It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@cevans ini cerita Recomended bgt dah
lanjutkan >:D<
but, bahasanya enak bener dibaca. santun. membuatku serasa di keluarga ningrat. hihi
---
"Kamu baik-baik saja?"
Aku tersentak, terbangun dari lamunan. Aku mendongak dan terkejut mendapati Raka sudah berdiri di depan kursiku, menatapku khawatir. Bagaimana tidak? Aku mengambil kelas yang berbeda dari pemuda itu di semester ini, berpisah darinya untuk menghilangkan kenangannya dariku. Keputusan yang berat mengingat aku juga berpisah dari Derri, sahabatku. Dan mendapati Raka kini tengah di kelasku, adalah sesuatu yang mengejutkan. Aku mengedarkan pandang, mendapati kelas yang tengah kosong. Menyadari bahwa selama dua setengah jam aku telah menghabiskan waktu dengan melamun di kelas. Aku tersenyum padanya sebagai sapaan, membereskan peralatanku ke dalam tas sambil berucap "Aku baik-baik saja."
"Tidak, kamu tidak baik-baik saja."
Aku membeku sedetik, menyadari bahwa ia telah membacaku dengan tepat. Aku memutuskan untuk menghiraukannya. Menyampirkan tas di bahu dan beranjak. Namun Raka menahan sikuku.
"Kamu tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu." pemuda itu ngotot.
Aku menghela napas dan menoleh padanya. "Ya, aku tidak sedang baik. Kau puas?" ucapku kesal. Namun senyum dan tatatapn teduh yang ditujukan pemuda itu padaku membuat hatiku luluh dan tenang. Mengingatkanku pada kejadian di cafe ketika Raka dan Erga berbicara dalam ketegangan.
"Aku tahu, kamu memikirkan kejadian tempo hari." ucapnya, menarik minat dan fokusku seutuhnya padanya. Tubuhku spontan menghadap padanya. "Kamu penasaran. Tapi sayangnya aku tidak bisa menceritakannya."
Aku mendengus dan menatapnya kesal. "Kamu sudah tahu, lalu kenapa mengungkitnya?" seruku. Napasku memburu karena amarah. Namun pemuda di hadapanku ini masih tersenyum, tanpa rasa bersalah, kembali menyebarkan pesonanya seperti yang selalu ia lakukan dulu.
"Aku tidak berhak menceritakan yang sebenarnya padamu."
Aku menghentakkan tanganku, melepaskan genggaman lemahnya dari sikuku dan berseru padanya "Kalau begitu untuk apa kamu menahanku? Tidak ada gunanya."
Ia, dalam pesonanya yang menawan, tetap tenang. Tatapan teduh itu tidak menghilang, menatap lurus ke kedua mataku. "Tidak ada bagian dari masa lalu yang kamu perlu ketahui. Yang ada hanyalah saat ini dan setelahnya." ia menarik dan dengan lembut berkata "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyayangimu."
Aku luluh, kembali tenggelam dalam pesonanya. Aku tahu, aku selalu tahu sejak ia menyatakannya padaku bahwa ia menyayangiku. Namun semuanya tertutupi oleh pesona orang yang berbeda, Erga. Ia meraih tubuhku dan merengkuhku dalam kehangatan dan membisikkan "Aku menyayangimu."
Aku membeku, tidak bergerak meski Raka telah merengkuhku. Bukan karena aku merasakan sensasi yang dulu kurasakan bahkan ketika hanya menatapnya. Jantungku memang berdebar dan terasa hangat, namun tidak semenggebu dulu. Aku berusaha mencarinya di setiap sudut relung hatiku, mencari cintaku yang selalu menggebu untuknya. Namun kusadari bahwa cinta itu telah memudar entah sejak kapan. Yang aku tahu bahwa aku masih tenggelam dalam pesonanya, namun hanya sebatas terpesona.
"Raka?"
"Ya?" ia menarik diri, melepaskan pelukan.
Tatapan kasih yang ia tujukan padaku itu membuatku merasa tak tega untuk mengatakannya. Tapi aku tetap harus mengatakannya jika tidak ingin membuatnya ikut terluka sepertiku. "Maaf, aku tidak bisa."
"Karena Erga?"
Aku menggeleng. "Bukan." Kutatap kedua manik coklatnya, mengirimkan sinyal yang aku tahu akan dimengerti. "Kamu pasti mengerti, bukan?"
Sejenak ia membeku. Kedua manik coklatnya yang selalu menawan itu tampak terluka. Hanya sekian detik sebelum kembali menatapku dengan kasih. Ia tersenyum dan mengangguk. "Aku mengerti." ucapnya. Kemudian ia nampak gelisah, dengan tangan yang menggaruk belakang kepala dan matanya yang bergerak liar.
"Ada apa?" tanyaku.
"Bisakah... bisakah aku menciummu untuk yang terakhir kali?"
Napasku tercekat, terkejut akan permohonannya. Namun aku menyadari, ini kesempatan terakhir untuknya. Aku tersenyum, mengangguk menyetujui, membuat kilat bahagia terpancar di wajahnya. Aku mendekat, menempelkan bibir kami lebih dulu. Ia membalasnya menekan lebih dalam. Tanpa tuntutan dan hanya sentuhan yang hangat. Hanya beberapa detik hingga akhirnya ciuman itu terpisah. Ia tersenyum begitu pula aku. Ini akan menjadi sentuhan intim kami yang terakhir, kurasa.
Semuanya terjadi begitu cepat, ketika tiba-tiba tanganku di tarik dengan kasar ke belakang. Yang kudengar berikutnya adalah suara pukulan, kursi yang bergeser dan suara ringisan. Erga sudah berdiri di hadapanku, menarik kerah Raka dan bersiap melayangkan pukulan kedua. Aku yang menyadari segera menarik tangannya, menahan tubuhnya yang menegang. Menariknya menjauh dari Raka yang sedang terduduk di lantai. "Erga, hentikan!"
"Dia menciummu! Sialan!"
Aku memeluk tubuhnya dari depan, mendorongnya menjauh hingga ke dinding ketika Erga kembali bersiap menerjang Raka dan memukulnya. "Ini tidak seperti yang kamu bayangkan."
"Kau pikir aku buta? Aku melihatnya menciummu!" Ia berusaha melepaskan pelukanku, mendorongku menjauh dari tubuhnya. "Lepaskan aku, biarkan aku membunuhnya kali ini." Erga berhasil mendorongku, melepaskan pelukanku.
"Bukan! Aku yang menciumnya."
Ia membeku, ketika nyaris saja kembali menerjang Raka. Ia menoleh padaku, dengan pandangan terkejut. "Kamu... apa?" pandangannya berubah menjadi luka dan amarah.
Aku menunduk, menggigit bibir bawahku. Merutuki kebodohanku yang mengatakannya. "Aku yang... menciumnya. Tapi ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Itu hanya ciuman per---"
Pipiku kananku terasa panas dan menusuk tiba-tiba. Wajahku telah berpaling dengan cepat, dan lidahku merasakan rasa anyir dari darah di dalam mulut. Otakku berhenti berpikir memikirkan alasan dan hal lainnya untuk sejenak. Yang kucerna hanya satu. Erga telah menamparku dengan keras.
"Apa yang kamu lakukan!?" aku bisa mendengar suara Raka yang keras bagai raungan. Suara kursi kembali bergeser, namun pandanganku masih ke samping. Tanganku terangkat, menyentuh pipiku yang terasa sakit dan panas sekaligus. Aku ditampar.
Perlahan, aku menoleh pada Erga yang kini membeku. Pandangannya kosong. Raka kini tengan mencengkeram kerah bajunya, bersiap melayangkan satu pukulan pada Erga yang jiwanya kini entah kemana. Aku segera berdiri di antara keduanya, melepaskan cengkeraman Raka di kerah Erga, memisahkan keduanya.
"Dia menamparmu!"
"Aku tahu, tolong tinggalkan kami."
"Tapi--"
"Tinggalkan kami! Tolong. Ini urusan kami berdua."
Ia menatapku dan Erga bergantian, berdecih, lalu pergi dengan amarah di sekelilingnya. Ia menendang kursi dengan keras sebelum benar-benar menghilang.
Aku menatap Erga yang kini tidak fokus. Tubuhnya membeku, tidak merespon apapun. Aku menatapnya, menelitinya cukup lama. Ia dengan perhatian dan kelembutannya masih berhasil menyentuh hatiku hingga saat ini. Namun sikapnya yang begitu posesif membuatnya mengikisnya perlahan, terbantu oleh rahasianya dan sikap kasarnya dan juga rasa kecewaku padanya. aku masih menyayanginya, namun aku tidak tahu seberapa besar rasa sayangku itu padanya kini.
"Erga?"
Ia tersentak, pandangannya meliar sesaat sebelum dengan kedua mataku. Perlahan tanagnnya terangkat, menyentuh pipiku yang telah ia tampar. Aku mengaduh merasakan sakit dan lagi-lagi rasa anyir darah kukecap di lidah. Aku bisa mendengar suara napasnya yang tercekat dan tangannya yang bergetar.
"Aku- Aku- Aku telah menamparmu. Aku telah melukaimu"
Kulihat matanya berkaca dan memancarkan rasa bersalah, dengan bibir yang bergetar ia berkata dengan tulus "Aku minta maaf. Maafkan aku."
Aku menggelengkan kepala, melepaskan tangannya dari wajahku. Mulutnya tidak berhenti berucap maaf. Matanya masih berkaca dan nyaris menangis. Aku berusaha tersenyum padanya, namun yang terjadi aku hanya meringis dan senyumku nampak menyedihkan. "Aku tahu, aku mengerti."
Ada kelegaan di pancaran kedua matanya, namun tidak lepas dari rasa bersalah, dan ia tidak berhenti berujar maaf. Aku menarik napas, mengumpulkan keberanian atas keputusan yang telah kubuat. Keputusan yang tadinya kutahan, karena aku sadar berasal dari amarah. Namun kejadian ini memberikanku satu kesimpulan yang membuat keputusanku lebih mantap.
"Erga, aku menyayangimu." aku memeluknya erat, mengirimkan kehangatanku padanya, berusaha menenangkan tubuhnya yang bergetar. Ia membalas pelukanku, memelukku lebih erat dan membuatnya lebih tenang. Aku menyesap aroma parfumnya, sebelum aku melepaskan pelukan.
Kugenggam tangannya erat dan tersenyum meringis padanya. "Tapi terima kasih untuk segalanya."
Aku melepaskan genggamanku perlahan, dan pemuda itu membeku di sana. Mengerti dari kalimat terakhir yang kutujukan padanya. Untuk terakhir kalinya aku melemparkan senyum dan menatapnya penuh kasih. Sebelum akhirnya aku beranjak pergi. Meninggalkannya sendiri di ruangan itu.
Dua hari berlalu, dan tidak ada kabar dari Erga sedikit pun. Jujur aku mengkhawatirkannya, namun kurasa tanpa ada kabarnya akan menjadi lebih baik dengan keputusan yang telah kuambil bagi kami berdua. Setidaknya ini akan membantuku menghilangkan perasaan sayangku padanya. Ponselku pun sudah kuikhskan jika tidak bisa kuambil lagi darinya.
Sedangkan Raka, aku masih bertemu beberapa kali dengan pemuda itu. Ia menanyakan kabarku dan pipi kananku yang tampak biru. Ku jawab bahwa aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Ia masih dengan pesonanya yang menawan, senyum dan tatapan kasihnya yang meneduhkan. Namun kini tidak ada cinta untuknya. Hubungan kami hanya seperti sepasang teman.
Esok paginya, ketika jam menunjukkan angka 8:30, aku tengah berbaring di kamar, mengompres pipiku lagi. Rasa sakitnya telah menghilang, dan warna birunya masih ada di sana, memudar pelan. Tidak ada yang kulakukan karena tidak ada jadwal kuliah hari ini. Hingga suara bel terdengar. Aku segera menempelkan plester di pipi, menyembunyikan warna lebam itu dan segera beranjak ke pintu depan.
Erga berdiri di depan sana, tanpa cengiran dan nampak gelisah. Kemejanya tidak rapi dan rambutnya acak-acakan. Ia nampak kacau. Pandangannya sendu, menatapku, pada plester di pipiku. "Hai." ucapku, berusaha menghilangkan kecanggungan. Namun pemuda itu tidak membalasnya. Seluruh perhatiannya tersita pada plester yang menutupi lebam bekas tamparannya di pipiku.
"Erga?"
Akhirnya aku berhasil menarik perhatiannya. Ia menarik tanganku, mengirimkan debaran yang sering kurasakan saat bersamanya dulu. Ia menarik sesuatu keluar dari sakunya dan menyerahkannya di tanganku. Ponselku. Aku tersenyum padanya dan berterima kasih. Aku berusaha menarik tanganku yang digenggamnya, namun pemuda itu tidak melepaskannya. Berusaha mencari jawaban atas tingkahnya, yang kudapatkan adalah tatapan sendunya.
"Erga? Bisa tolong lepaskan?"
"Aku ingin kamu ikut denganku."
"Apa? Kemana?"
"Kumohon, ikutlah."
Aku ingin kembali bertanya. Namun ketika kusapu ekspresi sedih dari wajahnya, aku mengurungkan niatku. Aku mendesah dan berkata "baiklah."
Setelah berpakaian pantas, casual, kami pergi. Mengejutkan, ia membawaku ke cafe yang biasa kami kunjungi. Cafe itu amsih tutup, namun dengan kunci yang ia miliki ia mampu membukanya. Belum sempat bertanya, ia sudah menjelaskan lebih dulu bahwa ia mendapatkannya dari pemilik cafe, meminjamnya untuk pagi ini.
Kami duduk di tempat yang biasa kami duduki, meja di dekat panggung. Kami duduk dalam keheningan. Aku memainkan jemari, menatap ke apapun, sementara Erga tak pernah melepaskannya padaku, membuat suasana menjadi canggung. Kami terdiam selama beberapa menit. Aku menunggunya untuk memulai.
"Aku... tidak pernah mencintaimu."
Kalimatnya berhasil menarik pehatianku sepenuhnya. Membuat perutku terasa sakit tiba-tiba.
Ia melanjutkan, membuat perutku semakin ngilu. "Aku memang menjadikanmu alat balas dendamku."
Aku menarik napas, mengumpulkan segala keberanianku yang tersisa akibat kekecewaan. Suaraku bergetar karena sedih. "Kenapa?"
"Karena ia membunuh adikku."
Aku tidak berkata lagi.
"Aku dan Raka adalah sahabat, dulunya. Ia berhubungan asmara dengan adikku, dan dalam sebuah kecelakaan mobil, nyawa adikku telah direnggut. Aku yang telah buta akan rasa sayang menyalahkannya. Memutuskan persahabatan kami dan berjanji akan membalasnya."
Dan aku tahu kemana cerita ini akan menuju.
"... disitulah aku melihatmu. Betapa ia menyukaimu. Aku memanfaatkan pertemanan kita, mendekatimu dan merebutmu darinya. Membuatnya merasakan kehilangan seperti yang kualami. Disitulah peranmu, sebagai alat balas dendamku padanya."
Dadaku terasa sesak dan ngilu. Mendengarnya secara langsung dari Erga lebih terasa sakit, bagai dihujam dengan pedang.
"Aku lelaki normal."
Kakiku terasa gelisah, ingin segera beranjak pergi, meninggalkan kenyataan yang sangat mengecewakan. Tatapannya padaku anehnya tidak berubah, tatapan penuh kasih yang terselip sendu. Ia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya lembut.
"Namun aku sendiri terjebak dalam permainanku. Aku jatuh cinta, pada alat balas dendamku sendiri. Aku jatuh dalam pesonanya, sentuhannya, cintanya. Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu." dan ia mengecup kedua tanganku, membuat perutku terasa geli namun sakit.
Ia kembali menatapku, pandangan penuh kasih dan sendu itu mengaduk perutku dengan kasar. Ia berkata dengan tatapan penuh permohonan "kumohon, beri aku kesempatan kedua."
Kesempatan kedua? Aku menunduk, mataku tertuju pada kedua tanganku yang digenggamnya di atas meja. Jujur saja aku masih merasakan perasaan yang dulu setiap kali ia menyentuhku. Sensasi berdebar, darah yang berdesir dan hangt di kedua pipi. Sempat ada rasa kecewa yang mengaburkannya perlahan. Namun dengan emosi dan posesifnya serta sifat egois dan keras kepalaku, dan sifat lainnya, kami akan saling melukai. Yang malah akan membuat kami berdua terluka.
Tapi, aku masih menyayanginya, sungguh.
Aku tersenyum padanya, membuat wajahnya menjadi lebih cerah oleh bahagia. Aku menarik tanganku darinya. Aku telah mantap dengan keputusanku. Aku berdiri, menghampiri panggung. Aku berdiri di sana, tanpa mike. Hanya ada kami berdua jadi aku tahu suaraku akan terdengar olehnya. Setelah menarik napas dan mengumpulkan keberanian, aku bernyanyi.
I only want the best for you
And if I'm not the best then you're stuck
I tried to sever ties and I
Ended up with wounds to bind
Like you're pouring salt in my cuts
And I just ran out of band aids
I don't even know where to start
'Cause you can bandage the damage
You never really can fix a heart
Even though I know what's wrong
How could I ever be so sure
If you never say what you feel, feel
I must've held your hand so tight
You didn't have the will to fight
I guess you needed more time to heal
Baby, I just ran out of band aids
I don't even know where to start
'Cause you can bandage the damage
You never really can fix a heart
Ohhh, ohhh
Oooh, oooh
Oooh, yeah ( x2)
You must be a miracle worker
Swearing up and down you can't fix what's been broken
Yeah
Please don't get my hopes up, no no
Baby tell me how could you be so cruel
It's like you're pouring salt on my cuts
Baby, I just ran out of band aids
I don't even know where to start
'Cause you can bandage the damage
You never really can fix a heart
Baby, I just ran out of band aids
I don't even know where to start
'Cause you can bandage the damage
You never really can fix a heart
Oh no no no
You never really can fix a heart
Oh no no no
You never really can fix a heart
Oh hoo ohhh
Oh hoo yeah ohhh ho oh oh oh
You never really can fix my heart
Kulihat ekspresi wajahnya yang menyendu. Aku tahu ia telah mengerti maksudku. Pandangannya padaku menjadi kecewa dan penuh luka. Ia menunduk tak menatapku ketika di pertengahan lagu. Bahkan hingga aku telah selesai bernyanyi tanpa musik yang mengiringi, ia masih menunduk. Aku berdiri diam, menatapnya. Menunggu jawabannya.
Aku tahu ia merasakan sakit yang sangat di hati. Aku pun begitu bahkan bibirku bergetar dan mataku terasa perih.
Erga mengangkat wajah, ia masih diam. Ia bangkit menghampiriku dan memelukku erat. Kubalas pelukannya dengan erat. Menyalurkan kehangatan dan kasih, segala emosi.
Ia melepaskan pelukan, dan menghampiri piano. Membuka penutupnya dan duduk di kursi. Mataku mengekori setiap gerakannya. Ia menekan jemarinya di sana, menciptakan nada-nada tak bermakna. Hingga akhirnya suara dentingan piano itu terdengar, membentuk sebuah lagu yang kukenal. Ia membuka suara. Bernyanyi dengan suaranya yang bukan untuk diperdengarkan ke banyak orang, namun tetap nyaman untuk didengar. Ia membalasku dengan lagu.
Turn down the lights, turn down the bed
Turn down these voices inside my head
Lay down with me, tell me no lies
Just hold me close, don't patronize, don't patronize me
'Cause I can't make you love me if you don't
You can't make your heart feel something it won't
Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart and I feel the power
But you won't, no, you won't
'Cause I can't make you love me, if you don't
Awalnya mataku terasa amat perih. Aku menghampirinya, berdiri di samping piano, menatapnya yang dengan penuh penghayatan memainkan piano dan bernyanyi. Hingga akhirnya pandanganku padanya benar-benar menjadi buram. Untuk pertama kalinya air mataku mengalir untuknya. Tetesannya mengalir di pipi dan jatuh menetes di atas piano.
I'll close my eyes, then I won't see
The love you don't feel when you're holding me
Morning will come and I'll do what's right
Just give me till then to give up this fight and I will give up this fight
Kenangan ketika kami bersama melintas di dalam benakku. Segala perhatiannya, sentuhan dan ciumannya. Emosi dan kecemburuannya. Segala kenangan yang kami lewati bersama. Bagaimana ia mengikis perasaanku pada Erga dan menumbuhkan cintaku padanya. Semua kenangan itu membuat air mataku tak berhenti mengalir. Aku terisak, tak berpindah tempat, dan Erga masih terus bernyanyi.
'Cause I can't make you love me if you don't
You can't make your heart feel something it won't
Here in the dark, in these final hours
I will lay down my heart, and I feel the power
But you won't, no you won't
'Cause I can't make you love me, if you don't
Ketika ia berhenti bernyanyi, ketika dentingan piano telah berakhir, aku mengelap air mataku di pipi dan di pelupuk mata. Menyingkirkan air mata yang masih menggenang. Ia duduk di sana, menatapku penuh kasih dan tersenyum. Aku kembali menyingkirkan air mata yang menetes terakhir dan tersenyum padanya.
Ia bangkit, menghampiriku. "Terima kasih untuk segalanya." ucapnya dan memelukku. Ia berbisik "Ini yang terakhir." di telingaku, mengecup pelipisku dan keningku untuk terakhir kalinya. Kami berpelukkan menyalurkan emosi terakhir yang bisa kami berikan satu sama lain, sebelum kami akhirnya berpisah.
Aku tahu aku akan sulit melupakannya.