"Kultur dan perilaku sejumlah elite dan kader-kader PDIP belum cocok dengan integritas dan karakter Jokowi yang merakyat, tegas dan jujur," kata Petrus di kawasan Sarinah, Sabtu (28/12/2013) malam.
- Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi harus mempertimbangkan matang-matang dan mewaspadai dukungan masyarakat yang begitu besar kepadanya untuk menjadi capres 2014.
Menurut Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, sikap Jokowi yang merakyat tak cocok dengan elite dan kader PDIP yang dinilainya korup.
"Kultur dan perilaku sejumlah elite dan kader-kader PDIP belum cocok dengan integritas dan karakter Jokowi yang merakyat, tegas dan jujur," kata Petrus di kawasan Sarinah, Sabtu (28/12/2013) malam.
"Sikap Jokowi yang anti korupsi itu tidak cocok dengan kultur yang tumbuh dan berkembang di internal PDIP yang korup. Hingga saat ini masih saja terdapat kader-kader PDIP baik, tingkat DPP, DPD, DPC, sampai tingkat eksekutif maupun legislatif yang menjadi tersangka atau terdakwa dan terpidana korupsi," ujarnya
Dikatakannya, jika PDIP akhirnya menerima permintan sejumlah pihak dan mengusung Jokowi menjadi Capres dari PDIP, maka menurutnya nasib Jokowi tidak akan jauh berbeda dengan Megawati Soekarnoputri. Yang meskipun sudah mengikuti tiga kali pemilihan Presiden tetapi tetap gagal menjadi Presiden melalui Pemilu.
"Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1999, ibu Megawati mendapat dukungan luar biasa untuk menjadi Presiden RI pascareformasi dan Megawati menjadi Presiden pada tahun 2003 bukan karena pemilu tetapi karena kecelakaan politik," ujarnya.
Dijelaskannya, ketika Megawati mencoba menjadi capres dari PDIP melalui pemilihan umum langsung sebanyak dua kali, ternyata Mega kalah dan kekalahan itu karena masyarakat melihat budaya korupsi di partai politik termasuk PDIP.
"Saat Megawati menjadi Presiden, korupsi yang dilakukan oleh kader PDIP di eksekutif dan legislatif terjadi secara berjamaah. Sementara Megawati sangat lemah melakukan penindakan. Kultur korup dan perilaku korupsi di internal PDIP belum berubah kearah perbaikan yang signifikan,"ujarnya.
"Jika PDIP ingin menyelamatkan Jokowi, maka PDIP harus melakukan langkah progresif dan membenahi kultur yang korup dari dalam selama kurun waktu lima tahun kedepan,"katanya.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (tengah) bersama mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri (kanan) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam jamuan makan malam yang diselenggarakan di kediaman Basuki, di Pantai Mutiara, Jakarta, Rabu (25/12/2013).
Berita Lainnya
Comments
- Ketua KPK, Abraham Samad mengatakan , dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memakai cara yang canggih.
"Praktik tata cara orang korupsi semakin canggih, untuk itu harus diantisipasi penegak hukum," ujar Abraham dalam seminar Perlindungan dan Pengembalian Aset Negara yang diambil secara melawan hukum, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2013).
Ia menerangkan kecanggihan modus yang dilakukan para koruptor dalam kasus BLBI untuk mengambil aset negara.
Ketika sebuah perusahan dinyatakan sudah tidak mampu lagi, lanjut Abraham, maka perusahaan diberi kewajiban serahkan aset kepada negara.
"Tapi apa yang dilakukan perusahaan, mereka menyerahkan kepada BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan asetnya dilelang dengan harga yang tidak semestinya. Perusahaan itu kemudian membeli lagi melalui perusahaannya di luar negeri, sehingga aset itu kembai lagi jatuh kepada para konglomerat itu," tandas Alumni Universitas Hasanuddin itu.
Terkait
PKB dan PAN Ingin Timwas Juga Usut Kasus BLBI
Warta Kota/Henry Lopulalan
Sejumlah demontran mendukung KPK untuk segara menyelesaikan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di depan Gedung Komisi Pemberantas Korupsi , Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/4/2013).
Demontran meminta KPK untuk membuka kembali kasus BLBI kasus terkatung-kantung dari tahun 1998 yang merugikan negara lebih dari Rp 147 Triliun. (Warta Kota/Henry Lopulalan)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua fraksi di DPR yakni Fraksi PAN dan PKB menginginkan Tim Pengawas (Timwas) Century DPR memperluas wilayah pengawasan terhadap kasus BLBI tidak hanya kasus Century.
"PKB usul objek hukum Timwas tidak hanya kasus Century tetapi juga kasus lain seperti BLBI," kata Juru Bicara PKB Abdul Kadir Karding dalam rapat paripurna DPR, Kamis (19/12/2013).
Menurut dia ini dimaksudkan agar tidak ada diskriminasi terhadap kasus besar di negeri ini.
"Kita tidak bisa mendorong satu kasus tetapi menghentikan kasus lainnya," kata Karding.
Hal senada juga dikemukakan Juru Bicara PAN Laurens Bahang Dama.
Juru Bicara Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan Timwas diberikan mandat untuk melakukan pekerjaan spesifik.
"Sebab tugas-tugas tidak spesifik dikerjakan komisi. Timwas membuat kasus ini terang benderang," kata dia.
Menurut dia banyak capaian Timwas selama ini dimana beberapa pejabat terkait jadi tersangka dan kasusnya dinaikkan ke tahan penyidikan.
Berita La
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seniman asal Yogyakarta, Butet Kartarejasa, kembali beraksi dengan monolog guyon hingga membuat sebagian besar penonton tertawa dan sebagian lagi mengerenyutkan dahi.
Panggung yang digunakan Butet kali ini adalah peringatan meninggalnya atau Haul keempat Abdurrahman Wahid di kediaman Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2013) malam.
Sasaran monolog Butet kali ini adalah Ketua Dewan Pertimbangan Partai Gerindra sekaligus Komandan Korps Pasukan Khusus era Presiden Soeharto, Prabowo Subianto.
Dengan mengenakan baju kaos hijau dan kacamata bundar khasnya, Butet memulai guyonannya dengan menyapa para jemaah yang menghadiri acara haul ini.
"Kita semua merindukan Gus Dur," kata Butet.
Dan Prabowo yang juga menjadi kandidat calon presiden untuk Pemilu 2014 itu pun hadir di barisan kursi tokoh-tokoh nasional pada acara haul tersebut.
Butet yang familiar dengan menirukan suara mantan presiden RI, Soeharto, memulai aksinya. "Piye kabare? Isih penak jamanku toh? (Bagaimana kabarnya? Masih enak jaman saya kan?)," kata Butet dengan dialek dan mimik wajah khas Soeharto.
Butet menceritakan, pembukaan monolognya ini terinspirasi dari gambar dan tulisan yang ada di bagian belakang truk yang kerap berseliweran di jalan-jalan. Gambar itu adalah potret Presiden kedua RI, Soeharto, yang tengah melambaikan tangan disertai tulisan, "Piye kabare? Isih penak jamanku toh?"
Buten dengan segera menyampaikan permintaan maaf lantaran tahu Prabowo juga hadir di acara haul itu. Menurutnya, bahan monolognya itu juga sudah sering disampaikan di acara kesenian dan hiburan.
Menurut Butet, monolognya ini bukan bermaksud untuk menyindir Prabowo, tapi sekadar bahan candaan.
"Bercanda, mas," kata Butet sambil menoleh ke arah Prabowo.
Beberapa tokoh yang hadir di acara itu juga ikut tertawa dengan aksi monolog Butet kali ini.
Mereka yang hadir di antaranya, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Kapolri Jenderal Sutarman, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Romo Frans Magnis Suseno.
Butet melanjutkan monolognya dengan membahas persoalan yang terjadi di Indonesia pada saat ini, mulai dari tingkah para pejabat sampai praktik korupsi yang merajarela. Dan lagi, Prabowo menjadi sasaran monolog Butet.
"Piye kabare, Wo?" kata Butet menirukan dialek dan mimik wajah khas Soeharto.
Dalam monolognya, Butet menekankan ajaran Gus Dur tentang pentingnya keadilan dan kemanusiaan. "Soal keadilan, saya belajar dari sopir angkot, karena bagi sopir angkot jauh dekat sama," kata Butet menirukan dialek Gus Dur yang sontak mengundang tawa.
"Pesan Gus Dur, agama jangan jauh dari kemanusiaan. Hal itu yang membuat kita rindu Gus Dur," tutup Butet.
Tak lama Butet turun dari panggung, pembawa acara menyampaikan Prabowo izin meninggalkan acara lebih dulu.
Kepada para wartawan, Prabowo mengaku dia tak bisa mengikuti Haul Gusdur sampai selesai karena harus segera berangkat ke luar negeri.
"Saya izin duluan karena harus berangkat ke luar negeri," kata Prabowo saat berjalan menuju mobilnya.
Prabowo pun meminta tidak banyak bertanya saat dimintai tanggapan tentang monolog Butet lantaran khawatir mengganggu acara haul yang masih berlangsung.
[img][/img]
klo dicompare dgn golkar, democrots n pks yg melakukan organised corruption, PDIP relatif lbh baik lah.
kasus lama korupsi yg melibatkan kader pdip itu jaman sblm 2004 waktu masih jadi the ruling partai. itu pun nilai korupsi cuma ratusan juta rph. contoh, suap pemilihan Gub BI masing2 hny disuap 100 an juta rph. bandingkan dgn nilai korupsi wisma atlet, hambalang, al quran, alkes, century, sapi impor ygmelibatkan kader democrots dan golkar dan ini sdh terbukti di tahap pengadilan or disidik kpk.catet juga, PDIP lah satu2 partai yg mampu kaderisasi yg mampu memunculkan tokoh2 nasional
semacam Tri risma, ganjar, teras narang, rieke, jokowi. partai laen? non sense !
perasaan partai yang paling gila korupnya tu demokrat deh
bahkan keluarga presiden n mentri2 yang jadi dalangnya ._.
sungguh lucu sekali negeri ini
perasaan partai yang paling gila korupnya tu demokrat deh
bahkan keluarga presiden n mentri2 yang jadi dalangnya ._.
sungguh lucu sekali negeri ini
seleranya tetap parah aja
mulai kpn baca koran?
hari ini?
cek trek rekod nya dari awal jgn se potong2 gtu
kasus blbi 700 trilyun paham kagak?
sejarah korupsi nya sejak dulu2 paham kagak?
@2000LY
100 juta ?
ciyus lohh..
impor sapi fiktif wijanarko puspoyo xx m tau gk?
duitnya ampe dimasukkin ember di toilet trus disiram air tuh;
trus yg korupsi berjamaah kasus trave;ller cek gub bi tau nggk?
yg dibaca apa doang to?
di skip2 yah..?
yg faktual dikit lh dn jgn di umpet2 in...
.Berkas Kasus Sapi Fiktif Dilimpahkan ke PN Jaksel
Dalam kasus impor sapi tersebut, mantan Direktur Utama Bulog, Widjanarko Puspoyo juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di LP Cipinang.
Kasus dugaan korupsi Rp11 miliar itu berawal pada pengadaan atau impor sapi dari Australia tahun 2001 untuk pasokan Lebaran, Natal dan Tahun Baru yang dilakukan Bulog dengan PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM).
PT LNP mendapat kontrak Rp5,7 miliar untuk pengadaan 1.200 ekor sapi sementara PT SBM mendapat kontrak Rp4,9 miliar untuk 1.000 ekor sapi.
Namun pengadaan sapi itu tidak terwujud sebagaimana disebutkan dalam kontrak kerjasama walaupun telah dilakukan pembayaran.
Kejagung Ajukan Lagi Izin Buka Rekening Widjan
Melly Febrida - detikNews
Jakarta - Kejaksaan Agung kembali mengajukan izin ke Gubernur BI untuk membuka rekening milik mantan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo dan adiknya, Widjokongko Puspoyo. Pengajuan ini dilakukan untuk kedua kalinya karena penyidik menilai masih ada rekening lainnya. "Kita mengajukan izin baru karena ada penambahan bank," kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus M Salim saat dihubungi detikcom, Selasa (26/6/2007).
Menurut Salim, izin yang diajukan ini untuk membuka rekening di dua bank. Pengajuan izin ini terkait dengan kasus penerimaan hadiah dalam pengadaan komoditas di Bulog serta dalam kasus ekspor beras ke Afrika. "Izin yang pertama itu untuk 3 bank, kalau yang sekarang lebih dari dua bank. Izin kita ajukan ke Gubernur BI beberapa hari lalu," pungkasnya. Widjanarko dan Widjokongko merupakan tersangka kasus penerimaan hadiah dalam pengadaan komoditas di Bulog dan keduanya saat ini dalam penahanan.
[img][/img]
[img][/img]
Pilkada, Berpekara di MK, dan 309 Kepala Daerah Terjerat Korupsi
Anda pernah menghitung-hitung biaya yang dikeluarkan seseorang atau mereka yang bertarung di Pilkada!? Anggaran atau biaya yang dibutuhkan untuk/dalam Pilkada bisa mencapai ratusan milyar atau triliun rupiah. Hal itu terjadi karena apa yang disebut tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung serta dalam politik tidak ada yang gratis.
Jika seperi itu, apakah orang-orang yang beruang atau kaya sajakah, yang bisa menjadi Kepala Daerah (Gub/Gub, Bupati/Wabup, Walikota/Wakil Walikota);!? Sedangkan mereka yang potensial, namun tak punya uang, maka tak bisa menjadi Kepala Daerah.
Belum tentu; jika mereka yang tak punya uang itu, benar-benar ingin jadi Kepala Daerah, maka ia bisa mendapat (katanya) hibah - grant dari penyandang dana. Ia akan mendapada dana setelah mengikat perjanjian (di hadapan notaris), dengan sejumlah persyaratan yang ada proposal di dalamnya ada semua potensi (ekonomi) daerah yang bisa dikembangkan). Si Penyandang Dana akan hibahkan dana berdasar perhitungan berikut
Berapa besar jumlah rupiah yang didapatkan;!? perhatikan contoh berikut;
Untuk menjadi Kepala Daerah, maka minimal mendapat suara 50%+1 dari jumlah suara yang masuk. Jika, misalnya Jumlah Pemilih Tetap 10 Juta Jiwa, maka dana yang dibutuhkan adalah 50% + 1, biasanya dibulatkan menjadi 60%; jadi dana yang dihibahkan adalah 6Juta X Rp. 200-300.000.- silahkan anda hitung totalnya (untuk di Jawa Rp 200-250.000/orang; dan di luar Jawa Rp.250-300.000/orang.-)
Jika Si Kandidat Kepala Daerah setuju, dan tanda tangan kontrak dihadapan notaris, maka Tim dari Penyandang Dana, juga ikut bermain agar Si Kandidat menang pada waktu Pilkada. Jika, menang maka Si Kepala Daerah dan Penyandang Dana mempunyai perhitungan dan hubungan tersendiri, dan khusus, yang sudah tak melibatkan para Tim Sukses.
Jadinya, walau disebut hibah, grant, sumbangan, atau apalah, semuanya tak sesuai dengan sebutannya. Kepala Daerah (yang dibantu itu), harus membuka peluang agar Penyandang Dana mendapat kembali dana yang ia telah keluarkan, (ingat bahwa dalam proposal dan perjanjian tertuang juga potensi ekonomi daerah yang bisa dikembangkan).
Jika para Kandidat yang mendapat dana dari Si Penyandang Dana itu kalah (tipis, dan ada peluang menang melalui berpekara), maka akan muncul gugatan atau berperkara di MK; dan di tempat itulah MK, bisa terjadi hal yang terbalik-balik, tak masuk akal sehat, serta di luar ranah keadilan dan kebenaran. Mengapa bisa terjadi, kita sudah tahu jawabannya ketika Akil Mocthar tertangkap KPK.
Jika Si Kepala Daerah (yang menang melalui Pilkada maupun keputusan MK) adalah yang mempunyai ikatan dengan Si Penyandang Dana, maka ia akan melakukan gerakan serta usaha untuk membalas budi atau menggantinya. Ia pun (bisa) lakukan dengan berbagai cara yang halal, haram, maupun berupa penyimpangan, yang bisa disebut atau termasuk korupsi.
Lalu, di mana letak penyimpangan dan korupsinya Si Kepala Daerah!? ada banyak cara yang mereka bisa lakukan. Mulai dari mark up biaya perjalanan dinas, proyek fiktif, pemotongan/sunat dana bansos, bahkan pemontongan dana atau pun sucses fee dari Kreditur Bank Daerah dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jika Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, yang juga Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) menyatakan bahwa, “… sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005. Sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Awalnya hanya 173 kepala daerah, saya pernah bilang akhir tahun 2013 angka ini bisa menembus 300, ternyata belum sampai akhir (tahun) sudah lebih dari 300, …” [bisnis.com/antaranews.com].
Melihat kenyataan sepert itu, untuk meminimalisir praktik korupsi di daerah, Kemendagri mengusulkan pelaksanaan pilkada tidak langsung atau melalui perwakilan rakyat di DPRD untuk tingkat kabupaten dan kota; dan itu berarti harus diawali dengan/di DPR RI karena harus terjadi perubahan Undang-undang.
Jadinya, jika melihat gonjang-ganjing di MK, maka hal itu terjadi akibat ketidaktahanan serta ketidakmampuan Ketua MK (dan Hakim-hakimnya!?) menahan godaan serta jeratan Pemodal pada Pilkada. Mereka ikut terjerumus ke dalam nafsu dan permainan kotor demi kuasa dan kekuasaan.
Cukuplah ….
ngeluarin fakta nya sepotong2 dan dipotong2...
kacoo...
.
Proses Pilkada Dinilai Masih Korup
JAKARTA – Pemicu ratusan kepala daerah yang tersandera kasus tindak pidana korupsi bukan pada sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dan sistem pemerintahannya, tetapi pada proses pilkada yang dinilai korup sehingga menghasilkan kepala daerah yang korup.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan memandang, proses pilkada yang bermasalah mulai dari pengumpulan modal kampanye kepala daerah yang berlebihan hingga proses akhir pilkada yang penuh dengan money politics. Pilkada menjadi faktor, bukan kebijakan, melainkan prosesnya yang bermasalah.
Alasan ini pula yang membuat pilkada menjadi mahal. Para calon kepala daerah dengan segala cara mengumpulkan uang untuk modal kampanye. “Termasuk menghalalkan segala cara untuk memenangkan pilkada tersebut,” ungkap Ade Irawan saat dihubungi kemarin. Faktor lain, lanjutnya, sistem pengawasan lemah bahkan tidak berjalan.
Di samping rakyat juga lemah dalam mengawasi. DPRD sebagai perwakilan rakyat yang seharusnya mengawasi justru mencari keuntungan di daerahnya dengan mencari rente keuntungan lain, termasuk suap-suap dari para kepala daerah. Kemudian aparat penegak hukum di daerah juga tidak berjalan sebagaimana fungsinya.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Restuardy Daud menyebutkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat sebanyak 268 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Data ini diambil sejak sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung pada 2005 sampai Oktober 2013.
Ini membuktikan bahwa kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat belum tentu dapat mewakili aspirasi rakyat. “Faktanya, sebanyak 268 kepala daerah tersangkut kasus korupsi atau 86,7% dari 309 kepala daerah yang terlibat kasus hukum,” kata Kapuspen Kemendagri Restuardy Daud kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Sisanya atau sebanyak 13,3% tersangkut kasus yang bervariatif di antaranya kasus suap, penipuan atau penggelapan, penyalahgunaan izin tambang dan hutan, pemalsuan dokumen, penganiayaan, pencemaran nama baik, penyalahgunaan narkoba, penghinaan, dan perjudian. kiswondari
Relat