It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kangen Erga nih~ Raka? Ah Erga aja ahh~ ;;)
Esoknya aku melarikan diri. Bukan dalam artian yang sebenarnya. Aku hanya melarikan diri dari Erga. Dua minggu liburan yang tersisa kuhabiskan di rumah kakekku di provinsi sebelah. Letaknya di kota kecil di kaki gunung, dikelilingi oleh kebun sayuran. Suasana yang asri dan tenang membantuku untuk menenangkan diri. Ponselku sengaja kumatikan, tidak peduli akan amukan Erga yang nantinya akan kuterima.
Dan di sinilah aku, dihari keempat di rumah kakek, duduk di teras menikmati pemandangan kebun sayur yang terbentang di hadapanku. Mengingat segala rasa, cinta, kecewa, sedih dan marah pada Raka dan Erga. Merenungkan apa yang tengah kualami, mengingat semua kejadian yang malah membuatku merasa sakit di ulu hati.
"Melihat pemandangan seperti biasa?"
Aku menoleh mendapati seorang pemuda berkulit sawo matang tengah tersenyum padaku sambil menaiki undakan teras. Jaket parasut membungkus tubuhnya. Ia melepasnya ketika duduk di kursi teras di sebelahku yang terpisah oleh meja. Namanya Gio, pemuda yang mengaku keturunan pribumi, yang sampai saat ini tidak kupercaya. Rahangnya tirus dengan hidung tinggi dan bibir yang tipis. Alisnya tebal, Kumis dan janggut yang tipis menghiasi garis rahangnya. Kedua maniknya berwarna hitam kelam bagai malam, dan rambut hitamnya ia biarkan memanjang hingga sebahu, yang kini tengah ia ikat. Dibandingkan pribumi, dia lebih mirip keturunan indo.
Aku bertemu Gio dua hari lalu ketika pemuda itu tengah berjalan melintas di depan rumah kakek, dan saat itu seperti biasa aku tengah duduk di teras. Ia menyapaku lebih dulu, dan mulailah kami berkenalan. Ia mengaku tengah berkeliling di daerah perkebunan untuk mengenal lebih dekat kota kelahiran ayahnya. Seperti diriku, ia tengah menghabiskan liburannya di sini, mencari suasana baru yang lebih segar dibandingkan kota yang penat. Rumahnya berada di kota yang terletak 200 meter dari kebun kakek.
"Yeah, seperti yang kau lihat." jawabku, menoleh padanya, menelitinya. Ia mengenakan kaus lengan pendek dan jeans hitam. Sepatu sneakers membungkus kedua kakinya. Simpel dan tampak menarik, kuakui. Tapi aku heran, apa yang ia lakukan sejauh ini? "Teh?"
"Tidak adakah kopi?"
"Tidak. Mau kubuatkan?"
"Tidak perlu."
"Kalau begitu teh?"
"Pass. Aku tidak suka teh."
"Okey."
Dan kami terjebak dalam keheningan. Aku dan dia memandang ke kebun sayur di depan. Aku kembali terjebak dalam lamunanku yang menyakitkan. Dan dia, entah apa yang tengah Gio lakukan aku tidak peduli.
"Hei"
Aku menoleh cepat padanya yang tengah menatap ke depan. Ia mengalihkan pandang padaku, mengangkat kedua alisnya yang tebal. "Mau berjalan-jalan?"
Aku diam, tidak menjawab. Namun akhirnya kuputuskan untuk mengangguk. Kami berjalan tidak begitu jauh, hanya di jalan setapak dekat rumah, berkeliling kebun kol dan tomat. Hanya berkeliling tanpa sepatah kata. Aku menyelipkan tangan ke dalam saku jaket, menghangatkan tangan yang menjadi dingin karena udara gunung.
Hingga ketika kami tiba di wilayah kosong yang ditumbuhi rumput semata kaki, kami berhenti sejenak. Lagi-lagi kami tidak berbicara. Hanya asik menikmati pemandangan sungai jernih yang berada beberapa meter. Sangat lucu mengingat keadaan ini seharusnya sangat dibenci oleh orang kebanyakan, namun aku sendiri merasa baik-baik saja. Bahkan tidak ada satupun dari kami yang berniat untuk pergi dari kecangguan ini.
Ketika aku hendak kembali melangkah, ia meraih sikuku dan menghentikanku. Aku menoleh padanya, menatap mata kelamnya yang tampak malas. "Ada apa?"
"Sebenarnya tidak baik jika kutanyakan, tapi aku merasa terganggu."
Aku mengernyit bingung, menunggu ia menyelesaikan kalimat yang kutahu akan kembali meluncur dari mulutnya.
"Aku selalu melihat matamu yang tidak fokus setiap sorenya. Seolah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.
Aku tercengang dengan rasa hangat yang menjalar di pipi. Ada suatu sensasi aneh ketika mengetahui darinya yang mengakui secara tidak langsung bahwa ia selalu mengawasiku. Dan aku hanya diam.
"Ini akan kedengaran lancang, tapi ada baiknya kamu menceritakannya pada orang lain. Tidak padaku, tapi pada siapapun yang kau inginkan. Setidaknya akan mengurangi beban pikiranmu." Ia mengedikkan bahu. "Hanya saran."
Senyumku terukir di wajah dengan mudahnya. "Thanks. Aku menghargainya."
Setelahnya kami melanjutkan langkah, kembali berkeliling hingga garis kemerahan senja tiba. Kami memutuskan pulang, aku kembali ke rumah kakek, dan Gio kembali ke kota. Hubungan kami jadi cukup dekat setelahnya. Dari orang asing, berusaha saling mengenal, menjadi teman pada umumnya. Gio tampak cuek, tenang, namun perhatian dengan caranya sendiri. Kami lebih sering menghabiskan waktu bersama berkeliling kebun atau kota, menjelajah entah ke mana. Kami sama-sama dari kota besar, membuat rasa penasaran kami sama.
Dua minggu itu berakhir dengan tidak membosankan. Setidaknya ada Gio yang menemani, membuatku lupa dengan masalah. Ia selalu memiliki banyak cara untuk membuatku sibuk, membuat otakku berpikir. Ponsel yang kumatikan dan kuletakkan dalam koper bahkan kulupakan. Hingga akhirnya waktu liburku berakhir, aku pulang lebih awal ke kota dibandingkan Gio yang liburnya lebih panjang. Kami bertukar nomor agar bisa saling kontak.
"Sampai bertemu lagi." ucapnya, memelukku.
"Ya, lagipula kita bisa bertemu karena sekota kan?" aku terkekeh yang diikuti olehnya.
Aku melambaikan tangan padanya dari dalam mobil yang akan mengantarku ke stasiun. Ia pun membalasnya dan kami saling melempar senyum.
Sepertinya aku tiba di rumah di waktu yang salah, di sore hari saat orang tuaku belum kembali dari kerja. Erga sudah berdiri di depan pagar rumahku, berkacak pinggang dengan garis amarah yang terlihat jelas di wajah. Pemuda itu tidak banyak bicara selama aku membuka pagar dan pintu rumah. Bahkan ia tidak berbicara ketika membantuku memasukkan koper ke dalam rumah, hanya memakai isyarat. Tapi aku tahu pemuda itu tengah menahan amarah yang akan ia keluarkan.
"Kamu dari mana aja sih?" suaranya tegas penuh amarah. Ia langsung mengeluarkan emosinya ketika kami memasuki rumah, setelah mendorong koperku ke pinggir sofa.
"Liburan. Kamu pasti tahu dari orang tuaku kan?" jawabku malas dan melenggang pergi. Sungguh, aku merasa lelah setelah perjalanan panjang. Ingin menghadapi mimpi indah, bukan amarahnya.
Ia meraih sikuku, menahanku untuk pergi. "Kenapa gak menghubungiku sekalipun? Ponselmu bahkan tidak aktif."
"Aku hanya ingin menikmati liburan." jawabku tanpa menatapnya.
"Tapi seenggaknya kabari aku. Jangan buat aku jadi uring-uringan."
"Aku hanya tidak ingin ada gangguan."
Erga menarikku kasar, hingga aku berbalik padanya. Matanya memancarkan kilat amarah dan garis rahangnya menegas karena rahang yang terkatup keras. "Gangguan? Kau anggap aku gangguan?"
Aku menghela napas lelah. Benar-benar lelah. Aku tidak ingin mendengar amarahnya saat ini. "Bukan begitu, Erga. Aku--"
"Ada apa denganmu sebenarnya? Kau menolak panggilanku, mematikan ponsel, dan pergi entah kemana. Sejak terakhir kita bertemu, kamu malah jadi berubah. Jangan bilang kamu--"
"Astaga! Aku tidak seperti yang kamu pikirkan." kali ini aku yang berseru padanya. Sungguh, aku benar-benar lelah. Dan amarahku udah terpancing saat ini. "Bisakah kita tidak membahasnya sekarang? Aku lelah. Mau tidur."
Erga tertegun dan diam sejenak. Tatapan marahnya berganti menjadi pandangan lembut penuh kasih yang selama ini ia berikan. Senyum di wajahnya terukir. Ia meraih bahuku dan memelukku. Suaranya yang berat berbisik di telinga. "Maaf, aku terlalu marah sehingga tidak mengerti." Aku tidak membalas pelukannya, menutup mataku rapat akibat ngilu di perut yang tiba-tiba terasa. Ia melanjutkan "selamat datang kembali." dan dia mengecup pelipis dan pipiku.
Aku, tanpa dilihat olehnya, menggigit keras bibir bawahku. Menahan rasa sakit di hati akibat kekecewaan yang besar. Haruskah aku terus menerima sakit akibat rasa cinta palsu yang ia berikan? Apa yang harus kulakukan?
Kuputuskan untuk menjawab "Ya"
Ia melepas pelukan. Ia mengacak rambutku dan mengecup keningku. "Selamat beristirahat." ucapnya dan sekali lagi aku mendapatkan senyum dan tatapan teduhnya yang membuat hatiku terasa ditampar dengan kasar.
"Thanks." aku membalas senyumnya dengan senyum paksa, berusaha terlihat tulus.
► Kayaknya kurang kata Tak ya?
Ada Tokoh baru lagi nih Gio :-?
mention yaa
@JNong keren banget, mending jadi sama Gio aje, ato sama Raka asal jangan sama Erga, hadeuhhh kok ane malah maksa si hehehehe.
Erga buat ane aje .... Lumayan secelup dua celup...
Tsu_no_YanYan,JNong,putrabekasi,lulu_75,Hato : Kembali kasih