It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ternyata henry toh makhluk itu. kok bisa sih?
ya jelas pingsan laa. kekurangan darah itu. tp sukur gak sampe kering tuh.
cliff lopyupul daah. ayoo sembuhkan henry
Maaf pula jika ada yang tidak berkenan di mention. Silahkan layangkan protes anda di komentar
Part 8
“Minumlah.” Smith menawarkan. Namun untuk kesekian kalinya Henry menolak, menggeleng lemah.
Smith resah. Sudah beberapa hari ini Henry terbaring tak berdaya di tempat tidur. Tubuhnya masih sama, namun wajahnya tampak lebih pucat. Henry menolak untuk minum segelas air pun. Smith tidak mengkhawatirkan mengenai makan, karena selama ini pemuda itu memang makan hanya sebagai kamuflase semata. Darah adalah sumber makanan utamanya. Namun pemuda itu tetap butuh minum.
“Bagaimana dengan darahku, Henry?”
Henry menggeleng lemah, membuat Smith semakin frustasi. Harusnya Henry bisa meminum darahnya seperti yang selama ini dilakukannya. Atau darah dari orang lain. Cukup beberapa teguk dan Henry bisa hidup selama seminggu. Tapi begitu ia mendengar dari Bree bahwa Henry telah mencicipi darah Cliff, Smith menjadi kalut. Ia tahu darahnya tidak akan berguna lagi. Henry akan menjadi lebih lapar dari sebelumnya, dan hanya darah Cliff yang akan membuatnya tetap hidup. Tubuhnya akan bereaksi secara spontan menolak darah selain darah Cliff.
Ia menatap sendu pada punggung Henry yang kini berbaring menyamping memunggunginya. Mengingatkannya pada sosok wanita penguasa malam yang juga mengalami hal yang sama. Ibu Henry.
Smith mencengkeram erat tongkat penyangganya. Seharusnya ia bertindak lebih tegas lagi menjauhkan Cliff dari Henry. Ia seharusnya tidak menutup mata selama ini seperti yang Bree lakukan. Harusnya seperti itu, tapi ia sendiri tahu bahwa apa yang ia rencanakan hanyalah sia-sia. Henry, entah bagaimana caranya, akan selalu bersama Cliff. Seperti telah ditakdirkan bersama.
Ia bisa membunuh sang Duke saat ini, tidak peduli gelar pemuda itu jauh amat tinggi darinya. Ia akan membunuhnya demi Henry. Tapi ia sadar, membunuh Cliff sama saja dengan secara tidak langsung membunuh Henry.
Tangan kurus Smith terangkat. Perlahan, tangan yang selalu bergetar lemah tanpa daya itu mengelus rambut tembaga Henry.
Hitam yang pekat adalah warna pertama yang menyambutnya begitu ia membuka mata. Anehnya, tubuhnya baik-baik saja tanpa rasa nyeri yang hebat, mengingat terakhir kali sebelum kesadarannya menghilang adalah tubuhnya terasa remuk. Mengedarkan pandang, ia tidak menemukan apapun selain kegelapan.
Cliff berjalan, melangkah tanpa arah. Ia tidak tahu apakah ia melangkah lurus, berbelok atau telah berjalan memutar. Nalurinya lah yang menuntun kakinya. Hingga pada jarak yang cukup dekat, ia melihat sosok Henry berdiri menghadapnya. Pemuda itu tersenyum, membuat perasaan rindu menyerangnya.
Ia hendak berlari, namun kakinya terasa berat. Tenggelam di lautan cairan merah berbau anyir. Ia hendak meraih, namun tangannya tak mampu bergerak. Terikat oleh rantai yang tertancap di dasar genangan darah di bawah kakinya. Cliff meronta, meneriakkan nama dari pemilik separuh hatinya, namun Henry masih tetap diam. Masih dengan senyum yang sama, membuat Cliff merana.
“Henry!” teriaknya. Tidak peduli meski pita suaranya akan rusak. Ia meronta, berusaha melepaskan rantai yang membelenggu kedua tangannya, berusaha mengangkat kedua kakinya yang tenggela di lautan darah. Namun nihil.
Dadanya seperti dirobek ketika pemuda yang ia puja penuh cinta itu berbalik, melangkah menjauhinya. Tanpa kata dan tanpa suara. Meninggalkannya terbelenggu dengan hati yang tercabik. “Henry.” Lirihnya.
Lautan darah semaking meninggi, melewati betis dan paha. Terus semakin meninggi. Cliff tak berdaya, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan merah. Menyeretnya dalam arus yang deras, membawanya ke dalam pusaran.
“Henry!” jeritnya. Ia terbangun. Sekali lagi kegelapan menjadi hal pertama yang tertangkap oleh netranya. Bagai déjà vu, ia melihat ke sekeliling. Tak ada apapun. Ia berlari tak menentu. Hingga sekali lagi ia menemukannya. Menemukan Henry tersenyum padanya. Tanpa ragu, tanpa ada yang menghalanginya, ia memeluk erat sang kekasih. Berbisik “jangan pergi” di setiap hela napasnya.
Henry membalas pelukannya. Menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Cliff. Ia berbisik “Tidak akan.” Yang membuat Cliff lega.
“Aku mencintaimu.” Adalah bisikan kedua yang Cliff dengar sebelum sosok lain merenggut Henry darinya, melepaskan pelukan erat mereka secara paksa. Henry berteriak, menyerukan namanya. Begitupula Cliff.
Cliff tidak mampu melihatnya secara jelas, namun ia bisa melihat tatapan mata merah bagai binatang buas yang lapar dan seringaian yang menunjukkan seluruh taring di dalam mulutnya. Makhluk tinggi besar itu memeluk Henry dari belakang. Tersenyum mengejek padanya. Cliff berteriak, berusaha berlari. Namun sekali lagi usahanya sia-sia. Tidak ada rantai yang membelenggu kedua tangannya, tidak ada lautan darah yang menjebak kedua kakinya. Namun ia hanya terpaku di sana.
“Henry!” Cliff menjerit begitu makhluk itu menancapkan seluruh taringnya ke leher Henry, membuat pemuda tembaga itu menjerit pilu, menjeritkan nama Cliff. “Hentikan!” raungnya. Giginya bergemeretak oleh ketakutan dan kemarahan. Tangannya terkepal amat erat hingga kukunya tertancap di telapak tangannya, menciptakan luka.
“Hentikan!” sekali lagi ia meraung. Ia hanya berdiri di sana, tak mampu bergerak, melihat bagaimana tubuh Henry perlahan mongering di setiap detiknya. Ia jatuh berlutut begitu tubuh Henry yang bagai mumi, kering kerontang itu, terjatuh. Air mata Cliff mengalir deras.
Cliff menjerit. Menjeritkan kesedihan, kekecewaan dan kemarahannya. Menjeritkan nama sang kekasih. Henry.
“Henry!”
Cliff terbangun dengan air mata yang mengalir di pelipis. Ia tersengal dan keringat membasahi tubuhnya. Beberapa kali ia berkedip untuk membiasakan netranya, dan mendapati dirinya telah berada di dalam sebuah kamar. Ia bangkit dan kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar. Berusaha meyakinkan pandangannya bahwa tak ada kegelapan yang menyambutnya. Mimpi kah?
“Kau sudah bangun?”
Cliff menoleh, melihat Bree yang tengah bersandar di jendela kamar yang besar tanpa menatapnya. Cliff membuka mulut, berusaha berbicara. Namun yang keluar dari mulutnya hanya suara serak yang tak bermakna.
Bree menghampiri nakas begitu mendengar suara serak dari Cliff. Meraih segelas air dan menyerahkannya pada Cliff. “Anda tertidur tiga hari. Wajar jika suara anda serak.”
“Di mana Henry?” menjadi pertanyaan pertama yang diucapkan Cliff begitu ia telah menemukan suaranya. Cliff begitu khawatir. Terakhir kali yang diingatnya sebelum kesadarannya terenggut adalah sosok Henry yang sedang meneguk darah dari lukanya. Menyadari bahwa Henry lah pelaku yang selama ini ia dan Mr. Silvercrow cari. Ia takut Henry akan ditawan oleh Mr. Silvercrow. Belum lagi mimpi buruk yang mempengaruhi pikirannya membuatnya semakin khawatir.
Bree kembali bersandar di jendela, lebih berminat memandangi pemandangan malam yang kelam. “Dia baik-baik saja, anda tidak perlu mengkhawatirkannya.”
“Aku bertanya di mana dia?”
Bree menghela. “Entah. Aida membawanya.”
“Aida? Ke mana?”
Bree menatap Cliff, tak menjawab pertanyaan pemuda itu. “Anda begitu mencintainya ya?”
“Tentu.” Jawaban tanpa ragu itu membuat Bree mendengus geli.
“Meski Henry adalah Vampir?”
“Ya, meski Henry vampir, meski ia lah pelaku yang selama ini kami cari, aku tidak peduli.”
“Jadi, apa yang akan anda lakukan? Anda sudah tahu jika Henry lah pelakunya. Apa yang akan anda lakukan?”
“Aku—“ ya, apa yang akan dilakukannya? Cliff belum memikirkannya sejauh itu. Yang terpikir olehnya saat itu adalah bahwa ia tidak peduli meski Henry adalah vampire. Ia tetap akan menerimanya. Namun ia belum memikirkan bahwa Henry adalah pelaku yang Mr. Silvercrow cari. Henry bisa dipancung atau dibakar sebagai hukuman. Jika Aida yang membawanya maka Henry berada dalam bahaya. Mungkinkan wanita itu akan membawanya ke Graham? “Dimana Henry? Katakan!”
Namun Bree mengabaikannya. Pria itu menatapnya intens. “Apa yang akan anda lakukan?” mengulangi pertanyaan yang sama. “Anda seorang Duke. Apa anda akan mempertaruhkan gelar anda begitu saja demi makhluk kegelapan penghisap darah?”
Cliff geram. “Jangan berani-berani menyebutnya seperti itu.” Serunya.
“Apa yang akan anda lakukan?” Bree membalasnya dengan seruan yang lebih keras.
“Aku akan melindunginya. Aku tidak peduli pada gelar yang kumiliki. Akan kupertaruhkan semua yang kupunya untuknya. Termasuk gelarku.”
Bree mendengus geli dan tertawa amat keras hingga ia perlu memegangi perutnya yang terasa sakit sebelum tersenyum amat lebar. “Baguslah.” Ucapnya lega. “Anda tidak perlu khawatir dengan Aida. Ia tidak akan menyerahkan Henry pada Mr. Silvercrow. Ia bukan wanita yang setega itu untuk melukai pemuda yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.”
Cliff lega. Setidaknya ia tahu Henry baik-baik saja. “Jadi, dimana dia sekarang?”
“Tanyakan pada Aida.”’
Cliff menepis selimut tebal dari kakinya dan bangkit dari tempat tidur. Ia segera ke pintu kamar. Berhenti sejenak dan berbalik. Menatap Bree yang menatap jendela kamar. “Terima kasih sudah merawatku.”
Bree menggoyangkan tangan seperti menepis udara. “Jangan berterima kasih padaku. Aku hanya diperintahkan untuk menjagamu. Aida yang mengobati lukamu.”
Cliff terperangah. Tiga hari mengobati seluruh lukanya dan tulangnya yang patah, hingga sembuh seolah tak pernah luka sekalipun? “Bagaimana—?”
“Tentu saja, sihir.”
Pintu ruang kerja Mr. Silvercrow terbuka dengan suara yang keras. Graham berdiri dari kursi kerja. Ia nyaris berteriak marah sebelum menyadari Cliff lah yang berdiri di ambang pintu. “Mr. Scarlet? Apa anda sudah lebih baik?”
Namun Cliff tak menjawab. Ia menghampiri Aida yang duduk di sofa dekat perapian. Keningnya mengernyit bingung menatap Cliff. “Mr. Scarlet? Anda sudah sehat?”
“Dimana Henry?”
“Henry?”
“Aku bertanya, di mana Henry?” Cliff yang tidak sabaran menjadi lebih mengerikan. Tatapannya tajam. Ia menarik tangan Aida dengan kasar hingga wanita tua itu berdiri.
Graham tentu tak tinggal diam begitu wanita pengisi hidupnya itu diperlakukan dengan kasar. “Mr. Scarlet!” Ia menghampiri keduanya. Melepaskan cengkeraman tangan Cliff dari tangan Aida. “Saya tidak peduli jika anda adalah Duke. Saya tidak akan tinggal diam jika anda melukai Aida.”
Aida tersenyum, menatap Graham penuh cinta. “Tidak apa, my dear.” Ia mengelus pipi pria tua itu.
Graham nyaris terjatuh jika Aida tidak menahannya. Entah apa yang dilakukan Aida, pria tua itu telah tertidur, membuat Cliff terkejut. Sihir kah? Aida memapah Graham dan mendudukkan tubuh tua itu dengan nyaman di sofa. Mengecup kening Graham dan berbisik “Beristirahatlah.”
“Di mana Henry?”
“Duduklah, Mr. Scarlet.”
Namun Cliff masih bersikeras. Ia sungguh menjadi tidak sabaran. “Di mana dia?” tekannya.
Cliff nyaris kembali menarik tangan Aida. Namun wanita tua itu bergerak lebih dulu. Mengangkat tangannya, mendorong tubuh Cliff tanpa menyentuhnya. Cliff terperangah ketika merasakan tubuhnya terdorong dengan pelan dan tanpa mampu mengendalikan tubuhnya, ia telah duduk di sofa di hadapan Graham. “Nah, begitu lebih baik.” Aida tersenyum.
“Apa yang—“
“Aku dan Henry sama. Namun dari jenis yang berbeda. Anda pasti sudah tahu, jika Henry adalah vampire. Apa anda tidak takut dengan itu?”
Cliff sudah mendengar pertanyaan yang nyaris sama dari Bree, dan Cliff tetap teguh pada pendiriannya. “Jujur saja aku takut. Ia jadi berbeda. Namun nyatanya, aku tidak bisa untuk tidak mencintainya.”
“Apakah anda tetap mencintainya meski anda tahu bahwa anda tertarik padanya karena feromon?”
“Maksudmu?” Cliff hendak berdiri. Namun Aida kembali menahan tubuhnya, tanpa menyentuhnya.
“Makhluk seperti kami memiliki feromon yang kuat untuk memikat manusia. Terutama vampir, karena begitulah cara kaum mereka untuk memikat mangsa. Apa anda tidak menyadari bahwa anda telah terjebak oleh fermonon Henry?”
“Jangan berbual, Aida!” geram Cliff. Kedua tangannya mencengkeram erat pegangan sofa.
“Apa anda tetap mencintainya meski telah melihat dirinya yang sebenarnya?”
Cliff sudah melihat sisi lain dari Henry yang nyaris membunuhnya. Ia memiliki kesempatan untuk membunuh Henry saat itu. Namun ia tidak melakukannya, karena ia tahu, ia tidak bisa membunuh separuh hatinya. Dengan mantap Cliff mengangguk. “Tentu.”
Aida tersenyum.
“Apa tujuanmu, Aida?”
Aida mengibaskan tangannya, meraih cangkir teh di meja kecil dan meminumnya. Lagi, ia tersenyum. “Untuk memastikan sesuatu, sebelum Henry menjadi ketergantungan akan darah anda.”
Kening Cliff mengernyit. Ia tidak mengerti.
“Vampir memang menghisap darah sebagai makanan utama. Siapapun dan apapun. Namun tidak jika dia adalah setengah manusia setenga vampir. Ketika ia mencintai manusia, ia tidak akan bisa meminum darah lain selain darah manusia yang ia cinta.” Aida melirik cliff. “Ia akan jauh lebih lapar dibanding sebelumnya. Darah anda akan menjadi menu makannya setiap hari. Apa anda siap dengan itu?”
Cliff menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. Tatapan Aida nyaris meruntuhkan keteguhannya. Namun ia kembali mengangguk mantap. “Aku siap. Jadi katakan di mana Henry!”
PRANG!
Tiba-tiba suara kaca yang pecah dan teriakan terdengar. Aida berbalik, menatap pintu ruangan dengan penuh tanya. Cliff berdiri dari sofa melakukan hal yang sama, sepertinya pengaruh sihir Aida telah menghilang. Mereka bisa mendengar suara kaki yang berlari hingga pintu terbuka.
“Nyonya, tuan Henry dan Tuan Smith—!”
Aida tak menunggu penjelasan kepala pelayannya. Ia segera berlari, diikuti Cliff yang panik begitu mendengar nama Henry disebutkan. Ia mengikuti Aida, berlari menaiki tangga utama, lorong utama dan berbelok ke lorong rumah yang lebih sempit.
“Smith!” Aida berseru begitu ia melihat Smith terduduk di depan pintu kamar yang terbuka. Sebelah tangannya terluka, mengucurkan darah. Sementara tongkat penyangga yang terpegang di tangannya nyaris patah. Wanita tua itu berlutut di sebelah Smith, menyentuh luka pria tua itu. Meluncurkan kata-kata asing dari mulutnya hingga pendar kuning terlihat dari sela jemarinya.
“Apa yang terjadi?” Cliff berlutut di hadapannya.
Hal yang tak disangka, Smith menatap Cliff murka. Dengan satu tangannya yang tak terluka, ia menarik kemeja depan pemuda itu. “Ini salahmu. Ini kesalahanmu.” Desisnya, sebelum air matanya tumpah. Ia melepaskan kemeja Cliff, dan mengusap wajahnya. Air matanya tak berhenti, dan mulutnya meracaukan “Henry, my dear.” Berulang kali.
Cliff merasakan hal yang sama ketika ia melihat Henry sebagai vampir. Punggunya tiba-tiba terasa dingin. Ia berdiri. Ia menelan ludah ketika merasakan tenggorokannya kering. Dengan pelan ia berbalik, berjalan memasuki kamar yang kini berantakan. Bantal bulu angsa yang terkoyak dan bulu angsa yang bertebaran di seluruh ruangan, lemari yang berada di sudut ruangan dengan posisi yang janggal, kursi dan meja yang patah, kaca jendela yang pecah, cermin rias yang kini kacanya bertebaran di sisi tempat tidur. Ada bercak darah di tempat tidur, di sisi tempat tidur hingga ke pintu yang ia duga sebagai darah Smith.
“Henry?”
Cliff bisa mendengar suara isakan yang parau. Ia mendekat dan kembali memanggil “Henry.”
Merangkak keluar dari bayangan, membuat pemuda Scarlet nyaris melompat terkejut. Sosok itu bagai mimpik buruknya yang menjadi nyata, merangkak keluar dari kegelapan. Sosok itu berkulit pucat nyaris transparan, menampakkan garis pembuluh darahnya yang hitam karena darah yang telah beku. Tubuhnya begitu kurus dan ringkih dengan cakar yang sepanjang jari di kesemua jemarinya. Sayapnya yang tipis menggantung di punggung, dan ekor yang tajam dan tipis bagai cemeti bergerak lamban di belakang tubuhnya.
Wajah makhluk itu jauh lebih menakutkan. Begitu kurus hingga tulang pipinya menonjol keluar. Matanya yang merah bagai darah begitu besar, berkilau cerah. Telinganya besar dengan ujung lancip dan kepalanya nyaris botak dengan rambut yang tipis di beberapa bagian. Yang membuat Cliff terkejut, makhluk itu tidak memiliki hidung, hanya dua lubang garis tipis, dan mulutnya hanya berupa garis yang seperti ditorehkan di sepanjang garis bibir. Makhluk itu membuka mulut, menampakkan deretan gigi taring yang tipis dan mungil namun tajam. Mengingatkan Cliff pada mimpinya.
“Cliff…” suara parau itu terdengar. Merangkak mendekatinya.
Cliff melangkah mundur, merasakan ketakutan yang amat sangat di seluruh tubuhnya.
“Cliff…” sekali lagi suara parau itu terdengar, sebelum makhluk itu melompat dan menerjang Cliff, mengarahkan cakarnya yang tajam ke tubuh pemuda itu.
Beruntung Bree mampu bergerak lebih cepat. Pria itu sudah berada di hadapan Cliff, menahan kedua tangan Henry yang nyaris menyentuhnya. “Henry, hentikan!”
Kepala Cliff dihantam dengan keras oleh kenyataan. Makhluk mimpi buruk di hadapannya ini adalah Henry-nya?
“Cliff, pergi!” Bree berusaha menahan Henry yang kini mendorongnya.
“Tapi—“
“Dia bukan lagi Henry yang kamu kenal.” Bree kini membalas mendorong. Dengan kuat ia melempar Henry hingga membentur tembok, membuat makhluk itu menggeram dan meraung.
“Dia—Henry?”
“Dia bukan—Shit!” Henry kembali menerjang. Bree berusaha menahannya, namun makhluk itu bergerak lebih cepat. Menancapkan kukunya yang tajam ke tubuh Bree dan melemparnya ke sisi ruangan, mendarat di pecahan kaca.
Cliff melangkah mundur. Ia ingin berlari pergi, namun ada hal lain yang menahannya. Yang dihadapannya saat ini, menggeram dan menatapnya bagai binatang buas adalah Henry-nya. Tapi bagaimana bisa? Ataukah sosok ini adalah wujud asli dari Henry? Apakah ia mencintai makhluk mimpi buruk ini? Jadi benarkah kata Aida bahwa selama ini ia terjebak di dalam feromon yang begitu kuat?
Henry menerjang, dengan satu tangan mencengkeram bahu Cliff, menahannya di tembok. Cliff berteriak merasakan sakit ketika kuku tajam itu melubangi bahunya. “Cliff…” ia bisa mendengar suara parau itu dari mulut Henry. Cairan hitam mengalir dari kedua matanya yang lebar, mengalir di pipinya yang kurus, membakar di sepanjang jalurnya hingga menciptakan suara desisan. Cliff menyadari, Henry menangis. “Henry?”
Aida muncul di pintu. Terkesiap melihat sang Duke tengah di tahan Henry, dan Bree yang terluka tak berdaya di lantai. Ia mengangkat satu tangan, dan tanpa menyentuh mendorong Henry menjauh dari Cliff, membuat sang Duke jatuh berlutut, menyentuh bahunya yang terluka. Aida terus mendorong Henry yang berontak tak berdaya. Hingga punggung bersayap monster itu menyentuh tembok.
“Henry, my dear, sadarlah.”
Namun Henry meraung dengan keras, tak peduli.
“Henry!”
Tiba-tiba, Henry membuka lebar mulutnya, melengkingkan suara yang memekakkan telinga. Dan secara spontan, Aida menutup kedua telinganya, melepaskan sihirnya dari Henry. Henry yang mendapat kesempatan menggunakan ekornya dan mencambuk Aida hingga terlempar ke tempat tidur.
Henry merangkak, menghampiri Cliff yang terengah. Cliff berusaha berdiri, mengambil pedang yang tergantung di dinding. Mengacungkan ujungnya pada Henry. Makhluk itu melompat, menerjang Cliff yang menyabetkan pedangnya. Makhluk itu terpekik, melangkah mundur namun naas tangannya terluka saat melindungi diri, menciptakan luka yang lebar namun tidak berdarah.
Sekali lagi ia menggeram, dan kembali menerjang. Berhasil menghindari sabetan lainnya. Menangkap bahu Cliff yang terluka hingga pemuda itu berteriak, dan melemparkannya ke balkon. Belum sempat Cliff bangkit, Henry lebih dulu menangkap kedua bahunya. Ia melompat dari balkon, membentangkan sayapnya yang lebar dan terbang ke taman belakang kediaman Silvercrow.
Namun sayang, Henry belum terbiasa untuk terbang hingga akhirnya keduanya terjatuh. Cliff berguling di tanah dan menghantam semak, sementara Henry berguling dan membentur patung taman.
Aida bangkit dari tempat tidurnya ketika berhasil menyembuhkan luka sobek di pinggangnya, dan menghampiri Bree. Luka pria itu telah sembuh tanpa bekas. “Bangkit, pemalas. Kita harus segera mengejar Henry sebelum ia membunuh Cliff.” Aida segera berlari keluar ruangan. Bree membuka mata dan mendengus. Ia berlari mengikuti Aida, sebelum kakinya ditahan oleh Smith.
Cliff berdiri. Ia nyaris berteriak ketika merasakan bahunya terasa ngilu. Napasnya terengah, menatap Henry yang juga bangkit, menggeram menatapnya bagai binatang yang lapar. Henry melompat, membentangkan sayapnya dan menerjang Cliff. Membuat keduanya terguling di atas rumput taman sebelum Cliff terlempar dan terguling di sisi air mancur.
Henry kembali menerjang, menahan tubuh tak berdaya Cliff di bawahnya. Ia menggeram dengan air mata hitam yang panas di wajahnya. Cliff meronta, berusaha melepaskan diri. Namun Henry jauh lebih kuat darinya. Henry dengan suaranya yang parau berbisik “Cliff…”, lalu menggigit bahu pemuda itu.
Cliff berteriak begitu taring-taring tajam itu tertancap di bahunya. Ia meronta dan menendang, berhasil mendorong Henry menjauh darinya, menciptakan luka cabik dibahunya. Cliff mengerang, merasakan sakit yang amat di bahunya yang kini mengalirkan darah. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ia linglung dan jatuh dengan punggung yang tersandar di pinggir kolam pancuran.
Makhluk itu melompat, membentangkan sayap dan menerjangnya. Cliff terengah, mengarahkan ujung pedang pada Henry. Cliff tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya untuk melawan jika Henry kembali menyerang atau menggigitnya. Namun mengejutkan, ujung pedangnya menembus dada Henry begitu makhluk itu sudah berada di atasnya. Henry berteriak ketika pedang itu menembus tubuhnya. Ia mengerang dan dengan suara parau ia berkata “Cliff…”
Cliff tersentak kaget begitu melihat Henry tak berdaya di hadapannya. Pegangan di gagang pedang terlepas, hingga makhluk itu terjatuh di sampingnya. Cliff bangkit, menatap Henry yang menggeram lemah. “Henry?”
Asap hitam tiba-tiba menyelimuti tubuh makhluk itu, sebelum akhirnya menguap dan menyisakan tubuh pemuda bersurai tembaga, dengan pedang yang tertancap di dada. Cliff menggeleng lemah. “Tidak, tidak.” Ucapnya lemah. Ia mengangkat tubuh Henry yang tak berdaya, memeluknya di lengannya.
“Henry, my dear.” Suara serak Cliff terdengar. Air matanya mengalir deras. “Maafkan aku, Henry.” Air matanya terjatuh, membasahi wajah Henry yang pucat.
Henry membuka matanya perlahan, tersenyum lemah mendapati wajah Cliff di hadapannya. “Tidak apa Cliff.” Ucapnya diantara sesak. “Aku yang harusnya minta maaf karena melukaimu.” Ia mengangkat tangannya yang kini terasa lebih berat, mengelus wajah Cliff dan mengusap air mata pemuda itu.
Cliff menutup mata, merasakan sentuhan Henry di pipinya. Isakannya terdengar dan air matanya kini mengalir lebih deras.
“HENRY!” Smith meraung begitu ia melihat Henry dalam dekapan Cliff, dengan pedang yang tertancap di dada. Ia melepaskan diri dari papahan Bree yang terpaku, nyaris terjatuh saat menyeret kakinya menghampiri buah hatinya yang tak berdaya. Aida yang juga tiba di sana, kini jatuh berlutut, tak mampu berbuat apapun, menyadari bahwa ia terlambat.
“Ini salahmu!” raung Smith, mendorong tubuh Cliff. Namun Cliff yang terisak, tak pernah melepaskan dekapannya pada Henry. Smith meraih wajah Henry dengan hati-hati. “Henry, my son, kenapa kamu lakukan ini?”
Air mata pria tua itu menitik ketika Henry dengan lemah tersenyum padanya. Tangan pemuda itu terangkat, menggenggam erat tangan Smith di wajahnya. “Maaf, Ayah. Aku yang menginginkannya.” Ujarnya lemah. Smith mengusap wajah, ia menangis.
Henry beralih, menatap Cliff yang tak henti menatapnya. “Cliff…” suaranya yang semakin lemah terdengar.
“Ya, my dear?” Cliff terisak, tak mampu menahan air matanya yang terus mengalir. Ia mengusap wajah Henry penuh cinta.
“Kau mencintaiku?”
Cliff menunduk, mengecup kening, hidung dan bibir Henry yang terasa lebih dingin. “Aku selalu mencintaimu, sampai kapanpun.”
Henry tersenyum lega. Ia menggenggam erat tangan Cliff di wajahnya. Menatap mata biru Cliff dan dengan lemah ia berbisik. “Aku juga mencintaimu. Selalu.” Dan manik merah itu terpejam pelan.
Perlahan, dari luka di dada Henry, tempat dimana pedang itu tertancap, tubuh Henry berubah warna menjadi gelap bagai arang. Cliff menyerukan nama Henry tanpa henti hingga seluruh tubuh pemuda itu berubah menjadi hitam, bahkan surai tembaganya.
Sedetik kemudian, tubuh Henry menjadi asap hitam yang perlahan menghilang terbawa oleh angin.
Cliff meraung, menyerukan nama Henry, memeluk udara kosong di dadanya. Tangisannya tak berhenti, mengalir bersama kepedihannya.
Henry-nya, separuh hatinya, kini telah pergi meninggalkannya selamanya.