It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bulir bulir hujan jatuh dan mengendap di jendela berwarna putih susu, saling berlomba untuk mencapai daratan. Bongkahan kelabu menggantung di atas langit , menghiasi pagi yang dingin hari itu. Daun daun seakan hidup, bergerak naik turun diantara ramainya tetesan hujan.
Eri membuka jendela kamarnya. Ia mengulurkan tangannya, merasakan tetesan hujan yang dingin seakan hampir menyayat kulitnya.
Sekilas, ia tampak seperti anak remaja lainnya yang berkecukupan. Tinggal dirumah yang cukup besar, dengan handphone yang mengikuti trend. Rambutnya bergelombang, matanya bulat dan berwarna kecoklatan , tingginya yang sedikit diatas rata rata dan kulitnya yang berwarna coklat muda karena jarang keluar rumah. Badannya berisi,walau tidak gemuk. Kacamata kotak menghiasi wajahnya. Dengan badan dan muka seperti itu, ia lebih terlihat seperti hewan jinak dengan mata yang membuat siapapun luluh.
Secara akademik pun, ia termasuk pandai. Dan jika hanya melihat dari luar, tak ada yang bisa melihat cela yang bersemayam dalam dirinya, menunggu seseorang untuk menutupnya.
Page one – One day .
Pintu mobil ditutup tepat di depan SMA Harapan . Setelah berpamitan dengan ibunya yang setiap hari mengantarkan dia dan adiknya, Eri berjalan menuju pintu sekolahnya. SMA Harapan berdampingan dengan SMP , SD , dan TK Harapan. Jarang ada anak pindahan di sekolah ini, karena biasanya para murid sudah dari kecil bersekolah di lingkungan yang sama.
Peraturan di pegang kuat di sekolah ini, setiap pelanggaran mendapat ganjaran yang setimpal, setidaknya jika pelanggaran itu diketahui oleh pihak sekolah.
“er , gak ada pr kan hari ini?” Sebuah pertanyaan terlontar dari Daniel , pertanyaan yang selalu menyambut Eri setiap ia sampai di kelas pada pagi hari.
“kalo ada, lo juga gak ngerjain kan?” senyum sarkastik muncul di wajah Eri , membuatnya mendapat pukulan ringan di lengan.
Eri menaruh tasnya di samping tempat duduk Daniel, tempatnya yang biasa.
“Eri! Bisa tolong ajarin gue fisika? Gue ada susulan hari ini!!” Suara tinggi yang khas langsung terdengar begitu Eri menaruh tubuhnya di atas kursi. Lily.
Perempuan yang akan langsung mengetahui gosip apapun, bahkan sebelum berita itu muncul.
“lo susulan bab apa?” tanya Eri , sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya.
“Bab ke 3! Dan Fisika pelajaran pertama!! Ajarin gueeee!!!” rengek Lily di depan Eri, membuatnya memejamkan mata ketika suara itu menusuk telinganya. “iya iyaaaaaa” jawab Eri seraya mengeluarkan buku fisikanya dari dalam tas.
“lo ga ngerti bagian mananya li?”
“semuanya!! Ajarin gue dari pertama!!” rengek lily. Eri hanya tersenyum penuh arti, sedangkan Daniel terkekeh di sampingnya karena menahan tawa.
Eri langsung melirik sinis tapi tetap dengan senyumnya, seakan mengatakan ‘ini bakal jadi ketawa terakhir lo’ .
∞
“er, ke kantin gak?” Daniel sudah berdiri ketika bel istirahat baru saja berhenti berbunyi.
Eri menggeleng. “enggak, gue mau di kelas aja” tolaknya.
Alis Daniel naik sebelah “diet?” tanyanya dengan nada mengejek. “sialan!” umpat Eri sambil melempar bulpennya. Daniel tertawa kecil dan berlari keluar kelas, menyusul teman temannya.
Sebenarnya , tebakan Daniel tak sepenuhnya salah. Eri juga sedang menghemat uang jajan nya yang tak seberapa. Ya, tak seberapa jika dibanding anak anak lain di sekolahnya. Entah mengapa akhir akhir ini orang tuanya sering mengeluh tentang keadaan ekonomi keluarga mereka. Dan mereka mengeluh pada Eri, yang tak pernah meminta apapun. Tidak mengeluh pada kakak Eri, yang selalu minta uang jajan lebih untuk mentraktir pacarnya. Tidak mengeluh pada adiknya, yang jika sudah meminta harus dituruti saat itu juga. Tidak, mereka mengeluh pada Eri yang bahkan enggan untuk menagih uang jajan jika orang tuanya lupa memberi.
Terlamun di dalam pikirannya, Eri berjalan keluar kelas entah menuju kemana. Baru saja melewati beberapa kelas, tiba tiba ia ditarik sampai terduduk di sebuah kursi.
“sante kali ra!” ujar Eri kesal saat tahu siapa yang menariknya tiba tiba. “sssst!!!” Rara langsung menutup mulut Eri dengan tangannya. Ia menunjuk melalui matanya, ke arah gerombolan kakak kelas yang sedang nongkrong di depan koridor anak kelas 11. Salah satunya adalah Noval, gebetan Rara bahkan dari awal kelas 10.
“terus kenapa lo narik gue?” Ujar Eri dengan kesal, setelah mulutnya bebas. “gak pa pa… ganteng ya dia..” jawab Rara dengan ekspresi seakan melamun. Eri menggelengkan kepala melihat tingkah laku remaja yang dilanda cinta di depannya ini.
“gak sekalian aja lo tembak?” canda Eri , dan ekspresi Rara langsung berubah geram.
“gila lo! Masa cewek yang nembak??! Terus dia kan juga kakak kelas! Mau ditaro dimana muka gue??” Muka Rara memerah karena marah, tapi Eri malah gemas melihat muka Rara yang putih berubah merah seketika.
“ampun ampunnn, canda kali ra.. Dan karena lo teriak teriak, em… itu ada yang nengok” Dan benar saja, mendengar teriakan Rara yang cukup kencang, anak anak kelas 11 yang tadi duduk di depan kelas sekarang berdiri untuk mencari sumber suara, dan melihat tepat ke arah Rara dan Eri duduk.
“mampusss!!” Rara sontak langsung menunduk, dan tangannya juga memaksa Eri membungkuk untuk menghindari pandangan mereka.
“ya ampun ra! Mereka gak kenal gue!” protes Eri saat tangan Rara mencengkram bajunya, menariknya.
“o-oh iya, maap maap!” Rara melepaskan cengkramannya, tapi masih belum berani mengangkat kepalanya.
“mereka masih ngeliatin gak?” tanya Rara panik. Eri mengangkat kepalanya dan memeriksa ke seberang, mereka sudah kembali ke posisi awal seakan tak ada yang terjadi, ia menggeleng. Baru saja Rara mengangkat kepalanya dan mengintip ke seberang, seorang teman Noval langsung menatap ke arahnya.
Rara menunduk dengan cepat sekaligus mencubit tangan Eri dengan keras, membuatnya mengerang. Setelah Rara menunduk, orang itu beralih ke Eri. Kali ini, Eri ikut menunduk.
∞
“Tangan lo kenapa?” Daniel menanyainya ketika ia melihat lebam biru keunguan di lengan Eri. “biasa si Rara, kalo udah nyubit kan ga kira kira” Eri menjawab seadanya, seraya mengeluarkan buku matematika, pelajaran mereka selanjutnya.
“Tapi ini biru banget er, gak sakit? “ ada nada kaget sekaligus khawatir dalam suara Daniel. Eri hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya singkat, karena saat berikutnya guru matematika mereka – bapak Djoko – sudah memasuki ruang kelas dengan membawa setumpuk kertas yang berarti…
“Ya anak anak! Hari ini kita ujian mendadak! Bagi yang coba coba mencontek, akan langsung bapak ROBEK kertas jawabannya! MENGERTI??!” Seisi kelas hanya bisa mengangguk tanpa suara. Tidak ada yang berani melawan guru matematika yang satu ini, menatap matanya pun tidak ada yang berani..
∞
“gilaaa! Gue gak bisa ngerjain satupun!” Daniel meregangkan tangannya ke samping setelah pak Djoko keluar ruangan.
“gue juga kok..” tambah Eri, sambil menyingkirkan tangan Daniel yang menutupi mukanya.
“halah! Gak usah boong lo!” kesal dengan respon Eri, Daniel mengacak acak rambutnya dan membuat kacamata Eri miring sebelah. “nanti kalo gue bilang bisa, lo bilang gue sombong! Maunya apa?” ujar Eri sambil merapikan letak kacamatanya.
“maunya lo ngajarin gue sampe bisa, oke??” tawar Daniel.
“sama aja lo kayak lily!” sindir Eri, dan yang disindir langsung mencubit pipi Eri, menariknya keras.
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, diikuti oleh sorakan dari para murid yang paling menyukai saat saat pulang sekolah.
“er lo pulang naik apa?” Tanya Daniel sambil menyampirkan tasnya di punggung.
“gatau, paling naik ojek entar. Emang kenapa? Mau nganterin?” Canda Eri sambil mengangkat tasnya.
“kalo mau dianterin ayolah, lagian dari rumah gue ke rumah lo tinggal ngesot juga nyampe.” Tawar Daniel, membuat Eri tersenyum. “lumayan deh, ojek gratis!”
“sialan lo!”Daniel memukul lengan Eri pelan,dan mereka beranjak menuju parkiran motor di samping sekolah.
“er, lo tunggu di gerbang aja ya, gue ngambil motor dulu” Ujar Daniel . “siap abang ojekkk!” canda Eri dengan tangan kanan disamping kepalanya seakan memberi hormat, yang membuat Daniel tersenyum samar seraya melangkahkan kaki.
Suasana kompleks sekolah sudah lumayan sepi, karena murid murid SMA adalah yang paling terakhir pulang. Tak banyak murid yang tinggal setelah bel pulang berbunyi, hanya mereka yang memiliki kegiatan ekskul, organisasi lainnya, pelajaran tambahan, ataupun sekedar nongkrong karena terlalu membosankan untuk pulang.
Dan disanalah Eri melihat Rara, berdiri dibawah pohon tak jauh darinya , sambil sesekali mengintip ke arah lapangan. SMA Harapan mempunyai 2 lapangan, satu di dalam sekolah, dan satu lagi di samping sekolah – yang tentu saja – dipakai bergantian dengan SMP Harapan.
Dengan muka jahil, Eri mengendap ngendap di belakang Rara, dan berbisik di telinganya. “Ra…”
Karena kaget, Rara langsung melayangkan tangannya ke arah sumber suara, membuatnya terjengkang ke tanah. “ERI! Lo ngapain sih?!” Seru Rara geram begitu mengetahui pengagetnya. Eri berusaha bangun sambil mengusap dahinya, ia berani bertaruh pasti pukulan Rara meninggalkan bekas.
Walau secara kasat mata Rara adalah sosok perempuan yang menarik, kulit putih bersih, mata yang berwarna sedikit abu abu dan hidung yang mancung karena ia masih keturunan eropa, kekuatannya tak bisa di ukur dari luar.
“elo yang ngapain! Sakit tau ra!” balas Eri kesal. Eri membesar ketika Noval dan teman temannya – yang sedari tadi diintip Rara – melihat ke arah mereka. Seakan menangkap ekspresi Eri, Rara menoleh ke arah lapangan dan seketika itu juga langsung berlari , dan tak lupa mendorong Eri yang belum mantap berdiri sampai jatuh.
“ck gila , ini gue yang terlalu lemah apa Rara yang emang kayak hulk..” Gumam Eri kesal , bukan sekali atau dua kali ia menjadi sasaran emosi Rara. Kalau cewek pada umumnya , itu bukan masalah bagi Eri. Tapi kalau Rara -yang kekuatannya jauh diatas cewek pada umumnya – adalah masalah untuknya.
“lo gak pa pa?” Tanya sebuah suara.
Eri mendongak, dan di depannya sudah berdiri salah satu teman Noval, tangannya terulur di depan Eri. Orang yang sama dengan orang yang memperhatikan Rara waktu istirahat tadi. Ada sesuatu di wajahnya yang membuat matanya tampak sedikit sipit dibanding teman temannya. Rambutnya lurus kehitaman, dan sedikit melewati batas telinganya.
Eri tak bisa menjawab, ia tidak mudah akrab dengan orang yang baru ia temui – walau begitu , iya tetap meraih tangan yang terulur padanya.
“m-makasih..” ujar Eri sambil menundukkan kepala. Tinggi orang itu sedikit lebih tinggi dari Eri, walaupun tidak setinggi Daniel – yang tingginya hampir 5 centi lebih tinggi dari Eri.
Untung saja Daniel tiba tiba memanggilnya dari arah gerbang, membuatnya punya alasan untuk segera berbalik dan menjauh dari lapangan.
“temen lo?” tanya Daniel ketika Eri duduk di belakangnya. Eri hanya menggeleng sambil menatap kembali ke arah lapangan, orang itu masih disana. Dan Eri langsung mengalihkan pandangannya.
Eri lagi lagi harus mendengar keluhan orang tuanya. Baru saja ia duduk di meja makan pagi itu, ketika ibunya memutuskan bahwa itulah saat yang tepat untuk membicarakan nilai nilainya. Tak bisa melawan, Eri hanya diam dan sesekali mengangguk.
Apa yang diinginkan orang tuanya? Pada semester lalu ia berhasil menempati ranking 2 , dan rupanya itu belum cukup bagi kedua orang tuanya. Dan sebenarnya akan lebih baik jika mereka berdua berteriak, atau memarahi Eri sekalian – alih alih mengeluh dengan nada rendah, seakan diri mereka telah dikecewakan.
Hal itulah yang membuatnya lesu ketika membuka pintu kelas dan duduk di tempatnya. Daniel sudah bisa menebak kelakuan temannya yang satu itu. “pasti orang tua lo.” Tebak Daniel, yang dibalas Eri dengan anggukkan lesu.
Kenapa harus ia yang dikeluhkan , pikir Eri. Kakaknya bahkan tidak masuk ranking 20 besar dulu. Adiknya yang menempati ranking sepuluh besar pun tak di protes. Kenapa lagi-lagi dia?
Daniel – yang susah mengenal keluarga Eri sejak dulu – hanya tersenyum samar dan menepuk kepala sahabatnya itu. Eri memejamkan mata, berusaha mengusir suara suara orangtuanya yang bergema di dalam kepalanya.
“eri? Lo kenapaaaa??” suara Lily yang khas terdengar dari samping Eri, membuatnya membuka mata.
“gak gak pa pa kok, kenapa li?” sebuah senyum kecil menghiasi bibir Eri.
“Rara mau ngomong sama lo waktu istirahat nanti, katanya penting, dan lo harus dateng!” Jawab lily dengan suaranya yang bernada tinggi. Eri hanya bisa menerka, apakah Rara marah karena kejadian tempo hari?
∞
Rara telah menunggunya di depan kelas saat bel istirahat berbunyi. Dengan perasaan campur aduk, Eri menghampirinya.
“k-kenapa ra?” tanya Eri bingung. Tapi rupanya Rara tampak lebih bingung, dan ia langsung menarik Eri menuju kursi terdekat di depan kelas.
“lo harus tau! Ada yang minta nomer hape gue…” ujarnya salah tingkah, membuat Eri tampak bingung.
“noval?” tebak Eri, yang langsung mengundang pandangan menusuk dari Rara.
“sssst! Jangan kenceng kenceng! Tapi bukan dia orangnya..” tukas Rara.
“lah terus?” kebingungan Eri mencapai klimaks, jarang sekali Rara tampak lemah seperti ini, kecuali jika ada Noval di sekitarnya.
“temennya noval yang waktu itu ngeliatin kita, namanya Kemal…” Jawab Rara salah tingkah. Eri menunggu Rara melanjutkan kata katanya.
“dan?....” Eri mengangkat alisnya.
“Dia minta nomer hape gue!” ulang Rara, seakan Eri tak bisa mendengar ucapannya.
“iya dia minta nomer lo, terus kenapa?” Tanya Eri bingung. “yang lo suka Noval kan” lanjut Eri.
Rara mengangguk dalam diam. “Dia tau kalo lo suka Noval?” . Rara menggeleng .
“kalo gitu lo harus kasih tau, jangan jadi php ra.” Saran Eri .
Tapi ia menangkap sinyal lain dari muka Rara. Rara tampak salah tingkah ambil sesekali mengecek layar hapenya, atau sekedar memainkannya di atnara jemari tangannya, kebiasaan Rara jika ia sedang gugup.
“ra? Lo juga suka Kemal?.......” Dan pertanyaan Eri terjawab dengan sebuah anggukkan.
∞
”if you love two persons, leave the first one. Cause if your love was enough for the first, you’ll never fall for the second one”
Setidaknya itulah yang Eri sarankan pada Rara pada waktu istirahat tadi. Alih alih menutup diri dari Kemal, Eri menyarankan untuk menganggapinya dulu sementara waktu.
Alasan Rara adalah karena Kemal lumayan dari segi tampang, ada yang menarik darinya. Dan sifatnya juga baik, walau Eri merasakan hal yang sama, entah kenapa samar samar ada yang mengganjal dari orang itu.
“er, ke rumah gue yuk!” ajak Daniel sepulang sekolah, tepat setelah bel berbunyi. “ayo! Tapi mau ngapain emangnya?” tanya Eri, walaupun Eri sering main ke rumah Daniel, itupun hanya pada hari libur.
“kan lo mau ngajarin gue mat!” Senyum muncul di muka Daniel, membuat Eri menghela nafas pasrah.
“kayak biasa ya, tungguin gue di gerbang!” perintah Daniel sambil melangkahkan kaki menuju parkiran motor. Entah kenapa Eri tak pernah bisa membantah perintah apapun yang ditujukan padanya, setidaknya yang tidak merugikan.
“hei” Seseorang menepuk bahunya, membuat Eri menoleh dan melihat Kemal telah berdiri di depannya. Walau tingginya sedikit lebih pendek dari Daniel, tetap saja ia lebih tinggi dari Eri. Dan Eri mendapat kebiasaan untuk langsung “jinak” di depan orang yang lebih tua, atau yang lebih tinggi darinya, walaupun ia belum terlalu mengenal orang itu.
“ya?” Eri menatap bingung melihat kakak kelas di depannya.
“lo temennya Rara kan?” Tanya Kemal, walau nadanya lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.
“i-iya, kenapa emangnya?” Eri berusaha tindak menundukkan kepala, walaupun ia tetap berusaha melihat apapun selain orang di depannya.
“Bisa tolong bantuin gue jadian ama Rara gak?” Katanya tanpa basa basi.
Bukannya Eri tidak suka orang yang tidak berbasa basi, tapi baru kali ini ia menemui orang selugas ini. Penasaran , Eri mengangkat mukanya, dan ketika melihat keseriusan yang terpampang jelas di muka orang di depannya, ia menahan diri untuk tidak tertawa.
“dan apa untungnya buat gue?” Eri menaikkan sebuah alis, seakan tidak puas dengan sebuah penawaran. Kemal terlihat bingung, sejenak ia seperti memikirkan sesuatu , alisnya bertaut dan setelah beberapa detik ia membuka mulut.
“lo maunya apa?”
“silverqueen , dark chocolate.” Jawab Eri, senyum samar muncul di bibirnya, walau ia sangat menyukai segala hal yang berbau coklat, ia jarang membeli untuk dirinya sendiri.
Terlihat tambah bingung, Kemal melongo, seakan tidak menganggap bahwa Eri sedang serius. “lo serius?” Tanya Kemal, bahkan ia tidak berusaha menutupi kebingungannya.
Eri mengangguk, dan ia melihat Daniel dengan motornya mulai terlihat.
“hanya kalo lo jadian beneran,” Eri menambahkan, sebelum ia berjalan menghampiri Daniel yang sudah sampai di dekat mereka.
Raut bingung tampak di wajah Daniel. “lo kenal sama dia er?” Tanya nya ketika melihat sosok Kemal yang berjalan menjauh.
“dia lagi deketin Rara, dan dia minta bantuan gue” lapor Eri seraya duduk di atas motor. Daridulu Eri tak pernah menyembunyikan sesuatu dari temannya yang satu ini.
“oh ya?? Cewek kayak Rara ada yang suka??” pura pura shock, Daniel membuat mereka berdua tergelak karena perkataannya.
“Rara itu cantik tau Dan, gara gara sifatnya aja yang kayak preman tanah abang, makanya jarang ada yang berani deketin” balas Eri, dan mereka kembali tergelak di atas motor ketika Daniel mulai menancap gas.
Page three – Friendship
“mama mau pergi dulu ya sama papa, kakak jagain rumah dulu”
“iya ma……..”
Ketika mobil itu akhirnya pergi , Eri menutup pintu pagar dengan agak terlalu kencang, sehingga menimbulkan bunyi besi yang bertabrakan. Matahari bersinar cerah di sabtu siang ini, seakan meledek Eri yang malah berdiam diri dirumah, sedangkan seluruh keluarganya pergi, kecuali dirinya.
Bukan salahnya ketika tiba tiba kedua orangtuanya memutuskan untuk “berkencan” ketika kakak dan adiknya sedang pergi ke rumah teman masing masing, meninggalkan Eri sebagai pilihan terakhir untuk menjaga rumah.
Entah kapan mereka sekeluarga terakhir kali pergi bersama, Eri hanya ingat sepotong demi sepotong ingatan yang ia sendiri tak ingat lanjutannya. Ia ingat pernah pergi ke taman safari, tapi hewan yang ia ingat hanya jerapah, karena jarinya pernah tergigit jerapah waktu ia berusaha menyodorkan wortel.
Ia ingat ia pernah pergi ke laut, tapi ia masih terlalu kecil untuk bisa mengingat dan hanya bunyi ombak samar yang terbayang di kepalanya setiap kali ia mencoba mengingat.
Entah itu berapa belas tahun yang lalu, karena semakin ia berusaha mengingat, semakin ingatan itu mengabur di dalam pikirannya.
Handphone nya berdering, menandakan masuknya sebuah pesan singkat.
- Bored.
Tak perlu berfikir jauh jauh untuk menebak siapa pengirimnya , dan sambil menahan senyum Eri membalas.
- Then come.
Dan tak berapa lama terdengar bunyi pagar yang terbuka..
∞
Entah sudah seberapa sering Daniel “mampir” dirumahnya.
Dari dulu – Eri lupa kan tepatnya – Daniel tiba tiba muncul di depan rumahnya, memandangi Eri yang saat itu baru berumur 5 tahun, sedang duduk sendiri di balik pagar. Entah berapa kali Eri mengabaikan ajakan Daniel yang waktu itu berumur 6 tahun. Tapi Daniel tetap muncul di sana, membawa mainan yang berbeda tiap harinya. Semangatnya tak pernah pudar walau berhari hari ia tak mendapat respon.
Entah pada hari keberapa Daniel akhirnya membuka pagar yang menghalangi mereka, menghampiri Eri dan menarik tangannya kecilnya. Suara yang ia keluarkan, atau mainan yang Daniel tunjukkan selama ini seperti tidak mengefek pada Eri, namun ketika ia merasakan sebuah tangan menariknya keluar pagar, suara itu mencapai Eri.
“om sama tante kemana?” tanya Daniel seraya menghampiri Eri yang sedang duduk di depan tv, di atas karpet, walau pikirannya jelas sedang berada di luar kotak berwarna itu.
Eri mengangkat bahunya “nge-date mungkin.” Mungkin itu yang membuat hubungan orang tuanya tetap awet, kencan setiap minggu?
“lo ditinggalin sendiri lagi?” tanya Daniel, ia duduk di atas sofa - dan seperti biasa - Eri akan langsung bersandar pada kakinya. “i……ya” Eri mendongak untuk melihat muka Daniel yang berada di atasnya. Terlahir dari kedua orang tua yang sibuk, Daniel tahu apa yang dirasakan Eri. Setidaknya orangtuanya tidak bisa menemaninya karena sibuk bekerja, bukan seperti orang tua Eri yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Inilah yang membuat Daniel tidak menyukai keluarga Eri, dan yang membuatnya mengenal Eri pertama kali.
“ck ck.. gue gak ngerti kenapa lo bisa tahan sama keluarga lo” Daniel menggelengkan kepala tak habis pikir.
Melihat kelakuannya, senyum kecil muncul di wajah Eri “mau gimanapun juga, mereka orang tua gue, sama kayak kondisi lo juga kan?”
“gak sama er, orang tua gue emang sibuk karena pekerjaan buat menghidupi gue sama kedua kakak gue! Sedangkan orang tua lo malah lebih sering jalan jalan berdua dibanding ngurusin anak mereka. Bisanya cuma ngeluh doang pula!” keluh Daniel. Eri hanya tersenyum setiap kali Daniel mengeluh tentang orang tua – orang tua Eri – padahal Eri sudah mencoba menerimanya.
Daniel menatap sosok di bawahnya, Eri hanya berumur satu tahun lebih muda darinya, tapi setiap melihat Eri ia seakan melihat sosok seorang anak kecil yang mencoba tegar menghadapi hidup, membuatnya ingin menjangkau Eri dan melindunginya.
Dan Daniel mengenal senyuman itu, senyuman yang selalu ditunjukkan Eri setiap kali ia merasa sedih. Tak ada tanda tanda kesedihan, tapi ia bisa merasakannya. Inilah Eri yang sebenarnya, bukan Eri yang sabar dalam mengajari seseorang, bukan Eri yang selalu siap membantu masalah, tapi Eri yang tersenyum , menunggu orang yang menyadari arti dari senyumannya.
“gue bawa makanan, lo mau?” Daniel mengeluarkan sebungkus roti coklat dari kantong celana basketnya yang lumayan longgar.
“coklat?” tebak Eri penuh harap. Daniel mengangguk, dan ia merobek plastik roti itu. Mata Eri berbinar ketika ia mengawasi Daniel membagi rotinya, dan menyodorkan separuh pada Eri. Bahkan Eri masih tampak bahagia ketika ia mengunyah roti yang berisi coklat itu, membuat Daniel hampir tertawa melihat mukanya yang polos.
“lo beda banget ya….” Bisik Daniel, membuat Eri menoleh.
“hm? Kenapa?”.
Refleks Daniel tersenyum, dan menyeka noda coklat di wajah Eri dengan jarinya. “enggak, gak pa pa…”
semoga ceritanya di tamatin :-)
bagus kok
Mention ea
Kapan dilanjut?