It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ngga nyangka ternyata semua masalhnya karena herman salah paham dengan surat yang danang buat ..
lanjut lagi ..
jadi itu akar masalahnya gak nyangka bakal serumit itu hanya krna kurang komunikasi & saling terbuka
#geleng2kepala
O.o
titip mention dong pendtng bru ni.
Fog
(Part 6/6)
****-****
Sejak tadi pagi, Danang seperti tidak bisa melakukan kegiatan lain selain berdiri di samping jendela ruang tengah, memandang lurus ke arah luar dan bertanya padaku tentang sesuatu yang tidak penting. Aku sudah mulai bosan ketika dia mengajukan pertanyaan seperti: ‘Apa menurutmu Mas Herman benar-benar akan datang ke sini dan minta maaf padaku?’, ‘Apa menurutmu tadi pagi kata-kataku sedikit keterlaluan?’, ‘Apa menurutmu aku berhasil membuatnya merasa bersalah?’, ‘Apa menurutmu dia justru tidak akan datang dan akan menghilang lagi?’ atau ‘Apa menurutmu aku sebaiknya mencarinya dan minta maaf?’
Sekarang sudah jam lima sore, tepat sembilan jam sejak pertemuan Danang dan Herman di pemakaman. Tapi, sampai sekarang aku masih belum melihat tanda-tanda kehadirannya. Yang kulihat selama sembilan jam penantian kami hanyalah raut gugup Danang, juga tas besar Danang yang berisi barang-barangnya yang ada di atas meja di depanku.
“Kamu masih ingat rencananya, kan?”
Itu adalah pertanyaan yang kesekian yang hanya kujawab dengan anggukan malas, mengingat sebentar lagi aku harus memenuhi permintaan aneh Danang. Rasanya seperti awalnya aku tidak tahu apa-apa, lalu Danang memberiku naskah drama yang harus kuhafal dalam waktu beberapa jam tanpa memberiku latihan yang cukup, bahkan saat rasa tidak percayaku masih sangat besar. Aku bukannya tidak bisa melakukannya, hanya saja aku takut salah bicara atau melewatkan sesuatu. Kecuali jika aku bisa berimprovisasi dan terus menjaga ekspreasiku seolah-olah aku baik-baik saja dengan apa yang kuhadapi. Masalahnya adalah, aku harus berduaan dengan orang yang kucintai sekaligus calon suami orang. Bagaimana hal itu akan membuatku merasa baik-baik saja?
“Apa aku benar-benar tidak akan menerima sebuah hadiah seperti malam yang meyenangkan atau beberapa momen-momen romantis dengannya? Kamu tidak keberatan, kan?”
Danang mendekat ke arah meja dengan ekspresi tegang yang pernah kulihat selama tiga hari terakhir. “Kuberitahu sesuatu! Mas Herman itu tidak sama dengan pria-pria yang bersamamu selama ini. Dia itu... dia...”
“Dia apa?” tanyaku menyela kebingungannya. “Masih perjaka sepertimu? Memiliki jiwa yang kolot yang tidak akan berbuat macam-macam dengan orang yang kamu cintai sampai adanya sebuah komitmen?”
Sangat lucu jika Danang bersikap seolah-olah dia adalah satu-satunya orang yang paling tahu semuanya tentang Herman. Yang dia tahu hanyalah masa lalu Herman, sifat dan semua hal tentang Herman sebelum tujuh tahun lalu. Dan sekarang, aku yakin dia mulai sadar kalau sebenarnya tidak cukup tahu tentang kakaknya, setidaknya setelah mereka berpisah selama tujuh tahun.
Danang terlihat sangat kesal padaku. Tapi, dia tidak membalas atau mencoba memperingatkanku lagi. Dia hanya melangkah mendekati pintu kamar dan menguncinya sebelum menarik kunci itu dan menggenggamnya erat-erat.
“Tidak ada acara berdua di kamar, oke? Lakukan saja apa yang sudah kukatakan padamu!”
“Lagipula dia tidak akan mau.”
Danang tergesa-gesa meraih tas besar yang ada di atas meja, memasukkan kuncinya ke dalam sana sebelum menatapku tajam. “Aku pergi sekarang saja. Ingat tugasmu, kan?” tegasnya. “Dan bilang pada Mas Herman kalau aku masih marah!”
****-****
“Hei,” sapa Herman padaku dengan gugup setelah aku membuka pintu rumah untuknya.
Kali ini, tampilannya sedikit lebih rapi. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak merah tua lengan panjang yang ditekuk sampai siku. Dua atau mungkin tiga kancing atasnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaos putih polosnya. Celana hitamnya bersih dan tidak kusut yang bagian ujung bawahnya ditekuk sehingga aku bisa melihat sandal kulit bewarna cokelat tua. Dari semua yang kuperhatikan, hanya ekspresinya yang tidak berubah. Masih menyedihkan seperti orang yang terkena masalah yang tidak akan selesai sepanjang sisa hidupnya. Di saat-saat seperti ini sebenarnya aku mengharapkan sebuah momen yang membuatku merasa terbius dengan kharismanya. Tapi, aku tahu hal itu semakin mustahil kudapatkan setelah tahu dia akan menikah dan aku akan mengalami saat-saat patah hati yang menyedihkan.
“Kenapa lama sekali? Ini sudah empat belas jam sejak kejadian tadi pagi.”
Herman menunduk. “Mungkin karena aku butuh banyak waktu untuk merenung dan menyesali tindakan konyolku selama ini.”
“Jadi Yoga sudah cerita semuanya padamu?”
Dia mengangguk pelan dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. “Danang sudah pergi?”
“Ya, dan aku harus menahanmu di sini sampai Danang pulang. Hanya untuk memastikan kalau kamu tidak kabur lagi. Walaupun kamu sudah tidak punya alasan lagi untuk melakukan itu.”
Aku berbalik dan duduk di atas tikar yang tadi sudah kusiapkan di samping pintu masuk kamar tidur. “Jadi kamu sengaja menunggu Danang pergi baru kamu mau datang ke sini? Karena kamu terlalu malu dan belum siap bertemu dengannya lagi setelah kamu tahu kebenarannya?”
“Iya.” Dia ikut bersandar pada dinding di sampingku, memandang lampu ruangan di atas kami. “Jujur saja aku masih tidak percaya. Sebelum ini kamu selalu bilang padaku kalau Danang selalu bersikap dingin pada wanita, tidak tertarik dan semacamnya. Tapi sekarang dia sudah punya calon istri yang tinggal di Solo dan akan mengenalkannya padaku besok lusa?”
“Kurasa itu cukup adil. Kita sudah membohonginya selama tujuh tahun dan dia membohongi kita selama sepuluh tahun. Cinta monyet dan cinta jarak jauh yang sekarang dia ingin kejar kembali? Kurasa itu cukup romantis.”
“Aku bahkan tidak tahu kalau dia dulu punya pacar sewaktu SMA. Dia tidak pernah cerita,” imbuh Herman. “Tapi itu tidak penting lagi, kan? Karena sebentar lagi dia akan menikah.”
“Danang memang akan menikah,” sahutku. “Tapi tentu saja dia tidak mau mendahuluimu. Dia akan bertunangan lebih dulu dan menikah setelah kamu menikah. Jadi, katakan padaku kapan kamu akan menikah agar Danang bisa menyiapkan semuanya tepat waktu.”
“Kamu... ingin tahu?” tanyanya. Aku mengernyit karena menangkap sedikit nada gugup di suaranya.
“Setelah kalian bertemu setelah kesalahpahaman selama tujuh tahun itu, kamu pasti ingin Danang hadir di pernikahanmu, kan? Dia adikmu! Aku juga ingin datang. Jadi katakan, tanggal berapa kamu akan menikah?”
Posisi duduknya tidak tenang, sementara dia mencuri pandang ke arahku beberapa kali.
“Tenang saja,” kataku mencoba kembali tenang. “Aku ingin datang ke pernikahanmu bukan berarti aku berniat merusak acara. Lagipula dari kelas satu SMP, kamu bilang hubungan kita memang tidak mungkin bisa berhasil, kan? Aku sudah terbiasa. Setiap tahun kamu selalu membuatku menahan perasaanku sendiri. Memang aku sedih dan kecewa. Tapi kalau itu keputusanmu ya apa yang bisa kuperbuat?”
Herman masih diam membisu.
“Jadi, kamu tidak mengundangku?” tanyaku lagi. “Atau...”
Mataku membulat saat menatapnya. Dugaan kecil yang terlintas di kepalaku memicu tanganku mengepal keras sementara Herman mulai terlihat salah tingkah.
“Herman, katakan padaku kalau memang ada pernikahan!” perintahku. Tapi, dia semakin membisu. Aku benar-benar paham sekarang. Rasa-rasanya seperti ditampar keras.
Aku berdiri spontan, membuat tikar yang kududuki menjadi kusut dan sedikit berantakan. “Aku tidak percaya ini,” keluhku setengah berteriak. “Kamu membohongiku? Selama bertahun-tahun aku selalu mencoba menjadi orang yang bisa kamu percaya dan kamu andalkan dan pada akhirnya hanya ini yang kudapat?”
“Aku tidak punya cara lain. Kamu pernah bilang sebelumnya, mungkin ini memang gayaku untuk menyelesaikan masalah dengan cepat,” balasnya setengah berteriak. “Tidak hanya Danang, tapi kamu juga selalu membuat posisiku lebih sulit. Sudah kubilang jangan mengharapkanku, aku tidak punya apa-apa.”
“Dan kebohongan itu adalah cara terakhir dan menurutmu paling ampuh yang kamu gunakan untuk menyelesaikan masalah? Salah satunya agar aku bisa benar-benar mulai melepasmu dan tidak terlalu banyak berharap? Hebat! Aku baru sadar kalau ini memang benar-benar gayamu. Seharusnya aku tidak heran setelah tahu kamu bisa dan tega membohongi adikmu selama bertahun-tahun.”
“Apa aku salah? Di akhir cerita novelmu, aku memang menikah, kan? Tapi kamu ikut bahagia walaupun kita tidak bisa bersama. Kupikir kamu akan merasa seperti itu saat aku bilang akan menikah.”
“Bisa tidak kamu berhenti membahas novelku?” balasku tak kalah kesal. “Sudah kubilang itu hanya cerita fiksi! Kamu pikir di dunia nyata aku akan membiarkan hidupku menjadi dramatis seperti cerita di novelku? Ikut bahagia melihat pria yang kucintai menikah dengan orang lain? Apa aku terlihat sekonyol itu? Kalau sudah tahu kenyataannya seperti ini, apa kamu pikir harapan itu tidak tumbuh lagi?”
“Ini sudah malam, sebaiknya kita tidur,” ujarnya lirih. Untuk kesekian kali dia menghindar. Dan untuk kesekian kali aku harus sabar dan menahan perasaanku.
“Aku akan ambilkan bantal dan selimut,” lanjutnya lalu berdiri dan menghampiri pintu kamar.
“Dikunci,” beritahuku padanya. “Danang menguncinya karena dia pikir aku akan... menggodamu.”
“Dan aku tidak mungkin membiarkanmu kedinginan,” jawabnya. “Mak... maksudku, aku tidak ingin kita kedinginan. Aku mungkin sudah terbiasa, tapi kamu tidak, kan?”
Dalam satu dobrakan keras, pintu kamar itu berhasil terbuka, terbantik membentur dinding dalam kamar. Saat Herman masuk ke dalam, aku mengikutinya.
Dia menumpuk dua bantal dengan lipatan satu selimut tebal. Lalu mengambil dua guling dan mengangkatnya. Langkahnya terhenti begitu aku berdiri menghalangi jalannya.
“Apa kamu tidak lelah?”
“Lelah bagaimana?” tanyanya tak mengerti.
“Hubungan kita, bukankah hubungan kita selama ini sudah banyak menguras... emosi? Dulu kamu berkali-kali menyuruhku mencari orang lain. Semuanya sudah kulakukan tapi perasaanku padamu pada akhirnya tidak bisa berubah. Apa lagi? Kamu juga mencintaiku tapi rasa rendah dirimu selalu bisa mengalahkannya. Apa kamu tidak capek? Ini bukan soal sehari atau dua hari, tapi lebih dari sepuluh tahun. Kalau Danang saja bisa mengejar cinta monyetnya, apa aku tidak boleh? Setidaknya kesabaranku selama ini sedikit membuahkan hasil.”
Perlahan, Herman menaruh semua bantal dan selimut kembali ke atas tempat tidur. Saat-saat tidak menyenangkan itu datang lagi. Karena jika aku melihat Herman kebingungan atau tersudut, pasti dia akan menghindar lagi, seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Mungkin aku harus sedikit menghilangkan suasana tegangnya. Persetan jika aku memang benar-benar akan terlihat murahan.
“Tidurlah denganku malam ini,” ujarku kemudian. Ini adalah cara terakhir yang bisa kulakukan. Kalaupun nanti Danang tahu, pasti dia hanya akan marah beberapa hari. Lalu dia akan mengetuk pintu rumahku dan datang dengan malu-malu untuk minta maaf, meskipun aku adalah pihak yang ‘bersalah’.
Di depanku, Herman terlihat kaget. Jadi, aku memutuskan untuk mengulangnya lagi. “Tidurlah denganku malam ini. Dan ketika aku bilang ‘tidur’, itu artinya kita akan melakukan sesuatu yang lain dan bukannya tidur secara harfiah. Aku bilang tadi sudah terlalu lelah dengan ikatan emosi di antara kita berdua yang tidak akan menemukan ujung. Jadi, aku ingin sebuah kontaf fisik sebagai penyelesaian masalahnya. Aku ingin merasakan kalau kita memang benar-benar dekat.”
Herman menggeleng pelan saat memandang tempat tidur. “Kurasa itu bukan ide yang baik.”
“Kenapa?”
“Aku pernah tidur di sini sendirian dan terkahir kali kuingat aku membuat tempat tidur ini roboh. Jadi, kurasa itu bukan ide yang baik.”
Aku mendengus setelah mendengar alasan konyol itu. “Apa lagi? Bola lampu akan meledak? Lemari pakaian menimpamu? Atau sarung bantal membuatmu tidak bisa bernapas?”
Dia menggeleng tak yakin lagi. Jadi, pada akhirnya aku mendekat dan berhenti tepat di depannya. “Jangan bilang kalau kamu belum pernah melakukan... ehem...nya.”
Reaksi dan ekspresinya benar-benar mirip seperti anak kecil yang belum tahu apa yang akan dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai di dalam kamar pada malam yang dingin. Keluguan di wajahnyanya membuatnya tampak semakin menggemaskan sementara tatapan matanya belum beralih dariku. Sepertinya dia tidak sadar kalau aku sudah melepas kemejanya.
“Dengar, walaupun sangat ingin, ada sebagian hati kecilku menyuruhku untuk memberimu pilihan. Kalau kamu memang tidak mau, aku tidak akan memaksa,” kataku penuh percaya diri. Tapi, aku segera tahu jawabannya saat dia memegang pergelangan tanganku ketika aku melangkah mundur.
“Aku miskin,” katanya lemah.
“Aku tahu itu.”
“Aku tidak pintar,” lanjutnya.
Aku menggigit bibirku. “Tapi kamu sangat seksi.”
“Dan aku tidak punya gelar atau pangkat atau pekerjaan yang membanggakan. Aku hanya pria dari desa yang ketinggalan jaman.”
“Dan kamu mencintaiku?” tanyaku langsung. Sebelum ini, aku tidak pernah mendengarnya mengucapkan kata itu. Aku yakin dia mencintaiku karena aku memang tahu.
Bibir itu mengatup rapat. Senyum perlahan mengembang dan saat mulutnya terbuka, dia memberitahuku dengan tenang dan yakin, “ya, aku mencintaimu.”
TAMAT
Dan trakir, aku ucapin terima kasih banget sama yang udah ngikutin sampe tamat. Terutama buat yang bersedia ngasih komen. Terima kasih juga buat yang silent reader, walaupun jumlah komen jauh lebih dikit dari click count-nya, aku gak mungkin maksa dan ngemis-ngemis minta komen bagi setiap orang yang baca, kan? Pokoknya, feel free aja. Kalau mau komen silahkan, kalau cuma pengen mau baca ya silahkan.
Oh ya, tentang tokoh ‘aku’, maap ya dari awal sampe akhir gak diketahui nama dan ciri-ciri fisiknya (Cuma ada beberapa sifat yang tersirat dari dialog dan narasi aja). Mungkin ini masuk itungan ‘aneh’, tapi aku berharap yang kayak gini gak terlalu menganggu.
yg minta dimention
@pria_apa_adanya
Pengen liat danang berpelukan ama herman