It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Wah, makasih udah nyempetin baca. Makasih juga atas pujiannya. *sakau* Aku gak sehebat itu, kok. :$ InsyaAllah, next part bakalan bikin pembaca curious, itu pun kalau berhasil.
Sorry lama… Kalau mau unmention bilang aja, gak usah malu. Woles aja.
Happy New Year 2014 and Happy International Peace Day. Peace… -_-V
Komen dan kritik?
Hope you like it. (-_-“)
@callme_DIAZ
@diyuna
@farizpratama7
@inlove
@arieat
@Gabriel_Valiant
@ularuskasurius
@earthymooned
@Agova
Tamma
♫ Nada Kedua—Re
Aku melangkahkan kakiku menyusuri koridor gedung instrumen sambil menggenggam secarik kertas yang mampu membuat semangatku hari ini turun ke tingkat yang paling rendah. Ketika aku sudah sampai di depan kelas Aksel, aku segera melongokan kepalaku ke dalam kelasnya dan mendapati Aksel sedang sibuk mengobrol dengan teman-temannya, melingkari meja.
Begitu dia menyadari kehadiranku di depan pintu, dia bangkit berdiri dari bangkunya, lalu berbicara sesuatu kepada teman-temannya terlebih dahulu dan melangkah menghampiriku. Keningnya mengernyit bingung, begitu melihat wajahku yang benar-benar murung.
Saat ia sudah berdiri di hadapanku, aku tersenyum dengan dipaksakan kepadanya dan mengangkat kertas yang tadi kugenggam ke atas udara. Aksel mengambil kertas yang kuangkat itu, membuka rekatannya dan membacanya dengan khidmat. Beberapa detik kemudian dia hanya merespon dengan bergumam, “Oh…” Setelah itu ia mengembalikan kertas itu padaku, yang kuterima dengan tangan kiriku.
Aku melongo karena gumaman singkatnya. “Isshhh…” balasku lalu memutar bola mataku pelan. Apa tak ada respon yang lain? Yang lebih kaget, mungkin?
Aksel tiba-tiba meraih tanganku lalu menarikku menyusuri koridor yang tadi kulewati. Aku masih tidak tahu aku akan diajak ke mana olehnya ketika sedetik kemudian Aksel mengajakku memasuki sebuah ruangan. Ruang uji piano. Aku melihat sebuah grand piano berwarna putih yang diletakan di bagian depan ruangan.
Aksel duduk di depan piano itu, lalu menyuruhku duduk di sebelahnya masih dengan raut murung dan kebingungan. Setelah aku duduk di sebelahnya, aku bertanya padanya dengan kening berkerut, “Kamu untuk apa ajak aku ke sini?”
Aksel tak mendengarkan pertanyaanku. Dia malah membuka penutup tuts piano, lalu menekan-nekan tuts satu persatu secara berurutan dari ujung, seolah sedang ingin mengecek bunyinya. Hingga akhirnya jarinya terhenti di atas tuts bernada mi rendah.
“Jadi kamu murung gara-gara itu?” Akhirnya dia bertanya juga mengenai selembar kertas yang kutunjukkan padanya tadi, yang mampu membuatku murung.
Aku mengangguk. “Iya,” jawabku singkat sambil menatap wajahnya.
Setelah mendengar jawaban singkatku, jari-jari Aksel langsung menari-nari di atas tuts yang mengeluarkan nada-nada dari lagu yang tidak kukenal. Tapi indah. Sepertinya ia sedang memainkan musik pemanasan. Beberapa saat kemudian, jari-jarinya kembali berhenti. “Kamu akan ikut showcase itu?” tanyanya.
Yap, isi dari kertas yang tadi kugenggam serta kertas yang membuatku murung ini adalah pemberitahuan akan keikutsertaanku menjadi pengisi acara dalam acara showcase minggu depan. Alasan mereka—guru-guru—memilihku untuk ikut tampil dalam showcase adalah karena nilai ujian teori produksi suaraku mendapat nilai sempurna serta nilai tertinggi. Kalau tahu begini, saat itu aku akan langsung mengosongkan kertas soalku.
Sebenarnya, aku bisa saja menolak ikut serta dalam showcase yang ditonton oleh para orangtua pengisi acara itu, termasuk orangtuaku—berbeda dengan debut music concert yang dibuka untuk umum dan melalui audisi ketat untuk pengisi acara. Hanya saja, undangan showcase sudah disampaikan kepada kedua orangtuaku. Kalau saja mereka tahu aku menolak ikut serta dalam showcase ini, dapat dipastikan aku akan benar-benar habis dimarahi mereka berdua.
Hal yang paling membuatku takut adalah saat aku akan bernyanyi dalam showcase itu. Bagaimana kalau orangtuaku memarahiku? Bagaimana kalau orangtuaku dan para orangtua yang lainnya yang mendengarkanku bernyanyi, terkena penyakit telinga? Lalu, keesokan harinya seluruh dokter THT di Jakarta tiba-tiba akan kaya raya karena kebanjiran pasien hanya dalam satu hari. Gawat!
Parahnya lagi, dalam kertas itu disebutkan bahwa aku akan bernyanyi didampingi oleh iringan piano dari Aksel—peraih nilai sempurna serta nilai tertinggi dalam tes praktek piano. Aku agak bersyukur, sih, dengan permasalahan yang terakhir. Setidaknya aku akan terjebak bersama Aksel lebih lama karena kami harus latihan berdua dan tampil berdua selama seminggu penuh. Wah…
“Pastilah aku harus ikut,” sahutku pada akhirnya sambil terus memuramkan wajahku.
Aksel mengangguk-anggukan kepalanya pelan karena mengerti alasan kenapa aku harus ikut. “Kamu nanti siap atau tidak menyanyikan lagu…” Dia merebut kertasku lagi lalu matanya menelusuri kertas itu lekat. “Apa?! Astaga! Destiny’s Child? Stand Up For Love? Kamu akan menyanyikan ini?!” pekiknya kaget.
Aku semakin cemberut. “Iya, aku harus menyanyikan lagu itu. Tentu saja, aku tidak siap.” Aku kembali memutar lagu itu di kepalaku, karena aku sering mendengarkan lagu itu di iPod-ku. Memang indah. Dan sangat sulit. Sialnya, nadanya tinggi-tinggi, sekaligus rendah-rendah secara tiba-tiba. “Lalu bagaimana?” tanyaku kebingungan.
Aksel memasang raut sedih, seolah ikut berduka akan masalah yang menimpaku. “Kalau aku tak masalah memainkan lagu itu dengan pianoku. Tapi… kamu…? Apa kamu siap?” tanyanya lebih kepada dirinya sendiri. Huaaa… Aksel pun kebingungan.
Aku berdiri dari kursi piano lalu mengitari grand piano itu sekali seperti orang kebingungan dan hingga akhirnya aku hanya bisa menangkup wajah frustasi dengan kedua tanganku di atas badan piano. “Apa guru-guru tidak tahu, kalau suaraku jelek, ya?” gumamku. Sedetik kemudian aku sadar kalau aku memang belum pernah bernyanyi di hadapan guru-guru karena aku selalu kabur saat tes praktek. Bodoh sekali aku.
Aksel pun berdeham, membuatku langsung mengangkat wajah dan memandang wajahnya. Ia juga balas menatap wajahku. “Kita coba latihan saja,” ucapnya dengan nada menyerah.
“Hah?” pekikku kaget. “Kamu gila?!”
Aksel menghembuskan napasnya pelan-pelan, seperti sedang meredam emosinya. “Memangnya kamu punya solusi lain, ya, untuk masalah ini?” tanyanya padaku.
Aku diam tak berkutik atas pertanyaannya. Kalau dipikir-pikir, memang itulah satu-satunya solusi untuk memecahkan masalah ini, meski caranya sangat ekstrim. “Tidak ada cara lain,” ujarku lemah sambil menggelengkan kepalaku.
Setelah itu, jari-jarinya mulai menekan-nekan tuts-nya kembali. Aku awalnya tidak menyadari lagu apa yang dimainkannya, hingga akhirnya aku sadar kalau Aksel sedang memainkan lagu Stand Up For Love, tanpa partitur. Wah, hebat sekali! Aku mendengarkannya dengan khidmat sambil menutup mataku, meresapi setiap nada indah yang keluar dari setiap tekanan tuts dan jari-jari mahirnya, hingga aku merasa sedang terbang di hamparan rumput hijau yang begitu luas. Oke, itu berlebihan. Tapi, memang benar.
“Mulailah bernyanyi!” perintahnya tanpa mengangkat kepalanya dari tuts-tuts berwarna putih dan hitam itu.
“Tidak, ah!” sahutku.
Namun, pada akhirnya aku mulai bernyanyi dengan menggunakan suaraku yang jelek setelah mendapat pelototan tajam darinya.
Setelah latihan, iPhone-ku bergetar. Ada sebuah telepon, dari Bang Reno—manejer Bang Alto. Sepertinya ada suatu hal penting. Aku segera membuka telepon itu.
“Hallo, Bang? Ada apa?”
“…”
“Hitam putih? Acaranya Dedy Corbuzier itu?”
“…”
“Hehe, iya-iya. Kapan aku harus ke acara itu?”
“…”
“Oh, senin depan, ya. Hari minggu-nya aku ada showcase, jadi senin aku free. Aku harus ngapain aja di acara itu?”
“…”
“Kalau wawancara doang mah gak apa-apa. Mama sama papa juga bakalan ikut?”
“…”
“Oh, jadi kejutan buat Bang Alto, ya? Jadi aku masuk pas scene ke-tiga, gitu?”
“…”
“Gak perlu jemput aku. Aku bakal minta anter sama Aksel. Jalan Kapten Tendean, kan?”
“…”
“Iya-iya, Bang. Bye.”
Tepat hari ini, aku sudah latihan bersama Aksel selama lima hari. Itu berarti, aku masih harus latihan selama dua hari lagi hingga showcase dimulai. Menurutku, lagu yang kunyanyikan dengan menggunakan suara jelekku tidak ada bagus-bagusnya sama sekali, malahan membuat kesan lagu Stand Up For Love milik Destiny’s Child menjadi sangat-sangat buruk. Tapi, Aksel malah bilang suaraku bagus, dan lagu yang telah dipilih oleh para guru sangat cocok dengan karakter suaraku. Aku tahu, aku tahu, dia hanya menghiburku saja.
Sekarang aku sedang makan siang bersama Aksel di kantin gedung instrumen. Aku sedang mengunyah cumi sambal pedasku sambil memandangi Aksel yang sedang menikmati chicken-katsu miliknya. Aku mengurungkan kegiatanku memasukan sendok ke dalam mulutku ketika telingaku menangkap suara dehaman Aksel. Aku mengangkat wajah.
“Aku kemarin malam mendengarkan album baru kakakmu,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Suaranya benar-benar indah. Aku menyukainya,” lanjutnya.
Aku langsung cemberut mendengarkannya memuji Bang Alto. Entahlah, seperti ada sedikit rasa tak rela di ujung hatiku ketika mendengar hal itu dari mulutnya. “Kamu bisa menemuinya langsung kalau kamu mau,” sahutku, lalu meneruskan makanku. Entah kenapa, nada ketus terselip dalam nada bicaraku tadi.
“Kamu harus mendengarkan lagunya,” sarannya padaku.
Cih, dia tidak tahu! “Aku bahkan sudah mendengarnya dari sebelum dia merilisnya,” jawabku dengan mulut penuh. “Berkali-kali bahkan.” Aku memotong dan mengiris-iris cumiku dengan tenaga penuh, tenaga yang tiba-tiba datang entah dari mana. Setelah itu, aku mengoleskan potongan cumiku dengan banyak sekali sambal lalu memasukannya ke dalam mulutku.
“Kamu kenapa?” tanya Aksel, melihat keanehanku yang tiba-tiba.
Karena aku tidak menjawab pertanyaannya, dia malah menatapku lekat. Aku yang merasa terganggu dengan tatapannya yang tajam itu, terpaksa harus berhenti makan dan mendengus pelan seraya berkata, “Aku tidak apa-apa.”
“Bohong,” tebaknya dengan alis yang mengangkat sebelah, dan memang tebakannya tepat sekali.
Aku tidak mendengarkan perkataannya lagi setelah itu dan memilih meneruskan makanku dengan tenang. Setelah tak tersisa apa pun di piringku, aku mengambil es jeruk dan meminumnya setelah mengaduk-aduknya barang sebentar. Aku merogoh saku celana hitamku, mengambil iPhone-ku dari dalamnya lalu memainkan game Clash of Clans—dan meng-upgrade storage emas dan elixir-ku, sambil menunggu Aksel menyelesaikan makannya. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk.
From: Bang Alto
Abang bakal dateng ke showcase kamu. Barengan ayah sama mama.
Setelah membaca pesan itu, dengan gerakan cepat, aku membalas pesannya.
To: Bang Alto
Please, Bang, jangan datang. Jangan repot-repot. Kalian sedang sibuk, kan?
“Bass!” panggil Aksel, yang kujawab dengan gumaman karena Bang Alto langsung membalas pesanku.
From: Bang Alto
Memangnya kenapa? Kalau Abang sih gak ada acara. Tapi ayah sama mama kayaknya ngebatalin acara mereka demi nonton kamu.
To: Bang Alto
Gak ada apa-apa. Makasih udah nyempetin datang.
Setelah itu tak ada balasan lagi. Sejujurnya aku tidak benar-benar berterimakasih kepada mereka semua karena telah bersedia menyempatkan datang untuk menontonku dalam showcase. Justru aku tidak ingin mereka semua datang. Bagaimana kalau mereka semua mendengarku bernyanyi di showcase itu, dan… dan…
“Bass!” panggil Aksel. Sekarang dia menambahkan nada kesal dalam panggilannya.
“Eh, apa?” sahutku. Aku memasukan iPhone-ku ke dalam saku kemejaku.
Aksel mengerutkan keningnya. “Kamu kenapa, sih? Tadi, kamu tiba-tiba kelihatan kesal saat sedang makan. Sekarang kamu malah tidak mendengarkan panggilanku,” sungutnya. Lho, sekarang kenapa dia yang jadi kesal?
“Aku tidak apa-apa,” jawabku dengan senyum lebar agar dia tidak memperpanjang lagi sungutannya. “Jangan marah, dong,” bujukku.
Aksel memejamkan matanya sesaat sambil menganguk pelan, lalu membuka matanya kembali. “Eh, sore ini kita jadi membeli baju untuk tampil di showcase besok, kan?” tanyanya sambil meminum sodanya sedikit demi sedikit.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Memang benar, kami berdua rencananya akan membeli pakaian untuk penampilan kami di showcase keesokan harinya. Kalau aku sih, ingin membeli pakaian couple untuk kami berdua. Aku tiba-tiba tersenyum kecil ketika membayangkan kami berdua akan memakai pakaian yang sama di atas panggung. Wah…
“Ya sudah. Kamu sudah selesai makan, kan? Ayo kita latihan lagi,” ajaknya lalu berdiri dari kursinya.
“Itu jelek!” sahutku sambil memelet. “Lebih bagus yang ini!” Aku menunjukan kemeja berwarna beige bermotif dengan sebelah tanganku kepada Aksel. “Terus, celananya cocok yang ini.” Sekarang giliran tanganku yang sebelah, menunjukan sebuah celana chino berwarna tidak terlalu putih—agak abu—padanya. Cocok!
“Apaan? Kamu tidak punya selera yang bagus, ya?” Jleb. “Ini baru bagus!” serunya, sambil tangannya mengangkat kemeja biru muda dan sebuah celana jeans hitam agak luntur. Ih, sebenarnya siapa sih yang tidak punya selera?
“Aku mau yang ini!” ucapku dengan nada tinggi, mempertahankan pendapatku.
Aksel tak mau kalah. “Aku mau yang ini!”
“Baju yang kamu pilih itu jelek! Kamu yang tidak punya selera!” Aku memutar bola mataku.
Aksel menatapku dengan alis terangkat sebelah lalu menyimpan baju dan celana yang dipilihnya tadi kembali ke rak pakaian. Dia memandangku dengan tatapan kesal, lalu berseru, “Terserah!” Setelah itu ia pergi meninggalkanku.
Bersambung ke ♫ Nada Ketiga—Mi …
lebih menarik dari part awal
okesip lanjut ke MI. Can't wait!
Keluarin?
Haha, iya. Aku baru nyadar kalau itu rumpik banget. (-_-")
Mau apa?
Sorry lama… Kalau mau unmention bilang aja, gak usah malu. Woles aja.
Sorry lama, updatenya.
@callme_DIAZ
@diyuna
@farizpratama7
@inlove
@arieat
@Gabriel_Valiant
@ularuskasurius
@earthymooned
@Agova
@babybrow
Tamma
♫ Nada Ketiga—Mi
“Ah… yesss…”
“Ck, ahhh…”
Bulu kudukku berdiri dan meremang tanpa kuperintah saat telingaku mendengar suara itu. Jari-jariku bergerak cepat dan lincah di atas kancing kemeja berwarna beige yang akan dipakai oleh Aksel—kemeja yang kami debatkan kemarin lusa saat membelinya—dan mengancingkannya. Aku mendongakkan kepala menatap wajah Aksel yang berkerut tajam menatapku, seolah menyuruhku bekerja lebih cepat.
“Issshhh, iya bentar, Sel. Sedikit lagi.” Aku semakin cepat mengancingkan semua kemeja Aksel yang masih belum terkancingkan.
“Ah… yesss…”
“Ck, ahhh…”
E-eh, kalian jangan berpikir yang tidak-tidak! Desahan itu suara desahannya Bruno Mars! Sungguh, percayalah! Kalau kalian tidak percaya, coba dengarkan lirik berikutnya…
“Run run run away, run away baby!”
“Before I put my spell on—”
Aku mematikan lagu Runaway Baby dari Bruno Mars setelah aku selesai mengancingkan seluruh kancing yang ada pada kemeja Aksel. Lagu itu memang kugunakan untuk deringan sebagai tanda bahwa ada sebuah panggilan masuk yang menyambangi iPhone-ku—sebelumnya aku lebih suka memakai mode getar. Jadi, berhenti berpikir yang tidak-tidak, oke? Yah, meski aku tetap sedikit berharap… berharap…
Skip, oke?
Mengenai kenapa aku bisa mengancingkan kancing kemeja Aksel, itu terjadi karena saat dua hari yang lalu, telapak tangan kirinya terkena luka bakar akibat tersiram air panas saat ia akan menuangkan air panas pada Good Day-nya. Hanya luka bakar ringan, sih. Tetapi, hal itu membuat kami berdua harus membatalkan latihan terakhir kami dan terpaksa tidak mengikuti GR terlebih dahulu. Tetapi, meski kami melewatkan GR, kami tetap ikut check sound tadi pagi.
Sebenarnya, aku sudah melarang Aksel untuk ikut showcase mengingat kondisi tangannya, tapi dia bilang tangannya sudah sembuh. Aku tahu, aku tahu, dia memaksakan dirinya. Aku yakin sekali tangannya pasti masih terasa sakit jika menyentuh tuts-tuts piano yang berwarna hitam-putih itu.
Oh, iya. Soal bulu kuduk yang berdiri dan meremang tadi itu terjadi karena ada sebuah panggilan masuk—yang sampai saat ini belum kuangkat, bahkan aku menutupnya—yang berdering terus-terusan. Bagaimana tidak merinding, orang yang meneleponku adalah ayahku! Oleh karena itulah, tadi Aksel menyuruhku untuk cepat-cepat mengancingkan kemejanya dan segera mengangkat teleponku.
“Cepat angkat! Itu panggilan dari ayahmu, bukan?” tanya Aksel setelah desahan—eh, lagu—Bruno Mars itu kembali terdengar.
Aku menatap matanya, seolah meminta pertolongan. Setelah itu, aku hanya bisa mendesah lemah setelah mendapatkan tatapan tajam lagi darinya. “Iya-iya,” kataku pada Aksel dengan malas sambil mengangkat telepon dari ayah. Aku menaruh pantatku di salah satu kursi yang menganggur di sebelahku.
“Hallo, Yah?”
“…”
“Maaf, Yah. Tadi… tadi… aku sedang briefing… jadi aku menutup telepon ayah…” Hebat! Bahkan aku berbohong.
“…”
“Ke backstage? Buat apa?”
“…”
“Oh, boleh. Tentu saja.”
“…”
“Aku menyanyi urutan ke-tiga dari terakhir. Masih dua jam lagi.”
“…”
“Apa?! Ayah sudah di sekolah?!”
“…”
“Oh, auditoriumnya ada tepat di belakang aula tengah.”
“…”
“Dari sana tinggal belok kiri.”
“…”
“Ya, sudah. Dah…”
Aku menutup teleponnya.
Mataku kembali menatap wajah Aksel yang terlihat risau sekali. Aku tahu sekali dia ingin mengetahui percakapanku dengan ayah. Jadi, aku segera menjelaskan bahwa, “Ayah bilang mereka semua—keluargaku—mau mampir dulu ke backstage, katanya mau semangatin aku. Sama… mau ketemu kamu dulu.”
Aksel mengerutkan keningnya. “Ketemu aku? Buat apa?”
Aku mengangkat kedua bahuku malas. “Entah.”
Aku menatap jarum detik jam dinding yang terus berputar ke arah kanan, bergerak lambat-lambat seolah sedang menertawakan dan mengejek aku yang merasa benar-benar takut dan gugup. Tinggal menunggu jarum jam dinding itu mengitari jam tersebut dua kali putaran—dua jam lagi, maka… habislah riwayatku!
“Bass!”
Aku segera menengokkan kepalaku ke arah pintu backstage yang terbuka ketika mendengar sapaan dari orang yang sangat-sangat kukenal: Bang Alto. Tepat di belakangnya, ayah dan mama berjalan berdampingan sambil mengulas senyum ramah pada setiap orang yang mereka temui.
Bang Alto langsung berbasa-basa yang sudah pasti basi pada Aksel setelah sebelumnya menyalami tangan Aksel yang kelihatan benar-benar canggung. Yah, bertemu orang yang disukai memang selalu begitu—canggung, bukan? Huh. Kentara sekali raut wajah Aksel yang benar-benar terlihat canggung. Dan, aku benci raut wajahnya itu. Kenapa dia tidak bersikap biasa saja, sih?
Aku menampilkan senyumanku kepada ayah dan mama, yang… juga ternyata lebih memilih untuk menghampiri dan menyalami Aksel, terlebih dahulu—atau mungkin mereka memang tidak berniat melakukan hal itu padaku. Melihat kedua pemandangan itu, entah kenapa membuat dadaku serasa sesak. Aku menundukkan kepalaku menatap ujung sneakers-ku yang terasa sangat cocok untuk menendang pintu backstage sekeras-kerasnya.
Aku menghembuskan napas berat ketika melihat mereka semua mengobrol seperti keluarga yang baru saja dipertemukan kembali. Aku mengerucutkan bibirku ketika melihat Bang Alto sialan itu mengelus-elus punggung Aksel dengan lembut dan halus. Sedangkan Aksel hanya menatap wajah Bang Alto dengan pandangan yang berbinar. Aaarggghhh!
Aku langsung melangkahkan kakiku keluar backstage, karena aku tidak ingin membuat kakiku yang terbalut sneakers ini bergerak sendiri sehingga harus menendang-nendang pintu backstage. Tidak, aku tidak ingin melakukan perbuatan bodoh dan sia-sia itu.
Aku berjalan tak tentu arah akibat rasa terganjal yang menutupi lubang menganga di dadaku. Hingga tanpa sadar, aku sudah berada di lorong gedung vokal yang keadaannya remang-remang saat malam hari seperti ini. Sambil berjalan, aku mengingat-ingat kejadian yang terjadi selama tiga bulan ini sudah kulakukan di tempat ini. Hebat, baru saja aku sekolah tiga bulan di sini, aku sudah akan mengacaukan segalanya.
Aku mengingat semuanya kembali. Ketika aku pertama kalinya berkenalan dengan Aksel. Ketika pertama kalinya aku mendengarkan permainan piano dari Aksel. Ketika aku harus pergi ke rooftop untuk menghindari ujian praktek vokalku. Aku mulai tersenyum kecut. Seharusnya aku tidak pernah menghindari masalah yang menimpaku dan seharusnya juga aku menghadapi masalahku itu, seberat apa pun itu. Seperti semua orang bilang, masalah ada untuk dihadapi, bukannya dihindari. Bukankah begitu?
Mataku beralih melihat ruangan kelasku. Aku tersenyum kecut, lagi. Sebenarnya keinginan terbesarku tiga bulan yang lalu adalah aku ingin sekali masuk sekolah formal. Menikmati kebersamaan dengan teman: bercanda, mengerjakan tugas, dan belajar olahraga. Bukannya seperti ini, bernyanyi dan terus bernyanyi. Huh. Ini bukan aku.
Aku melangkahkan kakiku menuju kelasku yang bercat abu-hitam itu, lalu mengamati seisi kelas yang dipenuhi dengan meja dan kursi, saat malam hari melalui jendela kaca. Tiba-tiba, firasatku menjadi buruk. O-oh.
Aku tidak berani melihat ke bawah, saat merasakan sebuah tangan kecil menggoyang-goyangkan celana chino-ku secara horror. Jantungku berdebar-debar kencang, seolah tubuhku sedang kelebihan dosis parasetamol. Bodohnya, aku malah sempat-sempatnya melihat jam tanganku, tepat pukul tujuh malam. Saat-saat seperti inilah tuyul-tuyul biasanya berkeliaran.
Tanganku bergetar. Aku takut sekali… Pikiranku mulai melantur kemana-mana seiring dengan makin kerasnya goyangan di bagian betis celana chino-ku. Ya Tuhan, kalau aku memang harus mati saat ini, tolong jangan biarkan tuyul sialan ini yang membunuhku, aku mohon…
“Eoh?”
Eh, suara anak kecil?
Perlahan-lahan, secara takut-takut, kepalaku mulai tertunduk melihat ke bawah. Aku menghembuskan napasku lega sambil memegangi dadaku yang terasa kaku akibat debaran hebat tadi. Ternyata yang memegangi celana chino-ku adalah seorang anak laki-laki—yang sepertinya masih berumur kurang dari lima tahun—bukannya tuyul yang kutakutkan. Yang membuatku tersenyum lebar dan merasa senang sekali adalah…
“Astaga~ Wajahmu lucu sekali…” pekikku sambil jongkok untuk mensejajarkan tinggi badanku dengan anak laki-laki tadi dan mencubit pipinya yang putih, mulus, dan menggemaskan. Wajahnya yang lucu dapat membuatku melupakan masalahku sejenak. “Siapa namamu?” tanyaku penasaran.
Oke, aku memang sangat suka anak kecil, apalagi kalau wajahnya lucu seperti anak ini. Tetapi, catat baik-baik, kalau aku itu bukan pedofil. Kalian percaya, kan? Euh, ya sudah kalau kalian tidak percaya. Terserah!
Anak laki-laki bermata cokelat dengan garis tipis kehitaman di bagian luar irisnya itu malah sibuk menjilati rainbow-lollypop berukuran besar dengan lidahnya, dan sama sekali tidak mempedulikan pertanyaanku tentang namanya—atau bahkan mungkin dia menganggapku tidak ada. Padahal, aku yakin sekali kalau anak ini tersesat dan merasa takut sekali, sehingga menarik-narik celana chino-ku tadi.
Aku tersenyum lebar dengan pandangan menjahili. “Yak, ya sudah kalau tidak mau jawab! Aku pergi dari sini, otte?” rutukku sambil berpura-pura marah.
Aku pun berpura-pura membalikkan badanku dan bersiap pergi lalu… HAP! Anak laki-laki itu mencengkeram kemeja beige-ku dengan kuat sekali. Aku langsung membalikkan badanku sambil tersenyum puas. Sudah kuduga, anak kecil memang gampang sekali dibodohi. “Jangan pelgi…” rengeknya sambil menunjukan raut wajah ketakutan. “Nama aku… Al.”
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku pertanda mengerti. Nama yang bagus. “Jadi… Al… kenapa kamu bisa berada di sini sendirian?” tanyaku sambil melepaskan cengkeraman tangannya di kemejaku lalu beralih menuju puncak kepalanya yang tertutupi rambut tebal dan mengusapnya lembut.
“Tadi aku pengin main-main kelual dari rumah gede yang banyak olangnya itu—eh, kulsinya juga banyak. Aku kila mama sama papa ngikutin aku dali belakang. Eh, waktu aku liat ke belakang malah gak ada siapa-siapa. Telus aku liat ada olang yang kayak olang gila. Aku langsung sampelin olang itu, pengen minta tolong. Aku pengin pulang,” paparnya dengan kecadelannya. Duh, anak ini ternyata cerewet sekali. Tapi tetap saja, lucu…
Eh, lalu… tadi dia bilang apa? Orang yang kayak orang gila? Itu aku? Aku langsung menyatukan kedua alisku. “Tadi kamu bilang kamu ketemu orang yang kayak orang gila. Terus orang yang kamu maksud itu siapa?” tanyaku, berpura-pura tidak tahu, padahal aku sudah tahu sekali kalau orang yang tadi anak ini maksud adalah aku.
“Kakak,” tuduhnya dengan mata yang polos dan suara yang datar. Matanya menatapku seolah dia tidak pernah melakukan sebuah dosa. Setelah itu, ia kembali menjilati lollypop besarnya—yang sepertinya tak akan pernah habis-habis.
Aku memasang raut wajah marah dan kesal, berniat mejahili anak ini lagi. Aku langsung berdiri lagi dari posisi jongkokku. “Kamu menganggapku orang gila? Ya sudah. Aku tidak akan menolongmu!”
Yang tak kukira adalah, dia tidak menarik lagi kemejaku atau celana chino-ku, tapi sekarang dia malah… menangis! Astaga. Benar-benar merepotkan. Aku segera merangkul dan mengangkat tubuhnya—hm, yang agak berat—sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan. Tak lama kemudian tangisannya tiba-tiba berhenti. Huh, dasar, air mata buaya!
Aku menatap matanya yang masih berkaca-kaca. “Jangan nangis lagi, otte?” tanyaku tepat di depan wajahnya, yang hanya dibalas dengan anggukan kepala yang pelan. “Jadi, kamu mau langsung ketemu orangtuamu atau jalan-jalan dulu bersamaku?” tawarku padanya, mengingat penampilanku di showcase masih beberapa jam lagi.
“Kakak gak akan culik aku, kan? Kalau gitu kita jalan-jalan dulu…” jawabnya polos sambil tak lupa menjilati lollypop-nya.
“Siapa bilang aku gak akan culik kamu?” tantangku. Aku tersenyum sinis dan horror.
Anak kecil itu memanyunkan bibirnya yang merah dan basah. Oh, ayolah, aku tidak nafsu sama sekali dengan bibir itu. Aku hanya gemas saja. “Kakak kan olangnya baik, pasti gak akan culik aku,” ujarnya polos.
Aku tersentak atas jawabannya. Aku? Baik? Aku yakin sekali anak ini sedang membual sekarang. “Baik apanya? Nih, aku ini orang jahat,” kataku sambil mengayunkan tubuhnya ke atas-bawah dan kiri-kanan, mencoba membuatnya menangis kembali. Bukannya ketakutan, anak itu malah tertawa terpingkal-pingkal dengan perlakuanku.
Setelah selesai mengayunkan tubuhnya—karena aku capek—, anak itu langsung mendekap leherku dengan erat, membuat sebagian lollypop-nya yang lengket menyentuh rambutku. Huh. “Ayo jalan-jalan, di sini gelap…” rengeknya sambil terus menyembunyikan wajahnya di pundakku.
Setelah tak tahan mendengar rengekannya, aku membawanya keluar dari gedung vokal dan mengajaknya bermain di taman pusat. Aku sempat membuatnya menangis beberapa kali saat bermain, tapi setelah itu aku membuatnya kembali tertawa senang. Setelah bermain selama lebih dari setengah jam—anehnya, lollypop besarnya belum habis juga; aku berniat untuk membawa anak ini kepada orangtuanya—yang mungkin sedang merasa cemas saat ini.
“Sudah bermain-mainnya, otte? Kita lakukan lain waktu saja.”
Anak itu menurut saja, meski terlihat jelas sekali raut kelelahan dan… sedih. Mungkin dia sedih karena merasa akan berpisah dengan seorang kakak yang tampan sepertiku. Yah, lsorry, Lex, sepertinya akan sulit sekali bagimu untuk menemukan orang sepertiku lagi di dunia ini. (sumpah, TS-nya aja udah kena muntaber gini… (-_-“))
Setelah sampai kembali di auditorium, aku langsung mencari MC alias master of ceremony—yang sudah kukenal, karena dia salah satu temanku di kelas—yang berada di backstage, lalu menyuruhnya untuk melakukan pengumuman mengenai anak hilang saat break nanti kepada semua undangan showcase.
Aku menunggu selama lebih dari lima belas menit, menunggu temanku itu melakukan tugasnya. Hingga akhirnya orang yang mengaku sebagai orang tua Al datang juga menghampiriku. Aku segera menurunkan Al dari pangkuanku. Melihat Al segera berlari kencang menghampiri kedua orang itu sambil tertawa-tawa, aku yakin sekali kalau mereka berdua adalah orangtuanya. Setelah berbasa-basi sebentar, ayahnya Al langsung mengeluarkan dompetnya dari saku belakang celananya. Oh, aku tahu.
“Tidak usah, Pak,” tolakku halus sambil mengulas senyuman. “Lagipula Al sudah menghibur saya.”
Beberapa detik kemudian mereka semua pamit, tapi terhambat ketika Al berontak dari pangkuan ibunya—meminta turun. Al malah berlari ke arahku dan memeluk erat pinggangku meski hanya sebentar. Setelah itu, ia mengangkat kepalanya ke atas, ke arahku, sambil tersenyum lebar.
“Jangan sedih, otte?” Aku terhenyak. “Kakak lucu sekali kalau tertawa.” Cih, dia membual lagi. “Semangat, ya! Jangan banyak masalah!” Aku mengerutkan keningku. Apa terlihat jelas sekali kalau aku sedang sedih dan banyak masalah, ya? Ckckck, lagipula, anak ini cara bicaranya tiba-tiba seperti orang dewasa saja. “Lollypop mau?” tawarnya padaku dengan tatapan polos dan tangan yang terulur kepadaku.
Aku tertawa sambil menggelengkan kepalaku geli—sebagai tanda penolakan, lalu menggerakkan lenganku dan meraih tubuhnya serta memeluknya sebentar. Aku menatap kepalanya. “Ya sudah. Terima kasih wajangannya, anak kecil. Kembali ke orangtuamu sana!” usirku. Al langsung berlari sambil menubruk orangtuanya lalu melambaikan tangannya padaku lagi. “Dah!”