It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Oh, iya, kalau mau komentar yang berisi kritikan tentang cerita ini, ya… silakan saja. Gak perlu pake pujian-pujian dulu juga gak apa-apa. Woles aja. Gue gak akan marah—kalau di FFN justru lebih parah kritikan reviewer-nya, soalnya masih banyak yang menentang story about yaoi. (-_-“) Kalau di BF ini kan ‘aman-aman’ aja. Jadi, saya minta kritik, komentar, dan sarannya, otte?
Aku tersenyum kecil. “Kalau gugup… jujur saja, aku merasa gugup sekali. Tetapi, seseorang bilang… aku harus semangat,” ucapku dengan mata yang menerawang, mengingat anak tuyul—eh, anak manusia—dengan lollypop tadi.
Aksel membalas senyumanku sambil menatap jam tangan yang melekat pada pergelangan tangannya. Penampilan kami berdua di showcase tinggal menghitung beberapa menit lagi. “Yah, kamu memang harus semangat. Kita berdua. Semoga saja penampilan kita tidak buruk-buruk amat.”
Aku mengangguk-anggukan kepalaku pertanda setuju serta tersenyum asimetris. “Yah, semoga saja.”
Meski volume earphone-ku sudah terpasang pada skala yang paling tinggi, tetapi tetap saja telingaku dapat mendengar suara Aksel yang terus memanggilku, “Bass! Kamu kenapa?!”
Aku membuka mataku perlahan sambil menghembuskan napasku berat serta perlahan. Tanpa terasa, setetes air mata tiba-tiba terjatuh dari kedua bola mataku saat aku memalingkan wajahku pada Aksel yang sedang memfokuskan matanya ke depan dengan kedua tangan memegang setir. Memalukan, anjir. Tangan kananku segera bergerak cepat menghapus air mata itu, sebelum Aksel dapat melihatnya.
“Bass, kamu kenapa?” tanyanya sambil memalingkan wajahnya padaku sekejap, lalu kembali fokus pada jalanan yang tampak lengang saat tengah malam. Aku tersenyum kecil saat melihat raut wajahnya yang khawatir. “Jangan dipikirkan terlalu keras soal tadi. Nanti kamu malah stres sendiri,” lanjutnya.
Aku menganggukkan kepalaku pertanda setuju dengan nasehatnya. Jujur saja, aku tidak terlalu memikirkan soal showcase tadi. Yang kupikirkan saat ini adalah, bagaimana reaksi ayah—dan keluargaku—saat aku pulang nanti? Kecewa? Marah? Malu?
Saat setengah penampilanku tadi saja, ayah, mama dan Bang Alto langsung pulang begitu saja tanpa menungguku menyelesaikan Stand Up For Love-ku yang benar-benar mengerikan. Tak ada dukungan sama sekali dari mereka. Bukannya keluarga ada untuk mendukung anggota keluarga yang lainnya? Bahkan ada banyak sekali penonton yang menutup telinganya saat aku menyanyikan lagu itu. Tak ada tepuk tangan sama sekali. Yang ada hanya tatapan menghakimi dan tatapan menyudutkan. Bagiku, itu sangat… menyakitkan.
“Sudah sampai,” kata Aksel, menyadarkanku dari lamunanku mengenai showcase-ku yang benar-benar hancur. Ya, Tuhan. Hal ini memang sudah dapat kuperkirakan sebelumnya. Tetapi, tetap saja, aku tetap tidak siap dengan hal ini. “Besok kamu jadi ke Hitam Putih, kan? Aku antar kamu jam berapa?” tanyanya saat melihatku masih mematung.
Aku melepaskan earphone-ku dari telinga lalu memasukan iPod-ku ke saku kemeja depanku sambil tak lupa tersenyum kecut pada Aksel. Mengingat penampilan burukku tadi, mungkin saja besok aku tak akan pergi ke Hitam Putih. “Entah, nanti aku akan beri tahu.” Aku melepaskan sabuk pengamanku. Setelah itu, aku mendorong pintu Brio milik Aksel. Sebelum menutupnya kembali, aku sempat melongokkan wajahku ke dalam, memandangi wajah tampan Aksel yang masih memperhatikanku. “Terima kasih untuk hari ini dan hari-hari kemarin. Aku tak tahu harus bagaimana tanpamu.” Aku tersenyum lebar. “Oh, iya. Permainan pianomu tadi bagus sekali. Sayangnya, hal itu dihancurkan oleh suaraku yang mengerikan. Maafkan aku. Pasti orangtuamu akan marah, ya?”
Aksel menggaruk keningnya yang aku tak tahu gatal ataukah tidak. “Tak apa. Orangtuaku tak akan marah.” Setelah itu, ia menampilkan senyum di bibirnya merahnya yang kelihatan agak kering itu. “Ya, sudah. Selamat malam. Kuatkan dirimu,” ucapnya sambil menepuk bahuku sekali.
“Ya. Selamat malam. Hati-hati di jalan,” kataku sambil menutup pintu mobilnya.
Aku mengamati mobilnya yang berjalan menjauhiku hingga berbelok di ujung blok. Aku membalikan tubuhku, menatap rumah besarku yang pastinya akan terasa seperti neraka hari ini, dan mungkin hari-hari selanjutnya. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju dua pintu kayu yang tertutup rapat. Tubuh dan pikiranku benar-benar terasa sangat lelah. Setelah berada di depan pintu kayu yang bercat putih itu, aku mendorongnya pelan. Tidak terkunci, ternyata.
Aku mengedarkan pandanganku ke seisi ruang tamu dan mendapati seluruh keluargaku tengah duduk di sofa dengan raut wajah yang tak dapat kuartikan. Kulihat ayah berdiri dari sofa. Aku mendekatinya sambil memasang senyum rapuh yang memperlihatkan kondisiku saat ini. Saat aku akan meraih pinggang ayah untuk memeluknya dengan kedua tanganku, tiba-tiba—
PLAK!
Bersambung ke ♫ Nada Keempat—Fa …
Oh, iya. Awal part nada ketiga—mi ini agak dipaksain dengan adegan desahannya Bruno Mars, tapi itu request-annya si Karina. Jadi jangan salahin gue, ya. Salahin aja ntu orang. Dia pengen nipu orang banyak, katanya. Terus tentang si Al anak tuyul cadel itu, itu juga request-annya si Karina. Dia seneng banget sama anak kecil cadel, katanya. Hihi, jadi nada ketiga—mi ini penuh sama hal gak penting buat kalian. Tapi, penting banget buat Karina, hihi. Dan penting buat gue juga, tentunya, wkwk. Sorry, cyak!
E-eh, tapi sesuatu yang gak penting itu bisa dimanfaatkan buat lain waktu, bukan? #KODE
Steady mobbin, cyak!
Tamma
Kalo untuk cewek ia rendah, tapi untuk cowok alto nada paling tinggi bro, di padus dulu sempet gabung di grup alto
Monggo, naik ke nada selanjutnya..