It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Peristiwa penangkapan teman tokoh gerakan pemuda itu sangat menggetarkan jiwa nasionalisku, sehingga di samping sumpah yang telah kuucapkan di bawah Sang Merah Putih yang berkibar dalam upacara resmi yang lalu.
Aku pun lantas bersumpah dalam hatiku, “Jiwa ragaku hanya untuk tanah air dan bangsa!” Dan semenjak itu aku berkeyakinan teguh, bahwa yang paling agung, luhur dan mulia di seluruh muka bumi ini, hanyalah tanah air dan bangsa Indonesia. Dan semenjak itu pula aku menjadi seorang nasionalis fanatik yang agak berlebihan.
Aku tidak perduli!
Benar atau salah tanah airku.
Di samping merasa bahagia karena telah mendapatkan pendidikan nasionalisme yang baik, aku pun bersyukur karena telah mendapatkan pendidikan sekolah yang sangat baik pula. Orangtuaku terutama ayahku, telah betul-betul berusaha agar aku bisa masuk ke sekolah yang terbaik.
Dan aku memang termasuk salah satu dari sedikit anak bumiputera yang bisa masuk Europees Lagere School, Sekolah Dasar elite jaman kolonial yang diperuntukkan khusus bagi anak-anak Belanda atau “Gelijkgestelden”, golongan orang bukan Belanda yang dipersamakan haknya dengan orang Belanda.
Kemudian aku meneruskan ke HBS, Hogere Bourger School, sekolah lanjutan lima tahun, juga teruama untuk anak-anak Belanda yang berada di Jakarta -Dulu Batavia- yang biasa disebut sekolah Menak. Untuk memasukkan ku ke HBS, ayahku harus meminta izin khusus dari “Assistant Resident”, pejabat dalam pemerintahan Hindia Belanda di bawah Gubernur tapi diatas Bupati, dan hanya belanda yang menjabatnya.
Jika di Kepanduan aku mendapat pendidikan yang sangat nasionalis, maka di sekolah aku mendapat pendidikan yang sangat kolonial. Di samping mengenal Untung Surapati, Diponegoro, Imam Bonjol atau Pattimura dari Sejarah Nasional yang diajarkan oleh salah seorang guru Taman Siswa yang juga pemimpin Kepanduan, aku pun mengenal pula Prins Willem van Oranje, Prinz Mauritz, Johan van Olden Berneveldt dan tokoh-tokoh sejarah belanda lainnya yang harus kupelajari dari “Ons Vaderlands Geschiedenis”, Sejarah Tanah Air Kita. Tanah air kitanya Belanda.
Aku pernah malu pada diriku sendiri. Karena pada waktu awal pelajaran kepanduan menjelang pelantikan, aku pernah tidak bisa menjawab ketika ditanya siapa pencipta lagu Indonesia Raya. Aku memang belum mengenal WR. Supratman ketika itu, walaupun aku sudah sering menyanyikan Indonesia Raya dengan baik.
Padahal pada saat yang sama andai saja aku ditanya siapa pencipta lagu Wilhelmus –lagu kebangsaan Belanda- aku pasti aka menjawab dengan lancar dan benar, dia adalah Marnix van Sint Aldegonde.
Tetapi bagaimanapun pendidikan kolonial di sekolah tidak melunturkan jiwa nasionalku, sekalipun aku selalu mengalami pertentangan batin. Tetapi pertentangan batin yang timbul dari kesadaran nasional itu lambat laun justru membikin jiwaku bertambah fanatic nasional.
Di jaman Kolonial orang-orang Belanda, apalagi yang memiliki kedudukan penting, rata-rata sombong dan tinggi hati. Tetapi tidak dengan salah satu kenalan ayahku. Dia adalah Ir. Hengelman, Direktur KES, Koningin Emma School, STM di Surabaya yang saat itu masih satu-satunya di Jawa Timur Sebelum Perang Dunia II.
Ir. Hengelman yang sebenarnya seorang ahli elektro dan fisika, ternyata juga sangat ahli dalam bidang teknik bangunan sipil. Dan beliau juga sangat gemar olahraga tenis.
Ayahku, di samping seorang arsitek yang cakap juga seorang pemain tenis yang sangat menonjol. Di lapangan tenislah ayahku berkenalan dan kemudian bergaul akrab dengan Ir. Hengelman.
Ayahku memperdalam ilmu teknik bangunan dan arsitektur dari Ir. Hengelman. Dan sebaliknya, Ir. Hengelman mempelajari teknik bermain tenis dari ayahku. Arsitek Haryo. Lama-lama semua anggota keluarga Hengelman mengenal baik semua anggota keluarga Haryo, keluargaku.
Apakah aku terlalu panjang bercerita hingga lupa memperkenalkan diri? Namaku Bramantyo Haryo. Anak sulung dari 2 bersaudara putra Tuan dan Nyonya Haryo. Adikku bernama Reni Sahfitri Haryo. Cukup? Sepertinya iya.
Seorang anak Ir. Hengelman yang sebaya denganku kebetulan juga sekolah bersamaku semenjak di ELS sampai beberapa tahun di HBS. Ia adalah Gerrit Hengelman. Anak Belanda yang sangat gagah ini merupakan teman dekatku. Adiknya, Greta Hengelman, seorang gadis bermata biru, adalah teman adikku Reni.
Ada lagi seorang gadis yang tinggal di keluarga Hengelman, yaitu Corry van Engelen, adik Ny. Hengelman yang bungsu dan semenjak kecil sangat dekat dengan kakaknya.
Corry umurnya beberapa tahun lebih tua dari aku dan Gerrit, tetapi masih mengalami sekolah bersama-sama di HBS. Sekalipun ia duduk di kelas yang lebih tinggi. Dan satu hal yang masih belum aku percaya sampai sekarang adalah, Gerrit seorang Gay dan ia Mencintaiku.
*** To Be Continued***
Sipppp, Masih diketik.. Tunggu ya?
Iya Kah? >:D< Wah berasa makin semangat nih nulisnya...
Kalau alesan cerita yang itu nggak dilanjut ya karena..:
1. Terlalu Males
2. Berasa aneh sama bentuk nya, Kan itu life story yang aku bikin(tulis maksudnya) jadi kayak novel dengan alur maju...
3. Aneh aja kalo nulis cerita hidup ku sendiri
4.Berantakan, baik tulisan, diksi, dan alurnya.
5. Kurang peminat.
http://boyzforum.com/discussion/16742509/you-are-my-life-update-dihentikan
Nih mas, coba di kasih review. Kalo emang layak dilanjut. Aku usahain lanjut...
Unik? Iya kah?
Eh, ich warte auf itu apa sih artinya?
Unik? Iya kah?
Eh, ich warte auf itu apa sih artinya?
@ularuskasurius
@kimo_chie
@Gabriel_Valiant
@reenoreno
@mustaja84465148
@Daviano
@elul
@abyari
@HidingPrince
@waterresistant2
Jangan lupa komen. Karena komen kalian yang akan menentukan nasib cerita ini kedepannya.
.........
HAppy eating......
Bukannya aku mengada-ada. Tapi itulah kenyataannya. Aku mengetahui hal itu karena ia sendiri yang memberitahukannya.
***Flashback***
Aku, Gerrit, Greta, Reni dan Corry sedang berjalan-jalan di pantai Tanjung Kodok di daerah Lamongan. Gerrit terlihat tidak begitu bersemangat saat itu. Kuhampiri Gerrit yang sedang duduk di bawah pohon kelapa.
Kugeser dudukku hingga berada tepat di samping kirinya. “Gerrit, kulihat kau tidak terlalu bersemangat hari ini. Apa kau ada masalah?” ku arahkan pandanganku ke arah laut lepas. Pemandangan yang sangat menakjubkan, tersuguh secara sempurna di hadapan mata. Matahari yang mulai lengser kea rah barat, membuai setiap pasang mata yang memperhatikannya.
Gerrit menarik tangan kananku lalu memasukkan jari-jari tangan kirinya ke dalam genggaman tangannya. Aku tidak merasa risih dengan perlakuan Gerrit. Tentu saja, dia sudah melakukannya sejak lama. Kembali kuarahkan kepalaku untuk menatap wajah Gerrit yang benar-benar khas Belanda itu.
Gerrit pun akhirnya menoleh ke arahku, “Tidak ada Bram. Aku hanya sedikit malas.” Aku tahu Gerrit berbohong. Nada Suaranya tidak bisa memperdayaku.
“Gerrit, aku tahu kau berbohong. Jadi, berceritalah!” kubalas genggaman tangan Gerrit dengan lebih erat. Aku memang sudah menganggap Gerrit saudaraku sendiri. Gerrit menghela nafas panjang. Seperti ada suatu masalah yang sangat besar sedang ia hadapi,
“Bram, Aku penyuka sesama jenis. Dan aku mencintaimu.”
Kedua kalimat itu sontak membuatku tertegun. Apa maksud Gerrit? Apa dia serius dengan ucapannya? Berbagai pertanyaan terus berputar-putar didalam otakku. Apa benar Gerrit Gay? Maksudku, ia tidak pernah terlihat mempunyai kepribadian ke arah “itu”.
Kutatap wajah Gerrit dalam-dalam berusaha mencari sesuatu dari matanya yang berwarna kuning cerah itu, berharap aku bisa mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otakku.
“Gerrit, apa kau serius dengan ucapanmu? Atau kau hanya sedang bercanda?” Gerrit lantas memegang kepalaku lalu menghadapkannya kearah wajah tampannya tersebut. Tatapannya berubah sendu, benar-benar teduh sekali sorot matanya.
Gerrit sedikit menelan ludah dan kembali menatapku, “Apa kau menemukan kebohongan dari ucapanku?” aku yakin itu bukan pertanyaan, lebih kearah pernyataan. Akhirnya kugelengkan kepalaku sebagai jawaban. Gerrit akhirnya hanya bisa menghela nafas. Gerrit pun kembali mengalihkan pandangnnya ke arah laut lepas.
“Aku tidak tahu sejak kapan rasa ini tumbuh Bram. Tapi yang jelas, aku benar-benar mencintaimu. Dan aku tidak berbohong soal itu.” Dan ya. Ia jujur soal itu.
“Aku tahu Gerrit. Tapi maaf. Aku tidak bisa menerimamu.” Kuulas senyuman pada bibirku untuk Gerrit. Aku tahu kalau mungkin saja ia akan sakit hati. Tapi aku tidak mungkin menerimanya, karena imbasnya akan jauh lebih buruk suatu saat nanti.
***End Of Flashback***
“Hai Bram.” Kalian tahu siapa dia? Ya, Gerrit. Dia sering atau bahkan wajib mengagetkanku saat aku sedang melamun. Ku jitak kepala Gerrit pelan. Ia hanya bisa meringis menerima jitakanku. Kugeser sedikit dudukku untuk memberikan Gerrit tempat.
Baru saja aku mau bertanya dia sudah menyelanya, “Bram, apa yang sedang kau lakukan disini? Apa kau sedang memikirkan aku?” Gerrit tersenyum jahil sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Anak ini benar-benar menggemaskan. Dan tingkat percaya diri yang tinggi tentu saja.
“Tentu tidak bodoh. Untuk apa aku memikirkanmu heh?” kubalas candaan Gerrit dengan nada sedikit kejam. Ingat! Sedikit. Wajah Gerrit yang semula tersenyum nakal mendadak berubah kaget. Kaget yang aneh.
Gerrit kemudian menarik tanganku , “Bram, aku boleh bertanya sesuatu?” Baiklah, ini pasti akan menjadi drama. Drama klasik yang sering dipentaskan di Old Theatre, gedung pertunjukan yang ada di Inggris sana.
Kembali kutatap wajah Gerrit, “Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan? Apa kau mau bertanya siapa pacarku?” aku pasti benar soal hal itu. Karena setiap kali ia bertanya dalam konteks seperti ini ia pasti akan menanyakan hal itu. Lagi-lagi ekspresi wajah Gerrit berubah muram. Baiklah ini bukan pertanda baik
“Apa kau terlalu jenuh dan bosan dengan hal ini Bram? Jawab yang jujur!” Gerrit berujar lirih dengan suara sedikit serak. Kugelengkan kepalaku cepat. Aku tidak seperti itu. Aku tidak pernah jenuh dangan Gerrit.
“Bukan begitu Gerrit. Aku hanya-“
“Hanya apa? Apa kau sudah mulai risih dan muak terhadapku? Apa benar begitu Bram?” Nada bicara Gerrit semakin memilukan di telingaku. Wajar saja jika mengingat lama penantiannya. Hampir 2 tahun sejak ia mengutarakan perasaannya padaku waktu itu. Gerrit lantas menatap wajahku sesaat, dan kemudian melangkah pergi.
*** To Be Continued ***
setuju, maaf ya dek rizky...
bahasanya masih sedikit kaku.
tp mungkin karena awal ya.
cerita2 bagus memang spt itu, membosankan di awal dan tiba2 saja menjadi sangat bagus.
ingat ceritanya arturo? benny si pejantan tangguh? awal ceritanya sangatttttt membosankan, tapi akhirnya wow, fenomenal.
siapa tahu cerita ini akan berakhir sama!
tetap semangat ya..
ditunggu lanjutannnya.