It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@putrabekasi jadi bagusan sama siapa nih? Gio atau Raka? haha ambil aja gih si Erga.
@lulu_75 yap, cowok baru.
@d_cetya wah, pernah ngalamin ya?
@unprince haha jangan ikutan galau dong.
@Arya mandala thanks ya udah mampir
kirain cuma ada di grup sebelah doang stiory nya...
ngejlimet ya di @3ll0 ma @JNong
ada orang baru *tunjuk gio
kasian erga #getok orang
hahaha kangen raka, mana raka raka
Aku sudah di rumah.
Aku ingat, berjanji pada pemuda berambut sebahu itu untuk mengabarinya ketika tekah sampai di rumah. Tapi aku baru sempat mengiriminya pesan jam 10 malam. Pertengkaran dan kemarahan sore tadi membuatku lupa. Kupikir dengan kabur selama dua minggu membuat masalahku menguap dengan mudah, nyatanya saat kembali masalah itu kembali bertumpuk dan membebaniku.
Tidak butuh waktu lama, ponselku bergetar.
From: Gio
Kamu baru sampai?
To: Gio
Sebenarnya sore tadi. Tapi tadi sempat sibuk.
From: Gio
Kalau begitu, istirahatlah. Sudah larut.
To: Gio
Oke.
From: Gio
Good night. Have a nice dream.
To: Gio
U too.
Tadinya aku akan meletakkan ponselku di nakas dan tidur, mengingat esok adalah hari pertama perkuliahan. Tapi ponselku yang masih tergenggam di tangan, bergetar panjang. Nama Erga muncul di layar. Kenapa dia harus menelepon? Tidak tahukah aku tidak ingin berhubungan dengannya saat ini? Dengan cepat ku-reject telponnya dan segera meletakkan ponselku di nakas. Namun beberapa detik kemudian ponselku bergetar. Aku meraihnya, dan membuka pesan.
From: Erga
Kenapa direject?
Apa aku mengganggu tidurmu?
To: Erga
Ya!
From: Erga
Aku minta maaf. Tidurlah.
Sleep well, moga mimpi indah
Kuletakkan ponselku dengan kasar di atas meja. Aku muak dengan perhatiannya. Aku muak dengan kebohongannya. Aku muak mengingatnya. Hatiku menjerit. Harusnya seperti itu, tapi faktanya, wajah dan cengirannya tidak bisa lepas dari ingatanku. Ketika aku mencoba menutup mata, wajahnya kembali terbayang dan rasa sakit itu kembali muncul.
Aku merubah posisi tidur menjadi menyamping, mencoba untuk terlelap. Namun lagi-lagi aku tidak mampu. Sosok Erga kembali membayangi, membuat dadaku terasa sesak dan perutku terasa sakit bagai dipukul dengan keras. Mataku terasa perih, dan segera kututup dengan rapat, menahan emosi yang akan mengalir. Untuk kedua kalinya, aku dipermainkan. Ketika aku mencintainya, Raka dan Erga, dengan tulus, saat itu pula cintaku dipermainkan dengan mudahnya. Aku mengerang, menutup wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras-kerasnya. Meluapkan amarah yang terpendam, dan masih tersisa. Kenapa?
Kenapa harus aku?
Aku tidak ingat kapan aku tertidur. Aku bangun dengan mata sembab. Aneh, karena yang kuingat semalam aku tidak menangisi siapapun atau apapun. Yang kuingat aku merasa kesal, kecewa dan sedih, berusaha menghapus bayangan Erga dari ingatanku yang kutahu akan sangt sulit, dan tiba-tiba saja aku terbangun dan hari telah pagi.
Aku nyaris telat. Buru-buru aku membersihkan diri dan bersiap ke kampus. Aku sudah mengenakan sepatu dan berlari menuju garasi untuk mengeluarkan motor, namun terhenti ketika melihat mobil Erga di depan pagar yang telah terbuka. Pemuda itu keluar dari mobil dan menghampiriku dengan cengirannya.
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku ketus.
"Selamat pagi juga, kurasa. Seperti biasa, menjemputmu. Ayo."
"Aku bisa bawa motor."
"Tidak, tidak, tidak. Aku akan mengantarmu seperti yang BIASA kita lakukan."
Aku mengerti, dengan halus dia sedang menyindirku. Aku memutar mata tidak peduli, dan kembali melangkah ke garasi. Namun pemuda itu menahan bahuku. Ia tersenyum dan berkata "Ayo." yang ku tahu, tidak akan bias kutolak karena ia langsung menarikku.
Mobil telah melaju menjauh dari rumah. Aku menolak untuk berada terlalu dekat denagnnya yang membuatku merasa kesal. Jadi kusandarkan tubuhku ke pintu.
"Kamu kenapa sih?" Ia meraih bahuku, mengelusnya. Jujur membuatku nyaman. Tidak kuragukan jika aku merindukan sentuhannya, namun rasa nyaman itu dibarengi dengan rasa sakit. Aku tidak menjawab, menolak untuk menatap wajahnya.
"Kamu lagi dapet ya?" dan dia terkekeh.
"Tidak lucu."
Satu tangannya yang tidak sibuk, ia gunakan untuk meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. Lagi-lagi sensasi rindu dan sakit itu bercampur membuat dadaku terasa sesak dan ngilu. Aku segera menariknya, melepaskan tanganku dari genggamannya tanpa menatapnya.
"Ada apa denganmu sebenarnya?"
Mobil berhenti melaju, Erga menepikannya. Ia memiringkan tubuh menghadapku, sementara aku menatap keluar, menolak segala perhatiannya. Ia meraih lenganku, menariknya pelan, berusaha menarik perhatianku.
"Hei, kamu kenapa? Ada masalah?"
"Tidak ada."
Ia kini meraih bahuku, berusaha menarikku, namun segera kutepis tangannya. "Aku ada salah? Atau gimana? Cerita dong. Jangan buat aku bingung." dan tidak ada tanggapan dariku.
Ia menghela napas frustasi. "Kalau kamu diam, aku tidak akan tahu. Jangan diam seperti ini. Setidaknya cerita kalau aku ada salah."
Aku menoleh padanya, menatapnya sengit. "Kamu tidak pernah menyadarinya ya? Apa harus aku ingatkan tentang kebohonganmu?"
Erga menatapku tidak mengerti. "Kebohongan apa? Kapan aku berbohong?"
"Itu! Kau baru saja berbohong."
Tiba-tiba ponselku bergetar panjang di saku celana. Aku mengeluarkannya, melihat nama Gio di layar. Aku hendak me-reject, namun Erga dengan cepat merebutnya. Kini ponselku sudah berada di tangannya. Ia menatap layar dengan alis mengernyit.
"Gio?"
"Apa-apaan kamu? Itu ponselku?" Aku berusaha meraihnya, namun dengan mudah ia menjauhkannya, menahan tanganku untuk merebutnya.
Tanpa izin dariku ia menerima pesan, dan suara berat "Halo" dari Gio terdengar di seberang. Erga memandangiku sengit, yang kubalas tak kalah sengit. "Kenapa kamu jawab?" desisku.
"Halo?" lagi-lagi suara Gio terdengar.
"Jangan!" desisku mengancam ketika Erga menempelkan ponselku di telinganya.
"Ya, halo."
"Loh? Ini siapa?"
"Aku temannya. Ada apa ya?" Aku berusaha meraih ponselku, namun dengan mudah Erga menepisnya. Ia menjauhkan dari telinga dan mengaktifkan speaker.
"Oh, tolong sampaikan padanya, kalau aku akan kembali dari desa esok. Kakeknya menitipkan sesuatu untuk kuberikan padanya."
"Ya, akan kusampaikan."
"Terima kasih."
Dan sambungan telepon diputus. Kulihat rahang Erga mengeras, pandangannya masih terpaku di layar ponselku. Aku buru-buru meraihnya. "Kemarikan!" teriakku. Namun lagi-lagi ia mengelak. Ia menyentuhkan jemarinya di layar, entah melakukan apa. Yang kutahu, ada amarah terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Harusnya aku yang tanya padamu." ia kini fokus padaku. Rahanganya menegas, dan pandangan amarahnya jelas tertuju padaku. Alisnya menukik membentuk garis tajam.
"Apa maksudmu?"
Ia menarik tanganku kasar, mencengkeram pergelangan tanganku dengan erat, membuatku tersentak. "Kamu yang berbohong. Kamu menghindariku, pergi tanpa kabar. Ternyata kamu berhubungan dengan si Gio ini."
"Gio dan aku hanya teman." seruku.
"Teman? Hubungan pertemanan macam apa yang kamu dan dia lakukan sampai-sampai saling mengucapkan selamat tidur?"
Aku tahu Erga itu posesif, jadi jika cemburu pemuda itu akan sangat berbahaya.
"Jawab!" ia berteriak. Bahunya naik turun oleh napasnya yang cepat karena amarah. Lagi-lagi aku tersentak kaget.
"Sudah kubilang kami teman!" Aku menjerit.
"Jangan bohong! Jawab yang sejujurnya! Sudah sejauh mana hubunganmu dengannya?" ia pun berteriak.
"Kami hanya teman! Teman! Lagipula apa pedulimu"
"Apa maksudmu? Jelas-jelas kamu pacarku, tentu aku peduli." nada suaranya merendah, tak lagi berteriak. Namun aku tahu masih ada amarah yang terpancar dengan jelas.
"Pacar?" aku mendengus geli, sekaligu ngilu di dada. "Atau alat balas dendammu?"
"Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura, Erga. Kau pikir aku tidak tahu?" Aku menyentak keras tanganku, melepaskan pergelanganku dari genggaman eratnya. Kuyakin akan ada bekas merah di sana nantinya.
"Jangan berteka-teki denganku saat ini. Aku sedang marah padamu, asal kau tahu."
"Baik! Akan kukatakan dengan jelas. Aku melihatmu, hari itu di Cafe, berbicara dengan Raka. Kau pikir aku tidak tahu siapa yang kalian bicarakan? Aku!" Pandangannya berubah dari marah menjadi terkejut.
Aku menunjukknya penuh amarah, luka dan kecewa. "Kau! Kau pembohong besar. Kau dengan tega mempermainkan perasaan orang lain hanya untuk melengkapi balas dendammu. Raka mencintaiku seperti aku mencintainya dulu. Namun kau telah membuatku mencintaimu dan membuatnya menderita"
Aku tahu apa yang kukatakan adalah benar. Amarahnya kini berganti sepenuhnya dengan keterkejutan. Pandangannya menjadi tidak fokus dan meliar. Untuk beberapa detik Erga masih tidak fokus. Namun kemudian ia meraih tanganku, yang segera kutepis, menolak sentuhannya yang mengaduk perasaanku. "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan."
"Sekarang kau puas? Kau sudah membuat Raka menderita, seperti yang kamu inginkan." aku menarik napas. "dan juga aku." lirihku.
Pandangan memohon dan terluka tertuju padaku. "Dengarkan aku."
"Mendengarkan apa? Kebohonganmu yang lain? Atau rahasia kejammu yang lain yang membunuhku?"
"Kumohon." lirihnya. Lagi-lagi ia berusaha meraihku. Ia hendak menyentuhkan tangannya ke wajahku, mengelus pipiku. Namun reaksi spontanku bergerak mundur. Menjauhinya, membuat luka di pandangan matanya.
Aku menggeleng, menunduk, menolak menatap matanya. Aku taku akan tersentuh oleh pandangan terluka dari sepasang manik karamel itu. "Sudahlah, Erga. Aku..." entah kenapa kali ini aku berat mengatakannya. "... aku ingin..." dan nyatanya aku tidak bisa mengatakannya. Semuanya tertahan di tenggorokan begitu saja.
Dan akhirnya aku mengatakan hal lainnya. "Aku harus pergi. Aku telah terlambat mengikuti kuliah perdana." Aku menyampirkan tas di bahu dan keluar dari mobilnya. Meninggalkannya yang membeku di sana.
Aku sendiri kini tengah diliputi rasa kecewa, marah, dan terluka. Tidak seperti yang aku bayangkan, katanya. Kalimat itu berhasil melukaiku. Lalu yang sebenarnya apa? Sementara aku sudah mendengar jelas dari percakapan mereka. Aku telah terluka dan kecewa untuk kedua kalinya oleh orang yang kucinta.
Aku menyetop angkot dan menuju ke kampus. Sialnya, aku lupa ponselku masih berada di tangan Erga.
---
@nand4s1m4 hehe iya. makasih udah mampir juga di sini
@Akhmadzo hehe makasih. udah update tuh.
@d_cetya wih, rumit ya. Jadi kesannya dia udah 'kecanduan' ke anda ya? haha
@Zhar12 makasih atas saran dan masukannya. Bener sih, sebenarnya liburannya bisa di explore lebih. sayangnya karena saya fokus buat namatin malah jadi kurang ya. hehe. maaf. memang saya lebih menekankan perasaan si AKu, jadi yang baca memahami. kesannya yang lain kurang ya. haha but thanks again buat masukan n sarannya.
@new92 well, raka gak muncul diupdate terbaru, tapi bakal muncul lagi sih. mungkin. haha