It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hutan. Suatu hari, seorang pria miskin hendak menebang pohon tersebut. Saat ia mulai menebang pohon itu, raja tikus menjadi ketakutan “Tolong, jangan tebang pohon ini” katanya kepada penebang kayu, “dan aku akan memberimu sebongkah emas setiap hari.“
Penebang kayu itu setuju. Jadi, setiap malam raja tikus membawakan sebongkah emas dari bawah akar pohon dan memberikannya kepada si penebang pohon. Penebang kayu mengambil
bongkahan-bongkahan emas tersebut dan
menunjukkan mereka kepada istrinya. Setelah beberapa hari, istrinya bertanya, “Dari mana kamu dapat emas itu?” “Nggak usah kuatir, itu halal
kok,” katanya, “simpan aja,” Beberapa hari kemudian istrinya bertanya lagi, tapi dia tidak mau menceritakannya.
“Jika kamu tidak mau memberi tahukan
pada saya,” katanya mengancam, “saya akan laporkan pada polisi bahwa kamu seorang perampok.”
Penebang kayu itu pun ketakutan pada istrinya, Jadi dia berkata, “Setiap malam raja tikus memberi saya sebongkah emas dari bawah akar pohon.” “Oh, kamu bodoh!” Kata istrinya. “Kau sudah ditipu oleh tikus itu. Dia memberi kamu sebongkah emas setiap malam tapi masih banyak sisa emas
berada di bawah pohon sana! Mengapa kamu tidak menebang pohon itu dan mengambil semua emas yang ada di sana? “
Penebang kayu itu pun melakukan seperti yang diperintahkan istrinya. Dia menebang pohon itu. Tetapi ketika ia mencari emas di bawah akar pohon , ternyata tidak ada emas. Raja tikus telah berhasil melarikan diri/ menyelamatkan diri. Malam itu juga, raja tikus mendatangi rumah penebang kayu itu dan mengambil kembali semua emas yang telah dia berikan. Jadi penebang kayu kembali miskin seperti dahulu lagi.
seorang anak berumur 1 tahun hidup dengan
bahagia. Mereka memelihara seekor anjing yang
begitu setia. Sejak dari pacaran sampai sudah dikaruniai anak, anjing ini telah menjadi bagian dalam hidup mereka. Sebagai teman bermain, penjaga sekaligus pelindung keluarga. Merekapun sangat menyayangi dan mempercayai anjing ini. Suatu saat kedua suami istri ini keluar rumah dan
meninggalkan anak mereka bersama anjing
peliharaannya. Namun mereka lupa memberi
makan anjing tersebut. Saat mereka pulang, dikejutkan dengan tetesan- tetesan darah yang berserakan dilantai. Kaget, takut, khawatir bercampur aduk dalam benak mereka langsung berlari menuju kamar. Di depan pintu kamar, duduk anjing peliharaan itu dengan mulut yang masih meneteskan darah segar. Histeris, kedua suami-istri berteriak. Si istri terduduk lemas dengan isak tangis, sedangkan sang suami langsung mengambil kursi yang ada diruangan dan menghantamkanya bertubi-tubi kekepala anjing tersebut. Si anjing seolah pasrah menerima nasibnya tanpa berusaha menghindar,..akhirnya mati. Dengan perasaan hancur dan tangis yang semakin menjadi, kedua suami istri itu pun berpelukan. Dalam hati mereka tidak menyangka telah kehilangan sang buah hati dan anjing peliharaan bersamaan. Dengan langkah lunglai, keduanya memasuki kamar. Dan betapa kagetnya mereka saat melihat anak mereka tertidur pulas diatas ranjang, sedangkan disamping ranjang tergeletak seekor ular yang sudah mati berlumuran darah. Mereka baru sadar ternyata… anjing peliharaan itu telah melindungi anak mereka dari ancaman si ular. Mereka sangat menyesali perbuatannya tetapi apa mau dikata semua sudah terlambat ……
Ingatlah janganlah ceroboh dalam bertindak karena penyesalan selalu datang terakhir dan biasanya datang terlambat dan semua sudah berakhir.
perang yang terkenal karena memiliki keahlian
memanah yang tiada tandingannya. Suatu hari,
sang panglima ingin memperlihatkan keahliannya
memanah kepada rakyat. Lalu diperintahkan
kepada prajurit bawahannya agar menyiapkan papan sasaran serta 100 buah anak panah. Setelah semuanya siap, kemudian Sang Panglima
memasuki lapangan dengan penuh percaya diri,
lengkap dengan perangkat memanah di tangannya. Panglima mulai menarik busur dan melepas satu persatu anak panah itu ke arah sasaran. Rakyat bersorak sorai menyaksikan kehebatan anak panah yang melesat! Sungguh luar biasa! Seratus kali anak panah dilepas, 100 anak panah tepat mengenai sasaran. Dengan wajah berseri-seri penuh kebanggaan, panglima berucap, "Rakyatku, lihatlah panglimamu! Saat ini, keahlian memanahku tidak ada tandingannya. Bagaimana pendapat kalian?" Di antara kata-kata pujian yang diucapkan oleh banyak orang, tiba-tiba seorang tua penjual minyak menyelutuk, "Panglima memang hebat ! Tetapi, itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih." Sontak panglima dan seluruh yang hadir memandang dengan tercengang dan bertanya- tanya, apa maksud perkataan orang tua penjual minyak itu. Tukang minyak menjawab, "Tunggu sebentar!" Sambil beranjak dari tempatnya, dia mengambil sebuah uang koin Tiongkok kuno yang berlubang di tengahnya. Koin itu diletakkan di atas mulut botol guci minyak yang kosong. Dengan penuh keyakinan, si penjual minyak mengambil
gayung penuh berisi minyak, dan kemudian
menuangkan dari atas melalui lubang kecil di
tengah koin tadi sampai botol guci terisi penuh. Hebatnya, tidak ada setetes pun minyak yang
mengenai permukaan koin tersebut! Panglima dan rakyat tercengang. Merela bersorak sorai menyaksikan demonstrasi keahlian si penjual
minyak. Dengan penuh kerendahan hati, tukang
minyak membungkukkan badan menghormat di
hadapan panglima sambil mengucapkan kalimat
bijaknya, "Itu hanya keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih! Kebiasaan yang diulang
terus menerus akan melahirkan keahlian."
subuh di Masjid. Dia berpakaian, berwudhu dan berjalan menuju masjid. Ditengah jalan menuju masjid, pria tersebut jatuh dan pakaiannya kotor. Dia bangkit, membersihkan bajunya dan pulang kembali kerumah. Di rumah, Dia berganti baju, berwudhu, dan berjalan LAGI menuju masjid. Dalam perjalanan kembali ke masjid, dia terjatuh lagi di tempat yg sama! Dia , sekali lagi, bangkit, membersihkan dirinya dan kembali kerumah.
Dirumah, dia, sekali lagi, berganti baju, Berwudhu Dan berjalan menuju masjid. Di tengah jalan menuju masjid, dia bertemu seorang pria yg memegang lampu. Dia menanyakan identitas pria tersebut, dan pria itu menjawab "Saya melihat anda terjatuh 2 kali di perjalanan menuju masjid, Jadi saya bawakan lampu untuk menerangi jalan anda." Pria pertama mengucapkan terima kasih dan mereka berdua berjalan ke masjid. Saat sampai di masjid, pria pertama bertanya kepada pria yang membawa lampu untuk masuk dan sholat subuh bersamanya. Pria kedua menolak. Pria pertama mengajak lagi hingga berkali-kali dan Lagi, jawabannya sama. Pria pertama bertanya, kenapa menolak untuk masuk Dan sholat. Pria kedua menjawab : “Aku adalah Setan “ Pria itu terkejut dgn jawaban pria kedua. Setan kemudian menjelaskan, 'Saya melihat kamu berjalan ke masjid, Dan sayalah yang membuat kamu terjatuh. Ketika kamu pulang ke rumah, Membersihkan badan dan kembali ke masjid, Allah memaafkan semua dosa-dosamu. Saya membuatmu jatuh kedua kalinya, dan Bahkan itupun tidak membuatmu merubah pikiran untuk tinggal dirumah saja, Kamu tetap memutuskan kembali masjid.
Karena hal itu, Allah memaafkan dosa-dosa seluruh anggota keluargamu. Saya KHAWATIR jika saya membuat mu jatuh utk ketiga kalinya, Jangan2 Allah akan memaafkan dosa-dosa seluruh penduduk desamu, Jadi saya harus memastikan bahwa anda sampai dimasjid dengan selamat..'
Jangan pernah biarkan Setan mendapatkan keuntungan dari setiap aksinya. Jangan melepaskan sebuah niat baik yang hendak kamu lakukan karena kamu tidak pernah tau ganjaran yang akan kamu dapatkan dari segala kesulitan yang kamu temui dalam usahamu untuk melaksanakan niat baik tersebut.
katakan pada diri anda?” Jawabnya: “Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya:”Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa
Iran .”
Berikut adalah gambaran Ahmadinejad, yang
membuat orang ternganga:
1. Saat pertama kali menduduki kantor
kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet
Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada
masjid-masjid di Teheran dan menggantikannya
dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.
2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat
besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP,
lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang
tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk
menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2
kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.
3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama
dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan
kantor kepresidenannya.
4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta
menteri-menteri nya untuk datang kepadanya dan
menteri-menteri tersebut akan menerima sebuah
dokumen yang ditandatangani yang berisikan
arahan darinya, arahan tersebut terutama sekali
menekankan para menteri-menteri nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening
pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi,
sehingga pada saat menteri-menteri tersebut
berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan
kantornya dengan kepala tegak.
5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan
kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot
504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan
ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah
kumuh di Teheran.. Rekening banknya bersaldo
minimum, dan satu-satu nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.
6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas
hanya senilai US$ 250.
7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih
tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinya
seorang presiden dari negara yang penting baik
secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi
secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak
mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia
bertugas untuk menjaganya.
8. Satu hal yang membuat kagum staf
kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang
presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi
atau roti keju yang disiapkan istrinya dan
memakannya dengan gembira, ia juga
menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.
9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat
Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi
pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak
masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang
dengan pesawat terbang biasa dengan kelas
ekonomi.
10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri-
menteri nya untuk mendapatkan info tentang
kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia
memotong protokoler istana sehingga menteri-
menteri nya dapat masuk langsung ke ruangannya
tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara-upacara seperti karpet merah,
sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal-hal seperti
itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.
11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta
diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu
besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur,
tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet
dan selimut. Apakah perilaku tersebut
merendahkan posisi presiden? Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari
pengawal-pengawal nya yg selalu mengikuti
kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto-foto
yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian
dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia,
termasuk amerika.
12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa
ia tidak duduk di baris paling muka
13. Bahkan ketika suara azan berkumandang, ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa
14. Ia juga tidak mau bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya, cukup menundukan kepala sebagai rasa hormat
koran, "Berapa lama lagi kamu baca koran itu?
Tolong kamu ke sini dan bantu anak
perempuanmu tersayang untuk makan."
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku
satu2nya, namanya Lala tampak ketakutan, air matanya banjir di depannya ada semangkuk nasi
berisi nasi susu asam/yogurt (curd rice). Lala
anak yang manis dan termasuk pintar dalam
usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka
makan curd rice ini. Ibuku dan istriku masih
kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect” (menurunkan panas
dalam). Aku mengambil mangkok dan berkata, "Lala sayang, demi Papa, maukah kamu makan
beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti
Mamamu akan teriak2 sama Papa." Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang
punggungku. Tangis Lala mereda dan ia
menghapus air mata dengan tangannya, dan
berkata “Papa, aku akan makan curd rice ini
tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya
akan aku habiskan, tapi ada yang aku mau minta....” agak ragu2 sejenak “aku mau minta
sesuatu sama Papa bila habis semua nasinya.
Apakah Papa mau berjanji memenuhi
permintaanku?”
Aku menjawab “Oh pasti, sayang.” Lala tanya sekali lagi, “Betul nih Papa ?” “Iya, pasti," sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda
setuju. Lala juga mendesak Mamanya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Lala yang
merengek sambil berkata tanpa emosi, "Janji,"
kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Lala jangan minta komputer atau barang2 lain yang mahal ya, karena Papa saat ini tidak punya uang.” Lala menjawab, "Jangan khawatir, Lala tidak
minta barang2 mahal kok." Kemudian Lala dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Lala untuk makan sesuatu yang tidak disukainya. Setelah Lala melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Lala mau kepalanya digundulin (dibotakin) pada hari Minggu!!! Istriku spontan berkata, "Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin!" Juga Mamaku menggerutu, "Jangan terjadi
dalam keluarga kita. Dia terlalu banyak nonton
TV dan program2 TV itu sudah merusak
kebudayaan kita." Aku coba membujuk, "Lala kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak." Tapi Lala tetap dengan pilihannya, "Tidak ada Papa, tak ada keinginan lain." kata Lala. Aku coba memohon kepada Lala, "Tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami." Lala dengan menangis berkata, "Papa sudah
melihat bagaimana menderitanya aku
menghabiskan nasi susu asam itu dan Papa
sudah berjanji untuk memenuhi permintaanku.
Kenapa Papa sekarang mau mengingkari
sendiri? Bukankah Papa selalu mengajarkan, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap
seseorang apapun yang terjadi?" Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, "Ok. Janji kita harus ditepati." Secara serentak istri dan ibuku berkata, "Apakah aku sudah gila?" "Tidak," jawabku, 'Kalau kita menjilat ludah
sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana
menghargai dirinya sendiri." "Lala, permintaanmu akan kami penuhi." Dengan kepala botak, wajah Lala nampak bundar dan matanya besar dan bagus. Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah,
sekilas aku melihat Lala botak berjalan ke
kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku.
Sambil tersenyum aku membalas lambaian
tangannya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, "Lala, tunggu saya." Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-
laki itu botak juga. Aku berpikir mungkin 'botak' adalah model jaman sekarang......... Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita
keluar dari mobil dan berkata, “Anak anda, Lala benar-benar hebat. Anak laki- laki yang jalan bersama-sama dia sekarang, Alex adalah anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu- sedu, “Bulan lalu Alex tidak masuk sekolah, karena pengobatan kemo-terapi, kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh teman-temannya." "Nah, minggu lalu Lala datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul- betul tidak menyangka kalau Lala mau
mengorbankan rambutnya yang indah untuk
anakku Alex. Bapak dan istri bapak sungguh
diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.” Aku berdiri terpaku dan aku menangis, malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih.
"Ayah, aku ingin bertanya..." terdengar suara yang mengusik ambang sadar si pedagang. "Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa kuat seperti Ayah, dan bisa membawa dagangan kita ke kota? "Sepertinya, lanjut sang bocah, "aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayah yang tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan
kita jika aku tetap seperti ini." Jari tangannya tampak mengores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, "bilakah aku
bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah? Sang Ayah yang awalnya mengantuk, kini tampak siaga. Diambilnya sebuah benih, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang kecil, dengan ukuran yang tak sebanding dengan
tangan pedagang yang besar-besar. Kemudian, ia pun mulai berbicara. "Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon
besar tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya, juga berasal dari benih yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol, juga dari benih ini.
Dan kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah, sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah, juga berasal dari tempat yang sama. Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun. "Ketahuilah Nak, benih ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh,
dahan yang rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya
matahari yang cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh. Pada mereka semualah benih ini berterima kasih, karena telah melatihnya menjadi mahluk yang sabar. "Suatu saat nanti, kamu akan besar Nak. Jangan pernah takut untuk berharap menjadi besar, karena bisa jadi, itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran." Terlihat senyuman di wajah mereka.
Lalu keduanya merebahkan diri, meluruskan pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan lelah mereka setelah seharian bekerja.
Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu mengerak-gerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu. Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kasih sayang seperti itu, si bayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti kemana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya. Tingkah lakunya juga persis layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai beranjak besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing. Ia mengembik bukan mengaum! Ia merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing yang lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa. Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala. “Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar. Tapi anak singa yang sejak kecil hidup ditengah- tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung dibalik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara “embeeeeek”. Sama seperti kambing yang lain bukan auman singa. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala. Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bias membela kami! Seharusnya kamu bias menyelamatkan saudaramu! Seharusnya kau bisa mengusir serigala yang jahat itu!” Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing yang lain. Anak singa itu merasa
sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepas cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya! Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!” Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang- ancang untuk menyeruduk lagi. Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada dihadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu! Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek
wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa raja hutan? Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun. Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat! Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit- birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah- tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa. Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku tak akan memangsa anak singa!” Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan, “Jangan bunuh aku, ammpuun!” “Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!” Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!” Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing. Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu membandingkan dengan singa dewasa. Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!” “Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa. “Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!” “Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh seisi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa. Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!” Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
menciptakan seri buku Chicken Soup. Waktu penghasilannya baru mencapai $ 1 juta, ia
bertemu dgn Anthony Robbins dan bertanya
padanya. “Penghasilan Anda demikian besar,
bagaimana saya bίsα mencapainya juga ? Anthony bertanya, “Siapakah kelompok pergaulan
yang jadi pemikir utama Anda ?” Ia menjawab, “Kelompok jutawan”. Anthony Robbins berkata, “Itulah kekeliruan Anda. Anda harus bergaul dgn kelompok miliarder, pasti mereka akan membuat Anda berpikir pada tingkatan mereka.” Kini penghasilan Hansen sudah hampir mencapai
angka $ 1 milyar. Seorang teman atau komunitas tertentu bίsα mempengaruhi kitα dari segi baik atau buruk.
ANDA TIDAK MUNGKIN BISA TERBANG SEPERTI ELANG, KALAU ANDA HIDUP DI KUMPULAN KALKUN, KARENA ANDA AKAN BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI KALKUN.
semangka. Tiba-tiba, “tokeeeeeek..!” Tokek yang bersarang di plafon atap rumahnya itu berbunyi. Dengan sigap, petani itu berseru “Meloon!”. Tokek
itu berbunyi lagi, “Tokeeeek..!” Petani itupun berseru lagi “Semangkaa..”. Dan begitu seterusnya beberapa kali hingga tokek tersebut berhenti
berbunyi. Kata terakhir yang diserukan petani tersebut adalah “melon”, maka petani itu pun
memutuskan untuk menanam melon di ladang. Beberapa bulan berlalu dan ternyata melonnya tumbuh subur. Sangat berbeda dengan tetangganya yang menanam semangka. Semangka tetangganya tersebut hampir semuanya gagal panen tanpa ada sebab yang jelas. “Tokek itu simbol keberuntunganku.” Gumam petani. Sore harinya, seorang pedagang melon datang ke rumah petani tersebut. Ia menawarkan diri untuk membeli semua hasil panen melon di atas harga
pasar. Padahal di sisi lain, petani itu sudah berencana menjual melon ke KUD. “Mmm.. dijual ke orang itu tidak ya??” tiba-tiba tokek itu berbunyi
lagi “tokeeek..!” Sekonyong-konyong petani itu berseru “Ya..!” ; Tokek itupun berbunyi lagi “tokeeek..!” Petanipun berseru lagi “tidaak..!” Dan begitu seterusnya beberapa kali hingga tokek tersebut berhenti berbunyi. Kata terakhir yang
diserukan petani tersebut adalah “tidak”. Maka petani itu menolak menjual melonnya pada pedagang itu, dan lebih memlih menjual melonnya ke KUD, sekalipun dihargai lebih murah. Keberuntungan pun datang lagi pada petani itu, pedagang tersebut ternyata seorang penipu. Dengan berbagai tipu muslihatnya pedagang
itu telah berhasil menipu salah satu tetangganya, dengan membawa lari seluruh hasil panen tanpa dibayar sepeserpun. Petani itu sangat bangga dengan tokeknya. Dengan sedikit berusaha,
akhirnya dia berhasil menangkap tokek itu. Tokek tersebut lalu diberi sangkar yang besar dan bagus, segala kebutuhan tokek itupun dipenuhinya setiap hari. Bulan demi bulan pun berlalu, dan seperti biasa tokek tersebut selalu membawa keberuntungan bagi petani tersebut. Apapun yang
menjadi keputusan petani selalu menunggu jawaban si tokek. Cerita pun terus berlanjut, petani
tersebut lalu membuat semacam ‘standarisasi’ bagi jawaban si tokek. Bunyi pertama ia artikan sebagai
“ya”, dan bunyi kedua diartikan sebagai “tidak”. ‘Standarisasi’ bunyi tokek inipun berhasil. Lambat laun petani itu pun menjadi kaya raya. Ia telah menjadi salah satu tuan tanah terkaya di desanya. Tahun demi tahun pun berlalu. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini tokek tersebut selalu membawa petani tersebut pada keputusan yang salah. Beberapa kali jawaban tokek tersebut
selalu mengarah pada kesialan semata. Tokek tersebut telah membuat petani tersebut kehilangan tanah karena sengketa, salah memilih pupuk, salah
cara dalam mengairi sawah, kehilangan istri, dan seabreg masalah-masalah lain. Keadaan petani itu pada saat ini justru jauh lebih buruk dari keadaan sebelum ia menemukan si tokek. Lambat laun petani tersebut menjadi benci terhadap tokek tersebut, dan ia pun berseru “Akuu bodoooooh!!”. Seperti diperintah, tokek di dalam kandang itu juga menyahut “tokeeeeeek..!” selama satu kali.
pengikutnya merasa amat sedih kalau-kalau
mereka kehilangan sang guru yang mereka
kagumi. Suatu hari sang guru memanggil mereka
semua dan memberikan kata-katanya yang
terakhir di saat menjelang kematiannya. Ia mengatakan bahwa bagi kebanyakan orang,
kematian merupakan tragedi yang menyakitkan,
namun sebaliknya kematian justru seharusnya
merupakan hari sukacita untuk dirayakan. Para muridnya dengan rasa heran bertanya;
"Ketika orang yang kita cintai meninggal dunia
dan kita tak akan pernah lagi mampu melihatnya,
mengapa justru harus dirayakan?" "Ketika seseorang telah menyelesaikan jalan yang
harus dilampauinya, telah menyelesaikan segala
yang harus dipelajarinya selama hidup ini,
bukankah ia harus diwisuda? Dan bukankah saat
wisuda merupakan saat yang membahagiakan?"
Demikian kata sang guru. Setelah berdiam sejenak ia melanjutkan; "Ketika
seorang anak dilahirkan semua orang bergembira
ria. Dan ketika seseorang meninggal semua diliputi
ratap dan tangis. Pada hal seharusnya sebaliknya.
Janganlah berpesta ria bila sebuah kapal akan
meninggalkan pelabuhan, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi sepanjang perjalanan kapal
tersebut di tengah laut lepas. Tetapi berpestalah
bila kapal itu telah kembali ke pelabuhan, karena
ia telah melewati semua aral dan rintangan di laut
lepas."
kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang. Itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu
pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu di mana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan
lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi di mana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh. Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur di
sini.” Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu. Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak di tempat. “Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita”. Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata
basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota. Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan- kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke manapun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo. Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai
lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-sura pribadi. Tapi di antara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting- anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting- anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu di dekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya. Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya,
bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?” Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk
mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita. Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian. Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”. Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25
tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota di mana Serrafonna diculik. Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya. Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.” Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain- main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian
masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai berdoa, “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”. Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”. Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan.” Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak- gerak. Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-
pengemis yang segera memenuhi tempat itu. “Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu.” Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat. “Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia- nyiakan saya”. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda. “Mama….”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya. “Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…” Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..” Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya
selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia
kasir di K-Mart, supermarket yang
lumayan terkenal di kota itu. Kaki
kirinya terasa sakit, ia berharap
tidak lupa untuk meminum semua pilnya
tadi pagi. Satu pil untuk tekanan darah tinggi, satu pil untuk pusing-
pusing, dan satu pil lagi untuk
penyakit rematiknya yang kadang
kambuh. “Syukurlah aku telah pensiun
beberapa tahun lalu” katanya kepada
diri sendiri. “Masihkah aku kuat mengajar anak-anak sekarang ?” Begitu
tiba di depan antrian kasir yang
penuh, ia melihat seorang lelaki
dengan empat orang anak beserta
istrinya yang hamil. Mantan guru itu
tidak dapat melepaskan pandangannya dari tato di leher orang itu. “Pasti
ia pernah dipenjara”, pikirnya. Ia
terus memperhatikan penampilan pria
itu. Dari cara pria itu berpakaian,
mantan guru itu berkesimpulan bahwa ia
adalah seorang anggota geng. Mata pensiunan tua itu tambah terperanjat
ketika melihat kalung yang
dikenakannya, bertuliskan “Parlson” –
pasti ini adalah nama orang itu.
Parlson dikenal sebagai kepala geng di
daerah itu, tidak ada satupun orang yang berani padanya. Ia dikenal
sebagai orang yang tidak ramah. Sewaktu Parlson datang ke rombongan
antrian, spontan orang-orang
menyediakan tempat kepada dia untuk
antri terlebih dulu. Setelah Parlson
hampir tiba di antrian terdepan,
matanya tertuju pada mantan guru itu. “Silahkan Anda lebih dulu” mantan guru
itu berkata. “Tidak, Anda yang harus lebih dulu..”
balas lelaki itu. “Tidak, anda membawa istri dan banyak
anak, anda harus antri lebih dulu”
kata mantan guru itu kepada Parlson. “Kami sangat menghormati orang tua..”
tegas lelaki itu. Dan bersamaan dengan
itu, dengan gerak tangannya yang
sangat sopan, ia menyilahkan wanita
tua itu untuk mengambil tempat
didepannya. Seulas senyum tergurat pada bibirnya
ketika sang mantan guru lewat di depan
lelaki itu. Tetapi sebagai seorang
yang berjiwa guru, ia tidak dapat
melewatkan kejadian istimewa ini
begitu saja. Mantan guru itu lalu berpaling ke belakang. “Anda sopan sekali.. terima kasih,
siapa yang mengajarkan ini kepada
Anda ?” Dengan sikap yang sangat hormat,
lelaki itu berkata, “Tentu saja Anda,
Ibu Simpson, sewaktu saya masih kelas
tiga dulu.” Lelaki itu kemudian mengambil sikap
menunduk dengan hormat – lalu pergi
menuju antrian yang paling belakang.