It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Mendengar "nyanyian" Nazaruddin dari negeri "antah barantah", mengingatkan kita pada Megawati Sukarnoputri. Lantunan instrumentalia mantan bendaharawan Partai Demokrat yang seumpama lantunan Kitaro tersebut, membuat "pilihan politik/style politik" Megawati terasa "kontekstual" bagi situasi politik Indonesia masa transisi ini. Ketika kasus Nazaruddin mulai mencuat, saya tidak percaya seorang Anas Urbaningrum terlibat. Bagaimana pun, latar belakang Anas adalah seorang aktivis-intelek. Partai Demokrat juga partai pertamanya. Mana mungkin dalam tempo waktu 5 tahun bisa mengubah Anas sedemikian jauh. Tatkala... Anas mati-matian membela bendaharanya itu saya juga maklum. Nazar anggota Tim Suksesnya sewaktu Kongres Partai Demokrat 2010 lalu. Sudah sewajarnya dibela meskipun tahu ada indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan Nazar. Ruhut Sitompul, Bhatoegana, Saan Mustofa juga melakukan hal yang sama terhadap teman “faksi” mereka itu.
Tapi, pernyataan Nazar kemarin kalau dicermati sungguh luar biasa mengerikannya. Khususnya betapa besar biaya untuk menggolkan Anas pada kongres tahun lalu. Dua puluh juta dollar! Sebegitu besarkah uang untuk sebuah kursi ketua umum partai penguasa? Lagipula, Anas bukanlah seorang pengusaha beken seperti halnya Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kedua orang ini konon menghabiskan uang ratusan miliar di Munas Golkar tahun 2009 lalu. Tapi Anas?
Peluru yang ditembakkan Nazar kemarin mulai membukakan mata saya betapa parpol adalah cerminan dari kegagalan demokrasi di Indonesia. Katanya parpol itu adalah pilar demokrasi, kalau tidak ada parpol belum demokrasilah sebuah negara. Lewat parpol suara rakyat (demos) dilembagakan. Dengan demikian, demokratis tidaknya sebuah negara ditandai lewat demokrasi dalam parpol itu sendiri. Parpol yang demokratis pasti memilih wakil rakyat yang tepat berdasarkan kualitas. Jadi bukan cara-cara feodal dan nepotis di mana orang-orang dekat saja yang terpilih. Untuk menjamin hal itu, proses pemilihan para pengurus juga harus demokratis. Setiap pemilik suara bebas menentukan pilihannya. Bebas di sini tentu bukan karena fulus yang mengalir ke kantong. Kalau karena uang, tentu bukan kebebasaan lagi tetapi kebablasan. Apalagi jikalau beberapa calon menggunakan cara yang sama.
Tinggalah siapa beri lebih tinggi dia yang dapat suara. Karena dasarnya uang, manusia pun jadi lupa diri. Apabila calonnya kalah, mereka pun pecah dengan kelompok pemenang. Akhirnya timbul kegaduhan yang membuat suasana partai tidak kondusif. Kalau apa yang dikatakan Nazar itu benar, hal ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Pantas saja, mengapa sampai timbul faksi-faksi dalam partai itu. Tidak mungkin sebegitunya andai pertarungan itu dilakukan fair demi menyenangkan Sang Bapak. Bahkan Sang Bapak itu—menurut Nazaruddin lagi—tahu apa yang terjadi tapi didiamkan sehingga Sang Bapak sampai perlu membantah lewat konferensi pers.
Dari kejadian ini, saya jadi paham mengapa partai-partai lebih suka menggunakan cara-cara feodal dalam memilih ketua. PDI Perjuangan misalnya, selalu memunculkan Megawati, padahal banyak kader potensial yang dimilik partai ideologis Bung Karno itu. Hanya pada Megawati “orang-orang Banteng” patuh karena cintanya pada Bung Karno serta perjuangan Megawati sendiri selama Orba. Bisa jadi bukan karena itu saja. Ada alasan lain seperti hasrat tiada henti Mega sendiri untuk menjadi raja capres di tahun 2014 nanti. Tapi paling tidak kita bisa melihat PDI sampai sekarang tetap adem-ayem. Mereka satu suara mendengar petuah Sang Ibu. Dia bilang “oposisi”, tidak ada yang berani bantah.
Wakil Walikota Surabaya yang berniat mundur karena tidak suka menjadi orang nomor dua—sebelumnya menjabat walikota—mengurungkan niatnya lantaran Sang Ibu tidak beri restu. Partai lain semisal PKB dan PKS hampir sama polanya. Yang satu dulu Gus Dur yang beri perintah sedangkan yang kedua lewat lembaga Majelis Syura yang digenggam seorang ustadz. Partai-partai ini ideologis dan kultural. Mereka haus kekuasaan juga, tapi sadar bahwa kekuasan itu harus diraih lewat kekompakan tanpa konflik. Walau mereka tahu hal itu tidaklah demokratis. Mungkin, demokrasi di negeri ini masih jauh realita dari cita. Semua serba paradoks. Yang satu nampak demokratis meski penuh intrik; sedang yang lain hadirkan ketenteraman walau feodal.
Referensi/Sumber : Diskusi di Kompasiana/(c) S. Saragih
Berbagai kegagalan yang dialami Megawati dalam kancah politik nasional memberi gambaran baru bahwasanya bangsa ini semakin cerdas dalam memilih figur seorang pemimpin. Pada dasarnya Megawati tidak memiliki kemampuan sebagai seorang politikus apalagi sebagai seorang negarawan. Keberadaannya dipanggung politik sampai saat ini harus diakui sebagai rahmat karena dia terlahir sebagai puteri Soekarno. Tanpa adanya jalinan keturunan ini, maka Megawati bukan siapa-siapa. Dia tak lebih dari seorang wanita biasa yang segala tindak-tanduknya dikendalikan oleh sosok suami. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar adalah: ”Faktor apa saja yang menyebabkan figur Megawati semakin menurun atau bahkan dapat dikatakan tidak disukai oleh sebagian elemen bangsa ini?”
Menjawab pertanyaan ini kita akan dihadapkan pada beberapa jawaban, diantaranya:
1. Kharisma atau nama besar Soekarno sudah mulai pudar.
2. Kecerobohan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan. 3. Figur suami yang mendominasi setiap kebijakan Megawati.
Kharisma Bung Karno yang sudah pudar. Kata Soekarno Puteri di belakang nama Megawati laksana sebuah ajimat bagi perjalanan Megawati di pentas politik Nasional. Tanpa buntut Soekarno Puteri nama Megawati tidak memiliki arti apapun di pentas perpolitikan Indonesia. Hal ini juga sangat disadari oleh Megawati maupun PDI-P sebagai Partai yang dipimpinnya. Hal ini sangat tampak di mana setiap gambar Megawati selalu disandingkan dengan sang Proklamator. Hal ini juga terjadi pada sebagian Caleg yang hidup di bawah payung PDI-P. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Megawati dan PDI-P hidup dan berkembang di bawah ketiak sang orator ulung, yakni Bung Karno.
Merosotnya hasil perolehan suara sementara PDI-P pada hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 seolah memberikan gambaran bagi kita semua bahwa kharisma Bung Karno di sebagian elemen bangsa ini mulai memudar, sehingga tak mampu lagi menyanggah Megawati dan PDI-P nya dalam Pemilu Legislatif, bahkan tidak menutup kemungkinan hal ini juga akan terjadi pada Pilpres 2009 mendatang.
Kecorobohan Megawati dalam Menyoroti Jalannya Pemerintahan
Figur suami yang mendominasi setiap kebijakan Megawati. Taufik Kiemas selaku suami Megawati yang merangkap Ketua Pembina PDI-P tak jarang ikut bagian dalam memberikan komentar yang justru menambah keterpurukan nama Megawati dan PDI-P di mata masyarakat. Peristiwa penyebutan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Jenderal yang kekanak-kanakan pada tahun 2004 membuat tersinggung beberapa Jenderal. Pernyataan tersebut dianggap sebagai pelecehan “Bintang Empat” yang merupakan kehormatan di kalangan TNI. Beberapa pernyataan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan dengan berbagai ungkapan yang kekanak-kanakan mulai dari istilah yoyo, gasing, poco-poco dan lain sebagainya, yang semula berharap akan mendapat respon positif dari masyarakat, justru membuat muak beberapa kalangan.
Megawati seolah akan tampil sebagai sosok yang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada di masyarakat apabila mendapat kepercayaan untuk menjadi Presiden RI. Dia lupa bahwasanya jabatan tersebut pernah dipegangnya dan masih segar dalam ingatan masyarakat betapa amburadulnya kondisi Indonesia di bawah kepemimpinannya.
Langkah pamungkas yang cukup signifikan dalam kehancurannya di panggung politik adalah “Penolakan” atas kebijakan dana BLT bagi kaum miskin, walau pada akhirnya laksana orang yang menjilat ludah yang terjatuh, Megawati dan PDI-P nya berbalik mendukung BLT. Tapi semua sudah terlambat. Hati rakyat kecil sudah terluka. Maka tak heran bila di mata rakyat kecil Megawati dan PDI-P dicap sebagai juru fitnah serta orang atau Partai Politik yang tidak konsisten. Lengkap sudah langkah Megawati menuju kehancurannya.
Satu hal yang sangat mengejutkan adalah adanya beberapa saksi mata yang menyebutkan bahwasanya Taufik Kiemas merupakan sosok di balik layar yang mengendalikan serta memutuskan berbagai hal, baik Megawati sebagai pimpinan Partai Politik bahkan keputusan Megawati sebagai Presiden RI pun banyak dikendalikan oleh sang suami.
Melihat kenyataan atas berbagai kegagalan Megawati di kancah perpolitikan Nasional memberikan gambaran yang jelas akan semakin obyektifnya daya pikir serta nalar bangsa ini. Seorang tokoh poilitik tidak lagi dipandang dari sudut dinasti tetapi lebih terfokus pada sosok pribadi sang calon pemimpin itu sendiri. Nama Bung Karno tak lagi dapat dijadikan komoditi politik. Pijar lampu Soekarno sudah mulai meredup. Apakah ini juga dapat diartikan bahwa Dinasti Soekarno akan segera runtuh di pentas politik Indonesia? Pilpres 2009 akan menjadi sebuah jawabannya.
Salam: Ki Semar
Pilkada, Berpekara di MK, dan 309 Kepala Daerah Terjerat Korupsi
Anda pernah menghitung-hitung biaya yang dikeluarkan seseorang atau mereka yang bertarung di Pilkada!? Anggaran atau biaya yang dibutuhkan untuk/dalam Pilkada bisa mencapai ratusan milyar atau triliun rupiah. Hal itu terjadi karena apa yang disebut tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung serta dalam politik tidak ada yang gratis.
Jika seperi itu, apakah orang-orang yang beruang atau kaya sajakah, yang bisa menjadi Kepala Daerah (Gub/Gub, Bupati/Wabup, Walikota/Wakil Walikota);!? Sedangkan mereka yang potensial, namun tak punya uang, maka tak bisa menjadi Kepala Daerah.
Belum tentu; jika mereka yang tak punya uang itu, benar-benar ingin jadi Kepala Daerah, maka ia bisa mendapat (katanya) hibah - grant dari penyandang dana. Ia akan mendapada dana setelah mengikat perjanjian (di hadapan notaris), dengan sejumlah persyaratan yang ada proposal di dalamnya ada semua potensi (ekonomi) daerah yang bisa dikembangkan). Si Penyandang Dana akan hibahkan dana berdasar perhitungan berikut
2Berapa besar jumlah rupiah yang didapatkan;!? perhatikan contoh berikut;
Untuk menjadi Kepala Daerah, maka minimal mendapat suara 50%+1 dari jumlah suara yang masuk. Jika, misalnya Jumlah Pemilih Tetap 10 Juta Jiwa, maka dana yang dibutuhkan adalah 50% + 1, biasanya dibulatkan menjadi 60%; jadi dana yang dihibahkan adalah 6Juta X Rp. 200-300.000.- silahkan anda hitung totalnya (untuk di Jawa Rp 200-250.000/orang; dan di luar Jawa Rp.250-300.000/orang.-)
Jika Si Kandidat Kepala Daerah setuju, dan tanda tangan kontrak dihadapan notaris, maka Tim dari Penyandang Dana, juga ikut bermain agar Si Kandidat menang pada waktu Pilkada. Jika, menang maka Si Kepala Daerah dan Penyandang Dana mempunyai perhitungan dan hubungan tersendiri, dan khusus, yang sudah tak melibatkan para Tim Sukses.
Jadinya, walau disebut hibah, grant, sumbangan, atau apalah, semuanya tak sesuai dengan sebutannya. Kepala Daerah (yang dibantu itu), harus membuka peluang agar Penyandang Dana mendapat kembali dana yang ia telah keluarkan, (ingat bahwa dalam proposal dan perjanjian tertuang juga potensi ekonomi daerah yang bisa dikembangkan).
Jika para Kandidat yang mendapat dana dari Si Penyandang Dana itu kalah (tipis, dan ada peluang menang melalui berpekara), maka akan muncul gugatan atau berperkara di MK; dan di tempat itulah MK, bisa terjadi hal yang terbalik-balik, tak masuk akal sehat, serta di luar ranah keadilan dan kebenaran. Mengapa bisa terjadi, kita sudah tahu jawabannya ketika Akil Mocthar tertangkap KPK.
Jika Si Kepala Daerah (yang menang melalui Pilkada maupun keputusan MK) adalah yang mempunyai ikatan dengan Si Penyandang Dana, maka ia akan melakukan gerakan serta usaha untuk membalas budi atau menggantinya. Ia pun (bisa) lakukan dengan berbagai cara yang halal, haram, maupun berupa penyimpangan, yang bisa disebut atau termasuk korupsi.
Lalu, di mana letak penyimpangan dan korupsinya Si Kepala Daerah!? ada banyak cara yang mereka bisa lakukan. Mulai dari mark up biaya perjalanan dinas, proyek fiktif, pemotongan/sunat dana bansos, bahkan pemontongan dana atau pun sucses fee dari Kreditur Bank Daerah dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jika Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, yang juga Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) menyatakan bahwa, “… sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Awalnya hanya 173 kepala daerah, saya pernah bilang akhir tahun 2013 angka ini bisa menembus 300, ternyata belum sampai akhir (tahun) sudah lebih dari 300, …” [bisnis.com/antaranews.com].
Melihat kenyataan sepert itu, untuk meminimalisir praktik korupsi di daerah, Kemendagri mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota; dan itu berarti harus diawali dengan/di DPR RI karena harus terjadi perubahan Undang-undang.
Jadinya, jika melihat gonjang-ganjing di MK, maka hal itu terjadi akibat ketidaktahanan serta ketidakmampuan Ketua MK (dan Hakim-hakimnya!?) menahan godaan serta jeratan Pemodal pada Pilkada. Mereka ikut terjerumus ke dalam nafsu dan permainan kotor demi kuasa dan kekuasaan.
Cukuplah ….
Pilkada, Berpekara di MK, dan 309 Kepala Daerah Terjerat Korupsi
Anda pernah menghitung-hitung biaya yang dikeluarkan seseorang atau mereka yang bertarung di Pilkada!? Anggaran atau biaya yang dibutuhkan untuk/dalam Pilkada bisa mencapai ratusan milyar atau triliun rupiah. Hal itu terjadi karena apa yang disebut tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung serta dalam politik tidak ada yang gratis.
Jika seperi itu, apakah orang-orang yang beruang atau kaya sajakah, yang bisa menjadi Kepala Daerah (Gub/Gub, Bupati/Wabup, Walikota/Wakil Walikota);!? Sedangkan mereka yang potensial, namun tak punya uang, maka tak bisa menjadi Kepala Daerah.
Belum tentu; jika mereka yang tak punya uang itu, benar-benar ingin jadi Kepala Daerah, maka ia bisa mendapat (katanya) hibah - grant dari penyandang dana. Ia akan mendapada dana setelah mengikat perjanjian (di hadapan notaris), dengan sejumlah persyaratan yang ada proposal di dalamnya ada semua potensi (ekonomi) daerah yang bisa dikembangkan). Si Penyandang Dana akan hibahkan dana berdasar perhitungan berikut
2Berapa besar jumlah rupiah yang didapatkan;!? perhatikan contoh berikut;
Untuk menjadi Kepala Daerah, maka minimal mendapat suara 50%+1 dari jumlah suara yang masuk. Jika, misalnya Jumlah Pemilih Tetap 10 Juta Jiwa, maka dana yang dibutuhkan adalah 50% + 1, biasanya dibulatkan menjadi 60%; jadi dana yang dihibahkan adalah 6Juta X Rp. 200-300.000.- silahkan anda hitung totalnya (untuk di Jawa Rp 200-250.000/orang; dan di luar Jawa Rp.250-300.000/orang.-)
Jika Si Kandidat Kepala Daerah setuju, dan tanda tangan kontrak dihadapan notaris, maka Tim dari Penyandang Dana, juga ikut bermain agar Si Kandidat menang pada waktu Pilkada. Jika, menang maka Si Kepala Daerah dan Penyandang Dana mempunyai perhitungan dan hubungan tersendiri, dan khusus, yang sudah tak melibatkan para Tim Sukses.
Jadinya, walau disebut hibah, grant, sumbangan, atau apalah, semuanya tak sesuai dengan sebutannya. Kepala Daerah (yang dibantu itu), harus membuka peluang agar Penyandang Dana mendapat kembali dana yang ia telah keluarkan, (ingat bahwa dalam proposal dan perjanjian tertuang juga potensi ekonomi daerah yang bisa dikembangkan).
Jika para Kandidat yang mendapat dana dari Si Penyandang Dana itu kalah (tipis, dan ada peluang menang melalui berpekara), maka akan muncul gugatan atau berperkara di MK; dan di tempat itulah MK, bisa terjadi hal yang terbalik-balik, tak masuk akal sehat, serta di luar ranah keadilan dan kebenaran. Mengapa bisa terjadi, kita sudah tahu jawabannya ketika Akil Mocthar tertangkap KPK.
Jika Si Kepala Daerah (yang menang melalui Pilkada maupun keputusan MK) adalah yang mempunyai ikatan dengan Si Penyandang Dana, maka ia akan melakukan gerakan serta usaha untuk membalas budi atau menggantinya. Ia pun (bisa) lakukan dengan berbagai cara yang halal, haram, maupun berupa penyimpangan, yang bisa disebut atau termasuk korupsi.
Lalu, di mana letak penyimpangan dan korupsinya Si Kepala Daerah!? ada banyak cara yang mereka bisa lakukan. Mulai dari mark up biaya perjalanan dinas, proyek fiktif, pemotongan/sunat dana bansos, bahkan pemontongan dana atau pun sucses fee dari Kreditur Bank Daerah dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jika Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, yang juga Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) menyatakan bahwa, “… sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Awalnya hanya 173 kepala daerah, saya pernah bilang akhir tahun 2013 angka ini bisa menembus 300, ternyata belum sampai akhir (tahun) sudah lebih dari 300, …” [bisnis.com/antaranews.com].
Melihat kenyataan sepert itu, untuk meminimalisir praktik korupsi di daerah, Kemendagri mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota; dan itu berarti harus diawali dengan/di DPR RI karena harus terjadi perubahan Undang-undang.
Jadinya, jika melihat gonjang-ganjing di MK, maka hal itu terjadi akibat ketidaktahanan serta ketidakmampuan Ketua MK (dan Hakim-hakimnya!?) menahan godaan serta jeratan Pemodal pada Pilkada. Mereka ikut terjerumus ke dalam nafsu dan permainan kotor demi kuasa dan kekuasaan.
Cukuplah ….
Sebelum pengusaha melakukan investasi, tentu mereka telah melakukan kalkulasi.
“The easy way out usually leads back in.” (Senge, 1990)
Sudah saatnya bangsa Indonesia lebih berhati-hati dalam mencari solusi permasalahan bangsa. Jalan keluar yang ditawarkan harus dipastikan berdasarkan kerangka pikir bersifat holistik serta berorientasi pada penyembuhan akar masalah.
Belum lama ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis data terbaru mengenai mengguritanya korupsi di daerah. Tercatat sejak tahun 2005 hingga Oktober 2013, 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi.
Menyikapi itu, Kemendagri membuka wacana ke publik agar mekanisme pilkada kembali ke konsep tidak langsung, kepala daerah kembali dipilih wakil rakyat di DPRD. Alasannya, pemilihan kepala daerah langsung dianggap berbiaya tinggi.
Kemendagri menganggap mekanisme politik ini mendorong praktik jual beli suara yang dilakukan antara pasangan calon dengan masyarakat pemilih. Kemendagri yakin, tingginya biaya di atas menyebabkan kepala daerah terpilih lebih berhasrat melakukan korupsi, guna mengembalikan modal politik mereka.
Secara sekilas, argumentasi Kemendagri di atas memang tampak logis. Namun, Kemendagri terkesan menilai faktor pendorong korupsi di daerah hanya terletak pada masyarakat pemilih saat pilkada. Padahal, patut diyakini terdapat aneka faktor pendorong korupsi lain.
Lebih dari itu, dengan “menyalahkan” masyarakat pemilih, berarti Kemendagri mengabaikan realita bahwa kepala daerah adalah individu yang berdaulat dalam menentukan tindakannya, baik untuk bersikap korup maupun tidak.
Integritas dan Sistem
Di satu sisi, adalah benar masyarakat kerap menentukan pilihan mencoblos berdasarkan amplop yang diberikan tim pasangan calon. Masyarakat cenderung mencoblos pasangan calon yang memberi uang. Jika pasangan calon yang bermain politik uang lebih dari satu, mereka cenderung memilih yang memberi paling besar.
Dalam hal ini, benar apa yang dikatakan Mochtar Lubis tiga setengah dasawarsa lalu (1977), masyarakat Indonesia memang munafik. Masyarakat tidak sepakat dengan perbuatan korupsi, tapi bila menguntungkan, mereka mau terlibat/mendukung praktik korupsi tersebut (Hehamahua, 2011).
Namun, praktik jual beli suara tetap tidak akan terjadi bila seluruh pasangan calon menolak melakukan politik uang. Sayangnya, hasrat berkuasa para pasangan calon kerap demikian tinggi. Mereka sering menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk membeli suara pemilih.
Sikap di atas kemudian dibaca sebagai peluang investasi oleh para pengusaha nakal. Mereka menalangi keinginan pasangan calon untuk membeli suara pemilih. Sebagai imbalannya, jika sang mereka menang, sistem pemerintahan akan diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pengusaha.
Sebelum pengusaha melakukan investasi, tentu mereka telah melakukan kalkulasi. Mereka yakin investasi mereka akan kembali membawa keuntungan. Artinya, bila aktivitas ini jamak terjadi, mengindikasikan ada yang salah dengan sistem pemerintahan kita.
Potret buram di atas menegaskan Kemendagri tidak sepatutnya menyalahkan pilkada langsung. Problem integritas tidak hanya melanda masyarakat pemilih, tetapi (setidaknya) juga melanda pasangan calon serta pengusaha nakal. Problem integritas ini berbaur dengan lemahnya sistem pemerintahan, sehingga mudah diselewengkan.
Pertanyaan Kritis
Mengingat realita permasalahan ternyata lebih kompleks, tawaran solusi Kemendagri untuk mengubah mekanisme pilkada terkesan menyederhanakan masalah sebagaimana pemikiran Senge di awal tulisan ini. Jalan keluar yang mudah biasanya tidak memecahkan masalah, tetapi hanya membuat kita kembali ke posisi semula (berjalan di tempat).
Solusi Kemendagri tidak menyinggung upaya peningkatan integritas. Akibatnya, wajar jika kemudian diajukan pertanyaan, bagaimana jika solusi Kemendagri hanya membuat praktik suap sekadar berpindah dari pasangan calon “menyuap masyarakat” menjadi “menyuap anggota DPRD”?
Hal ini penting untuk dijelaskan. Jangan sampai publik berpendapat, output yang membedakan antara gagasan pilkada langsung dengan pilkada via DPRD hanya terletak pada siapa yang mendapat “kue” dan seberapa besar “irisan kue” tersebut diperoleh.
Lebih dari itu, menjadi relevan untuk menanyakan dampak pilkada via DPRD. Apakah sistem pemerintahan di daerah akan menjadi semakin kuat atau semakin rentan untuk diselewengkan?
Patut diduga, kemungkinan yang belakangan disebutlah yang justru akan tercipta. Pilkada tidak langsung membawa implikasi eksekutif tidak lagi bertangung jawab langsung kepada rakyat, tetapi kepada DPRD sebagai pihak yang memilih. Dengan demikian, mekanisme checks and balances berpotensi terganggu. Pendulum kekuatan lebih condong ke lembaga perwakilan daerah.
Mengurai lebih lanjut dari kerangka pikir Abdullah dan Asmara (2006), implikasi negatif dari hal ini adalah anggota DPRD akan bersikap lebih oportunistis dalam mendesain APBD. Anggaran daerah akan diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan/atau kelompok anggota DPRD, serta perilaku ini akan lebih sulit dicegah oleh eksekutif.
Baik kiranya jika Kemendagri meninggalkan wacana pilkada via DPRD, untuk kemudian fokus untuk mencari solusi (i) peningkatan integritas para pemangku kepentingan yang terlibat pilkada, serta (ii) perbaikan sistem pemerintahan daerah.
Namun, jika Kemendagri bersikeras melanjutkan wacana pilkada via DPRD, perlu dijawab aneka pertanyaan kritis di atas. Termasuk membuktikan tidak akan terjadinya dampak negatif yang dikhawatirkan.
*Penulis
Sebelum pengusaha melakukan investasi, tentu mereka telah melakukan kalkulasi.
“The easy way out usually leads back in.” (Senge, 1990)
Sudah saatnya bangsa Indonesia lebih berhati-hati dalam mencari solusi permasalahan bangsa. Jalan keluar yang ditawarkan harus dipastikan berdasarkan kerangka pikir bersifat holistik serta berorientasi pada penyembuhan akar masalah.
Belum lama ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis data terbaru mengenai mengguritanya korupsi di daerah. Tercatat sejak tahun 2005 hingga Oktober 2013, 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi.
Menyikapi itu, Kemendagri membuka wacana ke publik agar mekanisme pilkada kembali ke konsep tidak langsung, kepala daerah kembali dipilih wakil rakyat di DPRD. Alasannya, pemilihan kepala daerah langsung dianggap berbiaya tinggi.
Kemendagri menganggap mekanisme politik ini mendorong praktik jual beli suara yang dilakukan antara pasangan calon dengan masyarakat pemilih. Kemendagri yakin, tingginya biaya di atas menyebabkan kepala daerah terpilih lebih berhasrat melakukan korupsi, guna mengembalikan modal politik mereka.
Secara sekilas, argumentasi Kemendagri di atas memang tampak logis. Namun, Kemendagri terkesan menilai faktor pendorong korupsi di daerah hanya terletak pada masyarakat pemilih saat pilkada. Padahal, patut diyakini terdapat aneka faktor pendorong korupsi lain.
Lebih dari itu, dengan “menyalahkan” masyarakat pemilih, berarti Kemendagri mengabaikan realita bahwa kepala daerah adalah individu yang berdaulat dalam menentukan tindakannya, baik untuk bersikap korup maupun tidak.
Integritas dan Sistem
Di satu sisi, adalah benar masyarakat kerap menentukan pilihan mencoblos berdasarkan amplop yang diberikan tim pasangan calon. Masyarakat cenderung mencoblos pasangan calon yang memberi uang. Jika pasangan calon yang bermain politik uang lebih dari satu, mereka cenderung memilih yang memberi paling besar.
Dalam hal ini, benar apa yang dikatakan Mochtar Lubis tiga setengah dasawarsa lalu (1977), masyarakat Indonesia memang munafik. Masyarakat tidak sepakat dengan perbuatan korupsi, tapi bila menguntungkan, mereka mau terlibat/mendukung praktik korupsi tersebut (Hehamahua, 2011).
Namun, praktik jual beli suara tetap tidak akan terjadi bila seluruh pasangan calon menolak melakukan politik uang. Sayangnya, hasrat berkuasa para pasangan calon kerap demikian tinggi. Mereka sering menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk membeli suara pemilih.
Sikap di atas kemudian dibaca sebagai peluang investasi oleh para pengusaha nakal. Mereka menalangi keinginan pasangan calon untuk membeli suara pemilih. Sebagai imbalannya, jika sang mereka menang, sistem pemerintahan akan diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pengusaha.
Sebelum pengusaha melakukan investasi, tentu mereka telah melakukan kalkulasi. Mereka yakin investasi mereka akan kembali membawa keuntungan. Artinya, bila aktivitas ini jamak terjadi, mengindikasikan ada yang salah dengan sistem pemerintahan kita.
Potret buram di atas menegaskan Kemendagri tidak sepatutnya menyalahkan pilkada langsung. Problem integritas tidak hanya melanda masyarakat pemilih, tetapi (setidaknya) juga melanda pasangan calon serta pengusaha nakal. Problem integritas ini berbaur dengan lemahnya sistem pemerintahan, sehingga mudah diselewengkan.
Pertanyaan Kritis
Mengingat realita permasalahan ternyata lebih kompleks, tawaran solusi Kemendagri untuk mengubah mekanisme pilkada terkesan menyederhanakan masalah sebagaimana pemikiran Senge di awal tulisan ini. Jalan keluar yang mudah biasanya tidak memecahkan masalah, tetapi hanya membuat kita kembali ke posisi semula (berjalan di tempat).
Solusi Kemendagri tidak menyinggung upaya peningkatan integritas. Akibatnya, wajar jika kemudian diajukan pertanyaan, bagaimana jika solusi Kemendagri hanya membuat praktik suap sekadar berpindah dari pasangan calon “menyuap masyarakat” menjadi “menyuap anggota DPRD”?
Hal ini penting untuk dijelaskan. Jangan sampai publik berpendapat, output yang membedakan antara gagasan pilkada langsung dengan pilkada via DPRD hanya terletak pada siapa yang mendapat “kue” dan seberapa besar “irisan kue” tersebut diperoleh.
Lebih dari itu, menjadi relevan untuk menanyakan dampak pilkada via DPRD. Apakah sistem pemerintahan di daerah akan menjadi semakin kuat atau semakin rentan untuk diselewengkan?
Patut diduga, kemungkinan yang belakangan disebutlah yang justru akan tercipta. Pilkada tidak langsung membawa implikasi eksekutif tidak lagi bertangung jawab langsung kepada rakyat, tetapi kepada DPRD sebagai pihak yang memilih. Dengan demikian, mekanisme checks and balances berpotensi terganggu. Pendulum kekuatan lebih condong ke lembaga perwakilan daerah.
Mengurai lebih lanjut dari kerangka pikir Abdullah dan Asmara (2006), implikasi negatif dari hal ini adalah anggota DPRD akan bersikap lebih oportunistis dalam mendesain APBD. Anggaran daerah akan diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan/atau kelompok anggota DPRD, serta perilaku ini akan lebih sulit dicegah oleh eksekutif.
Baik kiranya jika Kemendagri meninggalkan wacana pilkada via DPRD, untuk kemudian fokus untuk mencari solusi (i) peningkatan integritas para pemangku kepentingan yang terlibat pilkada, serta (ii) perbaikan sistem pemerintahan daerah.
Namun, jika Kemendagri bersikeras melanjutkan wacana pilkada via DPRD, perlu dijawab aneka pertanyaan kritis di atas. Termasuk membuktikan tidak akan terjadinya dampak negatif yang dikhawatirkan.
*Penulis
PESTA uang rakyat oleh raja-raja kecil di daerah masih mewarnai Tahun 2013. Tak pelak, di tahun politik ini banyak kepala daerah baik bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota serta gubernur dan wakilnya ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan sebagian telah ditahan karena kasus korupsi.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri mengakui jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi meningkat setiap tahunnya dan menyebar hingga 33 provinsi di Indonesia.
Pilkada langsung disebut-sebut penyebab utama tingginya kasus korupsi oleh kepala daerah. Sejak dilakukan pilkada langsung pada 2005 hingga Desember 2013 ini, tercatat sebanyak 311 dari 530 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi.
Jumlah itu termasuk penetapan dan penahanan Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan paling baru mantan Bupati Karanganyar Rinia Iriani.
Sebelumnya, masih dalam catatan Kemendagri pada 2012, sedikitnya 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa dalam berbagai kasus korupsi.
Sedangkan dalam data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga 2012, lebih dari 175 kepala daerah yang terdiri atas 17 gubernur dan 158 bupati dan wali kota menjalani pemeriksaan. Sebanyak 40 di antaranya sudah diproses, sebagian sudah mendekam di penjara sebagai koruptor.
Dari data tersebut terlihat dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan cukup signifikan.
Berikut ini sebagian kasus korupsi oleh kepala daerah mulai Januari hingga Desember 2013.
Januari
Gubernur Riau Rusli Zainal ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi terkait perubahan Perda No.6 tahun 2010 tentang penambahan anggaran pembangunan venue untuk pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional ke-18 di Pekanbaru, Riau.
Oleh KPK, Rusli Zainal diduga menerima suap dan menyetujui pemberian suap terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Riau.
Selain itu Rusli Zainal juga dijadikan tersangka dalam dua kasus korupsi lainnya yaitu memberikan sesuatu kepada anggota DPRD Riau dan korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Dalam hal ini Rusli diduga menyalahgunakan kewenangannya dan perbuatan melawan hukum sebagai Gubernur Riau.
Februari
Bupati Buol Amran Batalipu Sulawesi Tengah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta hukuman penjara 7,5 tahun, 11 Februari 2013. Dia terbukti menerima Rp3 miliar dari pengusaha dan mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hartati Murdaya terkait pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit.
Dia juga dipidana denda sebesar Rp500 juta subside enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp3 miliar.
Maret
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi menetapkan Bupati Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Abdul Fatah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan satu unit mobil pemadam kebakaran (Damkar) Kabupaten Batanghari 2004 dengan kerugian negara senilai Rp651 juta.
Penetapan tersangka sesuai surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 26 Maret 2013.
Mei
Bupati Aru Theddy Tengko yang menjadi terpidana dugaan korupsi APBD Ambon sebesar Rp42,5 miliar ditangkap Tim Kejaksaan. Penangkapan pada 30 Mei 2013 itu cukup dramatis, karena Theddy ditangkap di Bandara Rar Gwamar saat akan menyambut kedatangan Danrem 151 Binaya Kolonel Infantri Asep Kurnaedi.
Bupati Madailing Natal (Madina) Sumatera Utara Hidayat Batubara ditangkap KPK 14 Mei 2013 terkait dugaan gratifikasi dari perusahaan tambang Sorik Mas Mining.
Juli
Mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada ditetapkan sebagai tersangkan oleh KPK terkait dugaan suap Hakim Setyabudi Tedjocahyono saat menangani kasus korupsi dana bantuan social Pemkot Bandung, 1 Juli 2013. Dada ditetapkan sebagai tersangka saat masih menjabat Wali Kota Bandung.
Bupati Toba Samosir (Tobasa) Kasmin Simanjuntak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan untuk pembangunan akses menuju PLTA Asahan III, Kamis 18 Juli 2013.
Agustus
Bupati Raja Ampat Marcus Wanma ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Anggaran Pemerintah Daerah (APBD) Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat tahun 2003-2009 yang merugikan negara Rp 2,1 miliar, 28 Agustus 2013.
Marcus ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung berdasarkan surat perintah Kejagung no Print-96/F.2/Fd.1/08/2013.
Bupati Kabupaten Maybrat Papua Barat Bernard Sagrim ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi penggunaan dana hibah sebesar Rp15 milliar. Bernard ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua 2 Agustus 2013.
Dia juga diduga terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara belasan miliar rupiah.
Oktober
Bupati Gunung Mas Hambit Bintih ditangkap KPK karena diduga menyuap Hakim Konstitusi Akil Mochtar. HB ditangkap bersama seorang pengusaha DH, 30 Oktober 2013.
Mantan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso terpidana kasus korupsi uang kas daerah Sidoarjo Rp2,3 miliar ditangkap Tim Jaksa Khusus Kejaksaan Negeri Sidoarjo, 20 Oktober 2013.
November
Mantan Wali Kota & Wakil Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai tersangka korupsi Jasa Pungut (Japung) Pajak Daerah Pemkot Surabaya oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim 27 November 2013.
Mantan Bupati Bantul M Idham Samawi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Persiba Bantul oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wakil Bupati Pelalawan Marwan Ibrahim ditetapkan sebagai tersangka tindak korupsi pengadaan lahan perkantoran Bhakti Praja oleh Polda Riau. Marwan diduga menerima upeti sebesar Rp1,5 miliar dari proyek itu.
Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri ditetapkan sebagai terangka suap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, 6 November 2013.
Bupati Karangasem Denpasar I Wayan Geredeg ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali. Dia diduga terlibat korupsi pipanisasi sebesar Rp29 miliar di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem, Bali.
Desember
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak oleh KPK. Setelah diperiksa sebagai tersangka untuk pertama kalinya pada 20 Desember, Atut langsung dijebloskan ke penjara. Atut akan ditahan selama 20 hari kedepan di Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta.
Masih di tahun yang sama mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi subsidi proyek perumahan Griya Lawu Asri oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Dia diduga menikmati uang tindak pidana korupsi sebesar Rp11,1 miliar dari total uang negara yang dikorupsi sejumlah Rp18,4 miliar.
Daftar tersebut hanyalah sebagian dari ratusan kasus korupsi dilakukan kepala daerah. Ada pula kepala daerah yang terjerat kasus korupsi namun dibebaskan dalam putusan sidang, dengan alasan tidak terbukti.
Selain itu, tidak sedikit kepala daerah yang saat ini terindikasi korupsi namun sulit untuk dibuktikan lantaran dilakukan secara rapi melibatkan banyak pihak dan berlindung di balik undang-undang yang ada.
Pertanyaannya mengapa kepala daerah korupsi? Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepala daerah cenderung korupsi.
Pertama, kepentingan ongkos politik. Hal ini terjadi sebagai imbas dari besarnya biaya politik yang sudah mereka keluarkan selama pemilihan kepala daerah.
Bukan rahasia lagi, untuk menjadi kepala daerah, seorang kandidat mengeluarkan anggaran rata-rata Rp10-20 miliar. Dana itu dipakai untuk mendapatkan dukungan partai politik, kepentingan kampanye, biaya tim sukses honor saksi di tempat pemungutan suara, serta biaya tak terduga lainnya.
Besaran dana politik yang harus dikeluarkan calon itu tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diterima ketika menjadi kepala daerah. Dengan gaji minimal untuk bupati maupun gubernur berkisar Rp5-8 juta per bulan, uang yang diterima selama lima tahun menjabat maksimal hanya Rp6 miliar.
Jumlah tersebut tetap masih belum cukup untuk mengganti ongkos politik yang sudah dikeluarkan selama pilkada.
Tidak jarang saat pilkada mereka mendapatkan pendanaan dari investor atau pengusaha untuk kampanye. Untuk mengembalikan dana itu membuat kepala daerah cenderung korupsi. Jika tidak korupsi kepala daerah harus memberikan konsensi bagi investor.
Akibatnya banyak sumber kekayaan alam terjual melalui berbagai kebijakan yang harus membayar investasi dari para investor yang telah membantunya memenangkan pilkada. Sumber alam banyak dikuasi oleh orang-orang yang memiliki uang.
Padahal kepala daerah berkuasa paling lama dua periode, tapi izin pengelolaan dengan sumber daya alamnya diberikan sampai 20 tahun. Akhirnya banyak sumber daya alam yang dikuasai oleh pengusaha asing.
Kedua, banyak celah dan peluang kepala daerah untuk korupsi. Regulasi yang ada di daerah kerap kali digunakan untuk melakukan penyimpangan anggaran. Akibatnya, korupsi yang dilakukan seolah bersembunyi di balik regulasi yang ada. Tak pelak dalam modus korupsi yang dilakukan kepala daerah biasanya melalui APBD, penggelembungan anggaran, dana hibah maupun dana bantuan sosial serta jasa pungut pajak.
Ketiga, lemahnya pengawasan di tingkat daerah. Baik Badan Pengawas Daerah maupun DPRD yang seharusnya mengawasi kinerja pemerintah daerah.
Langkah untuk mengevaluasi pilkada secara langsung menjadi sangat penting. Pemerintah melalui Kemendagri sudah mengusulkan agar pilkada dilakukan oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung.
Bahkan usulan ini sudah dimasukkan dalam materi RUU Pemilukada yang kini pembahasannya sudah masuk tahap akhir di DPR.
Pilkada secara langsung selama ini dinilai berdampak buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak hanya ongkos politiknya yang terlalu besar,tapi juga menimbulkan konflik horisontal antar pendukung pasangan calon.
Jika memang pemilihan melalui DPRD itu lebih sesuai dengan realita masyarakat Indonesia, maka patut kita dukung. Diharapkan, dengan pilkada tidak langsung tidak memberikan keleluasaan bagi raja kecil di daerah menggunakan dana untuk kepentingan pribadi atau golongannya.
(lns)
Sudah tak terbilang berapa ongkos sosial akibat gonjang-ganjing pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah Tanah Air. Pengerahan massa dan sengketa di tingkat Mahkamah Agung kian menambah riuh dinamika politik lokal setelah sebelumnya telanjur marak dengan pemekaran wilayah.
Melihat gejala yang kurang kondusif bagi tatanan kehidupan bernegara, Lembaga Pertahanan Nasional sempat melontarkan gagasan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) cukup dilakukan pada tingkat kabupaten/kota. Adapun kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur ditunjuk saja oleh pemerintah pusat.
Terkait dengan pemekaran, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pun mengingatkan agar fraksi-fraksi di DPR tak terlalu mudah menerima usulan pemekaran wilayah.
Guru besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, berpendapat gagasan pembatasan pilkada dan pemekaran wilayah mengindikasikan kian beratnya beban negara dan masyarakat membiayai pilkada dan pemekaran wilayah. Ia menilai distorsi pilkada dan pemekaran wilayah kian melebar.
Pilkada yang bertujuan melahirkan pemimpin lokal ideal ternyata membuat rakyat terbelah. Pemekaran wilayah yang bertujuan mendekatkan rentang kendali dan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat telah bergeser ke upaya elite-elite lokal meraih predikat ”raja-raja kecil” di pemerintahan dan legislatif.
Berikut ini petikan wawancara dengan Kompas di Makassar, Rabu (20/2).
Bagaimana tanggapan Anda soal gagasan membatasi pilkada di tingkat kabupaten/kota saja dan penunjukan gubernur pada tingkat provinsi?
Tepat sekali. Hanya saja, untuk menerapkannya, banyak hal mendasar yang harus dibenahi. Sudah pasti akan berdampak pada sistem ketatanegaraan, mulai dari posisi dan kedudukan gubernur, bupati/wali kota berikut lembaga kontrol DPRD, hingga kewenangan di setiap jenjang pemerintahan.
Mengapa pilkada cenderung bermasalah?
Ini berhubungan dengan proses pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dalam memilih pemimpin. Proses tersebut tentu saja patut dihargai sebagai manifestasi demokrasi. Namun, sebagus apa pun sistem dan mekanisme pilkada, selama tak disertai kerangka pengaturan yang jelas dan tegas, tetap saja tidak bermakna bagi demokratisasi dan hasilnya. Malah, bisa-bisa menimbulkan bumerang dan beban bagi pemerintah.
Di mana akar masalahnya?
Proses yang dibangun selama ini masih parsial dan tambal sulam. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak secara jelas mengatur sistem dan mekanisme pilkada. Belum jelas apa yang hendak dituju dan disepakati.
Misalnya, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ketersediaan dan akurasi data pemilih? Apakah pemerintah daerah atau Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD)?
Belum lagi ketatnya jadwal pemilihan kepala daerah yang sering kali tidak memperhitungkan terjadinya sengketa atau pelanggaran yang seharusnya diselesaikan setiap tahapan sehingga gugatan keberatan yang diajukan oleh pasangan calon hanyalah berkenaan dengan hasil penetapan yang dilakukan oleh KPUD. Tidak lagi mempermasalahkan data pemilih yang tidak akurat.
Masalah lain, pelanggaran pilkada berupa politik uang dan sebagainya. Kalau itu tidak dipahami dan tidak diatur tegas, proses pilkada itu menuai banyak masalah. Ujung-ujungnya, menambah beban pemerintah berikut ongkos-ongkos sosial bagi rakyat.
Mekanisme seperti apa yang seharusnya dibuat?
Seharusnya pemerintah melakukan pengaturan tersendiri terhadap pilkada itu dan tidak dimasukkan dalam kerangka pengaturan pemerintahan daerah sehingga akan didapatkan sebuah kerangka pengaturan pemilihan kepala daerah yang komprehensif.
Pengaturan itu memberi kerangka sistem dan mekanisme pilkada yang memperhitungkan semua aspek yang melingkupi dari proses pemilihan tersebut.
Selain itu, kalau memang pilkada provinsi tidak begitu relevan dengan posisi kedaulatan rakyat karena pemerintahan provinsi tidak bersentuhan langsung dengan rakyat di kabupaten dan kota, maka hal itu harus juga dikaitkan dengan kedudukan atau posisi hubungan antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah yang menempatkan pemerintahan provinsi berada pada posisi dilematis.
Jadi, selama ini kedudukan provinsi ”mengambang”?
Titik berat otonomi bukan pada provinsi, melainkan pada kabupaten/kota. Posisi provinsi dalam tatanan otonomi daerah tidak lebih sebagai perpanjangan tangan atau wakil pemerintah di daerah sehingga kalau konsepsi itu dibangun dan dikembangkan, maka seharusnya peletakan hubungan kewenangan antara pemerintah dan provinsi hanyalah menjalankan kewenangan pemerintah di daerah.
Konsekuensi yang mengikutinya adalah seharusnya gubernur tidak perlu dipilih, tetapi cukup dilakukan pengangkatan sebagai wakil pemerintah (pusat) di daerah. Kalau itu dilakukan, tentu akan berimplikasi pada posisi hubungan pemerintah dengan daerah. Hubungan kewenangan yang tercipta adalah hubungan kewenangan yang tegas dan jelas.
Bisa dijelaskan secara lebih konseptual?
Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah saat ini akan melahirkan dua model hubungan kewenangan. Pertama, menegaskan otonomi provinsi yang tidak lagi semi-otonom seperti yang dilakukan selama ini.
Provinsi harus menjalankan otonomi yang tidak bisa dijalankan daerah kabupaten dan kota atau yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Ada pembagian beban antara pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota.
Kedua, menghilangkan otonomi provinsi sehingga kedudukan pemerintahan provinsi hanyalah sebagai wakil pemerintah di daerah yang menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah di daerah.
Bagaimana perangkat pemerintahan daerah?
Konsekuensinya, perangkat daerah untuk provinsi, seperti dinas, badan, atau kantor, tidak perlu ada. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah kantor besar yang mengaktivasi semua kepentingan pemerintah di daerah.
Bagaimana pola hubungan pusat-daerah selama ini?
Konsepsi pemerintahan sekarang ini meletakkan hubungan kewenangan tidak hanya pada pemerintah kabupaten/kota saja, tetapi juga pada pemerintah provinsi yang ujung-ujungnya menimbulkan kegamangan dalam penerapannya.
Pemerintah masih gandrung menangani urusan atau kewenangan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. Pemerintahan provinsi juga begitu. Terjadilah tumpang tindih kewenangan yang berbuntut pada ketidakjelasan pengelolaan urusan pemerintahan. Coba bayangkan betapa besar pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akibat ketidakjelasan hubungan kewenangan yang melingkupinya. Bahkan juga berpengaruh pada proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Di mana posisi gubernur?
Saya sependapat kalau pemilihan gubernur dilakukan tidak lagi oleh rakyat secara langsung. Lebih baik menuntaskan problema pokoknya dengan melepaskan otonomi yang ada di provinsi sehingga gubernur hanyalah berkedudukan sebagai wakil pemerintah di daerah yang tidak perlu dipilih, tetapi cukup diangkat oleh pemerintah (pusat). Memang kelihatannya simplisistik, tetapi ini solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul di sekitar proses pilkada. Dari sisi biaya pun konsep ini sangat efisien.
Sistem sekarang ini sulit ditinggalkan karena ada pihak tertentu yang justru menikmatinya?
Ya. Seperti halnya pemekaran wilayah yang selalu mengusung perbaikan kesejahteraan rakyat. Tetapi tidak sedikit pula elite lokal yang memanfaatkannya untuk meraih posisi ”raja-raja kecil”.
Di tingkat pusat, makin banyaknya provinsi dan kabupaten/kota diduga memperlebar peluang bagi yang punya kewenangan anggaran untuk berkolaborasi dengan ”raja-raja kecil” itu.
Po
Sebagai negara yang terhitung muda dalam berdemokrasi, Indonesia sedang belajar mencari format terbaik dalam memilih pemimpin. Dengan menjatuhkan pilihan pada demokrasi maka dihitung satu orang satu suara. Tidak perduli anda seorang Profesor Doktor dengan IQ jempolan, satu suara anda setara dengan satu suara rakyat biasa yang mungkin saja buta huruf, tidak mengenal tulisan sama sekali
Itulah demokrasi.
Dengan label demokrasi ini pula kita memilih walikota hingga pemimpin negara. Untuk pemimpin daerah lazim disebut Pilkada. Konon katanya inilah demokrasi terbaik, sistem terbaik, diharapkan pula menghasilkan pemimpin terbaik pula.
Hasilnya? ternyata lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Ratusan trilyun uang rakyat buat menggelar Pilkada malah menciptakan raja- raja kecil di daerah yang malah terjerat rantai birokrasi, gratifikasi hingga korupsi.
Selanjutnya biasanya mudah ditebak, menghuni bui.
Berapa banyak Gubernur/Bupati/Walikota yang jadi pesakitan KPK setelah mereka tidak menjabat lagi. Bahkan Mahkamah Konstitusi yang digembar gemborkan sebagai benteng terakhir keadilan Ketuanya ikut terseret lingkaran setan Pilkada ini.
Belum lagi biaya sosial akibat gesekan masyarakat yang menjadi pendukung kandidat masing-masing. Bakar bakaran kantor KPU, gedung pendopo Kabupaten/Gubenuran mungkin sudah dianggap biasa menjelang atau sesudah Pilkada. Tentu ada pengecualian, Pilgub DKI misalnya….
Yang jadi pertanyaan bagaimana mungkin pilihan rakyat yang katanya mewakili suara Tuhan menghasilkan pemimpin yang lebih cocok disebut wakil Setan…??
Mungkin kita perlu amandemen UU/UUD sekali lagi…
Tidak perlu lagi ada Pilkada buat pemilihan kepala daerah!
Gubenur, Bupati, Walikota langsung dipilih oleh Presiden, diangkat dan juga dipecat langsung oleh Presiden. Disamping para menteri, pengangkatan pemimpin daerah adalah juga hak prerogratif penuh seorang Presiden.
Dengan aturan ini sistem presidensial yang kita anut jadi lebih jelas jenis kelaminnya, tidak banci seperti sekarang. Tugas DPRD sebagai balance pengawasan tetap diperlukan, bila melanggar DPRD dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberhentikan kepala daerah yang bermasalah..
Terkesan sentralistik memang, bagi Depdagri ini jelas bertentangan dengan semangat desentralisasi yang giat dikampanyekan semenjak tumbangnya Orde Baru. Tapi coba bayangkan, tidak ada lagi hiruk pikuk kekacauan akibat pilkada yang di Indonesia jumlahnya bisa ratusan kali dalam lima tahun itu, berapa biaya yang bisa kita hemat, tidak perlu ada gontok gontokan, masyarakat bisa fokus bekerja.
Nantinya loyalitas seorang kepala daerah hanya satu buat pemimpin negara, bukan kepada partai seperti sering terjadi selama ini. Kebijakan pemerintah akan secara utuh dikawal hingga ke pelosok daerah oleh pemimpin daerahnya masing masing. Tidak akan ada lagi kepala daerah demo menolak kebijakan pemerintah pusat, tidak ada statemen saling sindir menyindir antara Gubenur dengan Presiden.Bila macam macam terindikasi korupsi Presiden Langsung bisa memberhentikannya saat itu juga, tidak ribet seperti sekarang prosesnya.
Sebuah usulan yang tentu banyak mengundang perdebatan, kalaupun tidak bisa sekarang bisa dipikirkan buat lima atau sepuluh tahun lagi bahkan lebih. Demi kepentingan agar bangsa ini menjadi lebih baik, lebih sejahtera dan bermartabat di mata dunia bukankah semuanya bisa duduk bersama memecahkannya.
Demi kejayaan Indonesia
Salam…
Dampaknya, antara lain, berbagai peraturan daerah (perda) yang mendistorsi iklim usaha dan diskriminatif secara sosial ataupun praktik otonomi yang cenderung kebablasan.
Berbagai masalah tersebut ternyata masih memenuhi lembaran otonomi hingga hari ini. Namun, istilah raja kecil mengalami pemekaran makna, terutama setelah UU Pemda tahun 2004 mengubah sistem pemilihan kepala daerah: dari dipilih DPRD ke pemilihan langsung oleh rakyat.
Memanfaatkan celah kebijakan dan perilaku pemilih yang rentan, para kepala daerah membangun dinasti kekuasaan lokal melalui pola sirkulasi dalam lingkaran privatnya: keluarga. Tabiat mereka bak para raja: mewariskan takhta kepada anak, istri, dan kerabat.
Transisi tidak tuntas
Dinasti politik ini adalah bukti nyata lapuknya politik lokal yang demokratis. Kalau demokrasi adalah soal terbukanya struktur kesempatan bagi setiap warga untuk terlibat dalam berbagai pilihan politik, dinasti jelas menghadap akses ke sana. Proses demokratisasi menjadi tidak sehat dan terancam kandas.
Dalam konteks pilkada, arena permainan menjadi tak adil karena privelese lalu direkayasa kepala daerah untuk memuluskan langkah kerabatnya. Alokasi APBD dan program pemda lalu dipakai guna mengarahkan dukungan publik bagi pewarisnya. Inilah pelanggaran hak asasi warga yang banyak terjadi.
Maka, dalam RUU Pilkada yang saat ini sedang dibahas di DPR, pemerintah menggagas opsi larangan bagi kerabat incumbent mencalonkan diri dalam pilkada pada periode setelahnya. Sebagai ikhtiar keadilan politik, ini adalah gagasan afirmasi bagi publik, sekaligus mencegah favoritisme dan diskriminasi.
Namun, betapapun pentingnya gagasan ini, sumbangannya dirasa masih parsial bagi penataan pilar demokrasi lokal kita. Dinasti politik hanya puncak gunung es dari pelapukan politik lokal yang berlangsung jauh lebih serius, bahkan sesudah kita berotonomi dewasa ini.
Pelapukan politik lokal ini patut dibaca dalam konteks besar, yakni tak tuntasnya transisi rezim desentralisasi. Secara historis, otonomi kita jelas lahir dalam kondisi krisis, tidak normal. Munculnya eksperimen kebijakan yang beralaskan UU No. 22/1999 adalah jawaban atas krisis yang melilit tata kelola organisasi negara-negara saat itu. Ironisnya, premis mayor yang mengisi kerangka legal dan kebijakan otonomi justru dibangun di atas asumsi seolah kita berotonomi di masa normal sehingga masalah transisi rezim tidak diwadahi pengelolaannya.
Oligarki kekuasaan
Dinasti berkorelasi erat dengan oligarki kekuasaan yang bersalin rupa di banyak daerah. Akarnya terletak pada power-relation yang timpang antara lapisan kuasa-dominan dan sisanya. Bahkan, di internal partai – pranata yang konon menjadi kawah kaderisasi pemimpin – pengisian posisi kunci memberat ke dominan elite.
Maka, mereka tidak resisten terhadap perubahan kelembagaan, seperti pilkada langsung, tetapi justru menyambut antusias “tantangan” yang lahir dari proyek kaum institusionalis. Mereka paham betul kalau komponen struktural kekuasaan utama tak banyak bergeser ke blok demokrasi. Apalagi, pilkada berbiaya mahal sehingga politik konstituen hanya mungkin bagi kaum plutokrasi yang mapan secara ekonomi.
Maka, momentum desentralisasi dibajak menjadi ajang rekonsolidasi kekuatan lama, membuat mereka tetap bercokol sebagai aktor dominan dalam lanskap yang terkesan berubah. Hasilnya, local capture semakin menguat dalam kebijakan di daerah ataupun distribusi sumber daya politik, ekonomi, dan fiskal (APBD). Maka, setelah 12 tahun desentralisasi, faedah otonomi masih saja tak nyata bagi warga.
Langkah sinergi
Saat RUU Pilkada berupaya memotong arisan kekuasaan elite, langkah strategis lain mesti dilakukan, baik pada aras instrumentasi kebijakan maupun kerja politik konkret. Semua itu didorong guna menjamin keadilan politik lewat sistem demokratik untuk membuka segala sumbatan agar akses kekuasaan terbuka dan menarik garis batas bagi elite dominan lama.
Maka, pertama, RUU pilkada perlu mengatur pula mekanisme demokrasi internal partai dalam memutuskan calon yang akan maju pilkada. Oligarki dalam partai adalah serius dan nyata, tetapi selalu dilihat sebagi urusan internal partai. UU Parpol pun tak bisa menjangkau perkara ini. Instrumen kendalinya adalah lewat RUU Pilkada dengan, antara lain memberlakukan model konversi atau pemilhan internal yang diawasi KPUD setempat.
Kedua, politik berbiaya mahal harus dieliminasi dari sisi sumber sekaligus belanja pilkada karena tuntutan transparansi pengelolaan dana kampanye jelas terasa absurb. Jenis-jenis kegiatan yang selama ini selalu dimenangi kandidat bermodal besar (iklan, kampanye) sebaliknya dikelola dan dibiayai KPUD.
Ketiga, publik yang gemar-kagum (idolaisme) kepada pejabat/kerabatnya atapun yang rentan politik uang merupakan basis sosial rapuh bagi upaya pendalaman demokrasi. Di banyak daerah, pemilih emosional dan pragmatis ini jelas jadi ladang subur kemenangan kandidat bermodal jumbo.
Menjadi tantangan bagi elemen prodemokrasi di media massa, kampus, dan LSM untuk membangun citizen politics dan warga yang semakin sadar harkat politik demokrasi.
Dinasti politik dan pelapukan demokrasi lokal jelas bukan hanya masalah pilkada, melainkan juga berpengaruh pada seluruh agenda desentralisasi karena mereka memotong akses kesejahteraan dan membajak nasib publik. Inilah tantangan berat bagi gerak otonomi hari ini.
Oleh Robert Endi Jaweng
SKANDAL KONTRAK GAS TANGGUH
Tidak tanggung-tanggung kerugian Indonesia yang disebabkan oleh kontak LNG (bahan baku Elpiji) kilang gas Tangguh, Papua Barat, yang dibuat semasa pemerintahan Presiden Megawati. Akibat kontrak tersebut Negara dirugikan sekitar 350 Triliun Rupiah.
Kontak LNG Tangguh merupakan kontrak ekspor LNG ke Provinsi Fujian, China yang disahkan tahun 2002 dan masih berlangsung sampai sekarang. Yang menjadi masalah adalah harga jual LNG kita yang terlalu rendah.
Kontrak ekspor LNG Tangguh untuk China itu ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tahun 2002 dengan mematok harga flat yang sangat murah, yaitu 3,3 dolar AS per juta british thermal unit (MMBU) selama 20 tahun. Nilai kontrak ini sangat jauh di bawah harga pasaran internasional LNG saat ini, yaitu sekitar 20 dolar AS per MMBU. Bahkan lebih rendah dari harga di ladang gas lain, seperti LNG Bontang yang di ekspor ke Jepang, Indonesia mendapat harga 20 dolar AS per MMBTU, dengan patokan harga minyak 110 dolar AS per barel.
Sungguh malang nasib kita. Sebagai rakyat kita terpaksa membeli LPG dengan harga tinggi, sementara negara lain menikmati bahan baku Elpiji (LNG) kita dengan harga murah meriah. LNG murah dari negeri kita lantas mereka olah menjadi Elpiji yang kemuadian kita beli dengan harga pasar. Sungguh merupakan kebijakan yang irasional. Kemanakah sebenarnya otak para pejabat pemerintah. Tanpa rasa berdosa mereka mengungkapkan kenaikan harus dilakukan agar tidak mengalami kerugian. Namun sesungguhnya kontrak gila yang mereka sepakati itulah yang menyebabkan kerugian.
Saat rakyat menjerit akibat harga Elpiji yang semakin melonjak, yang bisa dilakukan Pemerintah hanya saling lempar tanggung jawab. Mantan Presiden Megawati kali ini menjadi pihak yang paling disalahkan, namun bukankah Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri ESDM Pornomo Yusgiantoro, juga termasuk dalam nama-nama menteri di jajaran kabinet Gotong Royong saat kontrak LNG Tangguh disahkan. Kontrak penjualan LNG kilang kepada China dengan harga jual yang sangat murah itu diputuskan secara kolektif, yaitu dalam rapat Kabinet Gotong Royong tahun 2002. Di dalam kabinet tersebut terdapat Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Polkam, dan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri ESDM.
Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya, produksi gas dalam negeri lebih banyak dijual ke pasar internasional dengan harga rendah melalui mekanisme ekspor. Data yang dihimpun BPPT menyebutkan ekspor gas yang dikemas dalam bentuk LNG menyita hampir seluruh produksi gas dalam negeri.
Potret semacam ini tampak pada produksi gas PT Arun (Aceh) dan PT Badak (Bontang). Pada 2000 lalu produksi Arun mencapai 6.706.100 metrik ton, jumlah yang diekspor mencapai 6.747.000 metrik ton. Tak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi di ladang gas Badak, produksi ladang ini pada 2000 mencapai 20.614.900 metrik ton. Sebagian besar produksi dialokasikan untuk kepentingan ekspor, mencapai 20.243.100 metrik ton.
Kondisi ini terus berlangsung hingga saat ini. Setidaknya data 2002 menyebutkan ekspor mencapai 6.249.700 metrik ton dari total produksi ladang gas Arun yang mencapai 6.242.600 metrik ton. Demikian pula dengan ladang gas Badak. Produksi ladang gas ini turun tipis hingga kisaran 19.942.200 metrik ton, namun kapasitas ekspornya melampaui produksi mencapai 19.964.800 metrik ton.
@praddim
Kontrak LNG Tangguh hanyalah satu dari sekian banyak kontrak merugikan yang disahkan di negeri ini. Hal ini tidak lepas dari pengaruh UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Rendahnya harga jual gas Indonesia untuk kepentingan ekspor juga tidak terlepas dari kontribusi UU Migas yang tidak lagi mengoptimalkan perusahaan Migas nasional yang telah solid dalam penjualan migas seperti Pertamina. Transaksi ini justru diserahkan kepada perusahaan asing yang jelas-jelas memiliki kepentingan.
Penjualan gas ladang Tangguh ke China merupakan contoh nyata, dengan harga masksimal US$3,2 per MMBTU oleh British Petroleum (BP). BP mempunyai saham di perusahaan gas Australia yang menjadi pesaing utama penjualan gas ke negara Tirai Bambu itu. Selain itu, BP juga memiliki saham pada receiving terminal atau pelabuhan penerimaan di China. Tidak heran harga jual gas kita begitu rendah.
Walaupun Menteri ESDM menyatakan bahwa kita masih dapat melakukan negosiasi ulang, namun kerugian yang kita derita sudah terlalu besar. Lagipula negisoasi ulang hanyalah solusi jangka pendek yang tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus mulai merintis kemandirian dalam pengolahan sumber daya mentah. Bukankah akan lebih murah jika gas diproduksi didalam negeri. Jangan karena kita menganggap mengimpor Elpiji lebih praktis dari mengolahnya sendiri, lantas kita bertahan pada kemalasan yang berujung pada kerugian seperti yang kita derita sekarang. Sudah seharusnya pemerntah bisa belajar dari pengalaman. Jika dikatakan bahwa menengelola gas didalam negeri itu terlalu mahal, lalu apakah kerugian 350 Triliun itu bukan angka yang ’mahal’? Paradigma berpikir malas dan licik ala pemerintahan liberal saat ini harus kita buang jauh-jauh jika kita benar-benar menginginkan Indonesia yang lebih maju.
Masih ada kesempatan untuk menyelamatkan negeri ini. Dan tampaknya, untuk menyelamatkan sesuatu yang menjadi prioritas, memang harus ada yang dikorbankan. Tinggal bagaimana pemerintah memilih mana sesuatu yang menjadi prioritas tersebut di samping manajemennya. Dan harus kita ingat, kekayaan yang di anugerahkan Allah SWT bagi Indonesia bukanlah komoditas ekonomi yang bebas dari pertanggung jawaban…