It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Itu yg ngencingin rumput kayak dicerita uda yg satunya itu ya da,,, perasaan juga jadi gak enak papanya tiba2 berubah baik begitu,,, jangan jangan,,,,
Jangan suka suudzon, siapa tau papa akan kasih lolipop ke Tomi, ya kan uda )
bang@ularuskasuriusmention atas nama@widy_wnata92ganti jadi@otho_wnata92ya!
bang @ularuskasurius mention atas nama @widy_wnata92 ganti jadi @otho_wnata92 ya!
@widy_wnata92 , @3llo , @cute_inuyasha ,
@d_cetya , @ianz_rongerz , @hyujin,
@arifinselalusial, @danze, @arieat, @ @viji3_be5t , @hon3y, @balaka, @Otho_WNata92, @mustaja84465148
-UPDATE PANJANG-
Aku sampai di rumah dengan hati yang tidak tenang.
“Ingat, bagaimanapun caranya, kau harus dapatkan apa yang kita butuhkan! Papa yakin kamu bisa diandalkan” begitu bisik Papa di telingaku sebelum dia akhirnya berbelok menuju warung kopi tidak jauh dari rumahku. Pandangan sinisnya membuatku takut. Aku tidak sanggup lagi rasanya mengelak dari semua permintaan Papa. Tubuhku akan jadi pelampiasan kemarahannya setiap kali aku membangkang dari perintahnya.
Aku masuk ke dalam rumah tanpa semangat. Syaif berlari kecil menyongsongku. Menatap binar matanya yang bercahaya memandangku. Usianya yang baru tiga tahun adalah masa-masa sulit bagi dia. Sering kali adik bungsuku itu melihat kekerasan di rumah ini. Teriakan-teriakan kemarahan, kutuk serapah dan caci maki seolah-olah kalimat biasa yang diperdengarkan ke anak sekecil Syaif. Dia terus berlari mendekatiku, namun tiba-tiba dia terjatuh. Membuatku terkejut dan dengan sigap memburu tubuh mungilnya sebelum tangis pecah dari mulutnya. Karena Syaif kalau menangis susah sekali menenangkannya. Bisa satu jam lebih dia mempertontonkan tangisnya itu. Dan Bunda, biasanya akan memukul pantatnya, atau mencubit pahanya setiap kali dia susah didiamkan.
“Ehhh adik ganteng abang! Jangan nangis ya, ini Abang ada bawa jambu biji untuk Syaif!” Aku mengeluarkan satu buah jambu biji dari kantong kresek yang aku bawa. Jambu biji ini aku dapatkan ketika perjalanan pulang dari Parak tadi. Syaif yang sudah menurunkan bibirnya membentuk pola mewek langsung mengerucut seketika. Matanya kembali berbinar. Dia mencium pipiku lalu tertawa lebar. Bahagia sekali dia terlihat.
Aku turunkan dia dari gendonganku.
“Sekarang, Syaif main mobil-mobilan sana ya? Abang mau nemuin Bunda dulu!” Ku usap kepalanya lembut. Lalu kaki kecilnya kembali berlari menjauhiku. Sibuk dengan mainannya.
Aku menghela nafas panjang. Dadaku terasa sesak. Sudah pukul satu siang. Perutku semakin keroncongan. Aku pergi ke dapur. Ku buka songkok di atas meja makan. Aku miris dan hatiku semakin nyeri melihat tidak ada apa-apa di atas meja makan. Ku ambil segelas air minum. Menyesapnya dan merasakan kesegaran yang melewati kerongkonganku.
Aku harus mencari akal bagaimana cara mendapatkan uang dan beras untuk bisa makan hari ini. Segera ku tinggalkan dapur. Mencari dimana sosok Bunda. Ku tuju langsung kamarnya. Belakangan ini Bunda kalau sudah resah dan bingung dia lebih suka mengurung dirinya di kamar. Dan benar saja, Bunda sedang termenung di bibir ranjangnya. Menatap nanar melalui jendela yang terbuka. Menatap kosong hamparan sawah yang berada tidak jauh dari samping rumahku.
“Bunda…!” panggilku pelan, supaya dia tidak terkejut. Nyatanya suaraku membuat tubuhnya berjengat. Kepalanya dengan cepat menoleh ke arahku. Ada ketakutan samar terlihat di matanya.
“Tomi…, kamu sudah pulang?” Bunda bangun dari duduknya dan berjalan pelan mendekatiku.
“Baru aja, Bunda! Bunda sedang apa?” tanyaku khawatir. Bunda memandangku sedih. “Maafin Bunda, Tom! Kita… tidak ada.. akh…!” dan tangisnya pun pecah. Aku memeluk tubuhnya. Bunda terisak-isak di bahuku.
“Bunda tenang ya? Tomi akan berusaha mendapatkan uang! Bunda jangan sedih!” Air mataku pun mengalir tanpa bisa kucegah. Tangisan tanpa suara, namun membuat bahuku terguncang hebat. Dadaku terasa sesak menahan sedih. Segera ku lepaskan pelukanku di tubuh Bunda. Tanpa berucap sepatah katapun aku segera menghambur meninggalkan bunda. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan uang, agar keluargaku bisa makan.
Di ruang tamu, ku lihat Syaif sedang asyik bermain mobil-mobilan. Aku melangkah dengan cepat sebelum dia melihatku. Keakrabannya denganku kadang membuat dia selalu ingin di dekatku. Dan itu menghambat langkahku. Sering aku harus sembunyi-sembunyi kalau mau bepergian.
“Abang…!”
Celaka, dia melihatku! Namun tanpa mempedulikannya aku terus berlari meninggalkannya yang mulai terdengar menangis. Untung pintu sudah di sekat setinggi tubuhnya sehingga dia tidak bisa keluar dari rumah. Maafkan Abang, Syaif! Batinku.
Aku itu masih punya Nenek. Dan Bunda pun masih punya saudara. Namun mereka tidak akur satu sama lain. Ketika terjadi masalah pelik seperti ini, tidak ada yang mau membantu. Dan jarak rumahku itu dengan rumah nenek hanya terpisah oleh tujuh rumah. Namun Nenek menganggap kami itu tidak ada. Walau jelas-jelas kami ada di depannya, disamping atau pun di belakangnya. Hal ini terjadi karena salah Bunda juga. Keluarga Bunda itu tidak setuju Bunda menikah dengan Papa yang nota bene bukan orang sekampung. Papa itu asli orang kota Padang, sedang Bunda orang Batu Sangkar asli. Hanya gara-gara itu. Sampai sekarang Bunda, termasuk aku dan saudara-saudaraku bisa dikatakan sangat jarang bertegur sapa dengan keluarga dari pihak Bunda. Sedih? Jangan ditanya. Nyesaknya minta ampun.
Pernah aku bertemu dengan Nenek di jalan, dan aku sudah hendak menegurnya, tetapi Nenek membuang muka. Seolah-olah tidak melihatku. Dan saat ini, aku berada di depan pintu rumah Nenek. Menahan debaran di dada. Mencoba membangun tali silaturahmi yang tidak jelas statusnya ini. Aku yakin, sebenci-bencinya Nenek sama kami, dia pasti masih punya hati.
Ku ketuk pintu rumahnya. Tidak tunggu lama, seorang perempuan berusia sekitar empat puluhan berdiri memandangku dengan buas.
“Ada apa?” Matanya melotot. Aku menggigit bibirku menahan rasa takut yang mendera.
“Maaf Tek, Tom…Tomi mau minta tolong!” ujarku terbata-bata. Aku menundukkan kepalaku.
“Kau butuh berapa?”
“Dua gantang beras, Tek!” jawabku. Mataku sudah terasa panas. Sakit sekali rasanya. Tanpa bisa ku cegah air mataku merembes. Perempuan yang ku panggil Etek tersebut menutup pintu dengan keras. Aku masih berdiri di depan pintu seperti seorang pengemis. Tega sekali familiku sendiri menganggapku seperti orang lain. Cukup lama aku menunggu. Ada seperempat jam lamanya aku mematung di depan pintu.
Sesaat kemudian pintu kembali terbuka. Perempuan tersebut memberikan kantong plastik ukuran menengah yang berisi beras.
“BIlang sama Amak Kau tu, hidup itu jangan sok! Jangan sombong! Ketika berduit lupa sama keluarga, ketika melarat mengemis-ngemis seperti anjing minta tulang! Sekarang, pergilah kau dari sini! Dan secepatnya dikembalikan pinjama beras ini! Ini sudah yang kedua kalinya kalian meminjam beras. Tidak bermalu! Buat anak rajin! Sudah jelas miskin, masih saja belagu!”
Apapun yang diucapkan perempuan itu aku tidak ambil pusing. Batinku terasa lega. Setidaknya ada nasi untuk dimakan. Dengan cepat aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Aku lihat sekilas mata Etekku itu berkaca-kaca. Aku tidak tahu pasti apa yang dia rasakan.
Jauh dari rumah Nenek membuatku merasa terlepas dari kandang anjing ganas. Beras sudah aku dapatkan, sekarang tinggal mencari sambal dan lauknya saja. Tidak perlu mahal, yang penting bisa untuk menyambung hidup. Dan satu-satunya cara ya dengan mengutang. Aku yakin, utang di Warung Buk Rohana sudah menggunung, entah masih bisa entah tidak.
Ku lihat di warung itu orang cukup ramai. Rata-rata ibu-ibu yang sedang membeli bahan untuk dimasak. Aku berdiri cukup lama di samping warung. Menunggu sepi. Karena dulu pernah aku dipermalukan sedemikian rupa oleh Buk Rohana ketika ngebon di warungnya.
“Si Tomi ini, Amaknya tidak bermalu. Utang sudah menggunung, masih saja ingin ngutang!” Celotehnya waktu itu ke pengunjung warung. Dan mulailah gossip dan cerita-cerita yang menghinakan keluargaku bergaung di warung kecil itu.
Kini aku kembali harus menghadapi perempuan tua bermulut jahat itu. Ini karena aku butuh saja, seperti kata pepatah Minang, asal tanduk makan, biarlah moncong ke tanah. Entah karena Tuhan sedang baik sama aku, entah kenapa aku tidak tahu. Di warung itu tidak ku lihat Buk Rohana, tapi suaminya Malin Malelo, begitu gelarnya. Bapak Malin Malelo lebih ramah, karena dia termasuk orang yang mengerti agama. Dan dia guru ngajiku. Wajahnya bersih, meski usianya sudah menginjak angka 50 tahun. Aku bergegas mendekatinya.
“Pak, Tomi ngutang ya?”pintaku terus terang, “Nanti pasti Tomi bayar!” erangku sambil memandangnya dengan penuh harap. Pak Malin menatapku sejenak. Dia tersenyum dan membelai kepalaku.
“Tomi butuh apa? Silahkan pilih”ujarnya lembut. Tanpa membuang waktu, aku segera meminta apa yang aku butuhkan. Mulai dari ikan kering, cabe, tomat, bawang, sayur mayurnya dan penyedap rasanya. Semuanya aku pesan. Aku tidak mau membuang-buang kesempatan. Karena belum tentu besok aku bisa ngutang lagi.
“Ibuk mana pak?”tanyaku basa basi. Karena sejujurnya aku takut kalau tiba-tiba saja itu perempuan muncul.
“Dia sedang ke Pasar!”Jawab Pak Malin dengan tersenyum, “Tomi takut ya? Sampai pucat gitu?”
Aku hanya tersenyum getir.
“Gimana ga’ pucat! Keluarga Si Tomi kan terkenal suka ngutang! Sejak Ibunya itu pulang kampung, melarat sekali hidupnya! Nyusahin orang!” tanpa diminta seorang ibu-ibu seumur Bunda menyelutuk. Dia memandangku dengan sinis. Aku tidak tahu kenapa dia begitu kesal. Aku hanya diam. Aku tidak punya waktu melayani ucapan-ucapan orang seperti itu.
“Bu Rika, mulutnya dijaga! Tidak baik berucap begitu! Kita juga belum tentu selamanya dalam keadaan berkecukupan!” kata-kata Pak Malin langsung membungkam mulut perempuan tersebut. Dia mencibirkan bibirnya. Aku hanya tersenyum geli. Rasain!
“Pak, kalau Tomi boleh tahu, sudah berapa total utang Tomi ya pak?” ujarku khawatir membayangkan nominal yang akan meluncur dari mulut Pak Malin. Pak Malin kembali tersenyum dan mengambil buku bonnya.
“Tomi…Tomi….!”Ujarnya pelan seperti mengeja, aku menunggu dengan berdebar, “Hmmm, lumayan banyak nih Tom, ditambah dengan yang barusan, total utang kamu ada Rp. 550.900!”
Aku shock! Lima ratus ribuan???
“Apaaa??? Gila benar! Ini sudah bukan utang, tapi sudah perampokan!” aku bergidik ngeri mendengar suara ibu-ibu yang mulai seperti suara lalat yang beterbangan. Aku tidak mempedulikan mereka. Aku mengucapkan permohonan maaf kepada Pak Malin, dan berjanji akan melunasinya sesegera mungkin.
“Tapi Tomi bisa tambah utang lagi ga’pak?” aku teringat kalau di rumah kebutuhan mandi juga sudah habis. Shampoo, sabun, odol. Pak Malin kembali tersenyum, dia ambilkan apa yang aku perlukan. Dan total utangku sudah melewati angka enam ratus ribuan. Aku hanya bisa mengurut dada. Adrenalin di tubuhku meningkat tajam. Ada sejenis tantangan baru yang harus aku taklukkan. Dan aku harus mampu melewatinya. Bagaimanapun caranya!
Berkali-kali aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Malin. Pak Malin mengusap lembut kepalaku. Dia memang orang yang sangat baik. Tidak salah dia dihormati oleh orang sekampung. Sudah gagah, bersih dan bisa membuat tenang.
Aku bergegas pulang. Hatiku bahagia tidak terkira. Aku bisa menyelamatkan perut keluargaku hari ini. Aku ingin menghapus semua air mata yang membasahi pipi Bunda. Aku juga sempat ngutangin makan ringan untuk Syaif.
Sesampainya di rumah, suasana terlihat lengang. Aku masuk ke dalam rumah. Ku dengar bunyi orang mencuci piring di dapur. Aku bergegas ke sana. Ku dapati Bunda sedang mencuci piring.
“Bunda!”panggilku semangat. Bunda menatapku. Sesaat aku lihat matanya memerah. Dia sepertinya masih menangis. Ku angkat kantong plastik di tanganku. Dan mencoba tersenyum bahagia, walau hatiku nyeri.
“Kamu ngutang lagi, Tom?”Tanya Bunda dengan kata-kata bergetar, “Kan Bunda sudah bilang, jangan tambah dipersulit lagi hidup ini, Tom! Kenapa kamu ga’ mau dengerin Bunda???”
Aku tidak menyangka Bunda akan berkata begitu.
“Bunda… Maafkan Tomi, tadi Papa yang maksa Tomi untuk melakukannya. Tapi Tomi sudah bertekad untuk membayarnya. Bunda yang sabar ya?” kataku sambil berjalan mendekatinya.
“Tom, Bunda sudah tidak sanggup mendengar gunjingan orang kampung! Bunda sudah tidak kuat! Bunda mau mati saja! Papa kamu tahunya hanya makan, marah dan tidur. Menyesal bunda menjadi isterinya! Menyesaaaaal” aku tersentak mendengar kata-kata Bunda. Aku menyentakkan tangannya.
“Istighfar Bunda, jangan sampai kemiskinan membuat Bunda hilang akal dan hilang iman! Tomi yakin, Bunda pasti bisa! Tomi akan berjuang Bunda! Tomi akan berjuang! Percaya sama Tomi Bunda! Hanya itu yang Tomi harapkan dari Bunda!” Aku menggenggam tangan Bunda. Menguatkannya, kalau aku, dengan semua keterbatasanku, aku akan berjuang. Aku tidak mau jadi pecundang seperti Papa dan kedua abangku itu. Aku hanya butuh waktu untuk membuktikannya.
“Sekarang Bunda masak yang enak ya? Selagi masih ada Tomi, tidak ada yang perlu Bunda cemaskan! Tomi akan selalu jaga Bunda!” Bunda tambah kencang tangisnya mendengar kata-kataku.
“Maafin Bunda, Tomi! Maafin Bunda!”
Aku melepaskan pelukanku. Dan beranjak meninggalkan Bunda. Aku tidak boleh rapuh. Aku tidak boleh lemah. Aku harus tetap kuat. Bagaimanapun caranya. Di ruang tamu aku bertemu dengan Kak Tania yang baru saja pulang sekolah. Dia lemparkan tasnya ke atas sova dan membuang kaus kakinya sembarangan.
“Kak, taroh di tempatnya donk! Jangan dibikin berantakan gini!” usulku sambil menatap wajahnya. Dia terlihat kusam dan kuyu.
“Berisik! Jangan sok ngatur kau! Cepat ambilin aku air segelas!” perintahnya. Dia menghempaskan tubuhnya di sova panjang. Aku segera mengambilkannya air minum.
“Ini kak, minum dulu! Kakak sepertinya capek sekali!” kataku sambil duduk dekat kakinya, “Tomi pijitin ya?” aku hendak memegang kakinya, namun tiba-tiba dia menendangku. Membuatku terjatuh dari sova.
“Jangan sok perhatian kau! Menyebalkan!” Kak Tania mengambil air minum di atas meja. Meminumnya dengan cepat. Terlihat dia begitu menikmati. Sementara aku harus meringis kesakitan karena jatuhku ga’ enak banget. Pinggulku terasa sakit. Ingin sekali aku membalas perlakukannya itu.
“Bundaaaaa! Bundaaaa!” teriaknya tiba-tiba. “Kemana sih Bunda? Apa dia ga’ tahu aku lapar?” Kak Tania melotot ke arahku.
“Bunda sedang masak, kak! Mending kakak bantu Bunda nyiapin masakan!”sahutku sambil mencoba bangkit dengan memegang pinggulku yang terasa nyeri.
“Apa kau bilang? Apa aku ada tampang seperti babu???” Kaka Tania berdiri dan berkacak pinggang. Lalu tangannya dengan cepat menjewer telingaku. Terasa panas dan aku meringis kesakitan. Sungguh aneh kakak perempuanku ini. Emosinya sangat tinggi.
“Bundaaaa!”Teriaknya lagi kencang. Namun bukan Bunda yang datang. Papa keluar dari kamar dan berjalan dengan cepat kea rah Kak Tania. Tanpa ku duga, Papa meremas mulut kak Tania. Membuat Kak Tania terpekik.
“Berisik kau setan! Baru datang sudah teriak-teriak. Kau kira ini hutan?” wajah Papa memerah menahan marah. Kak Tania membungkam mulutnya. Kalau Papa sudah marah tidak ada satupun dari kami yang berani melawan. Kak Tania memegang mulutnya yang sepertinya sakit diremas Papa. Aku tersenyum kecut. Gimana rasanya mulut diremas, pasti perihlah itu. Kak Tania melotot ke arah Papa.
“Apa kau? Mau melawan? Ayokkk sini, aku hancurkan kepala kau tu!” Suara Papa semakin meninggi. Aku perlahan-lahan mundur dari sana karena mendengar suara Syaif menangis.
“Masuk ke kamar kau! Dasar anak setan!” terdengar hardikan Papa ke Kak Tania.
“Papa jahat!” balas Kak Tania sambil meninggalkan Papa.
Setelah itu suasana jadi hening. Aku menggendong Syaif yang terbangun dari tidurnya. Ku buai-buai dengan pelan. Aku yakin, Syaif pasti sangat lapar. Wajahnya pucat. Segera aku bawa dia ke dapur. Di dalam kantong plastik tadi ada susu cair dan roti. Bagiku yang terpenting saat ini bagaimana Syaif bisa makan.
Aku lihat Bunda sedang asyik menggoreng cabe. Dia sepertinya tidak terusik dengan keributan yang baru saja terjadi. Hal ini sudah begitu lumrah sekarang di keluarga ini.
“Harum sekali Bunda!” pujiku tulus. Bunda menatapku dan tersenyum dengan lembut.
“Iya, ayo bawa Syaif keluar. Disini bau asap. Nanti dia batuk-batuk!” ujar Bunda. Aku segera membawa Bunda kembali ke dalam rumah. Ku longokkan kepala melalui pintu kamar Papa yang sedikit terbuka. Terlihat dia sedang telungkup tidur. Aku menghela nafas panjang. Sampai kapan akan seperti ini?
Malam menjelang menjemput kesunyian. Angin di luar sana berhembus pelan. Ku lirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di sebelahku, Bang Nanda sudah berkeruh. Dia terlihat sangat letih. Seharian tadi entah kemana saja dia. Biasanya menyabit rumput itu tidak bakalan menghabiskan waktu lama. Tapi pulang-pulang tadi dia sudah menenteng sekarung beras. Entah dimana dia dapatkan. Aku pandangi wajah tampannya. Kalau diperhatikan dengan seksama dan mengenyampingkan tingkah bebalnya, Bang Nanda bisa menjadi rebutan para gadis. Tapi di kampung seperti ini apalagi dengan keluarga kami yang sepertinya tidak bermartabat ini, membuat mutiara seperti Bang Nandi atau Bang Nanda tenggelam. Ketampanan mereka memang cukup terkenal namun kenakalan mereka juga melegenda di kampung kecil ini.
Kalau aku ingat tingkah lakunya yang menyebalkan siang tadi, ingin rasanya aku kemplang kepalanya ini dengan batu. Tapi itu kalau sedang kumat jahilnya, kalau baiknya seperti sore tadi, tiba-tiba saja bawa sekarung beras dan Bang Nandi membawa banyak makanan. Aku jadi nyesal ngutang banyak di warungnya Pak Malin Malelo. Dan apapun yang mereka bawa ke rumah, haram untuk kami tanyakan dari mana sumbernya. Kalau ditanya mereka bakalan marah besar. Bahkan dengan Papa sekalipun mereka akan pasang badan. Ngeri deh pokoknya melihat mereka kalau sudah brutal gitu. Ga’ peduli saudara atau orang tua sendiri, mereka lawan sesuka hati.
Pernah suatu hari aku menanyakan sumber makanan yang mereka bawa, dan tinju bang Nanda sukses mendarat di perutku.
“Pakai banyak tanya kalu, Udin! Sudah untung ku beri kau makan! Jangan berlagak kau!” bukan Cuma ditinju, kaki mereka pun akan sukses menendang dan menginjak-injak tubuhku. Mereka berhenti setelah dapat bogem mentah dari Papa. Walau sejenak aku merasa kalau Papa sengaja membiarkan aku kena siksa, setelah aku babak belur baru deh dia sok kebapakan. Benci aku kalau ingat masa itu.
Aku kembali pandangi Bang Nanda yang tertidur pulas. Kadang aku berharap dia tidak pernah bangun lagi. Karena aku tidak mengerti dengan pola pikirnya. Kadang baik, kadang jahat.
Suara dengkuran terdengar di telingaku. Kumis tipis di atas bibirnya membuatnya semakin tampan. Aku pun berdiri dan mematut diriku di cermin. Kalau dari segi wajah, sepertinya anak Bunda aku lah yang paling tampan. Kulitku putih bersih, dengan mata sedikit sipit. Bibirku merah, kadang aku merasa bibirku jauh lebih merah dari bibir Kak Tania. Aku pandangi lagi tubuhku, emang kurus tapi tidak terlalu kurus juga. Sepertinya aku harus rajin olah raga juga, agar bisa menyaingi kedua abangku ini. Sepertinya aku cukup mempunayi modal untuk mencari pekerjaan. Aku harus nambah pengetahuanku. Aku tidak mau selamanya terkubur di kampung yang sunyi dan sepi ini.
“Ngapain kau?”
Aku terkejut. Ku lihat Bang Nanda memandangku aneh.
“Ga’ sedang apa-apa, Bang! Hanya sedang bercermin aja! Setelah Tomi lihat-lihat, Tomi jauh lebih tampan dari Abang!” Upss, aku keceplosan. Bang Nanda paling tidak suka disbanding-bandingkan. Dia seketika berdiri di sampingku. Menatap wajahnya di cermin.
“Kau itu tidak ganteng, tapi cantik seperti perempuan! Kau lemah! Kau itu bukan laki-laki!” bang Nanda mendorong tubuhku, membuatku terjerembab ke kasur. Nyesal banget menjawab pertanyaanya tadi. “ DI rumah ini, aku yang paling tampan! Yang paling gagah! Jadi kau jangan coba-coba rebut posisiku! Paham kau?” Bang Nanda mencengkeram leherku. Membuat lidahku terjulur. Aku memukul tangannya.
“Nantang kau?” dia membelalakkan matanya.
“Ampun Bang… sakit…!” saking sakitnya membuat air mata merembes di sudut mataku.
“Dasar banci!” dia menghempaskan tubuhku ke kasur. Rasanya tubuhku hancur luluh lantak. Kenapa aku seperti tidak punya daya dan kekuatan melawan kebrutalan kakak-kakakku. Ku coba untuk tidak menangis. Walau aku ingin. Tidak akan aku biarkan Bang Nanda melihatku menangis.
Dia mengambil cangkir berisi kopi pahit yang ada di sudut kamar. Kebiasaan Bang Nanda itu adalah suka minum kopi. Tidak mengenal waktu. Setelah itu dia akan menghisap sebatang rokok. Duduk di sampingku yang terengah-engah mengatur nafas.
“Panas sekali malam ini! Cepat bangun kau, kau kipaskan badanku ini!” bang Nanda membuka bajunya, dan melemparkan sebuah kipas kertas ke arahku. Aku tidak segera melakukan apa yang dai perintahkan. Badanku terasa sakit semua. Sepertinya ada yang patah deh tulang rusukku ini. Nafasku terasa sesak
“Buruan bangun, setan!”
Tidak mau kena hajar lagi, aku segera beringsut mendekatinya. Dan mulai mengipasi tubuhnya yang berkeringat. Dia menatapku dalam. Aku menundukkan kepala takut. Tanganku terus mengipasi tubuhnya.
“Kau kunci pintu! Cepat!” dia kembali memerintahku. Aku lakukan dengan cepat apa yang dia suruh.
“Matikan lampu!” ujarnya sambil mematikan rokoknya. Aku segera mematikan lampu. Kamar menjadi gelap gulita. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan Bang Nanda. Yang jelas dia terlihat seperti membuka celananya.
Aku masih berdiri dekat saklar lampu. Perlahan-lahan mataku mulai menyesuaikan diri dengan suasana kamar. Tadinya gelap gulita, samar-samar mulai terlihat apa yang dilakukan Bang Nanda.
“Abang sedang apa?” tanyaku, tidak mengerti dengan apa yang sedang dia kerjakan.
“Diam kau!” hardiknya dengan menahan suara. Tangannya terlihat terus bergerak-gerak di sekitar perutnya. Entah apa yang dia lakukan. Lalu tidak lama aku mendengar dia mendesah. Aku tidak berani lagi bertanya. Suasana kamar seperti ini tidak bisa membuatku paham dengan apa yang sedang terjadi.
“Kau hidupkan lagi lampu itu!” ujarnya dengan nafas tersengal-sengal. Sepertinya Bang Nanda sakit. Nafasnya terdengar tidak beraturan. Segera ku hidupkan lampu. Bang Nanda berdiri dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Dan berjalan melewatiku. Tangannya dia usapkan ke wajahku. Ada bau yang tidak sedap mengenai hidungku. Anyir dan lengket. Seperti ingus. Entah apa itu.
“Abang mau kemana?” tanyaku masih heran sambil membersihkan lendir aneh di wajahku. Baunya membuatku mual.
“Mandi!” jawabnya singkat. Bang Nanda keluar dari kamarnya sambil membawa buntalan pakaian kotornya.
Aku masih bertanya-tanya apa yang tadi dilakukan Bang Nanda?
Padahal pan udah bilang mo baca black book..
mo pundung ajah sama uda..
astaga, kok bisa lupa yahh???? hahaha, maap ya reiiii.... sebenarnya ga pede aja mention rei gitu.... jadi kalo ada yang koment dimari baru deh di mention... gituu..
lagian ceritanya ga terlalu bagus sepertinya...
hahaa, sabar brother, namanya SYAIF...hehe...
tengkiu sudah baca cerita uda yaaa...
Btw, bang Nanda gila masa coli depan Tomi, ya gelap sih tapi kan! ) )
Lanjuuut uda><)/