It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tamma
♫ Nada Pertama—Do
“Kamu sedang apa?”
Aku mengangkat kepalaku ke atas begitu mendengar pertanyaan yang berasal dari suara yang terdengar agak dingin itu. Oh, Aksel? Aku melongo menatap wajahnya karena terlalu kaget dengan keberadaannya di sini saat jam pelajaran sedang berlangsung. Hingga akhirnya aku langsung tersadar. Dengan cepat, aku menutup manga yaoi yang tadi belum selesai kubaca lalu menyembunyikannya di balik sweater merah tanpa lenganku yang berlogo Postlude Music High School pada bagian dada kirinya.
“Itu tadi apa, Bass?” tanyanya penasaran.
Aku jelas gelagapan, sehingga terlebih dahulu harus menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal karena saking gugupnya. “Bu-bukan apa-apa, Sel,” bohongku, pada akhirnya.
Aksel mengernyitkan keningnya, menatap wajahku tak percaya. Tetapi kernyitan di keningnya itu tak berlangsung lama karena telah luntur beberapa saat kemudian, digantikan oleh senyum tipis di bibirnya. Aku menghembuskan napasku lega. Aksel selalu begitu, tak pernah memaksaku untuk bicara, kalau memang aku tak mau bicara saat itu.
“Kamu sedang apa di sini?” tanyanya lagi, lalu duduk di bangku yang berada di sampingku.
Aku membasahi bibirku karena sudah dibiarkan kering terlalu lama. “Kamu tahu sendiri, kan. Kalau aku malas ikut tes praktek. Jadi aku kabur ke sini.” Cengiran kecil menghiasi bibirku. “Lha, kamu sendiri kenapa bisa ada di sini?” tanyaku, karena aku juga kaget dengan keberadaan Aksel di rooftop gedung vokal ini. Bukankah kelas Aksel berada di gedung instrumen, ya?
Bodohnya, dia malah membalas cengiranku. “Aku orang pertama yang menyelesaikan tes praktek pianoku tadi, jadi aku diperbolehkan keluar kelas,” ujarnya. Tangan kanannya mengeluarkan dua batang Cadburry dari dalam saku kemeja putihnya yang tertutupi oleh sweater merahnya. Setelah itu ia menyerahkan sebatang padaku, yang kuterima dengan senang hati. Sambil membuka bungkus cokelatnya, ia bertanya, “Kamu harusnya ikut tes praktek apa hari ini?”
Aku ikut membuka bungkus cokelatku dan membuang bungkus itu ke belakangku secara sembarangan, lalu menggigit ujungnya dan langsung melumer dalam rahangku yang bersuhu panas. “Harusnya aku ikut tes produksi suara hard sama soft palate (langit-langit keras dan lunak) tadi.” Sesekali aku menjilati cokelat dengan lidahku.
Aksel melakukan hal yang sama denganku, menggigit dan menjilati cokelatnya. Beberapa saat kemudian ia terdiam, lalu memalingkan wajahnya padaku. “Lalu kenapa kamu gak ikut tes itu?”
Aku tertawa geli karena pertanyaan yang dilontarkannya. “Kamu habis kejedot penutup tuts piano terus jadi kena amnesia, ya, Sel? Kamu kan tahu kalau aku tidak bisa menyanyi. Lagipula suaraku jelek sekali. Bisa-bisa dokter THT penuh keesokan harinya.” Aku mengeraskan tawaku karena menganggap kata-kataku tadi sangatlah lucu, begitu juga dengan Aksel. “Oh, iya. Pasti nilai tes praktekmu sempurna, ya?” tanyaku setelah tawa kami agak mereda.
Aksel menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban atas pertanyaanku. “Yah, aku dapat nilai sempurna lagi tadi.” Senyuman lebar yang menyiratkan kebanggaan menghiasi bibir tipisnya. Wuaaa… senyumnya, manis sekali…
Aku masih agak goyah serta terperangah dengan senyumannya yang luar biasa tadi. Hingga aku tersadar, bahwa aku harus segera mengucapkan selamat kepadanya atas nilai sempurna yang diraihnya dalam tes praktek pianonya barusan.
Aku mengapit cokelatku yang masih tersisa separuhnya di kedua belah bibirku. Setelah itu, aku mengusap-usapkan kedua tanganku di celana seragamku yang berwarna hitam, bermaksud membersihkannya dari sisa-sisa cokelat yang masih menempel di sela-sela jariku. Sedetik kemudian, aku meraih tangan kanan Aksel dengan kedua tanganku dan menggenggamnya, lalu menggoyang-goyangkannya ke atas dan ke bawah. “Sel, selamat atas nilai sempurnanya, kamu memang pianis hebat,” ucapku dengan tidak jelas karena mulutku masih mengapit cokelatku yang mulai terasa meleleh di bibirku.
Bukannya mengucapkan terima kasih atas ucapan selamatku padanya, dia malah menatap wajahku lama lalu tertawa terpingkal-pingkal sambil tangan kanannya memegangi perutnya yang pasti terasa sakit.
Aku mengernyitkan keningku bingung atas perilaku anehnya itu, lalu memandangnya dengan tatapan sebal. Aku tahu, dia akan berhenti tertawa untuk waktu yang masih lama. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk kembali menikmati Cadburry-ku kembali dan menghabiskannya, tanpa mempedulikan tingkahnya yang membingungkanku itu.
Angin sejuk berhembus menerpa wajahku, membuatku merasa tenang. Memang rooftop gedung vokal ini jadi tempat favoritku untuk menenangkan diri, dan Aksel mengetahui hal itu. Oleh karena itulah ia bisa langsung mengetahui keberadaanku ada di sini, bila aku tidak ada di kelas saat jam pelajaran berlangsung. Suasana rooftop ini sangat rindang dan sejuk, hanya sayang—tapi untung bagiku—tempat ini sepi dan tak terjamah para siswa.
Setelah beberapa saat kemudian, tawanya akhirnya terhenti. Kulihat dia menarik napasnya dalam-dalam serta menghembuskannya secara perlahan-lahan. Dia terdiam beberapa saat, lalu akhirnya berkata, “Terima kasih atas ucapanmu.” Dia tertawa lagi, tapi agak pelan. “Itu… Bass… mulutmu…” gumamnya dengan nada geli.
Awalnya aku masih kebingungan dengan apa yang dikatakannya, hingga akhirnya aku segera tersadar. Aku segera mengambil iPhone-ku dari saku celana hitamku. Setelah mengusap layarnya dan memasukan keyword untuk membuka kuncinya, aku segera membuka aplikasi camera dan menyalakan kamera depannya. Aku mengarahkan kamera itu ke wajahku dan…
Shit, mulutku berlumuran cokelat! Pasti ini terjadi karena aku tadi telah mengapit cokelat di kedua bibirku. Parahnya, Aksel melihat kebodohanku dan akhirnya tertawa terpingkal-pingkal dengan puas karenanya. Aku berani taruhan, wajahku pasti memerah sekali sekarang. Aku hanya bisa menundukan kepalaku saking malunya dan tiba-tiba… eh, tunggu. Sapu tangan?
Aku mengangkat kepalaku dan melihat Aksel meyodorkan selembar sapu tangan berbentuk bujur sangkar berwarna beige—warna kesukaanku—kepadaku dengan tangan kanannya. Aku tersenyum seolah berterimakasih karena kebaikannya. Awalnya aku akan meraih sapu tangan itu, ketika dengan gerakan tiba-tiba Aksel menyentuhkan sapu tangan itu ke mulutku dan mengusap-usapkannya lembut.
Mata kami berdua bertabrakan secara tiba-tiba. Bodohnya, aku tak bisa mengalihkan mataku dari matanya yang cokelat dengan garis tipis kehitaman di bagian luar irisnya yang berkesan tajam dan dingin tapi menunjukan tatapan penuh kelembutan. Aku hanya melongo bodoh di hadapannya.
Suara dehaman dari Aksel pun menyadarkanku. Aku jelas panik, mendapati dirinya sudah melepaskan sapu tangannya dari mulutku dan sekarang sedang menatapku dengan tatapan bingung. Aku benar-benar merasa malu karena telah menatapnya secara diam-diam, dan hanya kegiatan menggaruk kepala yang tak gatal-lah yang bisa kulakukan. Aku pun membuka mulutku, mencoba membuat pembelaan. “Itu… euh—”
“Ayo kita ke kantin,” ajaknya tiba-tiba. “Aku sudah merasa lapar lagi.” Ia segera memasukan cokelatnya yang masih berukuran besar ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya dengan cepat. Setelah itu ia berdiri dan menepuk-nepukan kedua tangannya, bermaksud membersihkan tangannya. “Ayo, Bass!”
Aku merasa tertolong karena ajakannya tadi telah membebaskanku dari keharusan untuk menjelaskan alasanku kenapa menatapnya secara diam-diam. Aku ikut berdiri dan pergi bersamanya ke kantin gedung vokal. Sebelumnya, aku membetulkan letak manga yaoi dari dalam sweaterku, berjaga-jaga dengan kemungkinan manga itu bisa jatuh kapan saja dari dalam sweaterku dan Aksel dapat melihatnya. Euh, itu tidak boleh terjadi.
“Eh, Sel! Kapan-kapan, aku boleh mendengar permainan pianomu yang indah itu lagi, ya? Harus satu lagu penuh,” pintaku setelah berada di kantin. Memang benar, permainannya sangat indah sekali, bagi orang awam sepertiku.
Aksel malah menjitak kepalaku. “Kamu harus membayar untuk itu, Bodoh.”
♩♩♩
Malam ini, aku sedang duduk di meja makan, bersama mama yang duduk di kursi yang berada di seberangku, serta ayah yang duduk di kursi yang berada di tengah-tengah meja makan. Aku menyantap tumis kangkung pedasku dengan tersenyum tipis dan perasaan yang benar-benar bahagia. Sudah lama sekali kami bisa makan malam secara lengkap—yah, kecuali Bang Alto, dia termasuk pengecualian—seperti ini. Oleh karena itulah aku merasa sangat senang sekali malam ini.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya ayah tiba-tiba di sela-sela makan malam.
Aku menelan kangkungku. “Baik, Yah,” jawabku ambigu.
“Kapan showcase-nya akan diadakan?” Sekarang mama yang bertanya.
Aku menatap wajah mama, lalu berpikir sejenak. “Sekitar… dua minggu lagi,” jawabku dengan nada tidak yakin.
Setelah itu, keheningan kembali melanda ruang makan. Hanya bunyi alat makan, kunyahan kerupuk dan dehaman kehausan yang mendominasi meski suaranya terdengar agak samar. Yah, begitulah kalau kami semua sedang berkumpul lengkap. Ayah dan mama pasti selalu menanyakan tentang keadaan sekolahku. Kalau tidak mengenai hal itu, pasti mengenai showcase atau music concert. Mereka tidak pernah menanyakan bagaimana keadaanku, siapa orang yang aku sukai atau bahkan hal apa yang aku inginkan. Tidak pernah, percayalah.
Mungkin itu wajar karena kedua orangtuaku tergolong orangtua yang sibuk dan terkenal. Iya, terkenal. Apa? Kalian tidak mengenal kedua orangtuaku? Yang benar saja! Mama-ku itu seorang penyanyi klasik terkenal di Indonesia. Dia selalu tampil dari panggung opera yang satu ke panggung opera terkenal lainnya. Mama-ku bahkan dijadikan panutan di antara penyanyi-penyanyi klasik lainnya. Kalian harus percaya kalau mama-ku pernah mengisi kuliah umum untuk musik klasik di Juiliard! Iye, Juiliard yang ada di Amerika sono. Hebat, bukan?
Sedangkan ayahku, Benny Prayata, adalah seorang musisi hebat yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam dunia bermusik. Beliau banyak menciptakan beberapa lagu yang sempat booming baik di Indonesia dan di luar negeri. Kalian tahu lagu Perhaps Love yang dinyanyikan oleh HowL feat. J? Yep, lagu itu diciptakan oleh ayahku sendiri. Aku bahkan selalu mendengarkan lagu itu setiap malam.
Namun, ayahku itu termasuk tipe orang yang otoriter. Segala yang dikatakan dan diperintahkannya harus selalu dituruti. Termasuk permintaannya padaku untuk masuk Postlude Music High School dan masuk ke dalam kelas vokal—dengan cara apa pun. Aku sebenarnya tidak ingin masuk sekolah musik nomor satu di Indonesia itu—aku ingin masuk sekolah formal. Namun, saat aku menolak, ayah langsung memarahiku dan bilang bahwa aku harus meneruskan passion keluarga yang memang menyukai bidang musik. Huh…
Kedua orangtuaku juga tidak pernah mengetahui bahwa suaraku itu jelek dan tidak bagus, soalnya mereka belum pernah mendengarkanku bernyanyi. Mereka menganggap itu wajar karena menganggapku seorang anak yang pemalu, padahal kan aku tidak mau bernyanyi di hadapan mereka.
Oh, satu lagi. Aku hampir saja lupa: Bang Alto. Kalian juga pasti sudah tahu siapa kakakku, kan? Ya, Alto Prayata itu adalah kakakku. Bang Alto itu penyanyi terkenal di Indonesia, juga di Asia. Dia pernah mendapat nominasi di MTV Europe Award sebagai Best Asian Artist, meski dia tak memenangkan penghargaan itu. Tetapi, setiap tahun ia tetap menyabet Indonesian Music Award sebagai Penyanyi Pria Terbaik, mengalahkan Afgan dan Vidi Aldiano. Oop, sudah cukup membicarakan dia, okay? Nanti dia malah besar kepala lagi. Euh.
Kalian pasti aneh dengan nama kakakku dan juga aku, kan? Oke, aku akan menjelaskan. Nama ‘Alto’ itu ayahku ambil dari istilah yang digunakan untuk menyebut wanita yang memiliki suara tinggi. Jangan heran kenapa ayah memilih wanita. Soalnya kakakku itu memang, selain memiliki suara yang maskulin, dia juga bisa mengeluarkan suara yang feminim. Dia pernah menjadi dubber untuk film animasi Who Am I, dan dia mengisi suara untuk dua tokoh kembar, satu laki-laki dan satu lagi perempuan.
Sedangkan namaku, Bass Prayata, ayahku ambil dari istilah yang digunakan untuk menyebut laki-laki yang memiliki suara rendah. Hah, rendah? Suaraku memang agak rendah, range vokal-ku juga pendek dan aku tak bisa menyanyi. Oleh sebab itulah aku merasa berbeda dengan keluargaku yang lain. Aku memang tidak mempunyai bakat dan minat dalam menyanyi seperti mereka semua.
“Eh, Bang Alto hari ini pulang, ya?” tanyaku tiba-tiba saat mengingat bahwa Bang Alto telah menyelesaikan tur konser tunggalnya di Singapura kemarin dan hari ini pasti akan pulang.
“Iya,” jawab kedua orangtuaku serempak.
Yeah, today is Chicken-Wings Day! pekikku dalam hati.
♩♩♩
Aku masih mengotak-atik remote televisiku ketika aku mendengar suara deruan mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumahku. Aku mematikan televisi dengan cepat, beranjak dari kursiku lalu pergi keluar pintu. Ternyata benar, yang keluar dari mobil adalah Bang Alto.
Aku memasang senyum lebarku ketika melihat Bang Alto keluar dari mobilnya dan menghampiriku dengan wajah lesu. Pasti dia merasa lelah sekali dengan tur konser musiknya di Singapura kemarin.
“Pijitin badan Abang malam ini, okay?” pintanya sambil mendorong tubuhku masuk ke dalam.
Setelah kami berdua duduk di sofa dengan nyaman, aku segera mengambil jaket tebal yang tadi menutupi tubuhnya lalu kulipat dan kusampirkan di sandaran sofa. “Aku mau pijitin Abang, asal aku pinta pesananku.”
Bang Alto mengerutkan keningnya. “Pesanan?” Matanya bergerak ke atas, seolah berpikir. “Pesanan apa?” tanyanya setelah tak menemukan jawabannya.
Hah, dasar pelupa! “Masa Abang gak inget, sih. Chicken-Wings pesananku mana?” tanyaku yang mulai khawatir. “Jangan bilang Abang lupa? Aku kan udah kirim pesan kemarin, ke iMessage, BBM, Line, WhatsApp, KakaoT—”
“Oh, ya ya ya…” gumamnya bertepatan dengan kedatangan sopirnya yang membawa masuk koper beserta sebuah kantung besar yang sepertinya isinya adalah oleh-oleh. Setelah sopir itu selesai, Bang Alto berdiri dan mengucapkan terima kasih padanya dan sopir itu pun keluar. Bang Alto melihat-lihat isi kantung itu dan mengeluarkan sebuah ember berukuran medium. Yeah!
Aku akan merebut bucket itu dari tangan kanannya ketika tiba-tiba ia menyembunyikannya di balik punggungnya. “Asal kamu pijitin badan Abang, okay?”
“Iya, iya, deh,” sahutku pada akhirnya. Bang Alto menyerahkan bucket itu kepadaku, yang langsung kuterima dengan senang hati dan langsung kedekap dalam pelukanku.
Aku melihat kanan-kiri dulu, dan menyadari kalau kedua orangtuaku sudah tidur di kamarnya. Ya, kedua orangtuaku selalu melarangku makan-makanan pedas. Mereka bilang makanan pedas bisa merusak suara. Yeee, toh suaraku sudah rusak dari sananya.
Sekarang aku sudah duduk bersila di atas karpet yang ada di kamarnya Bang Alto. Tanganku yang terbungkus sarung tangan plastik masih mengkuliti seluruh Chicken-Wings ekstra pedas yang ada di dalam bucket dengan menggunakan mulut dan gigiku. Sesekali aku meneguk yoghurt plain yang ada di sampingku untuk meredakan rasa meledak yang meresap ke dalam lidah dan rahangku.
Aku menikmati Chicken-Wings di tanganku sambil menikmati lagu-lagu dalam album terbaru yang baru akan diluncurkan oleh Bang Alto minggu depan. Angin sepoi-sepoi berkecepatan tinggi menerpa wajahku, karena aku sengaja menyimpan kipas angin di hadapanku,untuk sedikit membantuku meredakan rasa terbakar di mulutku.
Aku memang sangat suka sekali makanan pedas. Apa pun masakan itu, asal rasanya pedas sekali, aku pasti akan menyukainya. Rasa pedas dalam mulutku itu dapat membantuku melupakan semua masalah yang menimpaku, meski hanya untuk sesaat. Tetapi kedua orangtuaku malah melarangku untuk memakan makanan pedas.
“Cepetan makannya, Abang pegel-pegel, nih,” perintah Bang Alto dari atas ranjang dengan keadaan shirtless. Sebenarnya ia bisa saja menyewa ratusan tukang pijit untuk memijat badannya, hanya saja dia selalu merasa malu jika menyewa tukang pijit dan selalu menyewaku untuk memijatnya dengan sogokan Chicken-Wings sebagai bayarannya.
“Huahhh, bentar Bang… dikit lagi…” kataku kepedasan sambil menyeka banyak keringat yang keluar dari keningku.
“Ck,” decak Bang Alto pelan, heran dengan kebiasaanku.
♩♩♩
Bersambung ke ♫ Nada Kedua—Re …
Seru neh kayaknya...
Lanjut ya bro
Seru neh kayaknya...
Lanjut ya bro
Ada crita baruuuu lanjut broooooooo
Mmm. .jujur kurang menikmati,mungkin karena cerita ini dr sudut pandang orang pertama. .minim dialog.
Kurang hidup suasananya.
Dari tata bahasa atau EYD seh udah bagus,top. .
Bahasanyapun lugas. .
Tambahin sedikit dialog aja,jgn bnyak..
Dari gaya bahasa kayaknya TS masih ABG ya?
Ayo semangatz
Wah... makasih udah nyempetin baca, komen dan kritik. Hehe, ketauan banget ya TS-nya masih ABG?
Oh, iya. Soal menghidupkan cerita, aku juga sering ngerasa ceritaku gak hidup, karakternya kaku, kayak belajar jalan.
Sampai ♫ Nada Ketujuh—Si
uda masih setia sama fariz dah.. heheh
hmm, buat ts, lanjutkan, maaf ya, aku bener2 ga bisa mengkritik.
menurut aku, alangkah bagusnya di awal cetita, dibuat dulu sinopsisnya sedikit, jadi kita bisa dapat gambaran mengenai cerita yang akan disampaikan.
buat pembaca penasaran, itu doank sih. hmm, jangan terlalu kaku, nikmati saja.
tapi karena ini masih awal, belum bisa memberi saran apa2. masih meraba2.
atas pertimbangan itu, I decided to stay reading this story. Because I know how this story would be nice.
kembangkan potensi yg lo punya! Tag me on the next updates. Cheers!
my best regards