It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dan datanglah hari yang dinantikannya. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan luapan semangat, kedua sahabat itu pergi bersama. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang muda pun bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?” “Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,” jawab anjing dengan congkak. Mendengar perkataan si anjing, hati belalang muda jadi panas. Dia lalu berkata lagi, “Oh ho..., tidak semua binatang bisa kamu kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang lompatannya paling tinggi diantara kita.” “Baik,” jawab si anjing. “Ada pagar tinggi di depan sana. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut.” Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut.
Si anjing yang mendapat kesempatan pertama melakukan lompatan. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut. Berikutnya giliran si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Ia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata tetap gagal. Si anjing lalu menghampiri belalang dan seraya tertawa berkata, “Wahai, belalang, kini apa lagi yang mau kamu katakan? Kamu sudah kalah.” “Belum,” jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan tantangan kedua?” “Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing. Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan dinilai bukan berdasarkan seberapa tinggi dia melompat, tapi berdasarkan dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali dari tinggi tubuhnya.”
Anjing kembali yang mendapatkan kesempatan pertama. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum. “Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing. “Tidak perlu,” jawab si belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.”
“Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri.”
Rubah itupun merasa tertantang, "Dimanapun tidak menjadi soal. Mana mungkin kelinci bisa menang melawan saya?" Merekapun masuk ke dalam sarang kelinci, Sepuluh menit kemudian sang Kelinci keluar sambil menggenggam paha rubah dan melahapnya dengan nikmat. Sang Kelinci kembali bersantai, sambil memakai kaca mata hitam dan topi pantai.
Tiba tiba datang seekor serigala besar yang hendak memangsanya. Lalu Kelinci berkata : "Seandainya kamu memang berani, ayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci. Yang kalah akan jadi santapan yang menang, dan saya yakin saya akan menang." Sama halnya seperti rubah tadi, serigala merasa tertantang, "Dimanapun tidak menjadi soal. Mana mungkin kelinci bisa menang melawan saya?" Merekapun masuk ke dalam sarang kelinci, lima belas menit kemudian sang kelinci keluar sambil menggenggam paha serigala dan melahapnya dengan nikmat. Sang kelinci kembali bersantai, Sambil memasang payung pantai dan merebahkan diri diatas pasir.
Tiba tiba datang seekor beruang besar yang hendak memangsanya. Lalu kelinci berkata :"Seandainya kamu memang berani, ayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci. Yang kalah akan jadi santapan yang menang, dan saya yakin saya akan menang." Sang Beruang merasa tertantang, "Dimanapun tidak menjadi soal. Mana mungkin kelinci bisa menang melawan saya?" Merekapun masuk ke dalam sarang kelinci, Tiga puluh menit kemudian sang Kelinci keluar sambil menggenggam paha beruang dan melahapnya dengan nikmat. Nyiur melambai lambai, lembayung senja telah memburat, habis sudah waktu bersantai, sang Kelinci melongok ke dalam lubang kelinci, sambil melambai "Hei, keluarlah, hari sudah sore. Besok kita lanjutkan lagi!"
Keluarlah seekor harimau dari lubang itu, sangat besar badannya. Seraya menguap kekenyangan Harimau berkata "Kerjasama kita sukses hari ini, kita makan kenyang. Dan saya tidak perlu berlari mengejar kencang."
Suatu hari di Kota Binatang diadakanlah perlombaan adu bakat untuk para anjing-anjing. Dan pemenangnya selain akan dikukuhkan sebagai anjing terbaik di kota akan pula dihadiahkan stok tulang selama setahun. Seluruh anjing penghuni kota menjadi tergiur untuk ikut ambil serta dalam perlombaan tersebut, tak terkecuali Buster muda. Buster pun mengajak sahabatnya, Didi, untuk ikut perlombaan.
Namun belum saja mereka mendaftar, Didi telah merasa gentar terlebih dahulu setelah mengetahui ternyata anjing- anjing yang akan menjadi lawan mereka bukanlah sekedar anjing geladak biasa, melainkan anjing-anjing juara yang lebih memiliki banyak pengalaman, bahkan konon berita yang mereka dapatkan beberapa anjing ras collie dan rottweiller juga akan ikut ambil bagian. Tak urung nyali Didi semakin ciut, dalam pikirannya bagaimana mungkin anjing kecil seperti dirinya bisa menang melawan para raksasa-raksasa anjing tersebut, bisa-bisa nanti justru dirinya jadi bulan-bulanan anjing-anjing tersebut. Sementara sahabatnya, Buster, yang tak pernah mengenal kata menyerah tentunya tetap mendaftarkan diri dalam perlombaan tersebut. Buster masih mencoba untuk membujuk Didi, diberitahunya pada Didi bahwa tak ada salahnya mereka mencoba, urusan menang atau kalah itu hal belakangan. Tapi Didi tetap kukuh pada pendiriannya.
Tak terasa waktu perlombaan itu pun akhirnya tiba. Rupanya banyak juga peserta yang turut berlomba. Perlombaan dibagi dalam tiga babak. Babak ‘Uji Nyali’, babak ‘Ketangkasan’, dan babak ‘Kecepatan’. Babak pertama pun dimulai, para peserta diharuskan untuk mengambil masing-masing 3 buah tulang emas yang dipersiapkan panitia dan ditaruh di tempat-tempat yang cukup berbahaya. Satu tulang ditaruh di bebatuan yang berada di tengah-tengah sungai di dekat air terjun, tentu hal yang sangat sulit dilakukan mengingat arus sungai yang sangat deras. Tulang
yang kedua diletakkan di puncak sebuah bukit namun untuk mendapatkannya para peserta mesti melewati jalanan di lereng yang terjal, sedikit saja mereka salah melangkah maka jurang telah menanti mereka jauh di bawah. Sementara tulang yang terakhir berada di dalam sebuah gua yang katanya ada begitu banyak ular berbisa yang menempati tempat tersebut. Beberapa anjing-anjing collie dan rottweiller dengan cukup mudah melewati rintangan- rintangan itu. Walau begitu beberapa ada yang gagal dan terhanyut di sungai atau menderita luka-luka karena terjatuh di jurang sementara ada pula yang karena tak berani menghadapi ular berbisa akhirnya menolak memasuki gua yang gelap itu.
Sementara Buster sendiri pun cukup kepayahan melewati babak pertama ini. Ia sempat terseret arus walau akhirnya berhasil menyelamatkan diri dengan buru-buru melompat ke atas sebuah batu. Namun sayangnya Buster hanya berhasil membawa dua buah tulang emas. Sementara tulang yang ketiga tak berhasil di dapatnya karena ketika hendak mengambil tulang tersebut tiba-tiba seekor ular jenis python membelit tubuhnya, dia hampir saja menjadi santapan ular tersebut kalau saja dia dengan cukup cerdik berhasil meloloskan diri. Namun meskipun begitu, Buster tetap lolos untuk maju dalam babak selanjutnya. Pada babak kedua, babak ‘Ketangkasan’, Buster yang memang cukup cerdas berhasil memperoleh skor tertinggi dan melangkah dengan mudah menuju babak terakhir.
Sahabatnya Didi terus setia menyaksikan perlombaan dan mendukung Buster. Walau Ia merasa ngeri saat menyaksikan perlombaan pada babak pertama, namun terbersit sedikit rasa sesal di hatinya karena tak ikut mendaftarkan diri. Ditatapnya Buster yang tersenyum karena berhasil mengalahkan para anjing-anjing raksasa tersebut di babak kedua. ‘Bisa saja akulah yang berdiri disana dengan senyum menghiasi wajah’ lirihnya. Setelah peserta yang tersisa diberi waktu 30 menit untuk istirahat, akhirnya tibalah babak terakhir, babak penentuan. Seluruh peserta yang kini hanya tersisa lima ekor terdiri dari Buster, Sebas (seekor anjing Collie), Ruffy dan Rockie yang merupakan anjing ras Rottweiller dan satu lagi Spotty (anjing jenis Dalmatian), akan melakukan perlombaan lari melintasi lapangan rumput disisi luar kota dan kemudian mereka akan melewati sebuah bukit kecil lalu kembali melintasi sungai menuju hutan untuk kembali ke kota. Dan siapapun yang tiba terlebih dahulu dialah yang akan keluar menjadi pemenang dan berhak untuk mendapatkan hadiah yang telah dijanjikan.
Peluit dibunyikan dan peserta mulai berlari sekencang yang mereka bisa. Dengan mudah Rockie, anjing yang memang sudah terkenal dengan segala kelebihannya, berhasil mengungguli peserta lainnya. Perlombaan berlangsung cukup seru, keempat anjing raksasa Sebas, Ruffy, Rockie dan Spottie saling bersaing merebut posisi pertama. Sementara Buster sendiri, cukup kesulitan mengejar empat anjing lainnya. Ia sudah mengerahkan segala tenaganya untuk mengejar, namun sepertinya mereka semua memang bukan tandingan Buster.
Dan akhirnya seperti yang telah diperkirakan para penduduk Kota Binatang, Rockie-lah yang akhirnya berhasil memenangkan pertandingan. Buster yang finish di urutan terakhir, sesaat merasa begitu kecewa saat melihat Rockie yang naik ke atas podium. “Aksi yang kamu tunjukkan dalam perlombaan ini sangatlah menarik anjing muda, aku sangat menikmatinya.” ujar seekor anjing tua. Dan Buster pun tersenyum bangga melupakan rasa kecewa terhadap kekalahannya.
Italo Fernandes Romano kehilangan anggota tubuhnya ketika ia berada dalam kecelakaan kereta api saat remaja. Tapi 23 tahun, dari Curitiba di Brazil, menolak untuk membiarkan hal itu sampai dia turun.Sekarang, hanya beberapa tahun setelah ia mengambil skateboard, dia dinilai salah satu yang terbaik dalam bisnis ini – di atas banyak pesaing berbadan sehat. Dan dia telah melakukan trik menakjubkan di turnamen di seluruh dunia. Kenaikan Romano untuk ketenaran telah didokumentasikan oleh fotografer Ricardo Porva. Dia berkata: “Ketika saya pertama kali melihat Italo saya kagum dan aku melihat, meskipun cacatnya, ia memiliki gaya yang besar.”
Mr Porva menambahkan: “Ketika ia berusia 13, ia bermain dengan teman-teman di kereta api. Anak- anak akan mencoba untuk menyeimbangkan antara gerbong di celah dan suatu hari ia jatuh dan kehilangan kakinya. ‘Italo adalah teman baik dan kami terus tertawa dan bertukar pengalaman. “Dia memiliki hati yang besar dan jiwa dan sangat lucu, sepanjang hari tersenyum. Saya ingin memotret dirinya dan menunjukkan kepada dunia apa bakat yang ia miliki. Ia belajar trik baru begitu cepat dan begitu dicintai di Brasil, saya ingin orang lain melihatnya
dari neraka pemusnahan total (holocaust) Hitler di Kamar Gas Auschwitch, menulis sebuah buku kecil
berjudul “Nacht”. Ada bagian dari buku itu yang menceritakan pengalamannya ketika orang-orang
Yahudi diangkut dengan kereta api tertutup ke
tempat pemusnahan total mereka. Mereka didesakdesakkan laksana hewan di dalam kereta yang sangat minim ventilasi. Selain hampir tidak bisa bernapas, mereka juga kehausan dan kelaparan. Sekali-sekali tentara Jerman membuka
jendela kereta sekadar memasukkan udara segar,
dan sesudah itu ditutup lagi.
Pada suatu saat, seorang tentara Nazi Jerman iseng-iseng melemparkan seketul roti ke tengah- tengah mereka. Maka terjadilah pemandangan yang mengejutkan. Didorong oleh kelaparan yang amat- sangat, mereka saling sikut, dorong-mendorong, injak-menginjak, bahkan berbunuh-bunuhan memperebutkan roti seketul itu. Tentara Nazi Jerman menyaksikan pemandangan liar itu dengan kenikmatan luar biasa. Naluri kebinatangan mereka pun ikut digairahkan ketika manusia yang telah berubah menjadi binatang itu mempertontonkan naluri keliaran mereka yang
paling asli. Peristiwa tersebut sangat mengesankan Elie Wiesel. Ia tidak pernah mampu melupakannya.
Bertahun-tahun kemudian, dalam salah satu
pelayarannya ke Timur Jauh, ia menyaksikan lagi
peristiwa serupa. Ketika kapal yang ia tumpangi
berlabuh di salah satu pelabuhan di Kepulauan
Maladewa, ia melihat begitu banyak anak berenang mengitari kapal sambil menadahkan tangan meminta sedekah. Biasanya mereka dengan tangkas menangkap apa saja yang dilemparkan para penumpang. Seorang nyonya dengan asyiknya melemparkan uang recehan ke tengah-tengah kerumunan anak- anak itu. Anak-anak itu memperebutkan uang recehan itu sambil berkelahi satu sama lain. Nyonya itu begitu asyik menikmati pemandangan langka itu, sehingga ia terus-menerus melemparkan uang recehan ke arah mereka. Terus-menerus pula anak- anak itu berkelahi. Dibayang-bayangi oleh peristiwa kereta api tertutup Nazi Jerman, Elie Wiesel tidak tahan melihat pemandangan mengerikan itu. “Jangan dilakukan lagi,” ia menegur sang nyonya. Sang nyonya tidak menerima baik teguran tersebut. Sambil merengut ia berkata: “Mengapa saya dilarang untuk berbuat baik?”
Demikianlah, suatu perbuatan yang disangka baik belum tentu menghasilkan yang baik. Bahkan bukan tidak mungkin justru berakibat sebaliknya. Apalagi, seperti dalam peristiwa Nazi-Jerman itu, tentu bukan niat baik yang ditonjolkan. Yang ada di sana adalah keisengan menyaksikan reaksi orang kelaparan, yang saling bunuh.
1986, saya berkunjung ke kota Pontianak, teman
saya di sana mengajak saya memancing Kepiting. Bagaimana cara memancing Kepiting ? Kami
menggunakan sebatang bambu, mengikatkan tali ke batang bambu itu, di ujung lain tali itu kami
mengikat sebuah batu kecil. Lalu kami mengayun
bambu agar batu di ujung tali terayun menuju
Kepiting yang kami incar, kami mengganggu Kepiting itu dengan batu, menyentak dan
menyentak agar Kepiting itu marah, dan kalau itu
berhasil maka Kepiting itu akan ‘menggigit’ tali atau
batu itu dengan geram, capitnya akan
mencengkeram batu atau tali dengan kuat sehingga kami leluasa mengangkat bambu dengan ujung tali berisi seekor Kepiting gemuk yang sedang marah.
Kami tinggal mengayun perlahan bambu agar ujung talinya menuju sebuah wajan besar yang sudah kami isi dengan air mendidih karena di bawah wajan itu ada sebuah kompor dengan api yang sedang menyala. Kami celupkan Kepiting yang sedang murka itu ke dalam wajan tersebut, seketika Kepiting melepaskan gigitan-nya dan tubuhnya menjadi merah, tak lama kemudian kami bisa menikmati Kepiting Rebus yang sangat lezat.
Kepiting itu menjadi korban santapan kami karena kemarahannya, karena kegeramannya atas
gangguan yang kami lakukan melalui sebatang
bambu, seutas tali dan sebuah batu kecil. Kita
sering sekali melihat banyak orang jatuh dalam
kesulitan, menghadapi masalah, kehilangan peluang, kehilangan jabatan, bahkan kehilangan
segalanya karena : MARAH.
Orang tua itu pun tersenyum, lalu beralih kepada pekerja bangunan yang kedua, "Wahai pemuda, apakah gerangan yang sebenarnya kalian kerjakan ?" Pekerja bangunan yang kedua itu pun menoleh. Wajahnya yang ramah tampak sedikit ragu. "Aku tidak tahu pasti, tetapi kata orang, kami sedang membuat sebuah rumah Pak", jawabnya lalu meneruskan pekerjaannya kembali.
Masih belum puas dengan jawaban pekerja yang kedua, orang tua itu pun menghampiri pekerja yang ketiga, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Maka pekerja yang ketiga pun tersenyum lebar, lalu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu dengan wajah berseri-seri berkata. "Bapak, kami sedang membuat sebuah istana indah yang luar biasa Pak ! Mungkin kini bentuknya belum jelas, bahkan diriku sendiri pun tidak tahu seperti apa gerangan bentuk istana ini ketika telah berdiri nanti. Tetapi aku yakin, ketika selesai, istana ini akan tampak sangat megah, dan semua orang yang melihatnya akan berdecak kagum. Jika engkau ingin tahu apa yang kukerjakan, itulah yang aku kerjakan Pak !", jelas pemuda itu dengan berapi-api. Mendengar jawaban pekerja bangunan yang ketiga, orang tua itu sangat terharu, rupanya orang tua ini adalah pemilik istana yang sedang dikerjakan oleh ketiga pekerja bangunan itu.
Hal yang sama rupanya berlaku pula dalam hidup ini. Sebagian besar orang tidak pernah tahu untuk apa mereka dilahirkan ke dunia. Mungkin karena telah begitu disibukkan oleh segala bentuk “perjuangan”, merasa tidak terlalu peduli dengannya. Bisa hidup saja sudah syukur. Sebagian lagi, yang biasanya adalah tipe “pengekor” atau “me too” yaitu orang-orang yang punya pandangan yang samar-samar tentang keberadaan mereka dalam kehidupan. Sepertinya begini… kayanya begitu…kata motivator sih begono..tapi pastinya ? Don’t have idea ! Namun sisanya yaitu golongan terakhir, biasanya hanya segelintir orang- menemukan “visi” atau “jati diri” mereka di dunia ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya kebetulan lahir, sekedar hidup, bertahan agar tetap hidup, tua karena memang harus tua, kawin lagi jika ada kesempatan, lalu berharap mati dan masuk surga, namun adalah orang-orang yang hidup dalam arti yang sebenar- benarnya.
Syeikh –kalau sekarang mungkin dipanggil kiai– Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti layaknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bersandarkan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghujam pada kaki syeikh Sa’id hingga berdarah- darah.
Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu. Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa’id: “Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?” “Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh Sa’id sambil tersenyum, “Kalau aku mengadu atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”
Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.
hidupnya yang amat inspiratif patut untuk disimak,
yang awalnya ia hanya seorang office boy hingga
bisa menduduki jabatan nomor satu sebagai
seorang Vice President Citibank. Beliau juga pernah menjabat sebagai direksi di perusahaan swasta pengawas keuangan di beberapa perusahaan swasta, komite audit BUMN, konsultan, penuli serta dosen pasca sarjana di sebuah Universitas.
Houtman dilahirkan dari keluarga pas-pasan. Kisah
hidupnya dimulai ketika lulus dari SMA, sekitar
tahun 60-an, Hotman merantau ke Jakarta dan
tinggal di daerah Kampung Bali, Houtman membawa mimpi di Jakarta untuk hidup berkecukupan da menjadi orang sukses di Ibukota, namun apa daya di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak banyak pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Sewaktu tinggal di tanah abang, ayahnya sakit keras. Orang tuanya ingin berobat, tetapi tidak mempunyai biaya yang cukup.
Melihat keadaan seperti itu, ia tidak mau menyerah. Dengan bermodal hanya Rp 2.000,- hasil pinjaman dari temannya, Houtman menjadi pedagang asongan menjajakan perhiasan imitasi dari jalan raya hingga ke kolong jembatan mengarungi kerasnya kehidupan ibukota. Usaha dagangannya kemudian laku keras, namun ketika ia sudah menuai hasil dari usahanya, ternyata Tuhan memberinya cobaan, ketika petugas
penertiban datang, dagangannya di injak hingga jatuh ke lumpur.
Ketika semua dagangannya suda rusak bercampur lumpur, ternyata teman-temannya
yang dari kawula rendah seperti tukang sepatu,
tukang sayur, dan lain-lain, beramai-ramai
membersihkan dagangan Houtman. Disini
Houtman mulai mendapatkan pengalaman berharga tentang kerasnya kehidupan Ibukota. Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman
kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika
Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan ber-AC, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi
langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam
hatinya. Azam atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib.
Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera
memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap
gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.
Suatu hari, Houtman melihat ada orang gila wara-wiri di sekitar rumahnya. Orang gila itu hampir tidak
pakai baju. Dia pada saat itu cuma punya baju 3
pasang. Hebatnya, Houtman ikhlas memberi ke
orang gila itu sepasang baju plus sabun dan sisir. Tuhan memang Maha Adil, Pada hari ketiga setela kejadian tersebut, Tiba-tiba datang surat yang
menyatakan bila dia diterima menjadi OB disebuah
perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di
Dunia, The First National City Bank (Citibank),
sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy.
Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam
sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama
membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan
ruangan lainnya. Sebagai Office Boy, Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai, Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya
tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan istilah bank. Waktu jadi OB, Houtman sering melihat training. Karena jabatannya hanya OB, dia tentu tidak
dianggap. Kemampuan bahasa Inggris Houtman pun cuma sekedar yes-no. Tapi Houtman berprinsip, “Saya harus berbuat. Saya harus pintar.” Setiap hari selama training itu, dia ada di depan pintu dan mencatat semuanya. Training officer-nya lama-lama jadi menyuruh Houtman masuk (tapi secara kasar).
Si training officer mengumumkan pada para trainer,
“Pengumuman, dia tidak terdaftar dan dia tidak akan diuji,” kata training officer. Mendengarnya, Houtman tidak terima. Dia sudah berada di ruangan yang sama berarti dia sudah menjadi salah satu peserta training dan juga harus diuji. Houtman lalu menantang diri sendiri, “Saya harus
lulus!”. Padahal saingannya adalah lulusan UI,
Michigan, Ohio, ITB dan banyak universitas TOP
lainnya. Sementara dia, bisa lulus SMA saja sudah
untung. “Pokoknya harus lulus dan gak boleh jadi
yang terakir,” tekad Houtman. Tuhan memang Maha Besar, dari 34 orang Houtman masuk 4 besar dan dia pada tahun 1978 dikirim ke Eropa. Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA. Kemudian ia pun di angkat menjadi pegawai di bank Citibank tersebut, Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika
masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan
sesama OB menggugat. Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat
goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan
berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman karena materi tidak ia miliki.
Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak anak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff
yang mengajarinya tentang istilah bank. Sekitar 19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank,
Houtman kemudian mencapai jabatan tertingginya
yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak
Citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi Citibank
sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.
Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu
memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB
pensiun sebagai Vice President, dan hanya
berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun
dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi
penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang. Pada hari Kamis tepatnya pada tanggal 20 Desember 2012 Bapak Houtman Zainal Arifin berpulang ke Rahmatullah.
lebat hiduplah beberapa jenis binatang seperti gajah semut, unta belalang, tikus semut dan lain
sebagainya. Mereka hidup dengan damai karena
hutan member mereka bukan hanya perlindunagn
tapi juga makanan sehingga mereka hidup makmur tidak kekurangan suatu apapun.
Tiba tiba datanglah badai yang sangat besar
memorak porandakan seluruh isi hutan. Esok
paginya setelah badai mereda terlihat seorang
kepompong sedang manangis meratapi diri karena
pohon tempat ia bergantung rusak…Hu Hhu karena badai semalam seluruh pohon di hutan ini porak poranda. Sekarang tidak ada lagi tempat berteduh dan menggantungkan tubuhku. Memang benar semua pohon tumbang sehingga kepompong tidak bisa mengantungkan tubuhnya. Ia sangat tidak beruntung dan sedang mengalami kesulitan. Tiba tiba datang semut keluar dari dalam tanah. Dengan sombong nya si semut bilang.
Hai kamu kepompong. Kamu sih tidak mau
berlindung dalam tanah yang aman saja kata sang semut dengan congkak nya.
Beberapa hari kemudian sang semut yang sombong jalan jalan lalu dia terjebak dalam lumpur. "tolong... tolong aku terjebak dalam lumpur…" teriak semut "ada apa semut..?" dari atas ada kupu kupu melihat semut dalam kesulitan. "Kamu siapa tolong bantu aku terjebak oleh lumpur?" tanya semut. Aku yang dulu kepompong sakarang
aku menjadi kupu kupu. Sang semut merasa malu
karena telah menghina kepompong. Dia minta maaf. "Maafkan aku wahai kupu kupu duLu aku
menghinamu,, sekalilagi aku minta maaf dan aku
menyadari atas kesombonganku dulu kepadamu.
Sekarang bantulah aku keluar dari lumpur ini kalau
tidak aku bisa tenggelam di dalam lumpur dan mati." kata semut.
"Ok lah kalau begitu semut kalau kamu sudah sadar atas kesalahanmu aku akan membantumu" kata kupu kupu.
Sang kupu kupu membantu semut dari jebakan
lumpur. Demikianlah akhirnya sang kupu kupu membantu sang semut. Sang semut pun sekarang tidak sombong lagi dan mereka akhirnya bersahabat. Mereka hidup rukun di dalam hutan yang lebat itu
Bapaknya berjalan disampingnya, ada orang
melihat dan berkomentar: "DASAR ANAK GAK TAU DIRI !, GAK HORMAT SAMA BAPAKNYA, MASA BAPAKNYA DISURUH JALAN KAKI".
Ditengah melanjutkan perjalanannya, gantian sang
Bapak yang menaiki Keledai & Anaknya berjalan
disampingnya. Ada orang mengomentari lagi: "INI BAPAK KOK GAK SAYANG SAMA ANAK,
MASA ANAKNYA DIBIARKAN JALAN KAKI". Perjalanan masih dilanjutkan lagi. Karena
dikomentari terus, mereka berdua memutuskan
menaiki Keledainya bersama-sama. Lalu ada orang lagi melihat & berkomentar lagi: "DASAR ANAK BAPAK SAMA" NGAK PUNYA
KASIHAN SAMA HEWAN.., MASA KELEDAI
DINAIKI BERDUA SIH".
Karena salah lagi apa yang dilakukannya maka
Bapak dan Anak berjalan kaki sambil memegang
tali Keledainya yang juga berjalan tanpa dinaiki.
Namun tetap saja ada orang yang berkata: "HAAAHH!...BAPAK & ANAK YG BODOH, MASA
PUNYA KELEDAI TIDAK DIGUNAKAN SAMA
SEKALI". Karena Perjalanan sudah hampir sampai, Bapak dan si Anak menghindari komentar orang lalu gantian berdua menggotong Keledai tersebut
dipunggung mereka. Orang2 yang berpapasan, terheran2. Komentar mereka: "DASAR EDAN..!, DUNIA TERBALIK !, KELEDAI
KOK MENUNGGANGI MANUSIA".
Dimanapun kita berada, apapun yang kita lakukan,
akan ada selalu pandangan negatif dari orang-orang disekitar kita!, ITU PASTI. Tinggal kita melihatnya sebagai TEMBOK yang menghalangi, atau sekedar JEMBATAN BATU yang memang harus kita lalui untuk menuju ke masa depan. SEMUA TERGANTUNG DARI CARA BERPIKIR KITA SENDIRI.
sebotol penuh minyak. Ia memberikan sebuah botol kosong dan uang sepuluh rupee. Kemudian anak itu pergi membeli apa yang diperintahkan ibunya. Dalam perjalanan pulang, ia terjatuh. Minyak yang ada di dalam botol itu tumpah
hingga separuh. Ketika mengetahui botolnya kosong separuh, ia menemui ibunya dengan menangis,
"Ooo... saya kehilangan minyak setengah botol!
Saya kehilangan minyak setengah botol!" Ia sangat bersedih hati dan tidak bahagia. Tampaknya ia
memandang kejadian itu secara negatif dan
bersikap pesimis.
Kemudian, ibu itu menyuruh anaknya yang lain
untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee lagi. Kemudian anaknya pergi. Dalam perjalanan pulang, ia juga terjatuh. Dan separuh minyaknya tumpah. Ia memungut botol dan mendapati
minyaknya tinggal separuh. Ia pulang dengan wajah berbahagia. Ia berkata pada ibunya,
"Ooo... ibu saya tadi terjatuh. Botol ini pun terjatuh dan minyaknya tumpah. Bisa saja botol itu pecah dan minyaknya tumpah semua. Tapi, lihat,
saya berhasil menyelamatkan separuh minyak." Anak itu tidak bersedih hati, malah ia tampak berbahagia. Anak ini tampak bersikap optimis atas kejadian yang menimpanya.
Sekali lagi, ibu itu menyuruh anaknya yang lain
untuk membeli sebotol minyak. Ia memberikan sebuah botol dan uang sepuluh rupee. Anaknya yang ketiga pergi membeli minyak. Sekali lagi, anak itu terjatuh dan minyaknya tumpah. Ia memungut botol yang berisi minyak separuh dan mendatangi ibunya dengan sangat bahagia. Ia berkata, "Ibu, saya menyelamatkan separuh minyak." Tapi anaknya yang ketiga ini bukan hanya seorang anak yang optimis. Ia juga seorang anak yang realistis. Dia memahami bahwa separuh minyak telah tumpah, dan separuh minyak bisa diselamatkan. Maka dengan mantap ia berkata pada ibunya, "Ibu, aku akan pergi ke pasar untuk bekerja keras sepanjang hari agar bisa mendapatkan lima rupee untuk membeli minyak setengah botol yang tumpah. Sore nanti saya akan memenuhi botol itu."
Kita bisa memandang hidup dengan kacamata
buram, atau dengan kacamata yang terang. Namun, semua itu tidak bermanfaat jika kita tidak
bersikap realistis dan mewujudkannya
dalam bentuk KERJA.
ayahnya yg sedang baca koran… “Ayah, ayah” kata sang anak… “Ada apa?” tanya sang ayah….. “aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…aku mau menyontek saja! aku capek. … aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati… aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman teman ku, sedang teman-temanku seenaknya saja bersikap kepada ku… aku capek ayah, aku capek menahan diri…aku ingin seperti mereka…mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah ! ..” sang anak mulai menangis…
Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan
mengelus kepala anaknya sambil berkata ” anakku
ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu
kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang
anak kemudian mereka menyusuri sebuah jalan
yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang… lalu sang anak pun mulai mengeluh ”
ayah mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini,
lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena
tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga,
berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku
benci jalan ini ayah” … sang ayah hanya diam.
Dan akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga
yang sangat indah, airnya sangat segar, ada
banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan
pepohonan yang rindang… “Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau. “Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah”
ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di
samping ayahnya. ” Anakku, tahukah kau mengapa
di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu
indah…?” ” Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?” ” Itu karena orang orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu. Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita
mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi…
bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai
kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori
sepatumu, kau harus sabar melewati ilalang dan
kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga… dan akhirnya semuanya terbayar kan? ada telaga yang sangatt indah.. seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku” ”
Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ” kata anak itu. "Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat … begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi… ingatlah anakku…
ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa
berdiri sendiri… maka jangan pernah kau
gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda yang kuat, yang tetap tabah karena ia tahu ada Tuhan di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?” ” Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini … sekarang aku mengerti … terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar ”
Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya
memainkan tuts pianonya. Dia telah memenangi
banyak kejuaraan dan telah menjalani pertunjukan di berbagai tempat. Tidak peduli penonton yang menyaksikan pertunjukkannya banyak atau sedikit, ataupun dia berhasil memenangkan pertadingan atau tidak, saat bermain piano, wajahnya tampak selalu berseri- seri, enjoy, seakan di sanalah letak segala kebahagiaannya.
Pada suatu hari, saat reuni dengan teman-teman
lamanya, seorang sahabat bertanya kepadanya,
"Kami perhatikan, saat bermain piano, kamu terlihat begitu senang dan bahagia. Sepertinya tidak ada kesusahan sama sekali!" "Lho, hidup memang seharusnya dihadapi dengan
senang kan?" jawabnya si pianis sambil tersenyum. Lalu ia melanjutkan, "Yah, kalian tahu kan bagaimana masa remajaku dulu. Begitu banyak hobi dan aktivitas yang aku geluti. Mulai dari menggambar, bermain musik, juga berbagai cabang olah raga. Ambisiku satu, yaitu ingin selalu menjadi juara di setiap lomba. Aku rajin berlatih dan berusaha, tetapi karena begitu banyak kegiatan, akhirnya tidak mampu berprestasi secara maksimal dan gagal. Kegagalan-kegagalan itu membuatku kecewa, marah, sedih, dan frustasi pada diri sendiri. Aku pun mulai malas-malasan dan kehilangan motivasi sehingga pelajaran di sekolah pun ikut jatuh."
"Sekarang kamu bisa menjadi seorang pianis hebat yang tampak selalu happy. Bagaimana ceritanya?"
tanya temannya penasaran. "Melihat raporku yang jelek dan kelakuanku yang menyebalkan, ayahku tidak marah dan berusaha menyadarkan aku. Suatu hari, saat kami sedang bersantai, ayah melakukan sedikit eksperimen. Beliau mengambil segenggam jagung dan sebuah corong kecil. Telapak tanganku diletakkan di bawah corong. 'Kamu tangkap jagung ini ya,' kata ayah.Lalu dilepaslah sebiji jagung, yang segera meluncur cepat dan tertangkap di telapak tanganku. Kemudian satu biji lagi, dan tertangkap lagi dengan
sempurna. 'Nah, sekarang siap-siap ya!' seru ayah sambil melepas segenggam jagung ke corong. Apa
hasilnya? Tidak ada satu biji jagung pun yang jatuh
ke tanganku karena lobang corong kecil dan biji
jagung tersumbat di situ.
Begini penjelasan ayahku : "Seperti itulah kehidupan ini; setiap hal atau pekerjaan harus dikerjakan satu persatu, fokus, dan penuh konsentrasi. Maka setiap pekerjaan akan bisa diselesaikan dengan baik dan maksimal, sehingga kamu puas dan merasa bahagia.'"