It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@unprince *kipasin hahaha jleb ya.
@unprince ayo, ajak kenalan. coba tabrak motornya atau terror nomornya. haha *ajaransesat
@pokemon thanks udah mampir
Heh, kok oot. Yasudah, ini lapak bukan buat curhat xD maaf, maaf. Gih, dilanjut kakak xD
raka mana raka? erga lebih sweet, tapi lebih suka raka hahaha
tapi kenapa namanya harus raka? terlalu banyak nama raka di bf... kenapa gak Arka aja #gak penting*abaikan*
@Tsu_no_YanYan :-* :-* :-*
Aku simpen dulu baca entar.
TSnya semangat ngelanjutinnya ya.bagi mentionnya klo gak keberatan.#Smile
@new92 Raka bakal muncul lagi kok
@elul wah, gak tau ya. tiba-tiba aja waktu itu nama Raka kepikir. Lagipula itu nama yang kuubah dari nama seseorang sih. haha
@Tsunami thanks. haha iya nih Si Aku gampangan banget.
@3ll0 siip
Sebenarnya kakiku sudah gatal untuk segera beranjak untuk segera memasuki kelas. Tapi Raka tengah menghadangku di koridor. Pemuda itu benar-benar tidak mengizinkanku lewat. Tidak ada kata, hanya gerakan dari tubuhnya yang lebih besar dariku. Segesit apapun, aku tahu aku tidak akan bisa melewatinya. Jadi aku diam, memandang kiri kiri kanan, menoleh ke belakang mencari pertolongan. Aku tidak ingin menatapnya sedikit pun. Ada rasa muak dan berdebar yang kusesali. Namun koridor anehnya begitu sepi, dan akhirnya aku hanya menunduk menatap sepatu.
"Aku ingin menyerahkan ini." katanya.
Aku mengenali sampul makalah yang diberikannya padaku. Itu tugas akhirku dan Raka yang harus diserahkan minggu ini, mengingat ujian tinggal sebulan lagi. Aku mengambilnya, menariknya. Namun pemuda itu menahannya, tak melepaskan tangannya. Aku berusaha menarik, namun nihil. Raka lebih kuat menahannya. Aku berdecak kesal, mengangkat wajah menatapnya. Saat itu pula dadaku seperti ditusuk belati saat kedua manik karamelnya, yang terpaksa kuakui membuatku rindu, menatapku sendu. Buru-buru aku membuang muka, menunduk.
"Kita perlu bicara." Nadanya rendah dan memohon.
Aku menggigit bibirku, memejamkan mata saat nada memohon itu menambahkan tusukan belati ke dadaku. Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak, tidak ada yang perlu dibicarakan."
Ia melepaskan pegangannya dari makalah. "Tidak bisakah kamu memberiku kesempatan untuk bicara?"
Aku memasukkan makalah ke dalam tas, mencari aktivitas apapun yang bisa membuatku teralihkan dari suaranya yang memelas, dan masih menolak memandanginya. Aku mencengkeram erat tali tas, menguatkan diri untuk menatapnya. "Raka, biarkan aku lewat. Aku tidak ingin..."
Ia mengangkat tangan, mendekatiku, berusaha meraih bahuku. "Kumohon--"
Refleks aku melangkah mundur, tanganku semakin erat mencengkeram tali tas. Saat itu kalimat mencemoohnya kembali terngiang di kepalaku, mengirimkan reaksi untuk menolak sentuhannya. Raka membeku di sana. Tatapannya kini berubah yang membuat dadaku terasa nyeri, ia menatapku dengan pandangan terluka.
"Ma-maaf." buru-buru aku mengambil kesempatan untuk melewatinya, pergi meninggalkannya yang masih terpaku di sana.
Sebenarnya yang tidak kumengerti adalah diriku sendiri. Aku merasa muak pada Raka, kesal, kecewa, marah, namun menatapnya masih membuatku berdebar-debar. Segala pesonanya masih bekerja mempengaruhi kinerja jantungku, aroma parfum dari tubuhnya masih mempengaruhi kinerja otakku. Dan mataku masih ingin memandanginya diam-diam.
Di kelas, aku duduk di belakang, menatap punggungnya yang duduk dua baris terpisah dariku. Ia tengah berbicara dengan Julie yang duduk di sebelahnya. Bertukar kata dan tawa, sentuhan-sentuhan sederhana seperti sikutan di lengan atau tepukan di bahu membuat mereka terlihat begitu akrab. Rahangku mengeras dan dadaku bergemuruh. Apa-apan itu? Kemana tatapan memelasnya untukku setengah jam yang lalu? Kemana nada memohon untukku? Seolah kejadian tadi tidak pernah terjadi sama sekali. Aku mencengkeram erat pena di jemariku.
Tersentak, aku menyadari bahwa aku tidak seharusnya seperti itu. Aku sudah memutuskan untuk bersama Erga, dan memiliki rasa untuk kedua kalinya pada Raka hanya membuatku nampak kejam. Aku berusaha mengingat wajah Erga, cengirannya, lesung pipitnya, mata karamelnya yang sama dengan mata Raka. Astaga! Kenapa selalu ada nama Raka yang terselip di sana? Aku mengacak rambut, mengerang frustasi.
Setelah kelas selesai, lagi-lagi aku harus berurusan dengan Raka. Tanpa berkata, ketika aku melewatinya, ia menarik sikuku. Ia menarikku keluar kelas dengan cepat. Membuat beberapa teman yang melihat kami berpandangan heran. Derri pun begitu. Ia bergegas mengikuti, namun segera kutahan dengan memberinya isyarat.
Koridor yang sepi, tempat yang sama saat aku menyadari kenyataan bahwa ia tidak menganggapku lebih. "Aku sudah tidak tahan lagi." Ia terus menyeretku. Mendengar penuturannya, sontak aku memberontak, menarik sikuku darinya, menarik diriku untuk lepas. Namun Raka lebih mempererat pegangannya, menghasilkan erangan dari mulutku akibat nyeri pada cengkeramannya.
"Raka, tidak! Aku sudah tidak ingin, kumohon!" pintaku.
Ia berhenti, berbalik padaku dengan alis yang mengernyit bingung. "Apa maksudmu?"
Saat itu aku menyadari bahwa ternyata otakku amat mesum. Aku gelagapan dengan mulut yang terbuka, dan mata bergerak liar mencari alasan. Namun tidak satupun kata keluar dari mulutku. Wajahku terasa panas karena malu. Di hadapanku, Raka menunjukkan seringai kemenangannya.
"Aku hanya ingin mengajakmu bicara, tidak lebih." ia melepaskan cengkeramannya dari sikuku.
Aku tidak bersuara dan memandang ke arah lain, ke apapun yang bukan sosok Raka. Kedua manik coklat pemuda itu terpaku padaku. "Kumohon dengarkan aku. Waktu itu, kalimat itu, itu tidak seperti yang kamu pikirkan."
Aku mengangkat wajah, menatap dalam kedua matanya yang terasa teduh. "Tidak Raka, kalimat itu sangat jelas. Aku paham maksud dari perkataanmu waktu itu. Aku tahu kamu..." tenggorokanku tercekat, ragu untuk mengatakannya, suaraku menjadi lebih rendah, berbisik akibat luka yang terbuka, dan rasa sakit yang kembali menyengat. "...aku tahu kamu menganggap aku apa."
Napasku terhenti ketika ia dengan cepat meraih tanganku, menggenggamnya pelan. "Tidak, tidak, dengarkan aku. Waktu itu aku hanya emosi, aku mengatakan hal yang bukan dari kejujuran."
Aku menggeleng, berusaha menarik tanganku darinya. "Raka, aku bisa mendengar jelas semuanya. melihat jelas dari matamu bahwa apa yang kamu katakan--"
"Tidak! Kumohon dengarkan aku sekali saja."
Tatapan memelasnya dan nada memohonnya menghujamku dengan keras. Dadaku terasa nyeri. Bibirku bergetar samar. Aku menarik napas, mengumpulkan ketenangan. Namun aku tidak mendapatkannya, dadaku merasa lebih sakit bagai dipukul palu, ketika ia melanjutkan kalimatnya. "Waktu itu aku cemburu. Aku terlambat untuk menyadarinya."
Aku menutup mata, menggelengkan kepalaku dengan cepat. Aku ingin mengangkat kedua tangan untuk menutupi telinga, namun kedua tanganku di tangan dalam genggamannya. Aku menolak untuk mendengarnya, aku tidak ingin terjebak dalam perasaan yang dulu padanya untuk kedua kalinya.
"Aku menyayangimu." bisiknya mesra.
Meski menolak, aku tak kuasa menahan tubuhku yang bereaksi spontan. Dadaku bergemuruh hebat dengan jantung yang berdegup cepat, darahku berdesir melebihi tekanan normal, membuat wajahku terasa panas dan memerah hingga keujung telinga. Wajahku terangkat, mataku terbuka lebar menatap matanya yang memandangku penuh kasih, yang membuat perutku terasa nyeri dan tergelitik. Dulunya kalimat itu menjadi impianku yang ingin kuraih darinya, sekarang aku bertekad untuk melupakannya. Namun aku meragukan pendirianku sendiri saat ini. Perasaanku padanya nyaris sama seperti dulu.
Ia melepaskan genggaman tanganku karena tahu aku tidak akan bergerak pergi. Ia mengangkat tangan, menyentuhkan telapak tangannya yang hangat di pipiku. Aku kecewa pada diriku, kuakui bahwa sentuhannya membuatku rindu.
"Aku merindukanmu" Matanya menatapku penuh rindu. Ia mendekat, memiringkan wajah. Napasnya yang terasa hangat menggelitik hidung. Napasku terhenti saat itu ketika bibir kami bertemu sekali lagi. Aku kembali merasakan kehangatan bibirnya. Ia terus menciumiku, mengecupnya berkali-kali, meski aku hanya diam mematung. Perasaan rindu itu menguar, membuat perutku ngilu.
Aku tidak sepenuhnya sadar, yang kuyakini bahwa tubuhku kini dikendalikan oleh emosi. Otakku bekerja dengan tidak baik sekarang. Ketika kedua tangannya menangkup wajahku, menariknya dalam ciuman yang tak henti, kedua tanganku sudah berada di bahunya. Yang kusadari bahwa aku membalas ciumannya.
Otakku terus berteriak 'Hentikan!'. Namun nyatanya aku menikmatinya, terjebak dalam kehangatan ciuman yang kami bagi. Ketika ia menggigit bibir bawahku dan aku mengerang, barulah kesadaran dan akal sehat kembali padaku. Wajah Erga terlintas dalam benakku. Aku tersentak, menyadari kesalahan yang telah kubuat yaitu tenggelam dalam pesonanya untuk kedua kalinya.
Aku menggeleng kuat, mengusap kasar bibirku. "Tidak, tidak. Tidak seharusnya seperti ini."
"Kenapa? Aku tahu kamu merasakan hal yang sama juga. Aku tahu itu."
Ia hendak meraih wajahku, kembali dalam ciuman yang menggoda. Namun aku yang sadar bergerak mundur. Menjauhinya yang lagi-lagi menatapku terluka. "Aku... aku adalah milik Erga sekarang. Kita tidak bisa--"
"Kau... apa?" Dengan cepat ia meraih bahuku. "Bisa. Yang perlu kamu lakukan adalah berpaling padaku."
Aku menyentak tangannya dari bahuku. "Tidak. Itu artinya aku akan bersikap kejam padanya. Aku tidak ingin lagi bersikap egois, Raka. Aku tidak ingin melukainya."
"Jangan katakan kamu juga--" ia menatapku dalam dan langsung kulempar pandang, menutupi perasaanku. Ia meraih tanganku, menggenggamnya. "Belum, kau belum menyukainya. Bisa kulihat itu dengan jelas." dan saat itu aku segera menarik tanganku yang terkepal, menyembunyikannya di balik punggung. Ia tahu, Raka mengetahuinya.
"Sudah Raka, kita sudah tidak memiliki kesempatan. Biarkan aku mencoba padanya, kumohon biarkan ini berakhir." Aku berbalik. "Kau bisa..." kalimat itu tertahan, dadaku terasa sakit bagai dihujam belati saat mengatakannya. "...kau bisa mencari orang lain. Julie atau siapapun."
Aku beranjak pergi, namun pemuda itu menahan tanganku. Mencengkeramnya dengan erat, dan menariknya hingga aku berbalik. Pandangannya yang tajam dan menusuk, melukaiku. Ia diam.
"Baik, jika itu yang kamu inginkan. Aku akan melakukannya."
Ketika ia melepaskan tanganku, aku segera pergi dengan langkah yang lebar, dengan hati yang terluka. Ada rasa sesal dan kecewa yang mengganjal, sesal pada ucapanku yang menyuruhnya untuk bersama yang lain, sesal pada keputusannya, dan kecewa pada diriku yang masih mencintainya. Aku merasa hatiku telah terluka cukup parah akibat luka yang kucipta.
Di bawah tangga lantai dasar, Erga sudah menungguku seperti biasa. Ia melemparkan cengirannya yang menawan dan tatapannya yang penuh cinta, membuatku sedikit nyaman. Namun rasa bersalah kembali menerjangku. Aku tidak boleh melukainya, tidak boleh melukai perasaannya. Erga adalah orang yang baik, yang dengan ikhlas mencintaiku. Yang kulakukan hanyalah bertahan di sampingnya, dan berusaha menumbuhkan cintaku untuknya.
Aku turun dan menyapanya yang dibalas dengan senyum. "Ayo, pulang."
Ah iya, aku udah beberapa kali sms anu, tapi nihil. :v yaudah, kita juga gak akan ketemu lagi, soalnya aku uda resign dari kerjaan. TwT