It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Fliki, ini pasti Tristan ya? Atau new tristan??
Astagaaaaaaa, maksudnya KRISTAN.. Perasaan, gue sering banget salah nama.. #malu #ngumpet di lemari
Masih ada yg salah, yg bener itu lagi pula, bukan lagipula.
Gaya bahasanya khas bang Friki, nggak ada yg baru. Jadi aku nggak bisa ngerasain karakter si 'aku' dengan baik. Persamaan karakter si aku ini dengan cerita bang Friki yg lagi on going itu sama. Jadi aku ngerasainnya kayak nggak ada yg baru.
Tambahin lagi detail si aku ini, biar ada hal yg membedakan dia sama karakter yg bang Friki buat sebelumnya. Aku tahu ini masih chapter pertama, tapi chapter pertama menentukan keyakinan seorang pembaca untuk membaca chapter2 selanjutnya.
Tapi aku bakalan nunggu kok, lihat di next chapt bakalan kayak apa, adakah detail yg bisa membuatku bertahan untuk ke next chapter.
Hohohoho, maafkanlah mulut editorku ini )
Oke, dicatet. Ntar ditarik
*Masdabudd:
Bukannya gak mau kbar2, cuma gak mungkin kan aku narik semua orang yang kukenal cuma buat baca cerpen ini. Kesannya jadi maksa gitu. Aku kan gak suka maksa-maksa. Aku punya hati yang lembut. #uhukuhuk
*Iansunda:
Mistik? Kok bisa?
*Rendifebrian:
Setengah cerita? Kata itu cuma ada 3 kali Ren, coba itung. Hahaha tapi aku paham kok poinmu. Mungkin karena gaya bicaraku yang kebawa2. Thanks anyway.
Soal yang baru-baru atau yang ‘beda’ dari cerpen ini (gak cuma tentang tokoh, tapi juga konflik, tema, ending), aku malah gak kepikiran sejauh itu saat bikin ini cerpen. Jadi, sebelum nulis ini aku bener2 gak mikirin buat mau ngasih sesuatu yang baru atau yang beda. Jadi, kyaknya kamu gak bisa dapetin itu di sini.
Musuko ? hem
@Ularuskasurius @Irfandi_Rahman @Tialawliet @Adityashidiq @Monic @Zhar12 @Rizky_27 @Bayumukti @Waisamru
Met baca......
@aaazzzhaha
Aku sama sekali gak tahu apa-apa soal manga dan kurang suka sama yang jepang2 (kecuali beberapa anime di tv). Jadi bisa dijelasin lebih detail sama analisanya (walaupun baru satu part cerita yang belum kelihatan apa-apa)? Apa yang mirip itu mayor (semacam alur, konflik, dan penyelesaiannya) atau cuma unsur kecil (semacam tema atau karakter tokoh)?
Fog
(Part 2/6)
****-****
Kami tiba di depan sebuah rumah sederhana. Tidak jelek, hanya saja tidak mewah dan ukurannya lumayan kecil jika dibanding rumah-rumah yang lain. Tidak ada perubahan besar yang kulihat sejak pertama kali aku datang ke sini enam tahun lalu. Rumah Danang mempunyai halaman luas dengan jalan setapak dari pecahan batu-batu kecil ditata rapi yang menghubungkan jalanan dengan teras. Gentengnya dari tanah liat model lama yang sekarang sudah bewarna coklat kehitaman. Tiang-tiangnya dari kayu jati yang kelihatan hampir lapuk, tanpa di cat.
Di samping kiri dan kanan jalan setapak semuanya terlihat hijau. Rumput jarum mengisi penuh halaman. Di sepanjang tepi halaman ada pagar putih yang bagian bawahnya berlumut. Pohon sirsak tumbuh di beberapa tempat. Aku sudah menghitungnya, ada delapan pohon. Rumah ini tergolong terpencil karena tidak ada tetangga sejauh kurang lebih setengah kilometer. Hanya ada ladang kol, sawi, dan sayur-sayuran yang lain. Juga, bukit tinggi dengan pepohonan sejauh mata memandang di belakang rumah. Hawanya sangat dingin karena rumah ini berada di lerang Gunung Lawu.
Seperti biasa, aku memberi Danang privasi. Dia kubiarkan turun dari mobil lebih dulu. Sedangkan aku akan menyusul beberapa menit setelahnya sambil membawa semua perlengkapan kami dari Jakarta. Dia akan mengitari halaman sebelum masuk ke dalam rumah. Melihat delapan pohon buah sirsak yang ditanamnya beberapa tahun lalu, melihat daun yang jatuh, dan melihat dahan-dahannya. Kali ini, ada yang berbeda. Dia memetik beberapa daun dari tangkainya lalu memasukkannya ke dalam tas yang dia bawa sebelum masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
Saat aku berniat turun dan membuka pintu mobil, bayangan Herman terlihat lagi di dalam kaca spion. “Dia sudah menanam banyak pohon sirsak untukmu. Biar kutebak, kamu tidak mengambil daunnya satu pun? Apa kamu tahu apa itu ‘menghargai usaha orang’?”
“Aku tidak butuh,” jawabnya dingin.
“Dan itu cukup membuatku semakin curiga. Apa tujuh tahun itu waktu yang sebentar untuk ukuran sisa hidup orang yang menderita leukimia kronis tanpa pengobatan? Lagipula orang sakit sepertimu tidak mungkin punya badan sehat dan sekekar itu.”
“Kenapa heran? Apa kamu yang menentukan kapan aku akan mati?”
“Iya. Jika aku membunuhmu sekarang, kamu akan mati,” jawabku judes.
“Dia sedang menuju ke sini,” potongnya cepat. Aku menoleh ke arah rumah. Danang terlihat di teras dan sesuai yang Herman bilang, dia tengah menuju ke sini. Tas kecil yang dia bawa tadi sudah tidak ada. Mungkin dia sudah menaruhnya di dalam. Dia mengganti jaket denimnya dengan sweter biru tua yang menutupi hampir seluruh leher dan membuat badannya jauh lebih besar.
“Apa kamu butuh bantuanku membawa barang-barang?” teriaknya dari kejauhan.
Aku langsung turun dari mobil.
“Tidak perlu, aku bisa sendiri,” balasku. Tapi, aku tetap melihat dia berjalan ke arah mobil. Saat aku turun, aku mendapati posisi Herman persis seperti saat aku melihatnya di pemakaman. Seluruh permukaan punggungnya menempel pada mobil, tapi bagian pinggang sampai kaki miring ke depan dan bertumpu pada tanah dengan keras untuk menahan seluruh beban tubuhnya agar tidak merosot ke bawah. Sehingga, membuat tinggi badannya tidak melebihi tinggi mobil. Kakinya tepat berada di samping ban belakang. Jadi kusimpulkan, dari posisi Danang, Herman benar-benar tidak akan terlihat. Ditambah kaca mobil yang tidak transparan.
Herman menatapku sebentar seperti meminta pertolongan sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kamu selalu merepotkan!” desisku sangat lirih padanya sebelum kembali menaruh perhatianku pada Danang. “Aku akan membawanya, jadi kamu tinggal tunggu di dalam. Tidak banyak barang, kan?”
Ucapanku kali ini benar-benar menghentikan langkah Danang. Dia berhenti beberapa meter agak jauh dari mobil tepat di samping pagar rumahnya dan masih terus menatapku seolah-olah memastikan kalau aku benar-benar tidak butuh bantuannya. “Kamu kelihatan capek. Istirahat saja di dalam. Kamu membutuhkannya,” tambahku.
“Tidak, tadinya aku mau jalan-jalan keliling sebentar.”
Dia memutar badannya dan mulai berjalan ke arah jalanan. Tapi belum apa-apa, dia langsung berhenti dan berbalik menghadapku lagi. Tidak benar-benar menghadapku sebenarnya. Dia hanya menghirup udara dalam-dalam beberapa kali sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru langit. Dadanya membusung sementara kedua tangannya berkacak pinggang.
“Kenapa?” Aku bertanya dan berhasil menarik perhatiannya. “Serasa benar-benar di rumah, kan? Merasa kalau Herman sedang mengawasimu?”
“Ya, berada di sini selalu membuatku merasa dekat dengannya. Seperti katamu, mungkin karena ini memang di rumah. Rasanya aku bisa mendengar suara Mas Herman berteriak dan memanggilku dari kejauhan, seperti saat aku masih kecil. Dia sering membeli biskuit keju untukku.”
Dari ekor mataku, aku bisa melihat Herman mengeratkan dekapan tangannya yang ada di depan dada. Pandangannya kosong.
“Kamu sedang berkonotasi, ya? Semacam, kamu dekat dengannya karena dia selalu ada di dalam hatimu?” tanyaku dengan nada mengejek. “Entah kenapa, setiap melihatmu seperti ini, kamu kelihatan jadi sangat manis.”
“Aku tidak manis!” Dia memperlihatkan wajah bosan dan jengkelnya. “Kamu tahu kalau aku paling benci pelajaran bahasa. Jadi aku sedang tidak berkonotasi. Itu tadi hanya imajinasi,” gumamnya sebelum pergi meninggalkanku.
Aku langsung bergerak mendekat ke samping Herman, lalu membuka pintu mobil. “Mau sampai kapan kamu akan main kucing-kucingan dengannya seperti ini?” Aku melirik lagi ke arah Danang pergi, yang sosoknya hilang di tikungan depan.
“Sampai dia merasa bosan untuk peduli lagi padaku. Lalu melupakanku,” jawabnya sembari membantuku mengeluarkan beberapa tas yang berisi pakaian dari dalam mobil.
“Kamu adalah keluarga satu-satunya yang dia punya dan kamu ingin dia melupakanmu? Apa ada yang lebih konyol lagi? Apa alasannya? Penyakitmu itu? Sehingga kamu ingin membuatnya terbiasa meneruskan hidup sempurnanya tanpa cemas karena memikirkanmu lagi? Kamu tidak ingin membuatnya repot? Tidak ingin dia terbebani? Atau dulu kamu pernah menghamili pacarnya? Oh, atau kamu membunuh kucing kesayangannya dan sampai sekarang tidak mau dia tahu? Apa ada alasan lain lagi? Aku jadi tidak heran kalau kamu bisa sedramatis itu.”
Dia merebut satu tas yang ada di tanganku dan langsung berjalan ke arah rumah. Aku mengikutinya dari belakang. Dia sama sekali tidak terlihat kepayahan dengan satu tas ransel besar di punggungnya dan dua tas besar yang ada di kedua tangannya. Benar-benar tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit parah. Dan juga semangat kulinya yang tidak pernah padam.
“Bukannya kamu menyukai semua hal yang terkesan dramatis?” tanyanya. “Seperti saat kamu mengangkat cerita tentang skandal cinta monyet bodohmu itu ke dalam novel. Sangat menggelikan setelah tahu kalau usia tokohnya sepuluh tahun lebih tua dan kamu mengubah lingkungannya menjadi dunia kerja. Aku bahkan tidak lulus SMP.”
“Itu karena kupikir emosi anak SMP dan SMA terlalu labil dan kurang cocok kalau merasakan cinta-cintaan yang sedikit serius. Lagi pula aku menggambarkan karaktermu persis aslinya. Cowok yang terlihat dingin dan keras di luar, tapi berhati lembut dan penuh kasih sayang di balik rasa rendah dirinya yang tinggi. Menurutku itu sangat seksi.”
“Sudah kubilang jutaan kali kalau aku tidak punya sisi lembut,” selanya cepat. Dia menaruh tas-tas itu di meja ruang tengah. Lalu mengeluarkan semua bajuku dari sana dan menumpuknya. “Apa kamu benar-benar mencium dan meraba-raba tubuhku saat pertama kali aku menginap di rumah kakekmu? Kenapa aku sampai tidak tahu?”
“Dengar!” kataku berusaha tenang. “Kita hanya bertemu setahun dua kali. Apa pada akhirnya hanya ini yang kudapat? Serentetan panjang keluhan tentang karaktermu dalam novelku? Beruntung saja aku tidak menulis kalau sudah memperkosamu malam itu.” Gerakan tangannya yang semula masih merapikan baju-bajuku terhenti seketika. Dan aku dapat tatapan tajam. “Hanya bercanda. Tidak lucu, ya?” imbuhku cepat.
“Terus saja melucu. Siapa tahu aku benar-benar bisa mengingat cara tertawa.”
Aku mengambil langkah ketika dia akan pergi begitu saja, lagi, tanpa memberitahuku seperti yang sudah-sudah. Lengannya kugenggam erat dan tubuhnya kudorong hingga tembok menghentikan doronganku. Begitu dia ingin menghindariku, aku menahan dadanya dengan lengan bawah kiriku. Kurasa aku butuh saat-saat seperti ini dengannya sedikit lebih lama. Karena udara yang dingin tidak lagi kurasakan dingin ketika dia memang selalu berhasil membuatku terbakar dengan mudah. Bukan terbakar dalam artian marah atau sejenisnya.
“Aku jadi teringat pelajaran fisikaku saat SMA,” ujarku kemudian. “Semakin dingin suhu es, maka energi kalor yang dibutuhkan untuk mencairkannya akan semakin besar. Dan juga berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencairkannya. Aku tidak keberatan jika sekarang bisa menjadi ‘panas’ yang luar biasa untuk mengalahkan sikap dinginmu itu. Atau kalau mau, aku bisa menahanmu di sini sedikit lebih lama. Jadi, satu ciuman sebelum kamu pergi? Aku benar-benar ingin merasakannya.”
“Kamu sudah tahu rasanya. Tiga kali, kan?”
“Yang di dalam novel itu lagi maksudmu? Itu tidak nyata, itu hanya fantasiku.”
“Lalu bagaimana jika kenyataan tidak akan sama dengan fantasimu? Kecewa?”
Aku menghilangkan sedikit jarak di antara wajah kami sehingga udara yang dihembuskannya terasa hangat di bibirku. “Kalau begitu akan kutanggung resikonya. Memangnya kamu pikir ditolak mentah-mentah sebanyak dua belas kali tidak membuatku sakit hati?”
“Kurasa kamu melewatkan satu sifat aslimu di dalam novel itu.”
“Bisa berhenti mengeluh tentang novelnya?” kataku mulai meninggi. Kesal. “Memangnya apa yang kulewatkan kali ini? Sikap murahan dan sentimentalku yang seperti sekarang? Ini belum apa-apa. Biasanya aku sudah bisa menyeret pacarku ke tempat tidur di kencan pertama.”
Kali ini dia menggenggam lenganku dengan kuat. Sepertinya tidak terlalu sulit kalau memang hanya ingin mendorongku mundur agar menjauh darinya. “Aku tidak punya banyak waktu untuk main-main. Pekerjaan menungguku.”
“Masih mengangkut pasir dan memecah batu di sungai? Boleh aku ikut?”
Kedua alisnya terangkat. “Untuk apa?”
“Aku butuh deskripsi fisik yang detail untuk tokoh di cerita baruku. Kurasa aku tidak akan kecewa jika harus melihatmu telanjang. Atau setengah telanjang. Kehidupan keras, pekerjaan berat, aku tidak harus meragukan bagaimana bentuk tubuh di balik baju itu, kan?”
Dia terlihat bersiap-siap menyindirku. Dimulai dengan senyum dan tawa sinisnya. “Kamu punya banyak ‘teman’, kan? Mereka sangat banyak. Tinggal pilih salah satu saja. Apa itu sulit?”
“Semua itu hasil fitnes, jadi rasanya sangat beda. Atau kamu bisa mengirimkan beberapa foto pribadimu untuk bahan koleksiku? Apa kamu pikir tidak cukup menyedihkan menyukai seseorang tapi satu foto pun aku tidak punya? Jangankan aku, adikmu sendiri saja juga tidak punya. Jauh lebih menyedihkan, dia bahkan me-laminating kertas ukuran foto, menuliskan namamu di kertas itu dengan spidol hitam dan menyimpannya di dalam dompet. Apa aku sudah cerita?”
Pandangan dinginnya tidak berubah. Tapi aku tahu kalau obrolan tentang Danang akan selalu melukainya dengan mudah. Ucapanku akan sama seperti pisau yang kulemparkan tepat ke dadanya.
Teriakan Danang dari halaman depan membuatku terkejut. Saat aku mengintip dari balik jendela depan, Danang sedang berlari cepat ke arah rumah. Ekspresinya sangat panik, seperti seseorang menemukan mayat terapung di dalam sumur. Atau dulu saat dia pertama kali menemukan beberapa bungkus kondom dan majalah porno di dalam laci kamarku.
“Oh, adikmu sudah pulang. Sebaiknya kamu sembunyi di suatu tem...” Saat aku berbalik, Herman sudah menghilang. “Lupakan!”
Begitu pintu terbuka, Danang menumpukan kedua telapak tangannya pada lutut sementara napasnya terengah-engah. Walaupun cuacanya dingin, tapi aku bisa melihat keringat yang membasahi pelipisnya. Aku yakin dia benar-benar berlari cepat seperti orang kesetanan.
“Ada apa? Kamu dikejar anjing gila?”
Dia tidak menjawabku, melainkan melangkahkan kakinya mengitari ruangan. Lalu dengan cepat bergerak ke arah kamarnya. Dan terakhir, memeriksa dapur.
“Ada yang salah dengan tempat ini. Iya, kan?”
Karena tidak bisa menangkap inti dari ucapannya secara langsung, aku berpikir keras dan mengamati sekitar. Tepat di mana aku berada, ruang tengah yang cukup lenggang. Hanya ada meja kotak memanjang ukuran sedang di tengah-tengah ruangan dengan tiga kursi kayu yang cukup tua. Lantai terbuat dari ubin bewarna abu-abu kotor yang dinginnya menyengat kulit kakiku. Dinding-dindingnya tidak di cat, sehingga masih tampak batu bata merah yang tersusun rapi dan berpola. Di ujung ruangan ada satu rak kayu dengan televisi dan radio tua yang sudah rusak. Di sampingnya ada tumpukan buku dongeng dan buku pelajaran SMA. Sementara di bagian atas dinding ada lambang garuda, jam dinding, dan foto presiden. Semuanya tidak ada yang aneh, masih sama dengan terakhir kali kami ke sini enam bulan lalu.
Saat aku memeriksa kamar, semuanya ada pada tempatnya. Hanya ada satu ranjang besar, satu meja kecil di dekatnya dan dua buah lemari kayu satu pintu. Di dapur ada dua kompor minyak. Di dinding-dindingnya tergantung beberapa wajan dan panci. Sementara di pojok ruangan dapur ada satu pintu, kamar mandi.
“Aku tidak paham dengan maksudmu, Dan.”
“Semuanya bersih,” jawabnya singkat.
Teringat pertama kali aku datang ke sini, semua ruangan memang kotor bukan main. Debu melapisi lantai dan permukaan meja. Tempat tidur apek dan lembab. Di langit-langit dipenuhi sarang laba-laba. Rumput liar memenuhi halaman depan. Untuk membersihkan semuanya, kami butuh waktu seharian. Karena itulah aku menyuruh seorang nenek tua yang tinggal di ujung jalan setengah kilometer dari sini untuk membersihkan rumah ini secara teratur. Aku memberinya upah yang cukup. Sehingga setiap tiba di sini tanggal 31 Juli dan 20 Desember, aku dan Danang bisa langsung bersantai tanpa harus repot-repot kerja rodi.
Danang memberitahuku dengan wajah yang serius, “nenek yang biasa membersihkan tempat ini, meninggal lima bulan lalu. Aku baru saja dapat kabar itu saat mengunjungi rumahnya. Rumahnya kosong.”
“Lalu siapa yang memberitahumu?”
“Tetangganya.”
Aku sudah mengerti kemana arah obrolan kami. Jika nenek itu sudah lama meninggal, seharusnya saat kami datang ke sini, rumah tidak dalam keadaan bersih seperti ini.
“Ini seperti baru kemarin atau beberapa jam lalu dibersihkan. Tidak ada debu, di atas ubin masih ada bekas air pel, sisa-sisa potongan rumput liar di halaman masih hijau dan belum kering,” jelasnya penuh semangat.
“Jadi kamu berpikir kalau kakakmu yang melakukan ini semua?”
Aku melihat ekspresi kecewa di wajahnya. Untuk sesaat, aku langsung menyesali nada bicaraku yang terkesan biasa-biasa saja. Sama seperti tiga tahun lalu saat Danang dengan antusiasnya memberitahuku kalau dia melihat burung elang besar seukuran sepeda motor balap bertengger di atap rumah. Tanpa basa-basi, aku langsung mengulang perkataanku dengan nada yang lebih serius, antusias, dan penuh ingin tahu. “Maksudku, jadi kamu berpikir kalau kakakmu datang ke sini dan membersihkan rumah ini sebelum kita datang?”
Kuharap nada bicaraku tidak berlebihan.
Usahaku sepertinya sia-sia karena Danang justru tidak terlihat antusias menanggapiku. “Kenapa? Kamu ingin bilang aku berimajinasi lagi? Karena terobsesi untuk menemukan Mas Herman? Kalau bukan dia lalu siapa lagi yang peduli?”
“Mana aku tahu? Tapi biasanya orang yang sudah renta pasti merasa sakit terlebih dulu sebelum... ehm... meninggal. Aku sudah memberinya upah, mungkin ada orang lain yang menggantikannya? Mungkin cucunya atau bisa siapapun.”
Bibirnya terkatup rapat, seperti ada lem di antara kedua bibir itu yang tidak membiarkannya membalas pendapatku. Kurasa jika Herman mendengar obrolan kami, dia pasti akan setuju denganku. Setidaknya dia memang selalu setuju dengan semua hal yang bisa menjauhkannya dari Danang.
Danang berbalik cepat. Sambil berlari, dia berteriak padaku, “aku akan bertanya pada orang-orang di sana. Aku yakin kalau Mas Herman memang ke sini. Aku akan segera kembali.” Suara Danang perlahan menghilang seiring semakin jauhnya jarak di antara kami.
“Herman! Kamu benar-benar melakukan ini?” Aku bertanya pada Herman saat dia sudah kembali dari persembunyiannya dan sekarang tengah duduk di kursi sambil menikmati keripik singkong balado yang kubawa dari Jakarta. Aku sangat yakin dia tadi sembunyi di dalam kamar mandi. Beruntung Danang tidak memeriksanya.
“Ya.” Dia menjawab seolah tidak peduli.
“Kamu tidak takut ketahuan Danang kali ini?”
Lagi-lagi saat nama Danang terucap dari mulutku, Herman selalu terpaku untuk beberapa saat. “Aku sudah sembunyi selama tujuh tahun. Kamu pikir aku akan semudah itu ketahuan? Aku memang selalu di sini, tapi lihat! Dia bahkan tidak tahu kalau aku benar-benar ada di dekatnya selama ini. Lagi pula semua ini akan berakhir.”
@Rizky_27
Dan ITU SALAH KETIK NAMA
Pantes kgk masuk.
Bukan Adityashid(iq) tapi Adityashid(qi) =_=