakin kita tuh.” nada bicaranya seperti orang yang menasehati, tapi ekspresi wajahnya itu loh. Kayak orang ngehina. Dasar orang stress!!!
“Iya-iya. Dasar Bawel.” Ku jitak pelan kepalanya saat hendak memerciki ku air lagi dari gelas. Baru saja aku mau menjitaknya lagi, eh dia malah ngacir keluar dulu. Ku regangkan seluruh badanku layak nya orang selesai bangun tidur, kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Selesai mencuci muka, aku bergegas menuju kearah pintu kamar dan membukanya. Hemmm, aroma masakan yang sangat menggoda langsuk merasuk ke dalam rongga paru-paruku. Ku lihat Verdi sudah siap di meja makan yang ada di lantai dua. Kulangkahkan kakiku ke arah Verdi yang terlihat sudah tidak sabar untuk melahap makanannya.
“Kamu lama banget sih? Kamu tadi coli yah?” hah? Coli? Emangnya Coli itu apa sih?
“Coli emangnya apa’an?” sangat wajar menurutku jika aku bertanya demikian karena aku memang belum tahu.
“Aduh, gak jadi deh. Udah yuk, makan!” kemudian kami berdua larut dengan pikiran kami masing-masing. Kami tidak berbicara sama sekali.
Selesai makan kami langsung kembali menuju ke dalam Kamar Verdi.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kalau di rumah sih, palin Cuma main laptop sama hape. Tapi kalau disini?
“Riz, kita keluar yuk?” tiba-tiba saja Verdi membuka suara.
“Kemana? “ hemmm, kalau hari libur begini kayaknya seru deh kalo jalan-jalan.
“Ke Taman kota aja gimana?” seketika itu juga aku tersentak. Aku sudah berjanji bahwa seumur hidupku, aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku lagi disana. Tempat itu penuh dengan kenangan ku bersama dia.
Tempat itu....
*** To Be Continued ***
Gays setelah part ini, Porsi Fiksi dan real akan kuubah. 80% real dan 20% fiksi. Jadi jangan heran kalo setelah part ini berlanjut, cerita in I mungkin bakalan kayak drama. Owh ya, aku bakal sediain part SE(special edition) yang insya allah akan ku update di malam tahun baru.
Udah gitu aja. See you next!!!!!!!!!!
Ahiauw…
Ahiauw…
pengalaman pahit kayanya nih?
@rizky_27 mdh2an un nya sukses ya
dtggu aja ya?
aminnn.
Ahiauw...