It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
menyambutnya dengan gembira. Berbagai macam
permainan, stand makanan dan pertunjukan
diadakan. Salah satu yang paling istimewa adalah
atraksi manusia kuat. Begitu banyak orang setiap malam menyaksikan unjuk kekuatan otot manusia kuat ini. Manusia kuat ini mampu melengkungkan baja tebal hanya dengan tangan telanjang. Tinjunya dapat menghancurkan batu bata tebal hingga berkeping- keping. Ia mengalahkan semua pria di kota itu dalam lomba panco. Namun setiap kali menutup pertunjukkannya ia hanya memeras sebuah jeruk dengan genggamannya. Ia memeras jeruk tersebut hingga ke tetes terakhir. ‘Hingga tetes terakhir’, pikirnya.
Manusia kuat lalu menantang para penonton:
‘Hadiah yang besar kami sediakan kepada barang
siapa yang bisa memeras hingga keluar satu tetes
saja air jeruk dari buah jeruk ini!’ Kemudian naiklah seorang lelaki, seorang yang atletis, ke atas panggung. Tangannya kekar. Ia memeras dan memeras… dan menekan sisa jeruk… tapi tak setetespun air jeruk keluar. Sepertinya seluruh isi jeruk itu sudah terperas habis. Ia gagal. Beberapa pria kuat lainnya turut mencoba, tapi tak ada yang berhasil.
Manusia kuat itu tersenyum-senyum sambil berkata : ‘Aku berikan satu kesempatan terakhir, siapa yang mau mencoba?’ Seorang wanita kurus setengah baya mengacungkan tangan dan meminta agar ia boleh mencoba. ‘Tentu saja boleh nyonya. Mari naik ke panggung.’ Walau dibayangi kegelian di hatinya, manusia kuat itu membimbing wanita itu naik ke atas pentas. Beberapa orang tergelak-gelak mengolok-olok wanita itu. Pria kuat lainnya saja gagal meneteskan setetes air dari potongan jeruk itu apalagi ibu kurus tua ini. Itulah yang ada di pikiran penonton. Wanita itu lalu mengambil jeruk dan menggenggamnya. Semakin banyak penonton yang menertawakannya. Lalu wanita itu mencoba memegang sisa jeruk itu dengan penuh konsentrasi. Ia memegang sebelah pinggirnya, mengarahkan ampas jeruk ke arah tengah, demikian terus ia ulangi dengan sisi jeruk yang lain. Ia terus menekan serta memijit jeruk itu, hingga akhirnya memeras… dan ‘ting!’ setetes air jeruk muncul terperas dan jatuh di atas meja panggung. Penonton terdiam terperangah. Lalu cemoohan segera berubah menjadi tepuk tangan riuh.
Manusia kuat lalu memeluk wanita kurus itu,
katanya, ‘Nyonya, aku sudah melakukan
pertunjukkan semacam ini ratusan kali. Dan, banyak orang pernah mencobanya agar bisa membawa pulang hadiah uang yang aku tawarkan, tapi mereka semua gagal. Hanya Anda satu-satunya yang berhasil memenangkan hadiah itu. Boleh aku tahu, bagaimana Anda bisa melakukan
hal itu?’ ‘Begini,’ jawab wanita itu, ‘Aku adalah seorang janda yang ditinggal mati suamiku. Aku harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi hidup kelima anakku. Jika engkau memiliki tanggungan beban seperti itu, engkau akan mengetahui bahwa selalu ada tetesan air walau itu di padang gurun sekalipun. Engkau juga
akan mengetahui jalan untuk menemukan tetesan
itu. Jika hanya memeras setetes air jeruk dari
ampas yang engkau buat, bukanlah hal yang sulit bagiku’.
Selalu ada tetesan setelah tetesan terakhir. Aku
telah ratusan kali mengalami jalan buntu untuk
semua masalah serta kebutuhan yang keluargaku
perlukan. Namun hingga saat ini aku selalu menerima tetes rezeki dari Tuhan untuk hidup keluargaku. Aku percaya Tuhanku hidup dan aku percaya tetesan rahmat-Nya tidak pernah kering, walau mata jasmaniku melihat semuanya telah kering. Aku punya alasan untuk menerima jalan keluar dari masalahku. Saat aku mencari, aku menerimanya karena ada Tuhan yang senantiasa mengasihiku. Dan betapa seringkali kita tak kuat melakukan sesuatu karena tak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menerima hal tersebut. Terus berusaha dan bersyukurlah!
yang sempurna dan teknik yang tiada duanya.
Walaupun Eropa pada abad kedelapan belas
memiliki beberapa pemain biola yang luar biasa,
namun Paganini bisa dianggap sebagai satu- satunya virtuoso biola abad kesembilan belas.
Suatu hari Niccolo Paganini sedang memainkan
konser untuk para pemujanya yang memenuhi
ruangan. Dia bermain biola dengan diiringi
orkestra penuh. Tiba-tiba salah satu senar biolanya putus. Keringat dingin mulai membasahi dahinya tapi dia meneruskan memainkan lagunya. Kejadian yang sangat mengejutkan senar biolanya yang lain pun putus satu persatu hanya meninggalkan satu senar, tetapi dia tetap main.
Ketika para penonton melihat dia hanya memiliki satu senar dan tetap bermain, mereka berdiri dan berteriak,"Hebat, hebat." Setelah tepuk tangan riuh memujanya, Paganini menyuruh mereka untuk duduk. Mereka menyadari tidak mungkin dia dapat bermain dengan satu senar. Paganini memberi hormat pada para penonton dan memberi isyarat pada dirigen orkestra untuk meneruskan bagian akhir dari lagunya itu. Dengan mata berbinar dia berteriak, "Peganini dengan satu senar". Dia menaruh biolanya di dagunya dan memulai memainkan bagian akhir dari lagunya tersebut dengan indahnya. Penonton sangat terkejut dan kagum pada kejadian ini.
kota untuk membeli tepung roti. Anak lelaki itu
segera berangkat berjalan kaki. Jarak antara desa
tempat tinggalnya dan kota cukup jauh juga. Di
perjalanan ia harus melewati sebuah jembatan
kecil. Kini ia tiba di ujung jembatan kecil itu. Di
seberang jalan ia melihat seorang anak lelaki lain
yang berjalan ke arahnya. Mereka berdua sama-
sama berjalan di jalur yang sama. Hingga tepat di
tengah-tengah jembatan itu mereka saling
berhadap-hadapan. Keduanya berhenti dan berpandangan.
Anak lelaki itu berpikir, "Wah, kurang ajar sekali
anak ini. Dia tidak mau mengalah dan
memberikan jalan padaku." Di saat yang sama,
anak lelaki lain itu berpikiran hal yang sama,
"Seharusnya dia yang mengalah dan memberikan jalan padaku." Lama keduanya saling berdiri di tengah jembatan tanpa ada satu pun yang mau mengalah dan memberikan jalan. Keduanya sama-sama berpikir bahwa "Aku harus berteguh hati dan kuat pendirian." Keduanya saling berpandangan tanpa ada satupun yang berbicara atau bergerak.
Siang pun tiba. Di rumah, ayah dari anak lelaki
yang hendak pergi ke kota itu mulai cemas
memikirkan mengapa anaknya belum juga
kembali. Sang ayah lalu bergegas menyusul
anaknya ke kota . Hingga akhirnya ia sampai di
jembatan dan melihat ke dua anak lelaki itu saling berdiam dan berhadap-hadapan. Sang ayah berteriak pada anak lelakinya, "Wahai anakku, mengapa engkau berdiri di situ?" Anak lelakinya menjawab, "Anak lelaki ini menghalangi jalanku. Ia sama sekali tidak mau mengalah. Bagaimana aku bisa berjalan jika ia menutup jalanku?"
Sang ayah mulai kesal. Ia lalu berkata pada
anaknya, "Sudahlah anakku, sebaiknya kau minggir dan segera pergi ke kota untuk membeli
tepung. Biar ayahmu ini yang berdiri di sini
menggantikanmu dan tidak memberikan jalan
pada anak lelaki yang tidak tahu diri ini!"
Teguh hati memang boleh. Sesekali mengalah
demi tercapainya tujuan bukanlah hal yang
tercela. Tetapi bukan berarti lalu kita harus
menjadi tembok bagi tercapainya tujuan orang
lain bukan?
sawahnya, dan ternyata telur yang ditemukannya itu adalah telur burung elang. Namun si petani tersebut tidak menyadarinya. Wah..lumayan nih dapat sebutir telur , bisa untuk tambahan menu makanan hari ini, pikir si petani. Sesampainya di rumah, petani tersebut urung melakukan niatnya, melihat bentuk telur itu yang agak besar dan berbeda dengan telur ayam biasanya. Akhirnya si petani tersebut menaruh telur elang tersebut di kandang seekor ayam betina di belakang rumahnya untuk dierami.
Hari berganti hari, dan akhirnya telur elang itupun
menetas bersama dengan telur- telur ayam lainnya.
Masa kanak-kanak elang tersebut dihabiskan
dengan anak-anak ayam yang lain. Dan akhirnya
tingkah elang tersebut pun seperti layaknya ayam
yang lain. Si anak elang menjalani kehidupannya seperti ayam, seperti yang dilakukan sang saudara
tirinya, mencari cacing,bermain dengan ayam-ayam.
Hingga suatu saat dia melihat ada seekor burung
elang terbang diatas mereka, sang anak elang pun
terpana melihat burung elang tersebut terbang bebas diangkasa. “wah enak ya si burung elang bisa terbang bebas”kata si anak elang tersebut, ”jangan mimpi deh,kamu kan ayam nga bisa terbang seperti mereka”kata saudara tiri si elang . Anak elang tumbuh dewasa. Badannya semakin
tegar, sayapnya semakin kokoh, kuat paruhnya
semakin tajam, dan kakinya semakin
mencengkram. Tapi dia masih saja bertingkah
seperti ayam.
Dia tidak berani tuk mengepakkan sayapnya, hanya bersedih melihat dirinya berbeda dengan ayam-ayam lainnya dan hanya bisa memandang ke langit memperhatikan burung-burung lain yang terbang. Hingga akhirnya si elang itupun
mati tanpa ia bisa mengepakkan sayapnya dan
terbang tinggi di angkasa.
Tentang diibaratkannya diri kita adalah seekor elang yang sebetulnya mampu untuk terbang, melayang tinggi, dan bermain di angkasa. Hanya tinggal kemauan untuk mencoba mengepakkan sayap, maka kita akan bisa terbang bersama burung-burung yang lain dan malah bisa lebih tinggi kalau kita menyadari bahwa diri kita memiliki kelebihan dan kekuatan untuk melakukan hal itu.
Tapi sayang, kadang-kadang mental kita masih
berada jauh dari impian, masih berkutat di dalam
lingkungan yang sempit, kuno, dan tidak mau
berubah seperti eleng tadi. Untuk keluar mencoba
melakukan sesuatu hal yang baru masih belum bisa dan tidak berani melakukannya. Kita masih terkondisikan oleh lingkungan, tanpa mau tahu
sebetulnya kita juga bisa menciptakan kondisi
lingkungan.
memanjat sebuah pohon. Karena hari sudah sore,
dia ditinggalkan oleh teman-temannya sendiri.
Sementara dia tidak berani turun dari pohon itu.
Semakin malam semakin gelap gulita. Sehingga
bawah pohon tidak dapat terlihat lagi oleh Si Anak tersebut.
Orang tua anak itu mencari-cari, hingga tahu dapat
kabar dari teman-temannya anak tadi, bahwa dia
telah ditinggalkan di pohon pinggir desa. Bapak dan ibunya, menjadi gelisah dan segera menyusul Si Anak tadi. Sesampai di pinggiran desa, dan sudah berada di dekat pohon itu, Sang Bapak memanggil anaknya. Dan disahut oleh anaknya. Lalu Sang Bapak dari bawah melihat dengan cukup jelas anaknya walau cukup gelap.
“Ayo nak lompat turun, Bapak akan menangkapmu!” pinta Sang Bapak. “Kamu akan selamat, lompatlah.. Bapak bersiap di bawah untuk menagkapmu, kamu pasti akan selamat!”.
Rupanya Si Anak tadi merasa ragu, seolah TIDAK
YAKIN kalau akan selamat sampai bawah dengan ditangkap bapaknya. Dia PERCAYA sekali kalau di
bawah bapaknya sudah menunggu. Jangan-jangan
nanti pas lompat, tidak ditangkap bapaknya,
bukankah selama ini sering ‘nakal’ terhadap orang
tua. Jangan-jangan bapaknya mau memberikan
hukuman atau pelajaran karena dia yang tidak patuh. Padahal dalam benak bapaknya, benar-benar akan menolong anaknya. Tidak ada maksud lain. Kalau suatu saat kadang menegurpun, karena bapak tersebut sayang kepada anaknya.
“Yakinlah Nak, kamu akan selamat, Bapakmu sudah bersiap menangkapmu!”, Sang Ibu turut
meyakinkan.
Akhirnya hati Sang Anak mulai tumbuh keyakinan.
Ya, kalau lompat akan ditangkap oleh bapaknya
dan selamat. Setelah merasa yakin sekali, walau
tidak melihat bapaknya di bawah, akhirnya dia putuskan untuk melompat. Ada dua pilihan baginya, lompat dan selamat karena yakin akan ditolong oleh bapaknya atau berdiam diri di atas pohon, hingga pagi. Akhir cerita anak tadi selamat ditangkap oleh bapaknya. Karena anak tadi Percaya dan Yakin kalau bapaknya ada dibawah pohon dan akan menangkap dia, saat melompat turun. Sekali lagi anak itu PERCAYA dan YAKIN.
Percaya dan Yakin, adalah suatu pilihan, mana
yang akan kita pilih. Melakukan yang membuat
keyakinan semakin kuat atau sebaliknya.
pernikahan,ibu Priyo memberinya sebuah buku
tabungan. Di dalamnya berisi tabungan sejumlah
Rp 2.460.000. Dia berkata, "Priyo, terimalah buku
tabungan ini. Gunakan sebagai buku catatan dari
kehidupan pernikahanmu. Jika ada satu peristiwa bahagia atau yang bisa dikenang, masukkan
sejumlah uang tabungan di dalamnya. Tulis
kejadian yang kamu alami di baris catatan yang ada di sampingnya. Semakin besar
kenangan terhadap peristiwa itu, masukkan uang
tabungan yang lebih besar. Ibu sudah melakukan di awal pernikahanmu ini.. Lakukan selanjutnya
bersama Ita. Saat kamu melihat kembali tahun-
tahun yang telah berlalu,kamu akan mengetahui
betapa bahagianya kehidupan pernikahan yang
kamu miliki."
Priyo memberitahukan hal ini kepada Ita setelah
pesta usai. Mereka berdua setuju bahwa ini adalah
ide yang sangat bagus dan mereka tidak sabar
menanti saatnya untuk memasukkan tambahan
uang tabungan ke dalam buku itu. Ini yang mereka lakukan setelah beberapa waktu :
7 Februari : Rp 240.600, perayaan ultah pertama
untuk Ita setelah menikah.
1 Maret : Rp 730.800, gaji Priyo naik
20 Maret : Rp 490.200, berlibur ke Bali
15 April : Rp 492.000, Ita hamil 1 Juni : Rp 246.000, Ita dipromosikan ... dan seterusnya ...
Akan tetapi setelah beberapa tahun berlalu, mereka mulai beradu pendapat dan bertengkar untuk hal-hal yang sepele. Mereka saling diam.
Mereka menyesal telah menikahi orang yang paling buruk di dunia ... tidak ada lagi cinta ... sesuatu yang sangat tipikal di masa ini. Suatu hari Priyo berkata pada ibunya, "Ibu, kami tidak bisa bertahan lagi. Kami setuju untuk bercerai. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya telah memutuskan menikah dengan orang ini!"
Ibunya menjawab, "Baiklah, apa pun yang kamu
ingin kerjakan kalau sudah tidak bisa bertahan.
Tetapi sebelum kamu melangkah lebih jauh, tolong
lakukan hal ini. Ingat buku tabungan yang ibu
berikan saat pesta pernikahan kalian? Ambil semua uangnya dan belanjakan sampai habis. Kamu tidak bisa terus menyimpan catatan di buku tabungan itu untuk sebuah pernikahan yang buruk." Priyo berpikir bahwa itu benar. Jadi dia pergi ke bank, menunggu di antrian dan berencana menutup buku tabungan itu.
Ketika menunggu, dia melihat catatan yang ada di buku tabungan di tangannya. Dia melihat,melihat, dan melihat. Kemudian ingatan akan semua kebahagiaan dan sukacita di masa- masa yang telah lewat muncul kembali di pikirannya. Air mata menggenang dan berurai di pipinya. Kemudian dia bergegas meninggalkan bank dan pulang. Ketika sampai di rumah, Priyo memberikan buku
tabungan itu pada Ita, dan memintanya untuk
memasukkan sejumlah uang ke tabungan itu
sebelum mereka bercerai.
Hari esoknya,Ita mengembalikan buku tabungan itu pada Priyo. Dia menemukan tambahan
tabungan sebesar Rp 1.230.000 dengan catatan di
dalam buku tabungan: "Ini adalah hari dimana saya menyadari betapa saya mencintaimu sepanjang tahun-tahun yang telah kita lewati. Betapa besar kebahagiaan telah kamu bawa untukku" Mereka berdua berpelukan dan menangis, dan meletakkan
buku tabungan itu kembali ditempat semula.
Saat engkau jatuh, jangan melihat tempat di mana
kamu jatuh, Bangkitlah ! lihatlah tempat di mana kamu mulanya tergelincir. Karena hidup adalah rangkaian kegiatan memperbaiki kesalahan
untuk memecahkan sebuah batu besar. Sebut saja
Pak Yakin dan pak Ragu. Mereka berdampingan
dan masing-masing memegang sebuah palu ukuran besar. Di hadapan mereka masing-masing ada sebuah batu yang harus dihancurkan. Dengan sekuat tenaga palu tersebut diayunkan menghantam batu besar tersebut. secara bersama-
sama. Apa yang terjadi? Batu pertama tidak
berubah sedikitpun begitu juga batu kedua. Lalu
mereka ayunkan lagi palu tsb. Sama saja, kedua
batu itu tidak tergores sedikitpun. Terus mereka berdua mencobanya hingga mencapai puluhan kali.
Sampai kepada hantaman yang ke-99 tidak ada
perubahan sama sekali. "Ah, sudahlah, percuma saja kita membuang-buang tenaga, batu ini keras sekali tidak bisa dihancurkan", kata Pak Ragu. "Bersabarlah kawan, Insya Allah bisa kita
hancurkan" jawab Pak Yakin.
"Ya sudah kau teruskan saja pekerjaan sia-sia ini,
aku mau pulang saja" kata Pak Ragu dengan kesal. "Aku yakin sebentar lagi batu ini akan hancur" jawab Pak Yakin dengan senyum.
"Terserah kaulah, bagiku batu itu seperti terbuat
dari baja, percuma saja " Pak Ragu berkata
demikian sambil bergegas meninggalkan tempat itu
dengan putus asa.
Tidak lama setelah Pak Ragu pergi, Pak Yakin
kembali mengangkat palunya ke udara, dan bersiap menghantam kembali batu tsb. Pak Yakin melihat sedikit retakan pada batu tsb. Semakin yakinlah ia bahwa batu itu bisa dihancurkan. Kembali ia mengayunkan palunya dan menghantamkan pada batu tsb, akhirnya batu tersebut terbelah pada pukulan yang ke-101.
Alhamdulillah, aku berhasil, Pak Yakin bersyukur
pada Allah.
Kisah singkat di atas menggambarkan kepada kita
betapa pentingnya sikap mental berjuang, tidak
mudah putus asa, semangat dan yakin akan
kesuksesan dan pertolongan dari Allah.
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
karena hanya manusia yang dikaruniai nafsu, akal
dan hati dalam satu tubuh. Yang ingin saya
tanyakan, kesempurnaan apalagi yang ada pada
manusia?"
Sang guru menjawab,
"Saudaraku, tak perlu kau memikirkan yang terlalu
rumit. Karena banyak hal-hal sederhana di
sekelilingmu yang bisa menjelaskan pertanyaanmu. Bukankah Allah berfirman bahwa jika kau ingin mengenalNya, kau harus mengenal dirimu sendiri terlebih dulu. Lihatlah dirimu.
Bukankah Allah meletakkan otak lebih tinggi daripada mata? Itu berarti kau harus lebih banyak berpikir daripada melihat. Berapa banyak ayat yang difirmankan Allah yang menyebutkan bahwa mengapa manusia tidak berpikir, atau menyebutkan bahwa kebesaran Allah hanya dipahami oleh orang yang berakal.
Lihatlah dirimu, mata lebih tinggi daripada telinga.
Itu berarti kau harus lebih banyak melihat daripada
mendengar. Bukankah banyak ayat yang
difirmankan Allah bahwa banyak manusia yang
tidak melihat kebesaran Allah. Atau lihatlah langit
apakah kau melihat ada retak?
Lihatlah dirimu. Mulutmu terletak lebih rendah
daripada telinga. Itu berarti kau harus lebih sedikit
berbicara, lebih banyak mendengar. Karena mulut
adalah sumber penyakit, baik fisik maupun hati.
Lebih baik kau mendengar nasehat orang atau
mendengar lantunan ayat suci. Atau gunakanlah mulutmu untuk mengingat Allah, atau membaca
ayat suci, atau untuk saling menasehati. Itulah sebabnya mengapa kepala berada di posisi
paling tinggi, dan nafsu berada di posisi paling
rendah. Di antaranya ada hati yang bolak-balik
antara keburukan dan ketakwaan. Maka
gunakanlah hatimu untuk memahami ayat-ayat
Allah jika kau ingin menjadi hambaNya yang bertakwa. Maka manakah yang akan kau pilih,
berjalan tegak dengan kepala di atas, dengan
banyak menggunakan akalmu ataukah berjalan
dengan kepala sejajar dengan nafsumu, seperti
binatang ternak, karena kau mengutamakan
nafsumu daripada akalmu?"
Maka sang penanya pun menunduk dan menyadari
bahwa selama ini tak pernah terpikirkan olehnya
mengapa kepalanya berada di posisi paling tinggi,
dan nafsunya berada di posisi paling rendah.
miskin. Setiap hari ia menggiring domba-dombanya
ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia
memandangi desa tempat ia tinggal bersama
keluarganya. Ia tuli, tetapi itu tak jadi masalah
baginya. Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makan siangnya; juga tidak menyuruh anak mereka untuk
membawakannya. Sampai tengah hari kiriman itu
tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, “Aku
akan pulang dan mengambilnya. Aku tidak dapat
berdiam di sini sepanjang hari tanpa sepotong makanan.” Namun ia tidak dapat meninggalkan
domba-dombanya. Tiba-tiba ia memperhatikan
seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia
menghampirinya dan berkata, “Saudaraku, tolong
jaga domba-dombaku ini dan awasi jangan sampai
tersesat atau berkeliaran. Aku akan kembali ke desa karena istriku begitu bodoh lupa mengirim
makan siangku.” Ternyata pemotong rumput itu juga tuli. Ia tidak
mendengar satu kata pun yang diucapkan, dan
sama sekali salah paham terhadap maksud si
penggembala. Katanya, “Mengapa aku harus memberi rumput
untuk ternakmu? Sedangkan aku sendiri memiliki
seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah.
Tidakkah kau lihat, aku ini harus pergi jauh demi
mencari rumput bagi ternak-ternakku. Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusan
dengan orang sepertimu yang hanya ingin enaknya
sendiri mengambil milikku yang cuma sedikit ini.” Ia
menggerakkan tangannya dan tertawa kasar. Si penggembala tidak mendengar apa yang
dikatakan oleh si pemotong rumput. Katanya, “Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan
dan kesediaanmu. Aku akan segera kembali.
Semoga keselamatan dan berkah tercurah atas
dirimu. Engkau telah meringankan bebanku.” Ia
segera berlari ke desa menuju gubuknya yang
sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam dan sedang dirawat oleh para istri tetangga. Kemudian, si penggembala itu mengambil bungkus
makanan dan berlari kembali ke bukit. Ia
menghitung domba-dombanya dengan cermat.
Semuanya masih lengkap seperti semula. Ia lalu
melihat si pemotong rumput masih sibuk memotong
rumput segar. Si penggembala ini berkata pada dirinya sendiri, “Ah, betapa luar biasa pribadi si
pemotong rumput ini. Benar-benar dapat dipercaya.
Ia sudah menjaga domba-dombaku agar tidak
terpencar bahkan tidak mengharapkan terima kasih
dariku. Aku akan memberinya domba pincang ini.
Sebenarnya domba pincang ini akan kusembelih sendiri, namun biarlah aku berikan pada si
pemotong rumput itu agar bisa jadi makan malam
yang lezat bagi keluargnya. Ia pun memanggul domba pincang yang dimaksud
di atas bahunya, menuruni bukit dan berteriak pada
si pemotong rumput, “Wahai saudaraku!, ini hadiah
dariku, karena engkau telah menjaga domba-
dombaku selama aku pergi. Istriku yang malang
menderita demam, itulah mengapa ia tidak mengirimkan aku makan siang. Pangganglah domba ini untuk makan malammu
nanti malam; lihat domba ini kakinya pincang dan
memang akan aku sembelih!” Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidak
mendengar kata-katanya dan berteriak marah,
“Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun yang
terjadi selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku
atas kaki pincang dombamu! Sedari tadi aku sibuk
memotong rumput, dan tidak tahu mengapa hal itu terjadi! Pergilah, atau aku akan memukulmu!” Si penggembala itu amat heran melihat sikap
marah si pemotong rumput, tetapi ia tidak dapat
mendengarkan apa yang dikatakannya. Tiba-tiba
ada seorang melintas di antara mereka dengan
menunggang seekor kuda yang bagus. Si
penggembala menghentikan si penunggang kuda itu dan berkata, “Tuan penunggang kuda yang mulia,
aku mohon katakan padaku apa yang diucapkan
oleh pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak
tahu mengapa ia menolak pemberianku berupa
seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu.” Si penggembala dan si pemotong rumput mulai
saling berteriak pada si penunggang kuda untuk
menjelaskan kemauannya masing-masing. Si
penunggang kuda itu turun dan menghampiri
mereka. Ternyata penunggang kuda itu pun sama
tulinya. Ia tidak mendengar apa-apa yang kedua orang itu katakan. Justru, ia ini sedang tersesat
dan hendak bertanya dimana dirinya saat ini. Tetapi
ketika melihat sikap keras dan mengancam dari ke
dua orang itu, akhirnya ia berkata, “Benar, benar,
saudara. Aku telah mencuri kuda ini. Aku
mengakui, tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku tidak dapat
menahan diriku dan bertindak mencuri.” “Aku tidak tahu apa-apa tentang pincangnya domba
ini!” teriak pemotong rumput. “Suruh ia mengatakan padaku mengapa pemotong
rumput itu menolak pemberianku, ” desak si
penggembala, “aku hanya ingin memberikannya
sebagai penghargaan tanda terima kasihku.” “Aku mengaku mengambil kuda. Aku akan
kembalikan kuda ini. “kata penunggang kuda,” tapi
aku tuli, dan tidak tahu siapa di antara kalian
pemilik sesungguhnya kuda ini.” Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang guru
tua berjalan. Si pemotong rumput lari
menghampirinya, menarik jubah lusuhnya dan
berkata, “Guru yang mulia, aku seorang tuli yang
tidak mengerti ujung pangkal apa yang dibicarakan
oleh kedua orang ini. Aku mohon kebijaksanaan anda, adili dan jelaskan apa yang mereka
teriakkan.” Namun, si Guru tua ini bisu dan tidak dapat
menjawab, tapi ia mendatangi mereka dan
memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan
penuh selidik. Sekarang ketiga orang tuli itu menghentikan
teriakan mereka. Guru itu memandangi sedemikian
lama dan dengan tajam, satu per satu hingga ketiga
orang itu merasa tidak enak. Matanya yang hitam
berkilauan menusuk ke dalam mata mereka,
mencari kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba mendapatkan petunjuk dari situasi itu. Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasa takut
kalau-kalau guru tua itu menyihir mereka atau
mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si
pencuri kuda meloncat ke atas kuda dan
memacunya kencang-kencang. Begitu juga si
penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya jauh ke atas bukit. Si pemotong
rumput tidak berani menatap mata guru tua itu, lalu
ia mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan
mengangkatnya ke atas bahu dan berjalan
menuruni bukit pulang ke rumahnya. Guru tua itu melanjutkan perjalanannya, berpikir
sendiri bahwa kata-kata merupakan bentuk
komunikasi yang tidak berguna, bahwa orang
mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!
keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut, ketika ia mendengar suara di kejauhan menirukan teriakannya persis sama, "Aduhh!". Dasar anak-anak, ia berteriak lagi, "Hei! Siapa kau?" Jawaban yang terdengar, "Hei! Siapa kau?"
Lantaran kesal mengetahui suaranya selalu ditirukan, si anak berseru, "Pengecut kamu!" Lagi-lagi ia terkejut ketika suara dari sana membalasnya dengan umpatan serupa. Ia bertanya kepada sang ayah, "Apa yang terjadi?" Dengan penuh kearifan sang ayah tersenyum, "Anakku, coba perhatikan." Lelaki itu berkata keras, "Saya kagum padamu!" Suara di kejauhan menjawab, Saya kagum padamu!" Sekali lagi sang ayah berteriak "Kamu sang juara!" Suara itu menjawab, "Kamu sang juara!" Sang bocah sangat keheranan, meski demikian ia tetap belum mengerti.
Lalu sang ayah menjelaskan, "Suara itu adalah gema, tapi sesungguhnya itulah kehidupan." Kehidupan memberi umpan balik atas semua
ucapan dan tindakanmu. Dengan kata lain,
kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau
bayangan atas tindakan kita.
anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan,
kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya
dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih &
teratur dan suami serta anak-anaknya sangat
menghargai pengabdiannya itu. Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka
kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak
dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu: "Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan" Ibu itu kemudian menutup matanya. "Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya. Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-
anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai
ada bersama ibu dan kehadiran mereka
menghangatkan hati ibu".
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.
"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya "Bagaimana, apakah karpet kotor masih
menjadi masalah buat ibu?" Ibu itu tersenyum dan
menggelengkan kepalanya. "Aku tahu maksud
anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan
sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif
dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Dia selalu bersemangat dan punya hal positif untuk
dikatakan. Jika seseorang bertanya kepadanya
tentang apa yang sedang dia kerjakan, dia selalu
menjawab, ” Jika aku dapat yang lebih baik, aku
lebih suka menjadi orang kembar!” Banyak pelayan di restorannya keluar jika Jerry pindah kerja,
sehingga mereka dapat tetap mengikutinya dari
satu restoran ke restoran yang lain. Alasan mengapa para pelayan restoran tersebut
keluar mengikuti Jerry adalah karena sikapnya.
Jerry adalah seorang motivator alami. jika
karyawannya sedang mengalami hari yang buruk,
dia selalu ada di sana , memberitahu karyawan
tersebut bagaimana melihat sisi positif dari situasi yang tengah dialamai. Melihat gaya tersebut benar-
benar membuat aku penasaran, jadi suatu hari aku
temui Jerry dan bertanya padanya, “Aku tidak
mengerti! Tidak mungkin seseorang menjadi orang
yang berpikiran positif sepanjang waktu.
Bagaimana kamu dapat melakukannya? ” Jerry menjawab, “Tiap pagi aku bangun dan berkata pada
diriku, aku punya dua pilihan hari ini. Aku dapat
memilih untuk ada di dalam suasana yang baik
atau memilih dalam suasana yang jelek. Aku selalu
memilih dalam suasana yang baik. Tiap kali sesuatu terjadi, aku dapat memilih untuk
menjadi korban atau aku belajar dari kejadian itu.
Aku selalu memilih belajar dari hal itu. Setiap ada
sesorang menyampaikan keluhan, aku dapat
memilih untuk menerima keluhan mereka atau aku
dapat mengambil sisi positifnya.. Aku selalu memilih sisi positifnya.” “Tetapi tidak selalu
semudah itu,” protesku. “Ya, memang begitu,” kata
Jerry, “Hidup adalah sebuah pilihan. Saat kamu
membuang seluruh masalah, setiap keadaan
adalah sebuah pilihan. Kamu memilih bagaimana
bereaksi terhadap semua keadaan. Kamu memilih bagaimana orang-orang disekelilingmu terpengaruh
oleh keadaanmu. Kamu memilih untuk ada dalam
keadaan yang baik atau buruk. Itu adalah
pilihanmu, bagaimana kamu hidup.” Beberapa tahun kemudian, aku dengar Jerry
mengalami musibah yang tak pernah terpikirkan
terjadi dalam bisnis restoran: membiarkan pintu
belakang tidak terkunci pada suatu pagi dan
dirampok oleh tiga orang bersenjata. Saat mencoba
membuka brankas, tangannya gemetaran karena gugup dan salah memutar nomor kombinasi. Para
perampok panik dan menembaknya. Untungnya,
Jerry cepat ditemukan dan segera dibawa ke rumah
sakit. Setelah menjalani operasi selama 18 jam dan
seminggu perawatan intensif, Jerry dapat
meninggalkan rumah sakit dengan beberapa bagian
peluru masih berada di dalam tubuhnya. Aku
melihat Jerry enam bulan setelah musibah tersebut.
Saat aku tanya Jerry bagaimana keadaannya, dia menjawab, “Jika aku dapat yang lebih baik, aku
lebih suka menjadi orang kembar. Mau melihat
bekas luka-lukaku? ” Aku menunduk untuk melihat
luka-lukanya, tetapi aku masih juga bertanya apa
yang dia pikirkan saat terjadinya perampokan. “Hal
pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah bahwa aku harus mengunci pintu belakang,” jawab
Jerry. “Kemudian setelah mereka menembak dan aku
tergeletak di lantai, aku ingat bahwa aku punya dua
pilihan: aku dapat memilih untuk hidup atau mati.
Aku memilih untuk hidup.” “Apakah kamu tidak
takut?” tanyaku. Jerry melanjutkan, ” Para ahli
medisnya hebat. Mereka terus berkata bahwa aku akan sembuh. Tapi saat mereka mendorongku ke ruang gawat
darurat dan melihat ekspresi wajah para dokter dan
suster aku jadi takut. Mata mereka berkata ‘Orang
ini akan mati’. Aku tahu aku harus mengambil
tindakan.” “Apa yang kamu lakukan?” tanya saya.
“Disana ada suster gemuk yang bertanya padaku,” kata Jerry. “Dia bertanya apakah aku punya alergi.
‘Ya’ jawabku.. Para dokter dan suster berhenti bekerja dan mereka
menunggu jawabanku. Aku menarik nafas dalam-
dalam dan berteriak, ‘Peluru!’ Ditengah tertawa
mereka aku katakan, ‘ Aku memilih untuk hidup.
Tolong aku dioperasi sebagai orang hidup, bukan
orang mati’.” Jerry dapat hidup karena keahlian para dokter, tetapi juga karena sikap hidupnya yang
mengagumkan. Aku belajar dari dia bahwa tiap hari kamu dapat
memilih apakah kamu akan menikmati hidupmu
atau membencinya. Satu hal yang benar-benar
milikmu yang tidak bisa dikontrol oleh orang lain
adalah sikap hidupmu, sehingga jika kamu bisa
mengendalikannya dan segala hal dalam hidup akan jadi lebih mudah.
sudah puluhan tahun terpisahkan hidupnya.
Mereka kangen-kangenan, ngobrol ramai sambil
minum kopi disebuah kafe. Awalnya topik yang
dibicarakan adalah soal-soal nostalgia zaman
sekolah dulu, namun pada akhirnya menyangkut kehidupan mereka sekarang ini. 'Ngomong-ngomong, mengapa sampai
sekarang kamu belum juga menikah?' ujar
seorang kepada temannya yang sampai
sekarang membujang. 'Sejujurnya sampai saat
ini saya terus mencari wanita yang sempurna.
Itulah sebabnya saya masih melajang. Dulu di Bandung, saya berjumpa dengan seorang gadis
cantik yang amat pintar. Saya pikir ini adalah
wanita ideal yang cocok untuk menjadi istriku.
Namun ternyata di masa pacaran ketahuan
bahwa ia sangat sombong. Hubungan kami
putus sampai di situ. 'Di Jakarta, saya ketemu seorang wanita
rupawan yang ramah dan dermawan. Pada
perjumpaan pertama, aku kasmaran. Hatiku
berdesir kencang, inilah wanita idealku. Namun
ternyata belakangan saya ketahui, ia banyak
tingkah dan tidak bertanggung jawab. 'Saya terus berupaya mencari. Namun selalu
saya temukan kelemahan dan kekurangan pada
wanita yang saya taksir. Sampai pada suatu
hari, saya bersua wanita ideal yang selama ini
saya dambakan. Ia demikian cantik, pintar,baik
hati, dermawan, dan suka humor. Saya pikir, inilah pendamping hidup yang dikirim Tuhan.' 'Lantas,' sergah temannya yang dari tadi tekun
mendengarkan, 'Apa yang terjadi? Mengapa kau
tidak segera meminangnya?' Yang ditanya diam sejenak. Suasana hening.
Akhirnya dengan suara lirih, sang bujangan
menjawab, 'Baru belakangan aku ketahui bahwa
ia juga sedang mencari pria yang sempurna.'
seni memahat. Ia sungguh piawai dalam memahat
patung. Karya ukiran tangannya sungguh
bagus.Tetapi bukan kecakapannya itu menjadikan
ia dikenal dan disenangi teman dan tetangganya. Pygmaliondikenal sebagai orang yang suka
berpikiran positif. Ia memandang segala sesuatu
dari sudut yang baik. Apabila lapangan di tengah kota becek, orang-orang
mengomel. Tetapi Pygmalion berkata, "Untunglah,
lapangan yang lain tidak sebecek ini." Ketika ada seorang pembeli patung ngotot
menawar-nawar harga, kawan-kawan Pygmalion
berbisik, "Kikir betul orang itu." Tetapi Pygmalion
berkata, "Mungkin orang itu perlu mengeluarkan
uang untuk urusan lain yang lebih perlu". Ketika anak-anak mencuri apel dikebunnya,
Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba,
"Kasihan, anak-anak itu kurang mendapat
pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya." Itulah pola pandang Pygmalion. Ia tidak melihat
suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru
dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang
orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan
hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain. Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah
patung wanita dari kayu yang sangat halus. Patung
itu berukuran manusia sungguhan. Ketika sudah
rampung, patung itu tampak seperti manusia betul.
Wajah patung itu tersenyum manis menawan,
tubuhnya elok menarik. Kawan-kawan Pygmalion berkata, "Ah,sebagus-
bagusnya patung, itu cuma patung, bukan
isterimu." Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu
sebagai manusia betul. Berkali-kali patung itu
ditatapnya dan dielusnya. Para dewa yang ada di Gunung Olympus
memperhatikan dan menghargai sikap Pygmalion,
lalu mereka memutuskan untuk memberi anugerah
kepada Pygmalion, yaitu mengubah patung itu
menjadi manusia betul.. Begitulah, Pygmalion hidup
berbahagia dengan isterinya itu yang konon adalah wanita tercantik di seluruh negeri Yunani.
Nama Pygmalion dikenang hingga kini untuk
mengambarkan dampak pola berpikir yang positif.
Kalau kita berpikir positif tentang suatu keadaan
atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul
menjadi positif.