It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ehm, aku knapa ya da? *pura2 bego
untuk privacy sih dijamin kekunci rapet da
nongol lagi, kakak! he he...
mention ya klo up ya,, :x >===>>>>
tak tunggu, ok?
mention me
@widy_wnata92 , @3llo , @cute_inuyasha ,
@d_cetya , @ianz_rongerz , @hyujin
Aku melangkah terseok-seok dengan beban sekarung rumput di atas kepalaku. Rumput tersebut terasa sangat berat karena masih basah. Aku menguatkan hati menjunjungnya. Dari sawah ini aku harus pergi menuju ke parak (kebun) dimana kandang sapiku berada. Dan jaraknya itu cukup jauh dari sawah ini.
Perutku sudah merintih perih, aku perkirakan sekarang sudah jam 12 siang. Memang saat yang tepat untuk mengisi perut. Tapi aku yakin, buru-buru pun aku pulang, tidak bakalan ada yang akan aku makan. Teringatku akan ocehan Bunda pagi tadi. Yang membuat hatiku miris.
"Tom, sepertinya bakalan puasa lagi kita hari ini. Beras tak ada, uang pun tak punya. Kenapa melarat sekali nasib kita ini, nak!?" Dan aku hanya bisa mengusap air mata yang bergulir di pipi Bunda.
"Sabar Bunda, nanti Tomi usahakan mencari pinjaman!" Janjiku ke beliau pagi tadi. Dan sekarang, aku jadi gamang. Mau pinjam sama siapa? Akhhh.
Aku sampai di Parak dengan tubuh bercucuran keringat. Ku rasakan menggigil seluruh persendian tulangku menahan rasa lapar yang menggigit. Kepalaku merasa melayang ketika beban rumput yang begitu berat aku turunkan dari atas kepalaku. Ku pejamkan mata sejenak agar tubuhku terasa normal kembali.
Angin bukit menampar wajahku. Menyadarkanku akan keadaanku yang terduduk melepas lelah. Di Parak tidak ada yang bisa diminum. Kecuali sungai kecil di atas sana. Aku segera memasukkan rumput ke dalam lawak-lawak (tempat makan sapi). Dibandingkan sapi abang-abangku, sapiku lebih gemuk dan bersih. Dalam satu kandang ini ada empat ekor sapi. Aku satu, punya bang Nandi dan bang Nanda dan satu lagi sapinya Papa. Semua itu bukan milik kami. Ke empat sapi tersebut milik orang yang berbeda. Kami cuma penggembala dengan sistem bagi hasil. Biasanya 70 : 30. Kecil memang, tapi cuma ini satu-satunya pekerjaan. Biasanya setelah enam bulan baru bisa dijual.
Ku lihat sapi Papa yang paling kurus. Dia memang tidak pernah niat bekerja. Kasihan sapinya. Kalau sampai yang empunya tahu, bisa gawat. Makanya, kadang rumput sapiku, aku bagikan sebagian ke sapinya Papa.
Hari ini aku juga yakin kalau dia tidak pergi mencari rumput. Kebiasaan Papa itu sekarang cuma melamun dan tidur. Tingkah lakunya itu selalu memicu pertengkaran hebat antara dia dengan Bunda. Membuat suasana di rumah tidak pernah tenang. Selalu saja ada keributan. Kadang, aku malu sama tetangga. Mereka sering kali menggunjingkan keluargaku. Aku sangat kehilangan muka. Namun, walau begitu, ku hadapi semuanya dengan tenang. Dengan tetap ramah ke orang-orang yang menyepelekan keluargaku.
Ku lihat si Putih, begitu nama sapiku, sedang asyik mengunyah rumput segar yang baru saja ku berikan. Sapi jantan yang terlihat masih begitu muda, lincah dan dengan daging yang sangat gempal. Sudah lima bulan aku menggembalakannya. Sebentar lagi dia akan dijual. Sedih sih sebenarnya. Apalagi dia sapi yang baik hati, santun dan ramah. Heehee. Maaf ya bercanda. Ehmm.
Mengenai sapi, ada satu hal kadang yang membuatku jijik. Mereka kalau pipis, lamanya minta ampun dan kalau ditampung, mungkin bisa satu ember. Dan baunya itu sangat pesing. Selain itu, yang tak kalah anehnya kalau mereka tiba-tiba saja mengeluarkan alat reproduksi mereka yang panjang dan berwarna merah muda. Aku sering bergidik melihatnya.
Pernah waktu itu ketika aku membawa si Putih ke sawah yang telah selesai di panen, aku dekatkan dia dekat sapi betina. Ya Allah, tak kurang sepuluh menit sudah dipanjatnya sapi betina itu. Sampai si betina melenguh penuh nikmat ketika dirogol oleh si Putih. Si Putih ketika selesai melakukan senggama tak beretika itu tampak puas. Dia menggoyang-goyangkan buntutnya yang panjang seolah-olah berkata, "enak sekali lobang kau, manis!"
Awalnya aku tidak tahu kalau cara berhubungan kelamin sapi seperti itu. Aku sempat malu ketika bercerita ke Papa.
"Pa, sapi Tomi tadi berkelahi dengan sapi betina orang. Dipanjatnya punggung sapi betina itu. Entah apa yang dia lakukan, sampai-sampai ada benda merah keluar dari perut si Putih. Tomi takut melihatnya tadi, Pa!"
Dan Papa tertawa terpingkal-pingkal mendengar pengaduanku. Dia menyeret tanganku menuju kandang sapi.
"Tomi, sini Papa jelaskan!" Dan seperti yang sudah bisa dibayangkan. Papa dengan gamblang menjelaskan kepadaku. Mulai dari benda merah menjijikkan yang ternyata kemaluan si Putih. Terus Papa juga menceritakan kalau apa yang si Putih lakukan dengan si betina disebut dengan kawin. Sejak itu aku cukup penasaran dengan kata "kawin". Bagaimanakah cara manusia kawin? Tubuhku bergetar dan aku merasa malu hati membayangkannya.
Bukkkk! Aku terkejut ketika dari samping kandang sapi aku mendengar sesuatu yang berat seperti dijatuhkan ke tanah. Aku keluar dari kandang dan menuju arah suara. Aku lihat Papa sedang duduk dan bersandar di karung rumput. Sepertinya dia baru selesai menyabit rumput. Namun karung rumputnya tidak penuh. Keringatnya terlihat membasahi sekujur tubuhnya. Dia melonjorkan kakinya.
"Baru selesai, Pa?" Tanyaku sedikit ragu mendekatinya.
"Hmm! Tolong kau bawa karung ini ke dalam. Kau beri makan si Coklat. Saat ini Papa cuma sanggup nyari segini!" Ujarnya terengah-engah. Tanpa membantah aku laksanakan perintahnya.
Rumput yang dibawa Papa kurang segar. Dan bercampur lumpur. Kasihan si Coklat, harus makan rumput jelek begini. Tapi untung sudah ku kasih setengah rumput si Putih.
"Jangan lupa kau kencingi rumputnya!" Ku lihat Papa berdiri di depan pintu kandang.
"Kencingi?" Aku mengerinyit heran.
"Iya, biar rumputnya basah dan asin. Sapi suka rumput yang dikencingi!" Lanjut Papa sambil terus berjalan ke arahku dan berdiri di sampingku.
"Tomi lagi ga' pengen kencing, Pa!" Aku hanya malu memperlihatkan anggota rahasiaku di depan Papa. Sejak aku sunat rasul, tiba-tiba saja aku begitu pemalu.
"Ya sudah, geser!" Ujar Papa di sampingku. Tanpa ku sangka-sangka, Papa menurunkan celananya sebatas paha. Tanpa ragu dia memegang "anu"nya. Dadaku entah kenapa berdebar kencang. Wajahku terasa panas. Papa mengurut sedikit senjata rahasianya itu, dan kemudian, semburat air kencing terpancar dari lobang kemaluannya.
Aku perlahan-lahan mundur. Sedikit jijik dengan apa yang aku lihat. Sekaligus malu. Harusnya Papa malu mempertontonkan auratnya kepadaku, anak kandungnya sendiri. Walau kita sama-sama laki, tetap saja harus dijaga sopan santun. Aku jadi sedikit kurang respek sama Papa.
Dari belakang Papa, mataku tertuju ke bongkahan pantatnya yang padat berisi. Seperti yang pernah ku bilang, Papa memiliki tubuh yang bagus. Ada bulu-bulu yang lumayan kasar di pahanya. Pantatnya bulat dan terlihat bersih. Kembali dadaku berdebar kencang.
"Tomm!" Ku dengar panggilannya ketika aku hendak keluar dari kandang.
"Ya Pa!" Sahutku pelan. Ku rasakan suaraku bergetar dan sedikit tercekat menahan gejolak aneh yang tiba-tiba melingkupi tubuhku.
"Bareng Papa pulang!" Dia sudah berdiri di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum. Senyum yang sudah begitu lama aku rindukan. Papa merangkul bahuku. Dan kami melangkah pulang dalam diam.
Aku tidak tahu apa yang akan menungguku di rumah. Karena hatiku sedang bahagia. Dengan Papa yang merangkul bahuku.
"Papa bangga dengan kamu!" Bisiknya. Alasan dia memuji ini yang harus aku waspadai. Tiba-tiba saja rasa bahagia tadi berubah dengan rasa cemas. Papa meremas bahuku. Kuat.
Bersambung.
hehe iya mus, cm lebih sering jadi sr aja belakangan ini.
Mau ngapain ini si papa? -.-
Lanjuut^^)/
Tarik
Bang @balaka
@AbdulFoo juga