It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kira2 si Clif tega gak yah bunuhnya? hidup memang kejam (
up lg atuhh #penasaran
Maaf pula jika ada yang tidak berkenan di mention. Silahkan layangkan protes anda di komentar
----
Still Part 7
Bukan. Itu bukan Henry. Cliff yakin pemuda bersurai tembaga yang kini menatapnya bagai binatang buas bukanlah Henry yang menjeratnya. Bukan Henry yang selama ini selalu bersikap dingin namun mudah lumer padanya. Namun sosok fisiknya yang jelas itu mematahkan segala ragu. Itu adalah Henry, bagian dari Henry yang tidak ia kenal.
Cliff mengangkat pedang dengan ragu begitu Henry menerjang. Ia ingin bertahan untuk melindungi diri, namun sebagian hatinya menghentikannya untuk tidak melukai pemuda bersurai tembaga itu. Henry sudah berada di hadapannya, menepis tangannya dengan mudah hingga pedangnya terlempar. Henry menarik kerah Cliff, mengangkatnya dan melemparnya dengan mudah hingga membentur pohon.
Ia mengerang, merasakan rasa yang amat sakit di punggungnya. Tubuhnya terasa remuk. Ia bahkan kesulitan untuk bangkit untuk menghindar dari serangan berikutnya. Lagi-lagi Henry dengan kecepatan yang mengerikan sudah berada di hadapannya. Untuk kedua kalinya Henry menarik kerahnya, mencekiknya dengan satu tangan dan mengangkatnya tinggi.
Cliff merasakan sakit di punggung dan napasnya yang menipis. Manik birunya menatap manik merah Henry yang telah tertutup kabut nafsu. Dengan napas yang nyaris putus, ia berlirih ”Maaf, dear”. Dan menendang dada pemuda mungil itu. Henry terdorong mundur, hingga cengkeraman di leher Cliff terlepas. Cliff jatuh terduduk di tanah, terengah, berusaha untuk kembali bernapas normal.
Henry menggeram, bagai serigala yang lapar. Dengan cepat ia kembali menerjang, menghimpit Cliff di antara pohon dan dirinya. Ia mencengkeram bahu Cliff, membuat pemuda itu meraung menahan sakit, sementara Cliff berusaha mendorong bahu Henry untuk menjauh darinya. Henry membuka mulutnya lebar, menampakkan kedua taringnya yang tajam. Berkali-kali ia berusaha mendekat, menancapkan kedua taringnya di bahu Cliff namun pemuda itu berhasil menghindar meski sulit.
“Henry— sadarlah! Ini aku.” Cliff terengah, berusaha berbicara. Berharap Henry mendengarnya.
Namun Henry telah buta oleh rasa lapar. Masih agresif dan berusaha menancapkan taringnya. Cliff bisa saja meraih belati mungil yang tersembunyi di sepatunya, namun tidak ia lakukan.
“Henry, dengarkan aku!” Serunya sekali lagi.
Henry berhasil menyingkirkan tangan Cliff dari kedua bahunya, semakin menghimpit tubuh Cliff di batang pohon. Ia membuka mulutnya yang lapar, dan mengarahkan giginya di perpotongan leher Cliff.
“HENRY!”
Bibir Henry telah menyentuh perpotongan leher Cliff, namun taringnya tak menancap. Henry berhenti. Ia terengah hingga napasnya yang panas terasa di leher Cliff. Kedua cengkeramannya di bahu Cliff mengendur. Kabut keserakahan di matanya menghilang. Ia menarik diri dan terkejut ketika ia bisa melihat sepasang safir menatapnya dengan campuran ketakutan, kesenduan dan luka yang amat nyata.
Henry berdiri, menunduk menatap tangannya yang bergetar hebat. Ia berbalik, melangkah dengan langkah yang berat dan masih menatap kedua tangannya. Dadanya terasa amat sesak oleh ketakutan dan mimpi buruk yang nyaris menghinggapinya. Ia terengah. Henry mengerang, tatapannya tak lepas dari kedua tangannya. Tangan yang melukai sang Duke.
Cliff merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia menyentuh bahunya yang terasa remuk. Matanya tak lepas dari Henry yang melangkah menjauhinya. Apakah Henry sudah sadar? “—Henry?”
Cliff terkejut ketika tiba-tiba Henry menjerit. Pemuda tembaga itu jatuh berlutut dengan kedua tangan yang mengusap kasar wajah dan rambut. Henry berhenti menjerti, namun Cliff masih bisa mendengar suara isakan yang pilu. Garis punggungnya melengkung hingga dahinya menyentuh tanah. Dan Henry masih menangis.
Henry mengangkat wajah, mendongak menatap langit yang kelam. Bulan yang bersinar seolah mengejeknya. Air matanya mengalir deras, mengalirkan ketakutan, kesedihan, dan keterpurukannya. Dan pemuda itu berteriak. Ia meraung, mencakar wajahnya hingga menggores luka perih. Luka yang menutup dengan cepat tanpa bekas.
Cliff berusaha berdiri dengan tubuh yang lelah. Henry tak berhenti meraung dan menangis. Ia tak berhenti mencakari wajahnya bahkan hingga ke leher, berharap ketakutannya menghilang. Namun sia-sia. Setiap kali lukanya menutup, ia bisa merasakannya. Ketakutan Cliff, ketakutannya, dan kegelapannya.
Sang Duke mengambil kembali pedangnya. Ia menggenggamnya erat di kedua tangan, dan menghampiri Henry. Menghampiri pelaku penyerangan yang selama ini Tuan Silvercrow dan seluruh penduduk kota resahkan. Ini bukan Henry, yakinnya. Ia bisa segera membunuhnya yang kini lengah. Ia bisa membunuhnya dengan mudah dengan menancapkan pedangnya ke jantung pemuda itu.
Genggaman di gagang pedang semakin erat. Ia mengacungkannya tinggi, mengarahkan ujungnya ke punggung pemuda itu. Napasnya meliar. Ia hanya perlu menancapkannya, dan kasus ini akan berakhir. Agar tak ada lagi korban. Ia akan mengakhirinya. Membunuhnya.
Membunuh Henry nya.
“Henry, hentikan!” Cliff berlutut di hadapan Henry setelah melempar pedangnya jauh, menahan kedua tangan pemuda itu untuk tidak lagi mencakar wajahnya. Namun dengan mudahnya Henry menepisnya, membuatnya tersungkur. Dan Henry tetap meraung, menangisi dirinya, dan mencakar wajahnya hingga berdarah.
Tidak peduli meski Henry terus menepis sentuhannya, melemparnya dengan mudah, Cliff tidak menyerah dan terus menahan Henry, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. Cliff akan terus berteriak “Hentikan!” berusaha menyaingi raungan Henry. Karena ia tidak bisa membiarkan Henry melukai dirinya, membuatnya tampak menyedihkan. Wajah pemuda itu bahkan nyaris tertutupi oleh darah seluruhnya.
Cliff memeluk Henry erat, bertahan meski Henry mendorong tubuhnya dengan kuat. Ia tidak akan berhenti berbisik “Hentikan” pada pemuda itu.
“Hentikan, kumohon.”
Raungan Henry terhenti, membuat Cliff lega. Ia mengelus surai tembaga pemuda itu dan berbisik “tenanglah” dengan lembut. Namun tangisan itu tak berhenti. Kedua tangannya mencengkeram erat pakaian Cliff. Di sela tangisannya ia melirih “Aku membunuhmu”, terdengar menyedihkan dan menyayat di telinga Cliff hingga membuatnya menggigit bibir bawah menahan pilu.
“Tidak, Henry. Aku masih hidup.”
“Aku nyaris membunuhmu.” Jeritnya lalu terisak.
“Tapi tidak kamu lakukan.” Cliff tak henti mengelus kepala Henry, mengirimkan ketenangan dari telapak tangannya. Ia mengecup pelipis pemuda itu, meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.
“Seharusnya aku mendengarkan kata Smith untuk menjauhimu.” Ucap henry begitu isakannya telah berhenti. Ia melepaskan pelukan Cliff, dan mendorong bahu pemuda itu untuk menjauh darinya. “Jadi jauhi aku.”
Cliff menangkup wajah Henry yang kini telah dipenuhi oleh darah, lalu dibersihkannya dengan lengan panjang dari bajunya yang sobek. “Tidak. Aku tidak akan menjauh.”
Henry kembali mendorong bahu Cliff. “Tinggalkan aku!” serunya.
“Tidak akan. Aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkanmu meski kamu memintanya.”
“Apa kamu lupa? Aku nyaris membunuhmu!”
“Aku masih hidup, Henry.” Cliff mendekat, meraih wajah Henry dan memberikan kecupan singkat di bibir pemuda itu. “Kita akan melewati ini bersama. Aku janji.”
Cliff menarik keluar belati mungil dari sepatunya. Sedikit meringis ketika menggoreskan luka yang dalam di telapak tangannya. Ia melemparkan belati itu ke samping, dan menyodorkan tangannya yang mengalirkan darah segar pada Henry. “Minumlah.”
Henry menatap Cliff dan luka di telapak tangan pemuda itu yang mengalirkan darah yang menggoda. “Cliff?”
“Mulai saat ini, jika kamu lapar, mintalah padaku.” Ia menempelkan luka itu di bibir Henry.
Henry awalnya ragu, namun bau anyir darah yang begitu menggoda meruntuhkan keraguannya. Ia menjilati luka Cliff, menyedot darah pemuda itu tanpa perlu menancapkan taringnya. Dibandingkan darah korban yang selama ini ia nikmati, darah Cliff lah yang memiliki rasa yang begitu menggoda. Seteguk darah pemuda itu bahkan mampu melegakan dahaganya yang selama ini bagai guci yang berlubang.
Cliff tersenyum, lega melihat Henry menjadi lebih tenang. Pemuda itu tak henti menjilati luka dan menyedot darahnya. Ia menghela begitu kepalanya terasa pusing. Darah yang terus berkurang, ditambah rasa sakit di tubuh yang sejak tadi ia tahan, secara perlahan merenggut kesadarannya. Dan pemuda itu tumbang di hadapan Henry, dengan kening yang tersandar di bahu pemuda itu.
“Cliff?” Henry berhenti menjilati luka Cliff. Ia mengguncang tubuh pemuda itu dan memanggil namanya sekali lagi.
“Sadarlah, Cliff!” serunya. Ia tak berhenti mengguncang tubuh pemuda yang kini berada dalam pelukannya. Ketakutan kembali merajainya. Begitu banyak pemikiran pesimis yang terlintas di kepalanya.
“Sadarlah, Cliff” serunya sekali lagi. Henry takut. Sangat takut. “Kumohon.”
“CLIFF!”
@zakrie thank u~ *kecupbecek