It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Harusnya tidak seperti ini jika di awal pertemuan mereka, tidak saling melempar pandangan membunuh.
Baru beberapa menit yang lalu aku dan Raka mendaratkan kaki kami di cafe. Sudah kulihat dari kejauhan Erga menunggu di meja yang sama. Ia berdiri dengiran lebar yang menampilkan lesung pipitnya terlihat, membuatnya selalu terlihat menawan. Namun sedetik kemudian cengiran itu menghilang ketika kedua matanya beralih ke sosok yang mengikutiku di belakang. Dan untuk pertama kalinya aku melihat kilat amarah dari pandangan matanya yang ia tujukan padaku.
"Kau mengajaknya ke sini." Dibandingkan pertanyaan, lebih tepat seperti pernyataan. Tadinya aku berniat langsung duduk, tapi Erga masih berdiri, melempar pandangan tidak suka pada Raka yang juga menatapnya dengan pandangan yang sama di seberang meja. Dan saat itu aku terpikir, bahwa aku telah mengumpankan diriku pada singa dan buaya di satu kandang yang sama.
"Emm, bisa kita duduk?" barulah saat mereka dua duduk, aku bisa duduk dengan cukup tenang. Tidak begitu tenang sih, karena keduanya saling menatap sengit.
"Erga, ini Raka. Raka, ini Erga." aku memutuskan untuk membuka suara, memperkenalkan keduanya mengingat mereka belum saling mengenal meski pernah bertatap muka. "Kuharap kalian bisa berteman baik--" dan saat itu pula aku menyesal berbicara demikian saat keduanya menatapku kesal. "--atau tidak." cicitku.
Aku terjebak dalam situasi ini selama beberapa menit sebelum pesanan kami datang. Tanpa suara, saling melempar pandang sengit, dan aku sibuk menelan ludah gugup dan takut. Seandainya mereka berdua di tempatkan di satu ruangan yang sama, aku tidak bisa bayangkan apa yang terjadi. Saling membunuh, memutilasi, menguliti atau apalah.
"Kenapa kamu mengajaknya?" Erga membuka suara, terdengar berat dan kesal. Aku segera memandangnya dan pandangan amarah itu kembali tertuju padaku.
"Err, aku--"
"Terserah padaku mau ikut atau tidak." Aku menoleh cepat pada Raka yang memotong ucapanku dengan jawaban bernada datar dan sengit itu.
Dan keduanya kembali melempar pandangan sengit. God, please save me.
"Aku tidak pernah mengundangmu."
"Aku tidak perlu undangan untuk datang kemari. Ini tempat umum."
Tiba-tiba Erga menarik tanganku, masih dengan kilat amarah ia menatapku. "Seharusnya kamu tidak mengajaknya."
"Iya, tapi--"
Kali ini bahu kiriku di tarik hingga tubuhku lebih condong ke kiri. "Sudah kubilang terserah padaku, kan? Maumu apa?"
Untuk kesekian kalinya kedua pandangan sengit itu bertemu dalam jeda waktu sekian detik. Hingga Erga membuka suara. "Aku mau kau pergi dari sini." dan secepat itu pula Raka menjawab dengan tegas "Tidak."
Aku mengusap wajahku karena frustasi, menatap keduanya bergantian. "Astaga! Bisakah kalian berhenti bersikap ke kanak-kanakan?" desisku. Keduanya melempar pandang ke arah lain. Setidaknya tidak ada saling lempar tatapan sengit hingga pesanan minuman kami tiba.
Dan di sinilah aku sekarang, duduk menyandarkan punggung, bersedekap dan tidak bersuara sedikit pun. Keputusanku untuk pasrah diseret Raka adalah salah. Tidak ada interaksi antara aku dan Erga seperti yang kami lakukan kemarin. Aku tahu pemuda itu marah padaku. Dan aku harus mencari cara agar Erga kembali berbicara padaku. Saat pandangananku bertemu pada piano di panggung, aku tahu aku harus melakukan apa.
"Ga." Erga menoleh padaku setengah hati. Rasanya aneh jika tidak melihat cengiran di wajah pemuda itu. "Bisa mainkan sebuah lagu untukku?"
Tidak ada jawaban dari Erga, tapi kemudian ia tersenyum dan menampilkan cengirannya yang membuatku lega. Ia meraih ponselnya, mengutak atiknya dan menunjukkan layarnya padaku. "Kau tahu lagi ini?" Kulihat judul lagu yang tertera di sana dan mengangguk. Aku sering memutarnya di ponsel dan menyanyikannya.
"Bagus." serunya. Ia berdiri dan menarik tanganku. Menghiraukan seruan "Hei" yang dikeluarkan Raka. Namun aku segera berpaling pada Raka dan melempar isyarat 'tetap di sana' padanya. Raka diam, menatap ku yang dibawa Erga ke panggung.
Seperti kemarin, Erga duduk di piano, memainkan tutsnya, sementara aku berdiri di depan dengan tangan mencengkeram mike. Untuk kesekian kalinya aku melihat pandangan mata pengunjung. Raka menatapku dengan alis mengernyit dari meja kami, membuatnya tampak lucu. Aku nyaris tertawa saat itu. Aku menoleh pada Erga. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk mantap. Suara piano terdengar, pandangan kualihkan ke depan, mike kudekatkan ke mulut dan ketika intro telah berakhir, aku mulai bernyanyi.
Much as you blame yourself, you can't be blamed for the way that you feel
Had no example of a love that was even remotely real
How can you understand something that you never had?
Ooh, baby, if you let me, I can help you out with all of that
Kedua mataku beralih perlahan dari beberapa penonton pada Raka yang kini menampakkan ekspresi terkejut, sebelum berganti menjadi pandangan datar tanpa ekspresi. Aku menoleh pada Erga yang dengan mantap memainkan piano, ia menatapku dan melempar senyum tipisnya yang manis. Kembali aku memandang ke depan, pada Raka.
Girl let me love you
And I will love you
Until you learn to love yourself
Girl let me love you
I know your trouble
Don't be afraid, girl let me help
Girl let me love you
And I will love you
Until you learn to love yourself
Girl let me love you
A heart of numbness gets brought to life
I'll take you there
Kedua mataku memaku kedua mata cokelatnya.
Girl let me love you
Girl let me love you, baby, oh
Girl let me love you
Girl let me love you, baby
Girl let me love you
Let me love you, let me love you, oh
Seluruh perasaan memuja, seluruh kasih dan cinta yang kumiliki untuknya kucurahkan seluruhnya padanya melalui lagu ini.
I can see the pain behind your eyes
It's been there for quite a while
I just wanna be the one to remind you what it is to smile
I would like to show you what true love can really do
Kuharap ia mampu mengerti seberapa cintanya aku padanya.
Girl let me love you
And I will love you
Until you learn to love yourself
Girl let me love you
I know your trouble
Don't be afraid, girl let me help
Girl let me love you
And I will love you
Until you learn to love yourself
Girl let me love you
A heart of numbness, gets brought to life
I'll take you there
Namun untuk kesekian kalinya ia kembali mencabik hatiku dengan kasar ketika ia berdiri dari kursi dan beranjak pergi. Aku dengan hati penuh luka menatap punggungnya yang menghilang melewati pintu cafe.
Girl let me love you, baby
Girl let me love you
Let me love you, let me love you, baby
Girl let me love you
Girl let me love you, baby
Girl let me love you
Let me love you, girl let me love you, baby
Tidak mengerti kah ia, meski berkali-kali ia merobek perasaanku aku masih menghujaninya dengan pandangan kasih? Tidak mengertikah ia sekecewa apapun aku padanya, aku masih mencintainya? Ketika lagu berakhir, dentingan piano berakhir, aku masih terpaku pada kursi Raka yang kini kosong. Aku baru tersadar ketika Erga mendorong pinggangku, menuntunku turun dari panggung menuju meja kami.
"Kemana dia?" tanya si pemain piano ketika kami duduk.
"Pulang." ada nada kecewa yang terselip di dalam ucapanku.
Erga meraih tanganku, hanya menyentuhnya. "Sebaiknya kamu jangan berteman dengannya. Dia yang mengantarmu kan? Lihat, dia bahkan meninggalkamu begitu saja."
Benar, seharusnya aku tidak berteman dengannya. Tapi aku tidak tahu hubungan kami seperti apa. Kami sudah melakukan hal yang lebih, tapi bukan sepasang kekasih. Status teman pun aku sendiri tidak tahu. Mungkin hanya sebatas rekan tugas kelompok saja? Betapa menyedihkannya aku ini.
Aku hanya tersenyum pada Erga sebagai balasan. Pemuda itu meremas tanganku. "Kuantar kamu pulang."
"Tidak usah, Ga. Aku bias naik taksi."
Aku hendak menarik tanganku, tapi ia menahannya. "Aku memaksa." dan ia menyeretku keluar dari cafe setelah menegak lattenya sekali lagi.
---
Tidak ada pembicaraan kami selama perjalanan. Tapi bukannya mengantarku pulang, Erga membawaku ke beberapa tempat. Toko buku, distro langganannya, toko sepatu, hingga game center. Hanya jalan-jalan sebentar, katanya. Aku sih setuju-setuju saja. Setidaknya rasa kecewaku bisa berkurang, sedikit. Hingga ketika jam tanganku menunjukkan pukul 10, kami baru beranjak dari game center.
Aku memandunya hingga tiba di rumah. Aku terkejut ketika kulihat di depan pagar ada mobil yang familiar di sana. Mobil Raka. Apa yang dilakukan pemuda itu di rumahku? Mobil Erga berhenti. Aku berterima kasih padanya dan ia pergi, setelah melempar cengiran menawannya. Aku segera berjalan menuju pagar, mengabaikan eksistensi mobil Raka di depan pagar. Tapi itu sebelum suara pintu mobil itu terbuka. Aku buru-buru menghampiri pagar, berusaha menghindari pemuda itu. Namun gagal ketika ia sudah menahan tanganku.
"Kenapa baru pulang jam segini? Dari mana saja kamu?"
Aku menatapnya kesal. Ingin menendang pantatnya saat itu juga.
"Kan kamu yang pergi. Lagipula terserah aku mau ke mana kan?"
Skak mat! Ia tidak membalas perkataanku, hanya diam dengan tangan yang mencengkeram pergelangan tanganku. "Bisa lepas tanganku?"
"Tidak." Dan ia ia menyeretku ke mobilnya.
Penculikan! Aku nyaris teriak. Seharusnya aku ikut kelas beladiri atau fitness, jadi tidak perlu dengan pasrah diseret seperti ini. Ia mendorongku masuk ke kursi penumpang, membanting pintu mobil dengan kasar dan buru-buru mengitari depan mobil ke kursi pengemudi. Tanpa bicara sepatah katapun, ia melajukan mobilnya meninggalkan rumahku.
"Raka! Aku harus pulang. Ayah dan ibuku akan cemas kalau jam segini belum di rumah." Pemuda itu tidak menjawab, pandangannya masih lurus ke depan. Dan selama nyaris sepuluh menit aku berusaha membujuk dan memaksa Raka untuk memutar balik ke rumahku, yang ditanggapi olehnya dengan diam. Terpaksa aku menghubungi ibuku memberitahukan padanya bahwa aku akan pulang telat. Bersyukur karena beliau tidak bertanya macam-macam.
Untuk kedua kalinya aku di rumah Raka. Setelah pemuda itu memarkirkan mobil di halaman, ia kembali menyeretku ke dalam rumahnya yang megah. Melewati ruang tamu dan ruang tengah, menaiki tangga dan menyeretku masuk ke sebuah ruang tidur luas yang kuduga sebagai kamarnya.
Ia mendorongku masuk, membanting pintu. Ia meraih bahuku, mendorongku hingga membentur pintu kamar, dan tanpa peringatan meraup bibirku dalam ciuman yang kasar. "Tunggu..! Raka!" aku berusaha mendorongnya ketika ia melepaskan ciuman, berusaha melepas cengkeraman di kedua bahuku. Namun sia-sia ketika ia kembali menciumku. God!
Aku mengerang ketika ia menggigit bibir bawahku, membuatnya mampu mengakses rongga mulutnya, membawaku ke dalam ciuman yang lebih dalam dan panas. Saliva yang menyatu, lidah yang beradu. Ia terus melakukannya, mengurangi pasokan oksigen di paru-paru. Aku nyaris sesak napas, untungnya ia menarik bibirnya menjauh. Tapi hanya beberapa detik sebelum kembali menciumku. "Aku membutuhkanmu..." bisiknya di antara ciuman kami. "... malam ini."
Ciumannya yang panas dan bisikannya yang menggelitik hidung begitu menggoda. Jantungku berdegup begitu cepat. Ada rasa senang ketika tahu ia membutuhkanku. Tapi ada kecewa yang sama besarnya mengingat kejadian di cafe, dan mengingat ia membutuhkanku dalam hal seperti ini. Seolah aku hanyalah sex partner untuknya. Tapi ketika kutatap matanya yang menunjukkan begitu besarnya ia membutuhkanku, betapa mempesona dan tampannya ia, rasa kecewaku kututup rapat. Hanya untuk malam ini.
Aku meraih tengkuknya, dan meciumnya dengan ciuman yang dalam dan penuh gairah. Raka dengan seringai di wajah ia membalasnya, lalu menyeret kedua belah bibirnya ke leherku, menciumnya dan mengecupnya sepanjang garis leher, meninggalkan jejak basah yang hangat. Kedua tangannya telah menyusup masuk ke dalam kaus bajuku, menyentuhkan telapak tangannya di perut, dada hingga punggung meninggalkan sensasi menggelitik. Ia melepaskan bajuku dalam satu kali tarikan, dan kami kembali berciuman. Ia mengangkat kedua kakiku, membawanya hingga memeluk pinggangnya. Menggendongku ke tempat tidur selama kami berciuman panas.
Ia, bersama tubuhnya, menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Dan untuk kedua kalinya di malam minggu itu kami melakukan hal yang menurutnya adalah kesalahan.
Hal yang pertama kurasakan saat terbangun, bahkan saat mataku belum terbuka, adalah rasa sakit di pinggang dan punggung. Sama seperti rasa sakit yang kurasakan saat pertama kali kami melakukannya, dengan skala rasa sakit yang masih sama besar. Ini kedua kalinya, wajar jika masih terasa amat sakit bagiku. Saat membuka mata hal yang pertama kulihat adalah rambut Raka. Pemuda itu masih tertidur membelakangiku, masih terlihat jelas dengan napasnya yang teratur.
Aku menarik keluar tanganku dari selimut, dengan berhati-hati menyentuh ujung rambutnya. Yakin bahwa ia tidak terbangun dari tidurnya, kubenamkan jemariku di rambutnya, menyentuhkan setiap helaian rambut di kulit jemariku. Mengelusnya dan mengapit helaian rambut yang terperangkap di antara jemari. Aku melakukannya tidak begitu lama, hanya beberapa detik, dan kembali menarik tanganku. Kutatap punggungnya yang lebar dan kokoh, dan ada rasa senang dan sendu yang menyelinap di hati.
Terbangun di pagi hari dengan orang yang kamu cintai berbaring di sampingmu memberimu semangat untuk menjalani hari. Namun sayangnya, tidak bagiku. Dia ada di hadapanku saat pertama kali membuka mata. Aku mencintainya, namun tidak ada cinta untukku darinya. Meski kami melakukannya semalam, untuk kedua kalinya, namun tidak ada perasaan kasih di dalamnya. Hanya nafsu. Yang kutangkap darinya adalah aku dan dia hanya sebatas sex friend semata.
Aku bangkit, meringis menahan sakit yang tiba di pinggang. Menggeser tubuhku mendekati tubuhnya yang masih tertidur. Mencondongkan tubuhku ke arahnya dan mendekatkan wajahku ke pelipisnya. Wajahku berada dalam jarak yang amat dekat di wajahnya, bibirku hanya sesenti dari pelipisnya. Ingin kukatakan 'Aku mencintaimu' dan mencium pelipisnya penuh cinta. Namun kuurungkan niatku dan menarik wajahku menjauh. Aku tidak pantas melakukannya.
Kugeser tubuhku, berusaha bangkit dari tempat tidur dengan rasa ngilu yang menyiksa. Aku telanjang, dan pakaian tergeletak di beberapa tempat. Butuh waktu beberapa menit untukku memungut semua pakaian, baju dan pakaian dalam di samping tempat tidur dan celana di sudut ruangan, sebelum akhirnya aku berhasil menyeret tubuhku ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beruntung pakaianku bersih, tanpa setitik noda dari kegiatan kami semalam. Jadi aku tidak perlu membangunkan Raka dan meminjam pakaiannya. Tidak tega untuk mengusik tidurnya yang nyenyak, mengusik wajah damainya yang polos nan menggoda. Setelah bersih aku memutuskan untuk membuat coklat panas mengingat tenggorokanku terasa kering, dan butuh waktu nyaris sepuluh menit hanya untuk menuruni tangga. Tidak begitu terbiasa dengan sakit di pinggang.
Aku baru selesai membuat dua gelas coklat hangat untukku dan Raka. Berniat mengantarnya ke kamarnya, tapi nyaris menjatuhkan kedua gelas di tangan saat mendapati dirinya di ambang pintu dapur, menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan. Dan yang paling mengejutkan, dia hanya mengenakan boxer, dan dengan rambut yang acak-acakan, kuduga dia belum membersihkan diri. Aku bisa mencium samar-samar aroma tidurnya yang bercampur parfum dan aroma cinta. Memabukkan dan menggoda.
"Kau belum mandi?" itu kalimat pertama yang kukatakan, dan tidak ada jawaban darinya.
"Mandilah, coklat hangatnya kuletakkan di meja. Kubuatkan roti selai?"
"Ya" Raka berbalik pergi.
Aku menghela napas. Kuhampiri ruang makan, meletakkan kedua gelas di meja. Kuraih roti di meja, mengolesinya dengan selai kacang dan menaruhnya di piring kecil untuknya. Tepat ketika aku selesai dengan roti selai milikku, ia sudah berada di ruang makan dengan mengenakan pakaian rumah, kaus putih dan celana pendek selutut. Ia duduk di kursi setelah mengambil coklat hangatnya dan roti selai miliknya. Menggigit dan mengunyahnya. Ia menatapku dan membuka suara setelah menelan. "Untuk yang semalam--"
Aku nyaris tersedak oleh roti yang kukunyah. Haruskah ia selalu membahas apa yang kami lakukan semalam di pagi harinya? Aku segera menjawab sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "Aku tahu, aku mengerti. Kau tidak perlu khawatir." balasku terdengar santai. Namun nyatanya, butuh usaha yang besar untuk mengatakannya. Raka hanya diam, tidak membalas dengan ucapan apapun dan kembali menikmati roti selai miliknya. Aku menyeruput coklat hangatku dan kembali melanjutkan makan.
"Kau tidak mandi?" pertanyaannya nyaris membuatku menjatuhkan gelas dan piring yang kubawa ke bak cuci. Aku berbalik menatap sengit padanya setelah meletakkan piring dan gelas ke bak cuci dan kembali ke ruang makan.
"Mandi kok. Memangnya aku bau?"
Ia menyangga wajah dengan tangan di atas meja. Dalam pose santai ia membalas. "Gak. Tapi bajumu, Kau gak ganti baju?"
Aku berjalan melewatinya, keluar dari ruang makan dan menuju ruang tengah. "Memangnya siapa yang menyeretku kemari?" seruku.
Raka bangkit dari kursi, berjalan mengikutiku di belakang. "Kau kan bisa pakai bajuku."
Aku berbalik menatapnya kesal "Gak, terima kasih."
Kuhempaskan pantatku ke sofa ruang tengah, sofa yang menjadi saksi bisu pada kegiatan bercinta kami yang pertama, yang akhirnya kusesali karena rasanya sangat menyakitkan. Meski sofanya empuk, tapi pantatku merasa ngilu yang hebat. Dan tanpa bisa kutahan, aku mengaduh dan meringis menahan sakit. Tanpa kusadari Raka sudah berlutut di depanku, menggenggam kedua satu tanganku. Awalnya ia mencengkeram lembut, lalu mengelus telapak tanganku dengan jemarinya.
"Masih sakit?"
Haruskah ia bertanya? Dan kenapa pula dengan perlakuannya dan tatapan matanya itu? Aku senang dengan perlakuannya yang membuatku nyaman. Sentuhan dan perhatiannya. Tapi merasa jauh lebih sakit hati. Bisakah ia berhenti melakukannya, perhatian tanpa cinta? Tidak kah ia mengerti bahwa apa yang ia lakukan saat ini malah menambah goresan luka yang ia buat?
"Mungkin aku terlalu kasar semalam."
What the-!? Wajahku terasa panas oleh rasa malu. "Bisakah kita tidak membahasnya? Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Ini hanya sementara."
Raka menghembuskan napas lega. Ia bangkit dan duduk di sebelahku. Tangannya masih menggenggam tanganku, ibu jarinya masih mengelus punggungku, mengirimkan sensasi yang tenang dan nyaman. "Aku minta maaf."
Haruskan ia selalu meminta maaf? Aku tidak bisa menatap matanya saat ia tiap kali mengatakannya. Aku tidak bisa menolak segala pesona yang ia kirimkan. "Gak, gak apa." jawabku tanpa menatapnya.
"Bisakah kau bergeser sedikit? Aku butuh kenyamanan untuk pinggangku."
Ia menatapku sebentar, sebelum akhirnya menggeserkan tubuhnya menjauh dan melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Ada rasa menyesal namun kelegaan dalam dada. Kami diam dalam beberapa menit sebelum aku menyadari sesuatu. Aku belum menghubungi ayah dan ibuku. Ponselku ada di nakas di kamar Raka, dan aku malas untuk beranjak ke lantai dua. Pinggangku masih cukup sakit.
"Raka, aku ingin pulang."
"Tidak."
Aku berpaling padanya, dan menatapnya kesal. "Aku. Ingin. Pulang."
Ia membalas tatapanku dengan tatapan datarnya. "Aku bilang tidak, ya tidak."
"Bisakah kau tidak memancing emosiku? Ini bahkan masih pagi."
"Bisakah kau tidak selalu bersikap sesensitif dan seemosional ini? Kau bahkan tidak menstruasi."
Demi apapun, jika saja pinggangku sedang tidak sakit akibat ulahnya, sudah kupastikan kakiku mendarat dengan keras di wajahnya berkali-kali. Tidak tahukah ia kalau ucapannya selalu membuatku emosi? Aku menatapnya penuh amarah. Dan ia hanya tersenyum geli.
Ia tertawa pelan dan berkata "See? Aku hanya bercanda dan kau menganggapnya serius. Lucu sekali. Tenang saja, aku akan mengantarmu pulang. Tapi tidak pagi ini."
"Tapi aku ingin pulang."
"Lalu apa yang akan kau katakan pada ibumu jika ia bertanya 'apa yang terjadi denganmu' saat melihat caramu berjalan?"
Oke, Raka benar. Tidak mungkin aku--
"Tidak mungkin kan aku bilang pada ibumu kalau semalam kita bercinta dan paginya kamu begini?"
"Raka!" wajahku memanas karena malu. Bagaimana bisa dia selalu berbicara tanpa filter?
Dan pemuda tampan itu hanya tertawa geli.
Aku mendengus kesal dan membuang muka, bersedekap dan bersandar di pinggiran sofa, tidak meladeni tawanya yang menyinggung. Raka duduk bersila menghadapku, ia meraih satu tanganku dan menggenggamnya. Aku menatapnya masih kesal, namun tatapan kesal itu luntur tat kala ia tersenyum lembut dan berkata "Hei, aku hanya bercanda."
Dengan semburat merah di wajah, aku melempar pandang, berpura-pura kesal, dan berkata "Aku tahu", tanpa menarik tanganku yang digenggamnya.
Sikapnya, penolakannya membuatku pusing, tidak mengerti. Tapi bolehkan aku berharap bahwa ia mencintaiku? Meski aku tahu harapan ini adalah harapan kosong.
@tsu_no_yanyan makasih ya beib :-*
20 pesan dan 52 panggilan tidak terjawab dari Ibuku dan 10 pesan dan 12 panggilan tidak terjawab dari ayah, yang langsung membuatku menelan rasa bersalah. Saking serunya kegiatan semalam, aku lupa menyempatkan untuk menghubungi Ibu dan ayah untuk memberitahukan bahwa aku akan menginap di rumah Raka. Isi pesan keduanya nyaris sama, "Dimana? Kenapa belum pulang?" dan "Nak, kok belum pulang? Sudah tengah malam.". Lagi-lagi harus membuatku menelan rasa bersalah. Ada sedikit rasa senang mereka mengkhawatirkanku, meski kutahu orang tuaku keduanya agak cuekan, tapi setidaknya mereka peduli. Aku segera menelepon Ibu, meminta maaf karena membuatnya khawatir dan memberitahukan posisiku saat ini. Beliau menceramahiku singkat dan menyuruhku untuk segera pulang. Tapi karena kondisi pinggangku saat ini tidak memungkinkan, kuputuskan untuk pulang sore hari. Setidaknya ada kelegaan ketika beliau menyutujuinya.
2 pesan dan 10 panggilan tidak terjawab dari Erga. Kesemuanya masuk pagi tadi, kurang lebih jam 7 pagi. Saat itu aku sedang berada di lantai satu. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya aku disergap oleh rasa bersalah. Kubuka isi pesannya dan keduanya berbunyi "jongging yuk" dan "Aku di depan rumah kamu." Mataku nyaris melompat keluar saat melihat isi pesan kedua. Buru-buru aku menghubunginya. Hanya berselang satu suara panggilan, terdengar suara berat di seberang telepon berkata "Halo."
"Erga, maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu kamu ke rumah." cerocosku tanpa jeda.
"Gak apa. Kata ibumu kamu belum pulang. Beliau khawatir. Sudah kamu hubungi?"
"Sudah kok. Baru saja tadi."
"Baguslah. Aku sempat khawatir sewaktu ibumu bilang kalau kamu tidak ada kabar. Baru saja aku mau ke kantor polisi?" ucapnya yang dilanjutkan oleh tawa pelan.
Aku tertawa menimpali. Ada sensasi hangat yang menjalar dan menggelitik di dadaku. Ucapannya yang tenang, lembut dan diselipkan dengan nada khawatir dan canda tidak ayal membuatku tersenyum. Kehangatan itu menjalar hingga ke kedua pipi.
"Kenapa senyum-senyum?" Suara berat lainnya, bukan dari seberang telepon. Tapi dari Raka yang kini berdiri di samping sofa, menatapku dengan kedua alisnya yang mengernyit nyaris menyatu. Tampak lucu dengan rambutnya yang acak-acakan. Aku meletakkan telunjuk di bibir, sebagai isyarat padanya untuk diam.
"Sekarang kamu masih di rumah?" tanyaku, kembali memfokuskan diri pada ponsel, menghiraukan Raka yang mengangkat kedua kakiku. Ia duduk di sofa, dan kembali meletakkan kakiku di atas pahanya.
"Udah gak, lagi di jalan nih nyari makan. Tadinya mau ngajak jongging, tapi kamu lagi gak di rumah. Kamu nginap di mana?"
"Di rumah temen."
"Telpon siapa sih?" Raka kembali bersuara, menatapku intens dengan kedua pasang manik coklatnya yang berkilat oleh rasa penasaran. aku melotot padanya dan kembali meletakkan telunjukku di bibir untuk menyuruhnya diam. Raka mendengus sebal dan melempar pandang.
"Kapan pulangnya? Mau kujemput?"
"Sore. Gak usah, aku bisa nyuruh teman untuk anterin kok."
Tiba-tiba ada rasa sakit di betisku dan rasa ngilu kembali menjalar di pinggang hingga ke punggung ketika Raka memukul sisi pantatku berkali-kali tanpa perasaan, sementara satu tangannya yang lain mencengkeram betisku yang terlentang di atas pahanya. Dan tanpa daya, aku menjerit "AW--! RAKA!" dan si tersangka hanya menyeringai dan mendengus dan kembali melempar pandang. Haruskah ia selalu bersikap kasar?
"Raka?" Great! Sekarang Erga tahu aku menginap di mana. Sebenarnya sih aku bisa mengatakan sejak awal kalau aku menginap di rumah Raka, tapi mengingat hubungan mereka berdua sangat tidak baik, aku memutuskan untuk merahasiakannya. Dan sekarang karena ulah Raka yang tidak kumengerti, aku ketahuan. Seperti tertangkap basah. Nada suara Erga di seberang berubah. Terkejut lalu menjadi tegas dan menuntut. "Semalam kamu menginap di rumah Raka?"
"Err-- ya."
"Aku jemput."
"Tidak, tidak perlu. Aku--"
"Aku memaksa." Dan aku tahu aku tidak bisa menolak.
Aku menarik ponselku dari telinga ketika sambungan telepon diputuskan secara sepihak oleh Erga. Aku melemparkan tatapan penuh amarah pada Raka, yang dibalasnya dengan tatapan yang sama. Kuletakkan ponselku di meja dan berseru padanya dan mendesah pelan. Sepertinya mood Erga berubah buruk.
"Dari pacar gay mu?"
Dengan cepat aku melempar pandangku padanya, menangkap wajahnya dan pandangannya yang menghinda. "Sudah kubilang dia bukan pacarku."
"Tidak mau ngaku, ternyata. Ngaku ajalah."
"Astaga! Demi apapun dia bukan pacarku. Kami teman." Dan kenapa pula aku harus ngotot menjelaskan padanya? Aku dan Erga tidak memiliki hubungan apa-apa selain teman. Aku dan Raka juga begitu, kan? Meski aku berharap lebih padanya.
Pemuda tampan itu hanya mendengus dan dengan kasar mendorong kakiku dari atas pahanya hingga terjatuh dari sofa. Sekali lagi aku merintih oleh karena pergerakan tiba-tiba dari kakiku. "Aw! Kamu kenapa sih, tiba-tiba main pukul, main dorong gitu aja? Kamu kan tahu pinggangku masih sakit." ujarku meringis menahan ngilu, mengubah posisiku menjadi duduk bersandaran sandaran sofa.
"Iya, iya, aku minta maaf. Kau puas?" ucapnya tanpa menoleh sedikit pun padaku.
"Ya." singkat dan tidak peduli. Terserah Raka deh maunya bagaimana.
Kami terjebak dalam keheningan beberapa detik sebelum Raka berdiri dan berjalan pergi.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Mandi." jawabnya tanpa sedikit pun berniat untuk menoleh atau bahkan memutar punggunya untuk melihatku.
"Loh? Bukannya udah mandi?"
Jeda beberapa detik sebelum ia kembali menjawab dengan singkat. "Gerah." dan pemuda itu berlalu pergi menaiki tangga ke kamar. Aku hanya diam menatap punggungnya yang menjauh dan menghilang di belokan tangga. Aku sedikit tersentak saat mendengar suara bantingan pintu dari lantai atas.
"Terserah" dumelku, dan kembali menyandarkan punggung di sandaran tangan sofa dan menselonjorkan kaki di atas sofa. Menutup mata dan tertidur saat lelah menyergap.
Suara lembut itu menarikku dari mimpi kosong. Aku mengerang ketika kurasakan sentuhan di puncak kepala. Belaian lembut itu memberikan sensasi nyaman di tubuh. Aku mengerang, meregangkan tangan dan otot-otot tubuh. Aku terbangun dari tidur yang kurasa cuma sebentar karena tanpa mimpi, dan rasa sakit dipinggangku telah berkurang separuhnya. Mataku mengerjap, menyesuaikan pencahayaan. Lagi-lagi belaian lembut di rambut puncak kepalaku terasa nyaman. Aku memundurkan wajah, sedikit terkejut ketika wajah Raka tepat berada di depan wajahku. Ia berlutut di samping sofa dan tersenyum lembut, membuat sejuta kupu-kupu di perutku berterbangan liar.
"Raka? Ada apa?"
"Maaf aku membangunkanmu."
Kembali aku mengerang dan meregangkan otot. Aku bangkit dan duduk, masih dengan kaki yang kuselonjorkan di atas sofa. "Tidak apa-apa." jawabku melempar senyum padanya. Dia tampak tampan dan menawan. Rambutnya lebih rapi seperti telah disisir dibandingkan pagi tadi.
"Sudah siang, aku membelikan makanan untukmu." Ia menoleh ke belakang, mengambil sebuah mangkuk yang diletakkan di meja.
"Itu apa?"
"Bubur ayam."
"Kok bubur?"
Raka tidak membalas. Ia berdiri, mengangkat perlahan kedua kakiku. Ia duduk di sofa. Tadinya aku ingin menarik kakiku dan melipatnya, namun pemuda itu malah kembali menariknya, mleuruskan kakiku dan meletakkannya di atas pahanya. aku menatapnya bingung, dan ia hanya membalas dengan senyumnya yang menawan. Pipiku bersemu merah oleh malu.
"Untuk orang sakit harus makan bubur. Nah, buka mulut." Ia menyodorkan sesendok bubur ke mulutku.
"Astaga, aku kan cuma sakit pinggang. Lagipula aku bisa makan sendiri." Ia menarik tangannya yang memegang sendok ketika aku hendak meraihnya. Ia bersikeras untuk menyuapiku. Dan dengan terpaksa aku menerimanya, membuka mulutku dan mulai mengunyah pelan dan menelan.
"Aku minta maaf untuk yang tadi." ucapnya kembali menyuapiku.
"Kan tadi udah minta maaf." ucapku setelah menelan.
Pipiku masih terasa panas oleh sensasi malu, senang dan bahagia yang berpadu. Aku sangat menyukainya yang bersikap lembut seperti ini. Terkadang aku berpikir, bertanya pada diriku sendiri kenapa sikap Raka begitu tidak jelas padaku. Dia sering marah membuat emosiku selalu naik hingga ke ubun-ubun. Tapi sekalinya baik, dia bisa membuatku terbang hingga ke langit. Dan kedua sikapnya yang kontra itu membuatku tidak mengerti.
Kami terjebak dalam keheningan. Raka masih terus menyuapiku dengan senyum yang terukir di wajahnya. Dan aku masih terjebak dalam rasa euforia ku sendiri.
"Pinggangmu masih sakit?" dan lagi, nada khawatir itu kembali membuatku melambung.
"Sudah lebih baik."
Ia tersenyum.
"Tumben kamu bersikap baik?" kuputuskan untuk bertanya. Lidahku sudah terlalu gatal untuk mengeluarkannya.
Ia mengangkat sebelas alisnya. Satu ekspresi lucu yang kudapatkan darinya. Kenapa ia selalu tampak lucu dan menawan sekaligus? Apa itu kutukan ketampanan untuknya? Begitu tidak adilnya dunia. Dan ia tertawa pelan. Oh, sial. Tawanya begitu gurih menggoda.
"Memangnya kamu mau aku bersikap gimana? Jahat seperti ibu tiri cinderella." dan ia kembali tertawa
"Gak lucu. Aku serius, Raka." Tapi ia hanya tertawa.
Kembali ia menyuapiku yang kuterima dengan ogahan, mengingat ia masih terkekeh geli. Aku memundurkan wajah ketika tangannya ia arahkan ke wajahku. Ia dekatkan ke arah mulut. Ibu jarinya ia usapkan di sudut bibirku, tak ayal bisa kurasakan sentuhan hangatnya di bibirku, mengirimkan sensasi geli yang menjalar hingga ke kedua pipi. Tanpa kusadari aku menahan napas.
"Ada bubur di sudut bibirmu."
Aku baru bisa menghembuskan napas ketika ia kembali menarik tangannya. Namun aku nyaris saja mati jantungan ketika ia menjilati bubur di ibu jarinya yang ia usap di bibirku, yang entah mungkin karena mataku sedang rusak secara tiba-tiba, terlihat ia melakukannya dengan begitu sensual dan menggoda. Jantungku berdetak jauh lebih cepat. Wajahku secara otomatis memerah bagai kepiting rebus hingga ke ujung telinga.
Dan ia melemparkan senyum menggoda padaku.
Bunuh aku! Bunuh! Bunuh!
Aku? Tentu amat sangat bahagia. Mungkin ini yang disebut dengan terbang ke langit ke tujuh.
Raka, yang sedang duduk bersila di depan sofa, menolehkan pandang dari laptopnya, mengabaikan game zuma yang dimainkannya untuk memecah kebosanan. "Sudah tidak apa-apa?"
"Iya. Sungguh. Aku sudah tidak apa-apa." ucapku meyakinkannya.
Ia terdiam lama, sebelum akhirnya berdiri. "Ayo." Ia membungkuk padaku, hendak menyelipkan kedua tangannya di punggung dan belakang lutut. Buru-buru aku mendorong bahunya menjauh dan berseru padanya. "Tidak, tidak perlu. Kan sudah kubilang aku baik-baik saja." aku segera berdiri, menghiraukan nyeri ringan di pinggang. Yeah, sakitnya udah jauh lebih berkurang sekarang. Aku tidak berani menatap wajahnya, terlalu malu untuk memperlihatkan wajahku.
"Tunggu di sini, akan kuantar." belum sempat aku berbicara, Raka sudah berlalu pergi dengan langkah lebar ke kamarnya di lantai atas.
Hanya semenit ia sudah kembali dengan kaus hitam dan jeans biru. Ia meraih kunci mobil di meja dan berjalan ke arahku. Meraih bahuku dan mendorongnya pelan dan berhati-hati. "Ayo pergi."
"Tapi Raka, Erga akan menjemputku." ucapku ragu dengan suara yang pelan.
Saat itu pula aku menyesal mengatakannya, menyesal tidak mampu menolak ucapan mutlak Erga di telepon beberapa jam yang lalu. Langkahnya terhenti, dengan cepat ia menoleh padaku, dan menarik tangannya dari bahuku. Ia menampilkan raut wajah yang tidak ingin kulihat. Secepat itu pula aku menunduk. Matanya menyipit, alisnya mengernyit hingga terbentuk kerutan samar di keningnya. Ia memandangku tajam dan menusuk.
Aku bisa mendengar dengusan dan decakannya yang membuat hatiku terasa nyeri. Sikapnya berubah, keramahan dan kelembutannya menguap dalam sedetik. Ia berjalan menjauh, menghampiri pintu. Saat itu pula ponselku bergetar di saku celana. Aku meraihnya, menekan tombol terima tanpa melihatnya, karena aku tahu dari siapa. Kedua mataku terpaku pada Raka yang sudah membuka pintu dan sosoknya membeku di depan sana.
"Halo?" jawabku ragu.
"Aku sudah di depan." ucapan di seberang begitu cepat, dan saat itu pula sambungan telepon di matikan.
Kucengkeram erat ponsel yang masih menempel di telinga. Sosok Raka berbalik padaku, menatapku datar, tanpa ekspresi lembut yang selama berjam-jam lalu kuterima. Ulu hatiku terasa nyeri tiba-tiba bagai di hantam dengan palu. Aku menghampiri pintu tanpa melepas pandang dari Raka, begitu pula dirinya. Ketika aku sudah melewati pintu, aku bisa melihat Erga di depan pagar, mengangkat tangannya dan tersenyum padaku. Entah ada rasa kelegaan mengalir di tubuhku hingga aku membalasnya dengan senyum lega. Ada desiran aneh yang mengalir ketika senyum menawannya ditujukan padaku.
Aku berbalik menghadap Raka. Kali ini desiran aneh itu berganti menjadi rasa khawatir ketika melihat wajahnya. Pemuda itu berjalan melewatiku, aku mengikutinya dari belakang, berjalan dengan pelan dan agak tertatih, menuju pagar rumah. Pandanganku berpaling berkali-kali dari punggung Raka ke wajah Erga yang tak melepas senyum dari wajah. Erga menolak untuk melihat wajah Raka atau sosoknya sedikit pun. Kedua pasang manik cokelatnya tak lepas menatapku. Hingga untuk alasan yang tidak kuketahui, senyum di wajah Erga menghilang.
Tepat saat Raka menggeser pagar, membuka jalan untukku keluar, Erga meraih bahuku dan menarikku. Aku meringis ketika tiba-tiba kakiku harus menghentak tanah dengan kuat ke arahnya. Aku memandang Erga tidak mengerti, namun langsung kusesali ketika kulihat ia melotot padaku. Pandangan amarah itu untuk kedua kalinya tertangkap olehku. Pandangannya beralih ke Raka yang membuang muka. Dan untuk kesekian kalinya aku meringis ketika sebelah bahuku dicengkeram dengan kuat olehnya.
"Ayo." ucapan itu bernada datar. Tanpa melepas tangannya dari bahuku, ia menggiringku pelan ke dalam mobil. Aku sempat menoleh pada Raka yang bersandar di pagar, bersedekap dan menatapku datar. Sekali lagi hatiku terasa nyeri.
Mobil melaju dengan cepat meninggalkan rumah Raka. Pandangan Erga fokus ke depan, dan aku menunduk memainkan seatbelt dengan kedua tangan. Kami terjebak dalam keheningan yang menusuk. Hingga tiba-tiba saja sesuatu yang mengganjal terlintas di pikiranku. Aku menoleh pada Erga dengan cepat.
"Bagaimana kau tahu rumah Raka?" Ya, ini aneh. Aku belum menghubunginya, dan tiba-tiba saja dia menghubungiku bahwa ia sudah berada di depan rumah Raka. Kecuali--
"Aku kan sudah bilang kamu tidak usah berteman dengannya." suara berat bernada datar itu terdengar. Tidak menjawab pertanyaan yang kulemparkan padanya.
"Tapi kenapa? Memangnya kamu mengenal Raka?" to the point, aku tahu Erga berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Tapi kamu malah menginap di rumahnya." jawaban bernada kecewa itu sekali lagi tidak menjawab pertanyaanku padanya.
"Iya, tapi kenapa? Aku kan tidak bisa tidak berteman dengannya begitu saja? Harus ada alasan yang jelas dong." Aku menuntut. Aku harus tahu. Aku tidak bisa dikekang begitu saja olehnya, kan?
Namun diamnya Erga kembali tidak menjawab pertanyaanku. Aku membuang wajah darinya. Lelah dengan kekerasan kepalanya. Aku hanya bertanya. Aku butuh jawaban dan alasan atas keinginannya kan? Aku tidak ingin menjauh dari Raka hanya karena perintah tak beralasan itu, apalagi Raka pemuda yang kucinta.
Ketika kami terjebak dalam keheningan yang panjang, tiba-tiba kurasakan usapan dibahuku. Aku menoleh mendapati Erga masih menatap kedepan. Namun satu tangannya mengusap bahuku, beralih ke punggung. Mengirimkan sensasi menenangkan yang nyaman. Tanpa menoleh, ia berkata "Maaf, untuk saat ini aku tidak bisa cerita." dan ia kembali menarik tangannya, yang tanpa sadar membuatku merasa kecewa, ia kembali mencengkeram setir kemudi dengan kedua tangannya.
Aku hanya menjawab dengan gumaman "Hmm", dan kembali melempar pandang ke kaca jendela samping. Setidaknya aku tahu Erga dan Raka memiliki hubungan yang tidak kuketahui.
Aku melepas seatbelt ketika kami mencapai rumah semenit yang lalu. Aku tidak terburu-buru untuk turun dari mobil, menunggu hingga Erga membuka suara, berharap ia memiliki keinginan untuk menjelaskan padaku. Namun setelah semenit berlalu, aku tidak mendapatkannya.
"Aku minta maaf untuk yang tadi. Harusnya aku tidak berlaku seperti itu."
Aku menoleh padanya. Ada senyum kecil di wajahnya. "Tidak apa-apa." jawabku.
Erga mendengus lega. Tepat ketika aku hendak membuka pintu mobil, ia meraih tanganku, menahannya dan menggenggamnya lembut dengan satu tangannya. "Aku menyayangimu." Tiba-tiba saja pengakuan bernada lembut itu tertangkap oleh indera pendengaranku. Membuatku kepalaku menoleh dengan cepat padanya, dan membeku dalam pesona senyumannya yang menawan. Tubuhku tak bergerak, namun jantungku berdegup dengan cepat, nyaris melompat keluar. Aku masih bisa merasakan kehangatan genggaman tangannya di tanganku, membuat darahku berdesir hingga ke wajah dan membuatnya terasa hangat.
"Apa?" Aku bisa mendengarnya, namun terlau bodoh untuk mencernanya.
Semua terasa begitu lambat ketika aku melihatnya menarik napas dan menghembuskannya. Pandanganku terpaku pada kedua manik coklatnya yang memaku wajahku, memandangku dengan satu pandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Pandangan memuja yang membuat jantungku nyaris melompat keluar. Kedua mataku beralih ke belah bibirnya yang bergerak mengikuti setiap ucapannya. Dan sekali lagi aku mendengar kalimat dari mulutnya yang mengalun lembut. "Aku menyayangimu."
Tubuhku masih tidak bergerak. Mulutku terbuka dan tertutup beberapa kali, mencoba mengatakan sesuatu yang belum terpikirkan olehku. Secara tiba-tiba otakku kosong oleh segala sesuatu. Hanya kalimat 'Aku menyayangimu' yang berputar di sana dan berusaha tercerna. Mataku masih terpaku oleh tatapannya, hingga akhirnya ketika ia melepaskan tangannya dari tanganku, yang entah kenapa kembali membuatku kecewa, aku tersadar.
"Ma-maaf, aku--" aku berhasil menemukan suaraku, namun sialnya aku malah tergagap.
Erga mengelus lengan atasku dan tersenyum menenangkan. "Hei, tidak apa. Harusnya aku minta maaf karena tiba-tiba. Sepertinya waktunya kurang tepat, harusnya aku menunggu. Tapi sayangnya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya."
"T-tidak apa, tapi, kenapa aku?"
Ia hanya tersenyum dan mengangkat bahu. "Entahlah. Haruskah ada alasan untuk menyayangi seseorang?"
Ya, harus! Tapi aku tidak mengatakannya.
"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku tahu kamu kaget. Aku bisa menunggu hingga kamu siap." cengirannya yang menawan entah kenapa begitu kurindukan.
Aku hanya diam, tidak membalas apapun. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Jujur saja memang betul aku amat kaget. Ini pertama kalinya seseorang mengungkapkan perasaannya padaku. Menjawab pun, aku sendiri belum yakin. Aku ragu untuk menerima, tapi juga ragu untuk menolak. Ini dilema.
"Terima kasih sudah mengantarku." akhirnya aku kembali membuka suara setelah keheningan merajai untuk kesekian kalinya. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya yang juga menatapku.
"Apapun untukmu." nada suara lembutnya membuat tenang. Ia mendekatkan wajah, meraih belakang kepalaku dan mengecup keningku singkat. Membuatku kembali terpana, dan menggelitik perutku hingga ke dada. Ia tersenyum padaku.
"Te-terima kasih." sekali lagi, dan aku buru-buru turun dari mobil. Ia menurunkan kaca ketika pintu telah kututup.
Dari dalam ia berseru "Beristirahatlah, aku tahu kamu lelah." yang kubalas dengan anggukan
"Sampai bertemu dikampus" sambungnya, dan ia berlalu pergi. Meninggalkan jejak bunga yang merekah di dadaku.
Aku menutup wajah, mengerang frustasi akan sensasi perutku yang bergolak tiba-tiba.
Aku bukannya bodoh hingga tidak menyadari sepenuhnya apa yang tengah terjadi padaku. Aku menyadari betul akan sensasi ketika perutku digelitik oleh sayap kupu-kupu yang mengepak membuat darahku berdesir aneh dan terasa hangat. Aku menyadari sepenuhnya bahwa aku tertarik pada Erga, pada tingkah lakunya yang perhatian dan cengirannya yang menawan. Tapi aku juga menyadari bahwa aku masih sebatas tertarik padanya. Tidak seperti yang kurasakan pada Raka. Pemuda itu berhasil membuatku tenggelam dalam butterfly effect hanya dengan sekali pandang. Love at first sight, duh!
Aku frustasi, dilema, apapun namanya itu. Aku terjebak dalam perasaan yang harus kupilih. Aku bersyukur Erga mau menunggu jawabanku, karena aku sendiri tidak tahu ingin menjawab apa saat itu. Menerima pun, aku masih berharap pada Raka. Menolak pun, aku tidak ingin Erga pergi dariku. Betapa egoisnya aku ini.
Aku kembali mengerang, merasa letih akan beban pikiran dan perasaan ini. Aku berberaing menyamping ke kanan, memeluk guling dan memejamkan mata. Membiarkan rasa kantuk datang dengan sendirinya padaku dan membawaku ke alam mimpi yang melepaskanku dari gelisah.
Aku menyerah! Kantuk tidak kunjuk menumpuk di kelopak mata, dan mataku kembali terbuka lebar. Suara Erga dan wajah Raka yang tersenyum padaku itu malah terngiang di kepala, berganti dan berulang. Aku mengangkat guling, menutupi wajah dan berteriak kesal.
Raka, aku mencintainya, sungguh. Ia mampu membuatku menjadi sesatu yang tidak kumengerti, mangduk perutku dan mengirimkan sensasi aneh hingga jantungku mampu berhenti saat itu juga. Raka memiliki sifat tidak kumengerti. Ia mampu bersikap sangat lembut namun dapat menjadi sebaliknya, begitu emosional bagai banteng di arena. Ia satu-satunya yang mampu membuatku bertekuk lutut padanya meski aku berada dalam kekecewaan yang besar terhadapnya.
Erga memberiku perhatian yang luar biasa besar. Sikap, tutur kata, kelembutan dan keramahannya begitu mempesona. Wajah dan cengirannya yang menciptakan kedua lesung di pipi tampak begitu menawan. Ia mampu memberikan rasa nyaman, hingga kusadari bahwa ia mampu membuatku tertarik padanya.
Aku tidak tahu harus memilih siapa. Mengejar Raka atau menyerahkan diri pada Erga?
Layar ponselku di nakas berkedip dan bergetar. Aku meraihnya. Ada 1 pesan. Terkejut mendapati sebuah pesan dari Raka.
From: Raka
Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?
Aku mengigit bibir bawah, menahan senyum ketika jemariku dengan lincah membalasnya.
To: Raka
Sudah lebih baik.
From: Raka
Syukurlah
Aku nyaris menjerit bahagia. Perhatiannya yang tiba-tiba itu selalu membuatku berbunga-bunga.
To: Raka
Thanks.
From: Raka
Hm
Aku gelisah, bingung harus membalasnya dengan jawaban apa. Aku tidak ingin pesan ini berakhir begitu saja. Kuputuskan untuk berbasa-basi, bersikap lebih perhatian.
To: Raka
Kenapa belum tidur?
From: Raka
Belum ngantuk. Kamu kenapa belum tidur?
Aku hendak mengetikkan balasan ketika ponselku bergetar dan berkedip beberapa kali dengan cepat. Nama Erga muncul di layar dan tubuhku berdesir aneh. Agak ragu, namun kuputuskan untuk mengangkatnya. "Halo?"
"Hai. Kupikir kamu sudah tidur."
"Belum."
"Kok belum? Kan tadi sudah kusuruh istirahat."
"Aku udah gak capek kok. Cuma belum ngantuk aja."
"Hmm..."
Ada hening yang terjebak di antara sambungan telepon kami. Aku benci keheningan seperti ini, jadi aku memutuskan untuk kembali bersuara. "Ga, kenapa nelpon?"
"Gak, cuma kangen kamu kok."
Sukses wajahku terasa hangat. Kucengkeram guling yang kupeluk dengan keras entah karena kesal atau malu.
"Tapi, Ga--"
"Aku tahu, aku tahu. Aku berkata menunggu, bukan berarti aku harus berhenti, bukan? Akan kutunjukkan padamu bahwa aku mampu menggantikan sosok siapapun yang sedang mengganjal hatimu saat ini."
Aku memejam mata, tanganku mencengkeram ponsel dengan erat ketika jantungku tidak berpihak padaku dengan berpacu dengan cepat. Wajahku menjadi lebih hangat karena darahku yang mengalir lebih cepat. Aku terjebak di antara rasa bahagia dan takut. Aku bahagia karena tahu ada seseorang yang sedang berjuang untuk mendapatkanku, namun aku takut jika aku tidak akan mencintainya dan membunuh perasaannya.
Aku memutuskan untuk diam, takut jika apa yang akan keluar dari mulutku akan salah.
"Maaf, aku terlalu menekanmu. Tidak perlu kau pikirkan lagi. Tidurlah, kau harus beristirahat."
"Tidak, tidak apa-apa. Aku belum ngantuk kok."
"Oke, aku akan menemanimu hingga kau tertidur." bibirku tergoda untuk tertarik menjadi sebuah senyuman saat itu juga. Ia kembali berkata "Jadi mau membahas apa?"
Kami mengobrol banyak hal, seolah kami tidak bertemu dalam waktu yang sangat lama. Musik yang menarik baginya dan bagiku, film, hobi dan hal-hal remeh lainnya. Bersyukur jadwal kuliah esok adalah siang, aku tidak perlu khawatir untuk terlambat bangun. Aku terus berbicara hingga tanpa sadar aku menguap saat jam menunjukkan nyaris pukul 4 pagi. Erga yang menyadarinya berhenti di tengah ucapannya.
"Kamu mengantuk? Tidurlah."
Aku mengangguk dan selanjutnya menggumam "Hmm" karena menyadari bahwa ia tidak akan melihat anggukanku.
"Sampai bertemu di kampus."
"Ya."
Dan saat itu, ketika merasakan lelah di kepala dan bahu, aku tertidur begitu saja dengan ponsel yang masih melekat di telinga, tanpa menyadari ada 3 pesan masuk yang belum terbaca.
Di kampus, sialnya, dosen yang mengajar membatalkan perkuliahan. Aku memutuskan untuk beranjak pergi ke perpustakaan untuk tidur sejenak, menunggu kuliah sore. Menolak ajakan Derri untuk ke kantin fakultas sebelah. Seperti biasa, sahabat dekatku itu hobi melihat mahasiswi fakultas sebelah yang harus kuakui cukup menggoda iman, namun tidak berlaku untukku.
Namun keinginanku untuk secepatnya terbang dialam mimpi tertunda saat tanganku ditarik dengan paksa oleh Raka ketika keluar dari kelas. Pemuda yang selalu mempesona itu menyeretku pergi memutar gedung, ke koridor yang sepi. Dia... tidak bermaksud melakukannya di sini kan? Di koridor fakultas? Sekarang? Aku menelan ludah gugup.
"Raka." Aku memanggil namanya, dan ia berhenti. Wajahnya ia pandangkan ke kiri kanan. Ia berbalik dan melepas genggamannya di pergelangan tanganku. Ada bekas merah di sana karena tergenggam dengan erat. Kami berdiri berhadapan di tengah koridor yang sepi.
"Kamu tidak membalas pesanku semalam."
Aku melirik kiri kanan, mencari alasan yang tepat, mengingat 3 pesan dari Raka yang kubaca saat terbangun. "Aku ketiduran."
"Kau bohong."
"Aku tidak--"
"Aku menghubungi setelah itu dan ternyata nomormu sibuk. Kau menelepon seseorang semalam."
Dadaku tergelitik oleh sensasi senang ketika mendengarnya. Raka menghubungiku karena pesannya tidak kubalas, betapa manisnya itu.
"Err, sebenarnya ya."
"Dengan siapa?"
Lagi-lagi aku melempar lirikan ke arah lain, menolak tatapannya yang menghujam wajahku. Aku tergagap, berniat menjawab, namun pemuda itu lebi dahulu berbicara. "Tidak perlu dijawab. Aku sudah tahu. Pacar gay mu itu, kan?"
"Kan sudah kubilang kami tidak pacaran." tekanku. Ada rasa malu dan sesal yang tidak kumengerti ketika mengatakannya. Berapa kali lagi harus kukatakan padanya? Betapa tidak mengertinya ia.
"Dusta! Kau pikir aku buta?" suaranya yang tegas menghentakku.
Nyaliku menciut dalam sedetik. Namun aku tahu aku tidak boleh kalah darinya. Raka tidak bisa seenaknya bersikap seperti ini padaku. "Sudah kukatakan, bukan? Kami teman. Harus berapa kali kukatakan padamu agar mengerti? Kenapa sih, kamu selalu bersikap seperti ini?" aku menjerti padanya untuk pertama kali. Untungnya kami berada di koridor kosong. Tidak akan ada yang mendengar obrolan kami.
"Karena apa yang kulihat tidak seperti yang kamu katakan. Jangan membodohiku." Dan akhirnya kami saling berteriak.
Napasku memburu, bahuku bergerak naik turun dengan cepat karena amarah. Tanganku terkepal erat ingin melayangkan satu, tidak, tiga pukulan ke wajahnya. Kenapa Raka tidak pernah mengerti bahwa aku memiliki harapan yang besar padanya? Bahwa aku merasa sakit hati saat ia menuduhku yang bukan-bukan. Namun saat itu juga kepalan tanganku melemas. Bahu dan dadaku mulai turun, bernapas dengan normal. Kemudian terhenti sejenak dan mataku membulat menyadari satu hubungan yang jelas dari segala tingkah, ucapan dan tuduhannya selama ini.
"Kau... cemburu?" bisikku menduga yang bisa dengan jelas di dengar olehnya. Ada nada terkejut dan bahagia di sana.
Kutatap matanya yang mendadak kosong untuk sedetik, dan kemudian bergerak gelisah ke kiri kanan, atas dan bawah, seolah mencari sesuatu yang penting. Sesuatu seperti perlindungan. Namun tatapan itu kembali fokus padaku, menatapku dengan tajam. "Aku tidak cemburu" desisnya.
"Kau ... tidak?" Aku tidak percaya.
"Tentu saja, memangnya aku sudi memiliki rasa untukmu?"
Dadaku tertohok dengan keras. Aku melangkah mundur perlahan, bibirku bergetar samar. "Lalu... yang sudah kita lakukan?"
"Itu hanya nafsu. Kau pikir untuk apa aku melakukannya dengan pemuda sepertimu?"
Aku terdiam, mencerna setiap kata dalam kalimat yang diucapkannya. Saat itu pula ulu hatiku dihantam dengan keras oleh kenyataan. Aku menggigit bibir bawahku yang sejak tadi telah bergetar, hingga kurasakan rasa anyir dari darah. Bibirku kugigit begitu kuat hingga akhirnya sobek. Dalam satu kalimat yang meluncur dari bibirnya itu, hatiku telah diremuk dengan kasar, dan dibakar hingga menjadi abu.
Pemuas nafsu? Sudah kusadari sejak dulu, namun mendengar langsung dari mulutnya, rasanya tidak begitu manusiawi. Pengharapanku yang begitu tinggi padanya retak dan runtuh. Hancur menjadi serpihan.
"Begitukah?" bisikku tanpa menyembunyikan rasa kecewa. Pelupuk mataku terasa panas oleh genangan air mata yang akan mengalir. Aku menahannya agar tidak terjatuh, menyisakan rasa perih.
Aku tidak mendapat jawaban, namun tatapannya yang berubah aneh. Ia melotot padaku akan sesuatu yang tidak kumengerti, lalu beralih menjadi pandangan- bolehkah aku berharap itu sebagai tatapan kecewa?
Ia mendekat. "Dengar..." suaranya menjadi lebih rendah penuh belas kasih.
Namun aku denagn cepat membentuk tamengku, aku melangkah mundur. "Jika memang seperti itu, maka kuharap hubungan kita..." aku tercekat. Ternggorokanku terasa kering oleh kepedihan. Kusadari bahwa hubungan kami bahkan tidak lebih dari teman tugas kelompok. Aku menelan ludah, membasahi kerongkonganku yang kering dengan kepahitan yang nyata. "...maksudku, anggap kita tidak pernah berhubungan sama sekali."
"Kubilang dengarkan aku dulu." serunya.
Aku menutup mata, menggelengkan kepala, menolak permintaannya. Tidak, aku tidak ingin mendengar yang lebih menyakitkan dari ini. Sudah cukup rasa sakit yang kuterima selama bersamanya.
"Tidak, tidak. Sudah selesai, tidak ada yang perlu kudengarkan lagi." putusku.
Aku melangkah mundur, berbalik pergi. Namun Raka kembali meraih tanganku, mencengkeramnya erat, menarikku hingga aku kembali berbalik. "Kita belum selesai bicara!" teriaknya.
Lagi-lagi aku tersentak oleh bentakan amarahnya. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing oleh tekanan darahku yang meninggi. "Lepas." desisku.
"Tidak sebelum kau mendengarkanku." tuntutnya.
Namun kedua tangan kami ditarik paksa ke arah terpisah hingga genggaman Raka terlepas. Bahuku ditarik dengan cepat, dan punggungku menubruk tubuh seseorang. Sosok itu bergerak ke depan, melindungiku di balik punggungnya.
"Dia memintamu melepaskannya, kan?" suara tegas itu, suara Erga. Dan saat itu pula aku bisa merasakan rasa aman membalut tubuhku.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Menyingkir." suara Raka tegas dan menusuk.
"Jika kau berurusan dengannya, kau berurusan denganku juga. Aku tidak akan biarkan kau menyentuhnya."
"Kau mengajakku berkelahi?"
"Jika kau berani."
Aku mendekatkan diri pada punggung Erga, mencengkeram kemeja biru gelapnya dengan kedua tangan, menyandarkan keningku di pundak lebarnya. "Erga, jangan." Aku tidak bisa melibatkan Erga dalam kekacauan emosi yang aku dan Raka ciptakan. Aku mengangkat wajah, menatap kecewa pada Raka yang memandang penuh amarah. Kusembunyikan wajahku dibalik pundak Erga. Bukan berarti aku takut pada amarahnya, tapi karena aku muak untuk tenggelam dalam pesonanya.
"Raka, ini sudah selesai, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
"Tapi-"
"Sudah selesai." Tegasku, menolak menatap wajahnya, dan Raka diam tidak menjawab. Aku beralih pada Erga. "Ayo pergi." Bisikku. Pemuda itu menoleh padaku. Ia berbalik, meraih bahuku dan menggiringku pergi. Aku merasa lebih aman dengan kedua telapak tangannya di kedua bahuku.
"Kau tidak apa-apa? Baik-baik saja?" tanyanya ketika kami telah berbelok di ujung koridor dan berhenti sejenak. Ia menatapku khawatir. Aku tersenyum bahagia, senang dengan perhatiannya, dan tidak mengungkit apa yang tengah terjadi di antara aku dan Erga. Kedua manik cokelatnya menyapu wajahku, memandangku dengan penuh khawatir. Jemarinya terangkat, menyentuh sekitar bibirku yang terluka. "Bibirmu terluka. Apa dia memukulmu?"
Aku tertawa pelan untuk menahan ringisan. "Tidak, tidak apa. Aku tidak sengaja menggigitnya tadi." Erga diam, masih menatapku untuk beberapa saat sebelum kami kembali melanjutkan langkah.
"Ga, kenapa kamu di gedung fakultasku?" tanyaku saat menuruni tangga ke lantai satu. Erga masih di sampingku. Satu tangannya berada di belakangku, menuntunku. Seolah takut aku akan ambruk begitu saja.
"Aku mencarimu, mengajak makan di kantin."
"Emm, tapi aku sedang tidak ingin makan."
"Lalu? Kau mau ke mana? Kutemani."
"Ke perpustakaan saja, aku ingin istirahat di sana."
"Oke."
Kami ke gedung perpustakaan. Erga sedikit pun tidak berpindah dari sampingku. Tanpa rangkulan, hanya sentuhan-sentuhan tidak sengaja antara bahu atau lengan kami. Terkadang ia menuntunku dengan mendorong bahuku ketika secara tiba-tiba fokusku menghilang, menyentuhku dengan hati-hati bagai kaca yang rapuh. Kehangatan telapak tangannya di bahukulah yang menuntun kesadaranku kembali ke permukaan.
Di perpustakaan kami memutuskan duduk sudut ruangan yang sepi, tanpa niat duduk di kursi yang menghalangi sosok kami, memutuskan bersandar di tembok adalah hal yang nyaman saat ini. Tidak berminat membaca sebuah buku, aku memasang earphone di telinga, memutar musik dari ponsel. Dan suara Chirstina Perri mengalun di telinga. Menenggelamkanku dalam sensasi kekecewaan, patah hati, dan kesedihan.
I can hold my breath
I can bite my tongue
I can stay awake for days
If that's what you want
Be your number one
I can fake a smile
I can force a laugh
I can dance and play the part
If that's what you ask
Give you all I am
I can do it
I can do it
I can do it
But I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
'Cause I'm only human
"Lagi dengar apa sih? Bagi dong." Erga yang duduk di sebelah kiri menarik earphone di telinga kiriku dan menaruhnya di telinga kanannya. Ia mendengarnya sesaat, sebelum melepasnya dan menatap wajahku sendu. Yang kulakukan hanyalah menunduk dan mencengkeram erat ponselku
"Hei, jangan terlalu dipikirkan." ucapnya lembut. perlahan ia meraih ponselku, melepas cengkeramanku, dan mencari lagu lainnya. Aku memindahkan earphone di telinga kanan. Dan saat itu pula penyanyi dengan suara yang khas mengalun di telingaku. Aku tahu lagu ini. Aku menoleh cepat pada Erga, memandang kaget pada pilihan lagunya. Pemuda itu hanya tersenyum lembut padaku. Sepasang matanya memaku kedua mataku. Aku menunduk, dan satu tangannya kini menggenggam dengan lembut tanganku, menautkan jemariku di antara jemarinya yang membuatku nyaman. Membuat wajahku terasa begitu hangat, dan sejenak masalahku terlupakan.
Adele, Make You Feel My Love, mengalun di telingaku.
When the rain is blowing in your face,
And the whole world is on your case,
I could offer you a warm embrace
To make you feel my love.
When the evening shadows and the stars appear,
And there is no one there to dry your tears,
I could hold you for a million years
To make you feel my love.
I know you haven't made your mind up yet,
But I will never do you wrong.
I've known it from the moment that we met,
No doubt in my mind where you belong.
I'd go hungry; I'd go black and blue,
And I'd go crawling down the avenue.
No, there's nothing that I wouldn't do
To make you feel my love.
The storms are raging on the rolling sea
And on the highway of regret.
The winds of change are blowing wild and free,
You ain't seen nothing like me yet.
I could make you happy, make your dreams come true.
Nothing that I wouldn't do.
Go to the ends of the Earth for you,
To make you feel my love
To make you feel my love
Di kelas aku berusaha menghindari Raka sebisa mungkin. Aku menolak menatap dirinya sekalipun. Ketika tanpa sengaja mata kami beradu, aku segera membuang muka. Beberapa kali ia mencoba untuk berbicara padaku, namun dengan lihainya aku menghindar. Berpura konsentrasi mendengar penjelasan dosen, berpura-pura mengerjakan sesuatu, atau berbicara pada Derri. Aku menolak untuk terjebak lagi dalam pesonanya yang malah kali ini membuatku muak pada diriku sendiri.
Ketika kelas telah selesai, aku segera bergegas pergi. Aku melangkah lebar, ketika mendengar Raka menyerukan namaku. Kudengar suara langkah tergesa di belakangku dan aku semakin mempercepat langkah. Melompati beberapa anak tangga sekaligus untuk menjauh sejauh-jauhnya dari Raka. Beruntung Erga berada di ambang tangga. Pemuda itu dapat kujadikan tameng. Aku meraih tangannya dan menyeretnya untuk segera pergi.
Aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah setelah berpisah dari Erga di parkiran. Itupun setelah menyuruhnya pergi setelah menjelaskan dengan susah payah bahwa 'aku baik-baik saja' karena pemuda itu tidak henti bertanya 'apakah kamu baik-baik saja?' padaku. Di rumah aku langsung mengunci diri di kamar. Membaringkan tubuh, pikiran dan hati yang terasa lelah. Aku memandang langit-langit kamar, namun fokusku melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Pandangan menghina dan nada mencemooh menghujamku dengan kasar. Dan sekali lagi kesedihan dan kekecewaan merayapi setiap jengkal kulitku.
Aku meraih ponsel, membuka kotak pesan dan membaca dengan rasa perih yang menyelinap di dada, setiap pesan dari Raka dari yang biasa hingga yang penuh perhatian. Aku menghapusnya setiap kali telah membacanya. Lalu kubuka daftar kontak, membuka nama kontak Raka. Jariku telah berada di icon tempat sampah, namun tidak menyentuhnya. Jariku bergetar, tak mampu kugerakkan. Pikiranku terus berteriak 'Hapus!' namun tubuhku menolak.
Akhirnya aku menyerah pada tubuhku, kuputuskan untuk menghapusnya nanti setelah perasaanku menjadi lebih tenang. Aku menutup kedua mata yang terasa basah dengan telapak tangan. Air mataku menggenang di pelupuk, namun tak mampu untuk mengalir. Aku mengerang oleh perih. Ingin berteriak keras dan melepaskan seluruh amarahku pada Raka saat ini juga. Namun apa daya, untuk menghapus kontaknya saja aku tak mampu.
Aku nyaris menangis jika saja ketukan di pintu kamar tidak terdengar. Suara ibu terdengar samar di luar, memanggil namaku. Buru-buru aku mengelap mataku yang basah, menarik napas untuk memperoleh ketenangan. Setelah merasa tenang, aku bergegas membuka pintu. Ibuku berdiri di depan kamar dengan pakaian luar, seperti akan berangkat entah kemana.
"Ibu akan pergi ke kampung selama seminggu. Nenekmu sakit."
Aku hanya mengangguk. Ibuku diam cukup lama, mengamati wajahku.
"Kamu habis nangis?"
Aku terkejut betapa mudahnya ia mampu menebak, mungkin dari mataku yang memerah? Aku menggeleng. "Aku hanya ngantuk." dan ibuku hanya mengangguk mengerti.
"Berangkatnya kapan?" tanyaku.
Ibuku berjalan pergi setelah berkata "Sekarang." dan aku mengikutinya di belakang.
Kami berhenti di luar pagar. Ayahku sedang memasukkan sebuah koper ke dalam bagasi. Ibu sedang memastikan beberapa barang di dalam mobil, lalu kembali kepadaku. Ia menatapku sejenak. "Kamu baik-baik saja di rumah, kan?" Aku mengangguk sebagai jawaban. "Kamu bisa mengajak temanmu, Derri kalau kamu kesepian di rumah." sekali lagi aku mengangguk. Ibuku memang mengenal Derri.
Ia meraih wajahku, menangkupnya dan menciumi kedua pipiku. Ia memelukku erat dan berbisik "Baik-baik ya di rumah." yang kujawab dengan singkat "Ya." Aku menutup mata, menikmati kehangatan dari pelukan yang diberikan oleh Ibu. Rasanya begitu nyaman hingga kesedihan dan kekecewaanku terpendam sejenak. Sudah berapa lama aku tidak memeluknya? Beberapa tahun, mungkin, semenjak aku telah memproklamasikan diriku bahwa aku telah dewasa. Betapa bodohnya aku, nyatanya aku membutuhkan pelukan ibuku saat ini. Bukan dengan melepas amarah yang membuat ku tenang. Hanya satu pelukan seperti ini lah yang mampu membuatku nyaman dan tenang. Aku mempererat pelukanku pada Ibu.
"Kalau seperti itu, kamu bisa mematahkan tulang ibumu." suara ayahku terdengar, lalu ia tertawa.
Ibuku melepas pelukan yang membuatku merasa agak kecewa, lalu ia tertawa. Ayahku memelukku singkat dan menepuk bahuku. Memberiku beberapa wejangan sebelum ia dan ibu masuk ke dalam mobil. Aku melambaikan tangan pada mobil yang kini melaju pergi dan menjauh. Ketika tak lagi melihatnya, aku kembali ke dalam rumah dan kembali berbaring di kamar. Aku tertidur tanpa sadar akibat rasa lelah.
Esoknya aku terbangun dengan setumpuk rasa malas. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi, yang artinya aku sudah melewatkan satu kuliah pagi. Dan dalam sekejap aku memutuskan untuk membolos kuliah sehari. Lagipula aku malas bertemu Raka saat ini. Aku meregangkan otot-ototku yang anehnya terasa letih ketika ponselku bergetar dan berkedip dengan cepat. Masih dalam keadaan baring, aku berguling ke samping dan meraih ponsel di nakas. Ada nama Erga di layar ponsel. Aku segera menerima panggilan itu.
"Halo?"
"Halo, kata Derri kamu tidak masuk kuliah pagi?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Gak kenapa-kenapa kok."
Aku tahu Erga merasa dongkol dengan jawabanku. "Kamu di mana sekarang?"
"Di rumah."
"Aku mampir ke rumah kamu, boleh?"
"Ya," ketika rasa nyeri menyerang perut, aku menambahkan. "Ga, aku lapar."
Dan terdengar suara tawa keras dari seberang. "Manja amat sih."godanya, sukses membuat wajahku terasa panas oleh malu. "Kamu belum makan?"
"Belum."
"Kok Belum?"
"Baru bangun."
"Kok baru bangun?"
"Kamu mau ke rumahku atau tidak sih?" dan sekarang aku yang dongkol.
Sekali lagi suara tawa di seberang terdengar. "Galak amat sih, lagi dapet ya?" godanya lagi
"Erga!" kalau saja dia sedang di hadapanku saat ini, kupastikan ponselku mendarat di wajahnya dengan keras.
"Maaf, maaf" ucapnya di sela tawa. "Mau kubawain apa?"
"Nasi pecel."
"Siap, tuan putri." dan sambungan telepon di matikan oleh Erga ketika aku nyaris meneriakinya. yang terakhir kudengar adalah suara tawanya. Aku menghelan napas, dan sudut bibirku membentuk lengkung senyum.
Setelah itu aku membuka kotak pesan, ada satu pesan dari Raka. Melihat namanya membuat dadaku ngilu. 'Kita harus bicara', begitu isinya. Hatiku terasa perih membaca ketiga kata itu. Apa lagi yang harus dibicarakan? Mencemoohku lagi kah? Aku mengabaikan dan menghapus pesannya. Aku kembali meletakkan ponsel di nakas. bangkit dari tidur, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tepat setelah aku mengenakan pakaian, kaos hitam dan jeans biru gelap, suara bel rumah berbunyi. Pasti Erga, tebakku. Dan betul saja, ketika aku membuka pintu, pemuda itu berdiri dengan satu tangan yang mengangkat kantung plastik hitam. Ia mengenakan jeans biru gelap, kemeja polos biru muda yang pas dibadan dengan lengan yang tergulung hingga siku. Tidak lupa dengan cengirannya yang menawan. Jujur, saja aku selalu rindu dengan cengirannya itu.
"Terima kasih." ucapku, mengambil kantung plastik hitam itu. Aku melangkah ke dapur setelah menyuruhnya masuk. Ia mengikutiku di belakang.
"Orang tuamu mana?"
"Keluar kota seminggu." Aku meletakkan nasi pecel di piring, duduk di hadapannya dan melahapnya dengan rakus.
Erga meraih kursi dan duduk di sebelahku. Sikunya ia letakkan di meja, menopang wajah menghadapku. "Kamu gak apa tinggal sendiri."
Aku meletakkan sendok dengan kesal, menatapnya dengan alis mengernyit. "Astaga, Erga. Aku sudah bukan anak kecil. Umurku bahkan sudah kepala dua. Lagipula Ibu juga menyuruhku untuk memanggil Derri."
"Kok Derri?"
Aku kembali menatapnya, merasa aneh dengan tatapannya. Namun kemudian aku tidak peduli, lebih peduli pada perutku saat ini. Akhirnya tidak ada komunikasi di antara kami sementara aku menikmati makanku.
Kami duduk di satu sofa panjang, bersebelahan sambil menyaksikan acara musik di TV. Tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku bergegas ke kamar, meraih ponsel dan kembali turun ke bawah, duduk di sebelah Erga.
"Erga."
Erga mengecilkan suara TV dan menoleh padaku. "Ya?"
Aku menunduk, menatap layar gelap ponselku yang kucengkeram erat. Aku membuka ponsel, membuka daftar kontak dan mencari nama Raka. Aku menyerahkan ponselku pada Erga. Pemuda itu menerimanya. Ia melihat ponsel, wajahku dan ponsel, terus begitu, bergantian beberapa kali. Ia menatapku bingung.
"Apa maksudnya ini?" Ada amarah yang tipis di sana.
"Aku ingin kamu menghapus nama Raka dari ponselku."
Karena aku tidak mampu melakukannya.
Ia mengangkat kedua alisnya, untuk sedetik terdiam. Namun fokus beralih ke ponselku. Aku menolak melihat ponselku. Pandanganku kufokuskan pada wajah Erga. Hanya butuh dua detik, ponsel itu kini kembali ke tanganku. Aku meletakkannya di meja. Kuhembuskan napas kelegaan yang panjang.
Kami sudah kembali ke situasi semula. Pandanganku ke layar TV, namun fokusku tidak. Aku sibuk memikirkan sesuatu, sebuah pilihan yang melibatkan perasaan. Banyak pertimbangan, baik dan buruknya, semuanya, kupikirkan. Namun akhirnya keputusan akhir yang menentukan perasaanku kedepannya telah kubuat dalam waktu yang singkat, berharap keputusan ini tidak membuatku terpuruk lebih dalam.
"Erga." aku menoleh padanya.
"Ya?" ia mengecilkan suara TV dan menatapku.
Aku menunduk, menatapi jemariku yang saling bertautan. Dapat kurasakan telapak tanganku yang berkeringat. darahku berdesir, perlahan ritme degupan jantungku bertambah.
"Kau tidak perlu menunggu lebih lama lagi." aku menelan ludah gugup saat mengatakannya. Aku mengangkat wajah, menatap ke dalam manik coklatnya yang kini menatapku terkejut, mengerti akan maksud perkataanku. Mengerti akan maksud pandangan kasih yang kulemparkan padanya.
Untuk beberapa detik ia terdiam, namun dengan segera ia merengkuhku, memelukku dengan cinta. Ia menenggelamkan wajah di perpotongan leherku, dan aku menghirup aroma parfumnya yang nantinya akan lebih sering kuhirup. Ia berbisik "terima kasih" di telingaku.
Aku telah menerimanya. Menerima kasihnya.
Ia menarik diri, melepas pelukannya. Kami terdiam saling menatap. Hanya sebentar karena selanjutnya Erga mendaratkan kecupan di kening, hidung dan kedua pipi. Terus ia lakukan, menciumi seluruh wajahku dengan pelan dan berhati-hati, menghujaninya dengan penuh kasih, membisikkan "Aku menyayangimu" di sela ciumannya. Aku tidak mempermasalahkannya, karena ia tidak menuntuk lebih. Ia bahkan tidak menyentuh bibirku sekalipun, namun anehnya aku menyukainya.
Samar-samar aku mendengar suara Rihanna dari TV.
Yellow diamonds in the light
And we’re standing side by side
As your shadow crosses mine
What it takes to come alive
It’s the way I’m feeling I just can’t deny
But I’ve gotta let it go
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
Shine a light through an open door
Love and life I will divide
Turn away cause I need you more
Feel the heartbeat in my mind
It’s the way I’m feeling I just can’t deny
But I’ve gotta let it go
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
Yellow diamonds in the light
And we’re standing side by side
As your shadow crosses mine…
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place
We found love in a hopeless place