It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
periode I 2015. Pemuda kelahiran Batang, Jawa
Tengah, ini lulus dengan indeks prestasi kumulatif
(IPK) 3,87 alias cumlaude. “Afad juga contoh mahasiswa yang mandiri,” kata Kepala Humas Unnes, Bambang Priyono, sebagaimana dikutip Dream dari laman unnes.ac.id, Rabu 25 Maret 2015.
Afad lahir dari keluarga sederhana. Sang ayah
merupakan petani penggarap sawah orang lain.
Sementara, sang ibu merupakan penjual beras
eceran dan bekatul. Dia harus belajar di tengah keterbatasan ekonomi. Bahkan, sempat menumpang selama tiga bulan di tempat kos salah seorang teman karena beasiswa yang belum cair. Namun, keterbatasan finansial itu tak menyurutkan
semangatnya untuk belajar. Afad justru menjadi
sosok yang mandiri, terutama setelah sang ayah
meninggal, saat Afad masih semester dua.
Di sela kesibukan kuliah, Afad masih sempat membantu perekonomian keluarga dengan menjual kebutuhan pokok pertanian. Selain itu, dia juga menjual donat keliling dan juga buku perkuliahan untuk menambah biaya hidup. Selain itu, Afad juga aktif dalam kegiatan kampus
maupun di masyarakat. Afad bahkan menjadi
inisiator program-program kreatif, seperti produksi
kaos sablon serta kegiatan-kegiatan keagamaan. “Ia berhasil menyeimbangkan kegiatan wirausaha
dengan kegiatan akademik sehingga bisa terus
mempertahankan prestasi akademik,” ujar
Bambang.
indahnya dunia lantaran buta. Tetapi, kebutaan itu tidak menghalanginya untuk berprestasi. Ia berhasil menyelesaikan tantangan terberat, berlari menyusuri jarak 160 mil, sekitar 257,5 kilometer melintasi Gurun Sahara dalam ajang 'Marathon des Sables'.
Ayah dari tiga anak ini dijuluki 'Si Buta Dave'. Ia
sanggup berlari dengan beban di punggung, pada
medan perbukitan yang suhunya bisa naik mencapai 50 derajat selama enam hari meskipun buta. Di ajang ini, Dave dibantu dua rekan setianya, Resemary Rhodes dan Tony Ellis. Ia menyelesaikan misinya dengan mencapai garis finis pada hari Jumat pekan lalu. "Medan itu adalah medan yang dia (Dave) sama sekali tidak tahu cara mengatasinya," ujar istri Dave, Debbie, seperti dikutip dari Dailymail.co.uk, Senin, 13 April 2015. Bahkan, kata Debbie, tim yang menyertai Dave pun belum pernah sekalipun berlatih pada medan
perbukitan.
Menurut dia, Dave dan dua sahabatnya harus menyelesaikan tantangan lebih lama dibandingkan peserta yang lain dalam menyusuri medan dengan badai pasir sebagai tantangan lainnya. "Mereka harus naik dan turun bukit yang begitu sulit, terutama jika anda tidak bisa melihat," katanya. Alhasil, keberhasilan Dave membuat Debbie begitu
bangga dengan suaminya. Menurutnya, maraton ini merupakan momen puncak yang sanggup
ditaklukkan Dave. "Dia telah menyelesaikan banyak tantangan sulit di masa lalu, tapi ini yang teratas. Saya sangat bangga padanya," ungkapnya. Dave telah mengikuti beberapa ajang maraton dunia sejak tahun 2008. Ia melakukannya demi sebuah misi amal yang disalurkan melalui Yayasan Albion.
Pada tahun 2008, Dave berhasil menaklukkan
tantangan Seven Magnificent Marathons, melintasi
tujuh benua dalam waktu satu minggu. Ia berlari
melintasi rute Port Stanley di Falkland Islands
(Antartika) ke Santiago di Chili (Amerika Selatan),
Los Angeles di Amerika Serikat, Sidney di Australia, Dubai di Uni Emirat Arab (Asia), Nairobi di Kenya (Africa), sebelum mencapai finis di London Marathon. Sejauh ini, ia berhasil mengumpulkan dana amal sebanyak 20.000 Euro, setara Rp272.917.477. Ia berharap bisa mengumpulkan uang lagi sebanyak 10.000 Euro, setara Rp136.458.739.
berlian senilai US$ 129.000, setara Rp 1,6 miliar.
Berlian itu tertinggal di toilet umum di Qatar National Convention Centre (QNCC). Berempati pada perasaan si pemilik, petugas bergaji minim ini memutuskan untuk menyerahkan temuan berharganya ini kepada atasannya.
Kisah kebaikan Andnet Zelekew, petugas berusia 32 tahun tersebut bermula ketika dirinya menemukan dua buah cincin berlian di sebuah toilet umum. Hal pertama yang ada dalam pikirannya adalah menyerahkan perhiasan berharga tersebut pada manajernya. "Bahkan saya tidak memegang kedua cincin itu sampai dua menit karena masih ada label harganya," kata Zelekew seperti dikutip laman Doha News, Sabtu, 11 April 2015. Dua buah cincin berlian itu sebetulnya sudah hilang sejak Februari lalu. Berlian ini hilang disela pameran perhiasan Doha Jewelery and Watches Exhibition. Siapa sangka, dua cincin berlian tersebut justru ditemukan seorang petugas kebersihan, Zelekew.
Hal pertama yang dipikirkannya adalah bagaimana
perasaan pemilik mengetahui cincin mahal itu
hilang. Atas kejujurannya, Zelekew dilaporkan mendapat imbalan berupa uang tunai dari sang pemilik cincin berlian. Juru bicara QNCC sendiri menolak untuk mengungkapkan hadiah uang tunai yang diterima Zelekew. "Saya salut dan berterima kasih kepada Ibu Zelekew untuk kejujuran dan ketulusannya. QNCC selalu membina lingkungan kerja yang setia, aman dan percaya," kata juru bicara tersebut.
pengendara sepeda motor. Awalnya, polisi ini menilang seorang pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm. Ia meminta dokumen ke si pengendara dan menilangnya. Si pengendara itu mencoba menyuap polisi. Uang itu diterima, tapi si polisi tidak membolehkan si pengendara motor pergi. Ia menahan surat-surat kendaraan sekaligus mencabut kunci motor.
Polisi tersebut kemudian mengendarai sepeda motor dan pergi meninggalkan tempat razia. Si pengendara motor pun kebingunan dengan tingkah polisi itu. Selang beberapa lama, polisi tersebut kembali ke lokasi razia dengan membawa kardus. Ia lalu turun dari motornya dan membuka kardus yang ternyata berisi helm. Helm itu ia kenakan pada pemotor yang melanggar. Dokumen-dokumen yang sempat ditahan sekaligus kunci motor ia kembalikan dan mempersilakan si pelanggar melanjutkan perjalanan.
Menurut Dwi, Beni tidak pernah merasa malu dengan kondisinya saat ini. "Kalau saya bisa angkat jempol empat, saya akan angkat jempol empat," ujar Dwi saat berbincang dengan Dream.co.id, Jumat, 10 April 2015. Dwi mengatakan meski sang suami kini tidak lagi
memiliki tubuh normal, ia tak pernah melihat Beni
mengeluh. Suaminya tampak selalu ceria dalam
menjalankan tugas. "Dia tidak merasa minder. Ke mana-mana dia pakai kursi roda, dilihat banyak orang, dia tidak malu," ungkapnya. Dwi pun mengaku pernah bertanya apakah Beni malu dengan kondisinya. Jawaban sang suami
membuatnya begitu bangga. "Kenapa harus malu, sudah begini keadaannya," kata Dwi menirukan jawaban suaminya. "Dia bisa menerima keadaan, itu jadi semangat saya," lanjutnya.
Beni dan Dwi memiliki dua orang anak. Putri
sulungnya kini duduk di bangku kelas IX SMP 1
Cileunyi, sedangkan putra keduanya duduk di
bangku kelas V SD Cikalang. Dwi juga berencana
selepas Ujian Nasional akan membawa anaknya
tinggal serumah dengan Beni di Asrama Polisi Rancaekek. "Yang pertama ingin mengikuti jejak ayahnya, jadi Polwan. Yang kedua ingin jadi tentara," tuturnya. Terkait posisi keduanya yang kini tidak serumah, Dwi menerangkan hal itu bukan karena ia tidak menerima kondisi suaminya. Alasan yang paling mendasar adalah karena kedua anak mereka bersekolah di dekat rumah ibunya di Cileunyi.
Awalnya memang keduanya tinggal di Cileunyi.
Kondisi yang dialami Beni tidak memungkinkan
baginya berangkat dari rumah. Hal itu menjadi
alasan keduanya memutuskan tidak tinggal
serumah untuk sementara waktu. "Kalau dari rumah ibu saya ke Rancaekek harus naik angkot dengan ongkos Rp75.000 sekali jalan. Kalau dengan pulang, berarti Rp150.000. Selain itu,
kondisi suami saya tidak memungkinkan naik
angkot," terangnya
Sebuah topi tersemat di kepalanya. Seolah
menutupi keriput yang mulai menghiasi wajahnya.
Matanya tajam mengawasi setiap orang yang
melintas. Sesekali dia menawarkan barang dagangannya.
"Tisu pak? Tisu bu?" katanya menawarkan barang
dagangan ke beberapa orang yang melintas.
Pria itu bernama Ahmad. Penggalan panggilan yang diambil dari nama Nabi Muhammad. Asalnya dari Tegal, Jawa Tengah. Ketika ditanya usianya dia sedikit kebingungan.
"Usia saya 70 tahun. Eh..berapa ya?" katanya
sambil tersenyum.
Senyuman iklash itu memperlihatkan beberapa
giginya yang tampak sudah tanggal. Meski dia tak
tahu secara pasti umurnya, ingatannya masih tajam menghitung lamanya berjualan asongan.
"Saya sudah 50 tahun jualan asongan. 40 tahun di
kawasan Pasar Induk Beras. 10 tahunnya di sini
(Terminal Pulogadung)" katanya. Dengan suara lirih dia bercerita mengapa memilih jualan asongan. Dia hanya tak ingin kelima anaknya dicap sebagai anak pengemis.
"Saya memilih berdagang. Walau hanya asongan,
yang penting martabat saya tidak jatuh," kata dia.
Di saat orang-orang sibuk bersiap pulang ke
kampung halaman, Ahmad hanya bisa menunggu.
Lebaran tahun ini, bapak dri enam anak ini memilih tinggal.
"Kalau saya gampang. Yang penting anak-anak dan cucu-cucu bisa mudik dulu. Biar mereka ketemu sama ibu dan neneknya di Tegal. Kalau dipikir-pikir sedih sih sedih, kalau dipikir senang ya senang," katanya.
Meski sedih, rona bahagia terpancar dari mukanya.
Musim mudik Lebaran ini cukup padar. Lamunannya tertuju pada banyaknya pembeli yang akan membeli dagangannya. Sehari, uang Rp 200 ribu-300 ribu masuk dalam kantongnya. Jumlah itu lebih besar dari penghasilannya setiap hari. "Setiap harinya kadang dapat Rp 10 ribu. Ya untungnya Allah memberi kemudahan rejeki," katanya.
Ahmad kembali terdiam. Bayangan keluarga di
Tegal seolah melintas dalam lamunannya. Sesaat
kemudian dia meminta izin untuk pergi. Dia ingin membeli seplastik besar tisu untuk dijual kembali.
Jami, Kota Malang, Jawa Timur. Sebab, beberapa
diantara jemaah yang salat, menempatkan diri di
halaman Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus. Halaman gereja yang berjarak sekitar 100 meter dari Masjid Agung Jami dipenuhi jemaah perempuan. Sedangkan jamaah laki-laki berada di depan gerbang sepanjang Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang.
Pengurus Gereja Paroki Hati Kudus Yesus,
Yohanes Kristiawan, mengatakan sengaja
menyiapkan halaman gereja untuk salat Ied. Sebab, sering kali jemaah salat Id yang hadir membludak. "Jemaah tak hanya warga Malang, ada yang berasal dari daerah lain sekitar Malang," kata Ketua Takmir, Zainudin Abdul Muchid. Zainuddin, menambahkan, pemandangan seperti itu menunjukkan terjalinnya komunikasi dan toleransi antarpemuka agama. Menurutnya, jika para pemimpin agama harmonis, maka jemaah juga ikut harmonis.
Salah satu bentuk kerukunan itu terlihat saat gereja
ulang tahun, takmir masjid mengirim ucapan ulang
tahun. Adapun pengurus gereja, tak segan ikut
bersih-bersih seusai salat Ied. "Saya bersama tiga teman dan seorang pasukan kuning membersihkan kertas koran," kata Yohanes, dikutip Dream dari laman BBC Indonesia. Keharmonisan itu juga terlihat saat Idul Fitri tahun 2002. Lebaran yang jatuh di hari Minggu membuat pihak gereja memutuskan untuk menunda kebaktian untuk memberi kesempatan umat Muslim salat Id.
Wahyuni, warga Turen, Malang, mengatakan
bersyukur diijinkan menjalankan salat di halaman
gereja. "Kerukunan antar umat harus dijaga. Dalam situasi apapun," ujarnya. Tak hanya pemeluk Kristen saja yang menjaga sikap toleransi. Menurut Wali Kota Malang Mochamad Anton, kerukunan beragama di kotanya terjalin baik. Misalnya saja, saat bulan puasa lalu umat muslim mengajak umat lain buka bersama. "Bahkan tadi malam umat Kristen, Katolik, Hindu dan Budha ikut merayakan takbir keliling," katanya
menggarap pekerjaan rumah yang diberikan guru di sekolah. Bocah itu tengah bekerja keras, menggapai mimpi menjadi dokter atau polisi. Foto Daniel itu diambil oleh seorang mahasiswi
kedokteran, Joyce Torrefranca. Dia sengaja
memotret Daniel karena kagum dengan tekad bocah itu, yang mau belajar di tepi jalan. Joyce sengaja mengunggah foto itu ke media sosial untuk
memotivasi banyak orang. Foto Daniel kemudian menjadi viral. Banyak dibincangkan di dunia maya. Tak hanya di Filipina. Pengguna media sosial belahan lain Bumi pun turut kagum dengan kegigihan bocah itu. Belajar di pinggir jalan, menumpang penerangan dari lampu McDonald. Bukan hanya soal kegigihan. Kisah hidup anak itu
juga membuat haru. Daniel berasal dari keluarga
miskin. Tak punya rumah. Hidup menggelandang.
"Cerita Daniel lebih sedih dari fotonya," demikian
laporan laman Metro.co.uk, sebagaimana dikutip Dream, Kamis 9 Juli 2015.
Kisah Daniel benar-benar nestapa. Sang bapak wafat saat rumahnya terbakar hebat. Saat ini, dia
dipaksa mengemis di jalanan oleh sang ibu. Meski
demikian, itu bukan hambatan. Semangat mengejar cita sebagai dokter dan polisi tetap membara di dalam jiwa. "Sebagai mahasiswa, ini memberikan inspirasi kepada saya untuk bekerja keras. Saya beruntung orangtua saya menyekolahkan saya. Saya kadang- kadang ke kafe untuk belajar, tapi anak ini menyentuh saya," tulis Joyce yang mengunggah foto itu. Meski dihimpit kesulitan, bukan berarti otak Daniel
menjadi kering. Di sekolah, dia termasuk murid yang berotak cemerlang. Setiap diskusi, tanya jawab, dia aktif menjawab dan berpendapat.
mengejar target cepat sampai tujuan. Biasanya hanya berhenti di tempat peristirahatan saat tengah malam untuk makan dan beristirahat
sejenak. Namun Haji Haryanto, pemilik P.O. Haryanto mempunyai peraturan dan kebijakan yaitu mewajibkan para pengemudinya untuk memberikan kesempatan pada penumpang untuk melaksanakan salat 5 waktu terutama salat shubuh. "Semua crew bus PO. Haryanto wajib memberi kesempatan penumpang dan melaksanakan salat 5 waktu, terutama salat subuh. Bagi yang melanggar, 1 crew tidak mendapatkan gaji untuk 1 PP," tulis banner pengumuman yang disampaikan H. Haryanto di garasi bus miliknya.
Salah seorang user twitter, @yuniarto8686 mengunggah foto itu banner peraturan dari PO
tersebut. Ia kemudian memention Ustadz Yusuf
Mansyur; @Yusuf_Mansur bisnis kaya gini kira- kirab bakal rugi nggak? Sang ustaz langsung merespons. Kata dia, mengutamakan salat berarti mengutamakan Allah. Netizen juga ramai memberikan komentar positif dari kebijakan PO Haryanto.
Diketahui, tak cuma mewajibkan seluruh crew-nya
salat, H. Haryanto juga secara rutin memberangkatkan sopir-sopirnya menunaikan haji
ke Tanah Suci. Tradisi memberangkatkan karyawannya terus dilakukan hingga sekarang. Bagi karyawan yang taat dan tekun beribadah, Haryanto tak segan-segan membagi tiket beribadah haji.
ini berhasil mengukir prestasi. Ia lulus dengan
predikat Cum Laude, meski di tengah keterbatasan ekonomi keluarganya. Orang tua Puji, Waso dan Rudiah hanya seorang pedagang ikan. Keduanya memulai aktivitas berdagang ikan jelang tengah malam dan baru pulang keesokan harinya. Aktivitas itu dijalani oleh orang tua Puji selama enam tahun setelah berhenti sebagai penarik becak. "Dulu bapak itu tukang becak," ujar Puji yang lulus dari Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, seperti dikutip dari ugm.ac.id, Senin, 9 Maret 2015.
Persoalan ekonomi selalu menjadi hambatan bagi
keluarga Puji untuk meniti pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Puji mungkin salah satu anak
Waso dan Rudiah yang beruntung bisa menikmati
bangku kuliah, sementara enam saudaranya
memilih bekerja atau menikah usai lulus SMA. Ia mengaku mengaku bisa berkuliah lantaran terpilih
sebagai penerima beasiswa Bidik Misi. Uang saku
yang diterimanya setiap bulan selama empat tahun
sebesar Rp 600 ribu sudah lebih dari cukup untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Bahkan, ia sempat menyisihkan sebagian uang sakunya untuk membantu usaha kedua orang tuanya yang sempat merugi. "Alhamdulillah, sekarang usaha bapak sudah lancar," katanya. Meski demikian, Puji sempat merasakan sulitnya menjalani kuliah lantaran tingkat kebutuhan semakin naik. Uang beasiswa itu tak lagi cukup untuk memenuhi segala keperluannya. Tetapi, Puji tidak mau menyerah. Ia rela tidak lagi menyewa kamar kost dan memilih tinggal dan menjadi pengurus sebuah masjid di kawasan Pogung Utara, Sleman, Yogyakarta. Hal itu ternyata belum cukup. Puji terus berupaya
agar tetap dapat berkuliah tanpa harus
mengandalkan uang orang tua, dengan menjadi
pengajar di lembaga bimbingan belajar, termasuk
menjadi pengajar anak-anak penyandang difference ability (difabel). "Di kelas anak-anak difabel saya sempat mengajar selama dua bulan," ungkapnya.
Keprihatinan itu berbuah mengagumkan. Puji meraih nilai 3,86. Nilai Indeks Prestasi (IP) sangat tinggi bagi mahasiswa rumpun Ilmu Eksakta. Predikat Cum Laude pasti memudahkan setiap
mahasiswa dalam mendapat pekerjaan. Namun
demikian, Puji tidak ingin menggunakan prestasinya untuk mencari kerja, ia justru memilih pulang untuk membangun desa. "Saya ingin ikut gerakan sarjana pulang bangun desa," ungkapnya.
mengendarai mobil tua, Volkswagen Beetle tahun
1987 warna biru langit. VW milik Mujica yang ditaksir US$ 1.800 (Rp 24 juta) membuat heboh dunia. Ini karena menjadi satu- satunya aset berharga yang dilaporkan mantan kombatan tersebut kepada negara.
Di tahun-tahun selanjutnya, Mujica menambahkan
aset istrinya berupa mesin traktor dan sebidang
tanah dalam daftar kekayaannya. Selama menjabat presiden, Mujica dan istrinya tinggal di peternakan sederhana mereka di luar ibu kota Uruguay, Montevideo. Tahun lalu, Mujica mengatakan seorang sheikh Arab menawarkan US$ 1 juta (Rp 13 miliar) untuk mobil VW kesayangannya. Saat itu, Mujica mengatakan ia
tidak akan menjual mobilnya itu. Menariknya, saat upacara pelantikan dan pelepasan presiden dan mantan presiden itu, baik Vazquez dan Mujica seperti hendak pamer mobil tua mereka. Jika Mujica memiliki VW 'Kodok', sang suksesor
memakai mobil Fordson. Namun, mobil Vazquez
menjadi perdebatan di media Uruguay. Beberapa melaporkan bahwa mobil itu sudah dimiliki Vazquez ketika dia masih menjadi seorang dokter
muda. Ada juga yang menyebut teman-teman Vazquez telah menjelajahi seluruh negeri untuk mencari mobil tua. Mereka kemudian memperbaikinya dan memberikannya sebagai hadiah pada hari pelantikannya. Sementara surat kabar lainnya mengatakan Vazquez telah membeli mobil itu untuk dirinya sendiri pada tahun lalu.
Setelah diperbaiki mobil itu mengingatkannya pada mobil pertama yang ia dimiliki. Ini adalah kedua kalinya Vazquez menjabat presiden Uruguay dan diarak dengan mobil tua. Pada pelantikan 2005 silam, Vazquez juga diarak dengan mobil tua Ford Model T yang dibeli keluarga istrinya pada 1920an
setelah mengangkat kompor yang meledak dengan
tangan kosong untuk menghentikan kebakaran.
Kisah heroik itu menarik simpati dari pejabat negara dan warga sekitar. Dikutip Dream dari laman Emirates 24l7, Senin 2 Maret 2015, peristiwa itu terjadi Kamis pekan lalu, saat sang bocah mengisi kompor dengan minyak tanah.
Bocah itu ingin menghangatkan diri bersama
adik perempuan dan pembantunya, karena suhu
dingin negara itu. Karena orangtua dan saudara yang lain tak ada, maka anak lelaki inilah yang mengisi kompor dengan minyak tanah. Namun nahas, kompor itu meledak saat disulut api. Dengan sigap, bocah lelaki itu membawa kompor
yang berkobar ke toilet rumah. Bersama sang
pembantu, tanpa menghiraukan luka bakar di tangan dan sekujur tubuh, bocah tersebut berusaha memadamkan api. Tak seberapa lama, api pun padam. Kebakaran yang lebih besar bisa dihindari. Namun sayang, tangan dan sebagian tubuh bocah lelaki itu terbakar. Sehingga harus dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan. “Dia kemudian didatangi oleh direktur pertahanan
sipil dan warga lainnya untuk mengucapkan rasa
kagum atas keberaniannya menyelamatkan rumah,
saudari, dan juga pembantunya,” demikian
dilaporkan surat kabar Sabq, sebagaimana dilansir Emirates 24l7.
Tak hanya itu, Menteri Pertahanan Nasional,
Pangeran Mutab bin Abdullah bin Abdul Aziz
meminta bocah itu dianugerahi penghargaan karena keberaniannya. Bocah itu mendapat hadiah 100.000 riyal atau sekitar Rp 346 juta.
kuyu. Lelah setelah setengah hari menuntut ilmu. Sesekali, tangannya menyeka keringat di muka.
Tas kumal yang disandang pun segera diletakkan.
Begitu juga dengan kerudung penutup kepala,
dengan rapi dia letakkan di atas kursi lapuk. Siswi SMP MTS Al-Amal, Kabupaten Bandung, itu
memang baru pulang dari sekolah. Jarak sekolah
dengan kediamannya di Desa Mekarsari, Kampung
Gambung, Kecamatan Pasirjambu, sekitar 500
meter. Saban hari, dia harus berjalan kaki, pulang
pergi, nak turun tanjakan. “Iya baru pulang sekolah, terus tadi ke rumah teman dulu habis main sebentar,” tutur Wanti dikutip Dream dari Merdeka.com.
Sehari-hari, gadis kelahiran 13 Juli 2001 tak hanya
bersekolah. Setelah belajar, tanggung jawab besar
telah menungunya di rumah. Yaitu merawat sang
ayah, Iwan Riswanto dan sang nenek, Omih. Setelah berganti baju, Wanti langsung menghampiri Omih yang terbaring lemah di ruang tengah. Nenek 85 tahun itu memang banyak menghabiskan waktunya dengan berbaring karena tidak bisa duduk sempurna setelah tiga tahun silam jatuh di halaman rumah. Wanti sangat menyayangi sang nenek. Maklum, dia diasuh Nenek Omih sejak kecil. Kondisi Iwan juga memprihatinkan. Iwan yang bercerai dengan ibu Wanti empat tahun silam itu kondisinya sakit-sakitan. Sehingga pria yang kini berusia 42 tahun itu tak bisa bekerja. Biaya hidup sehari-hari banyak mengandalkan
kiriman sang kakak yang bekerja di Jakarta. Yang
selalu mengirim uang sebesar Rp 500 ribu hingga
satu juta. Kedua orang inilah yang setiap hari
dirawat Wanti.
Wanti masih beruntung. Dia memiliki bakat
menyanyi. Sehingga bisa bergabung dengan grup
qasidah yang sesekali tampil di masjid-masjid,
meski dengan bayaran ala kadarnya. “Ya lumayan
suka tampil-tampil, kadang suka ada untuk jajan,
kalau lebaran ada THR,” papar Wanti. Kerasnya hidup ternyata tak membuat Wanti berputus asa. Dia tetap semangat menatap hari- harinya. Jika kebanyakan anak seusianya menghabiskan waktu untuk bermain, Wanti harus melewatkan hari-harinya untuk bekerja. “Ya harus mencuci baju, terus bantu nenek kalau misalkan ingin ambil air atau makan. Yang penting nenek dan bapak sehat dulu,” kata dia. Biasanya, Wanti berlatih qasidahan hingga pukul 16.30 WIB. Setelah itu, dia bersantai dengan menonton televisi. “Pulangnya suka ikut nonton televisi di rumah teman. Karena di rumah nggak ada kan, cuma ada radio,” tutur Wanti.