It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Epilog bisa jadi prolog.
Dua tahun setelahnya, aku telah lulus kuliah strata pertama dalam waktu singkat dengan hasil yang cukup memuaskan. Dan kini aku telah melanjutkan pendidikan strata kedua di kota yang sama, di salah satu universitas terkemuka. Mengambil jurusan yang lebih mendalami di bidang yang sebelumnya.
Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk membenahi diri, membenahi hati yang kacau. 2 tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan semua perasaan yang dulu kuberikan pada kedua pemuda yang berhasil membuka hatiku untuk mereka. Meski begitu, kenangan mereka masih tersimpan dengan rapi di salah satu sudut ingatan. Cinta, sayang, bahagia, sedih, rindu, marah, kesal dan kecewa. Semua kenangan itu tidak akan pernah hilang.
Hubunganku dengan Raka dan Erga telah berakhir setelah itu. Aku menghapus nomor keduanya dari ponselku untuk memudahkanku melupakan perasaanku pada keduanya. Kami tidak berhubungan sedikit pun. Aku masih sempat berkomunikasi dengan Raka, baik dalam sebuah senyuman singkat ketika kami secara tidak sengaja berpapasan di koridor, atau pertanyaan kabar darinya. Hingga kuliahku berakhir. Sedangkan dengan Erga, kami tidak saling berkomunikasi sejak pelukan kami yang terakhir. Kami sama-sama berpikir untuk bergerak maju.
"Tadi bilangnya jam 3. Ini sudah jam 4. Kebiasaan." dumelku pada penelepon di seberang.
Aku mendengus kesal ketika ia dengan santainya hanya berkata "Ya, tunggu sebentar lagi." selalu begitu.
"Cepatlah. Aku bosan." Kumatikan sambungan dan kembali mendumel entah pada siapa.
Kembali kulangkahkan kaki mengelilingi rak di salah satu sudut toko buku di sebuah pusat perbelanjaan. Awalnya mencari buku yang kuinginkan untuk menjadi referensi, dan sudah kutemukan setengah jam yang lalu. Namun karena menunggu seseorang yang seharusnya menemaniku tak kunjung datang, akhirnya aku berputar-putar mengelilingi rak barisan novel. Mencari bacaan menarik yang bisa menghabiskan waktu menunggu.
Buku bersampul biru bergambarkan awan putih dan burung sehingga tampak bagai langit, menarik minatku. Tanganku meraihnya, membaca tulisan yang dicetak miring dan tebal berwarna kelabu. Unik, pikirku. Kurasa aku telah jatuh cinta pada novel ini saat pertama kali melihatnya.
"Buku yang menarik, ya?"
"Ya," jawabku dan menoleh pada si pemilik suara.
Novelku terjatuh saat kedua mataku menangkap sosok yang telah menjadi masa laluku. Mataku yang melotot beradu dengan kedua manik karamelnya yang nampak menyiratkan kerinduan. Lesung pipitnya terbentuk ketika ia kembali menampakkan cengirannya yang dulu nampak menawan. Lama kami terdiam, melepas rindu dalam keheningan, sebelum akhirnya ia berkata "Hai. Lama tak berjumpa."
Aku mengumpulkan kembali ketenanganku yang tadinya menghilang, menenangkan emosiku yang tiba-tiba melonjak aneh saat rindu melesak ke dalam diri. Hingga akhirnya aku bisa tersenyum dengan wajar padanya, memungut novel yang terjatuh, dan membalas dengan kalimat "ya, lama tak berjumpa."
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Baik. Kamu?"
"Seperti yang kamu lihat."
Erga tidak banyak berubah, masih seperti yang terakhir kuingat. Ia kini memakai kemeja kotak-kotak marun dengan jeans biru terang dan sepatu kulit. Dan dia masih tampak menawan seperti dulu. Masih sanggup membuatku berdebar, jika saja tidak sadar diri.
Kami terjebak dalam keheningan dan kecanggungan. Aku tidak tahu harus membuka topik apa dalam pertemuan yang secara tiba-tiba dan tidak sengaja ini. Yang kulakukan hanya membolak-balik buku dan novel yang kupegang, memperhatikan sinopsis dan tidak membacanya. Sesekali aku meliriknya dan begitupula Erga. Kami saling melempar senyum ketika kedua mata kami tidak sengaja beradu.
"Mau ngopi untuk sejenak?"
Aku berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab "Boleh saja."
Ada lagi yang tidak berubah darinya. Perhatiannya. Ia segera mengambil buku di tanganku untuk dibawanya. Awalnya ingin kutolak, tapi aku tahu aku tidak akan bisa. Ketika ia hendak membayarnya, buru-buru aku menolaknya. Aku tidak bisa menerima perhatiannya yang lebih, seperti dulu.
Kami memutuskan untuk duduk di cafe, di seberang toko buku setelah sebelumnya membayar buku yang kubeli dan mengirimi pesan pada si-tukang-terlambat. Memesan secangkir kopi hangat untuk dinikmati diudara yang lebih dingin. Kami tidak berbicara, bahkan hingga pesanan kami tiba. Aku masih terjebak dalam kecanggungan.
"Kuliahmu gimana?"
"Sudah selesai. Sekarang lanjut di universitas A."
"Oh ya? Wah, hebat dong."
"Kamu gimana? Kuliahnya?"
"Sudah. Hanya menunggu wisuda. Tapi mungkin tidak akan kuhadiri."
"Kenapa?"
"Minggu depan aku harus berangkat ke Singapura. Melanjutkan sekolah musik di sana."
"Wah, itu hebat."
Yang kutahu bahwa kecanggunganku menguap begitu saja. Perbincangan kami mengalir dengan lancar tanpa satupun dari kami mengungkit peristiwa masa lalu. Aku nyaman dengan obrolan ringan yang sederhana, membahas apapun yang bsia kami bahas. Kegiatan bermusiknya, kuliahku yang sekarang, dan hal-hal simpel lainnya. Seolah kami baru bertemu untuk pertama kalinya. Seolah tidak satupun dari kami pernah saling melukai perasaan masing-masing.
Seseorang menepuk bahuku. "Hei, sepertinya seru."
Aku mendongak, mendapati seorang pemuda berhidung tinggi dan bermata sayu tengah tersenyum padaku dengan bibir tipisnya, Si-Tukang-Terlambat. Rambutnya pendek namun acak-acakan. "Kamu lamban, seperti biasa." dumelku padanya.
Ia meraih kursi dan duduk setelah sebelumnya menggesernya ke arahku. "Maaf deh." ucapnya santai tanpa rasa bersalah. Ia juga langsung menyeruput kopi dari cangkir milikku.
"Itu kan kopiku." keluhku.
"Aku kan haus." ia menjawabnya tanpa minat.
"Ketiduran lagi kan?" tebakku.
"Tidak. Terjebak macet."
"Masa sampai satu jam? Macetnya dalam mimpi?"
"Tau banget kamu." ia mengacak rambutku. Membuatku kesal dan malu.
"Kebiasaan." keluhku.
"Ehm..." suara dehaman itu terdengar dari seberangku. Membuatku tersadar bahwa Erga sejak tadi berada di hadapanku, memperhatikan adegan kami berdua, membuat wajahku merah karena malu. wajahnya nampak bingung memperhatikan sosok pemuda di sebelahku. "Berkenan memperkenalkan?"
"Eh, maaf. Dia..." aku menarik napas mengumpulkan keberanian. "...dia temanku."
"Teman tapi mesra, tepatnya." celetuk si-tukang-terlambat sambil mengulurkan tangan pada Erga yang di balas dengan jabatan tangan yang singkat oleh Erga, membuatku makin malu.
"Erga."
"Gio."
Ada raut terkejut sedetik di wajah Erga yang membuat napasku terhenti sejenak, sebelum akhirnya ia tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya.
"Erga? Aku sering mendengarnya bercerita tentangmu."
"Benarkah? Apa yang diceritakannya?"
"Dia bilang... --Aduh!"
Aku segera mencubit pinggangnya, menahannya berbicara. Aku tahu dia pemuda dengan pembawaan santai dan cuek, jadi terkesan mudah bergaul karena mampu membentuk komunikasi yang baik dengan siapapun yang baru dikenal. Tapi tidak dengan menceritakan apa yang kuceritakan padanya juga kan. Sudah datang terlambat, bermulut ember pula. Kalau saja Erga tidak ada di hadapanku saat ini, sudah kupukul dia dengan buku ratusan halaman yang kubeli.
"Astaga, ini akan membiru." keluh Gio.
Erga tertawa membuatku sedikit terkejut. "Pasti membiru. Aku tahu rasanya. Dia pernah mencubitku hingga membiru dan baru hilang tiga minggu." lagi-lagi ia tertawa.
Rasa tenang mengalir ke dalam diriku. Kurasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan perasaan Erga saat ini. Melihatnya tertawa dan mengungkit kejadian saat aku masih bersamanya dulu tanpa membuatnya sedih membuatku lebih tenang. Aku bisa menyimpulkan bahwa perasaannya padaku telah menghilang.
"Kamu sih, mulutnya ember." keluhku.
"Ya maaf deh." ucapnya dan menggodaku dengan mencubit pipiku gemas.
Dan untuk kesekian kalinya aku menghadiahinya cubitan di perut yang membuat kami bertiga tertawa setelahnya.
Kami berbincang lama. Gio dan Erga berkenalan lebih dekat, membahas hal-hal yang umum maupun mengungkit tentang diriku (ini kebanyakan karena pertanyaan dari Gio). Atau pun hal lainnya hingga waktu berlalu dengan cepat.
Aku melirik jam di tangan. "Ayo, sudah waktunya pergi."
"Ya, aku juga ada urusan." ucap Erga dan pemuda itu bangkit.
Aku, Gio dan Erga keluar dari cafe dan berpisah setelah berucap "sampai bertemu lagi". Tidak ada pertukaran nomor ponsel, karena pertemuan kami hanyalah ketidaksengajaan. Jika memang kami harus berkomunikasi lagi, kami pastinya akan ditakdirkan untuk bertemu lagi nanti.
"Mau ke mana nih?" tanya Gio, yang jalan di sebelahku.
"Terserah."
"Mau nonton, gak?" ia menatapku dengan pandangan malas, namun aku tahu ada perhatian untukku di sana.
"Boleh saja."
"Ambil kursi belakang, ya!"
"Kenapa?"
Ia mendekat dan berbisik. "Biar kita bisa lakukan yang iya-iya."
Aku segera memukul bahunya keras, dan dia tertawa keras. "Dasar mesum." desisku.
Gio merangkulku dan tertawa pelan.
Begitulah, kini aku telah menjalin hubungan bersama Gio, pemuda yang dulu kutemui di rumah kakek. Hubunganku dengan Gio tidak ada sangkut pautnya dengan kecemburuan Erga yang dulu. Aku dan Gio masih murni teman saja. Hanya itu. Hubungan mesra kami bahkan baru dimulai beberapa bulan lalu, setelah dia yang cuek namun ternyata perhatian mampu membobol hatiku.
Dan bagaimana aku dan Gio bisa menjalin hubungan saat ini adalah cerita yang berbeda.
---
@3ll0 @Tsunami @Tsu_no_YanYan @putrabekasi @Hato @lulu_75 @Unprince @AkhmadZo @PeterWilll @Zhar12 @harya_kei @arifinselalusial @Lonely_Guy @new92 @dafaZartin @d_cetya @pokemon @nand4s1m4 @Adi_Suseno10 @cute_inuyasha
BTW ampek akhir ini belom tau nama dari "Aku"
Ebentar? Bisa juga disebut prolog? Berarti ada cerita baru ya kak @JNong?
kalau bkin crita bru lgi mention ya
Kak @cute_inuyasha
Bang @balaka sudah baca belom ?
@inlove
@fian_gundah
@Zhar12
@AkhmadZo
@cevans
@DoojoonDoo
@Wita
@nick_kevin
Iye setuju atasnya atas aku, si 'aku' sampai sekarang masih blom punya nama huhuhu penasaran atuh -3-
Oh ya, aku agak iritasi sama angka 2 di awal-awal paragraf, lebih enak pake kata 'dua' dh. Lanjutkan ya.
Oh ya, aku agak iritasi sama angka 2 di awal-awal paragraf, lebih enak pake kata 'dua' dh. Lanjutkan ya.
@3ll0 @Tsu_no_yanyan cerita Aku dan Gio... doain aja imajinasiku bisa ngalir ke untuk membuat kisah mereka. haha nama Aku memang sengaja gak kusebut kok karena jujur, aku gak tau mau kasih nama dia siapa. hahaha, pretend to be him aja. hehe.
Dan big thanks udah bantuin mention.
@unprince mungkin akan ada cerita baru. tapi kemungkinannya gak nyampe 50% sih. hahaha
@d_cetya siip lah
@lulu_75 thanks ya. sip lah.
@zhar12 well, cerita antara Gio dan Aku memang kisah yang berbeda sih. Aku sih mikirnya, kalau aku ingin memperpanjangnya, tidak sesuai jika berpusat di perasaan si Aku lagi. Tapi kisah si Gio dan si Aku, yang lebih cocok menjadi kisah yang terpisah.
Pantas ya, aku merasa kok ada yang aneh di awal. Angkanya aku lupa ubah. hahaha thanks udah ngingetin.
season berikut nya gitu......?