It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@harya_kei sini sya gombalin. hehe
@harya_kei mau digombalin pakai setangkai bunga bangke gak?
@Roynu hahaha syukur ya kalau dianggap romantis
henry klo cemburu lucu. gemes jadinya. gak salah cliff yg tadinya patah hati jd ketawa2.
kau sepertinya orang yg romantis ye tees?
@lulu_75 iya, pelan tapi pasti Henry suka Cliff. Kenapa suka bulan? Mungkin Henry anggota GGS *digampar
mention y ts..tq
mention y ts..tq
Oath --- End Part 6
“Aku akan kembali ke timur.”
Pagi itu keduanya duduk berhadapan menikmati sarapan pagi seperti hari-hari sebelumnya. Setelah piring sarapan keduanya tandas, Cliff akan mengeluarkan setangkai tulip merah dari kemeja coklat pudarnya dan memberikannya pada Henry. Henry akan menerimanya tanpa ragu dan akan membawanya di balik kemeja lusuhnya hingga malam menjelang. Tulip merah itu akan ia letakkan di dalam vas bersama tulip-tulip merah lainnya, menemani tidurnya ke dalam mimpinya yang nyaman.
Namun tidak hari ini, tulip merah itu ia letakkan begitu saja di atas piring bekas sarapan. Pemuda itu berlalu pergi dengan langkah lebar meninggalkan Cliff dalam keterkejutan.
“Henry, tunggu. Dengarkan aku dulu.”
Tapi Henry tidak peduli, berpura-pura tuli dan terus melangkah menuju tempat kerjanya. Cliff berusaha mengejar, menjejari langkah Henry yang lebar. Dalam hati menyesali seharusnya ia mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.
“Henry, kumohon.” Pintanya begitu ia berhasil menahan tangan Henry, menahan langkah pemuda itu. Namun Henry tidak bergeming, tidak menoleh sedikitpun padanya. Tetap berdiri di sana seolah menolak keberadaannya.
“Kumohon, Henry. Jangan bersikap seperti ini lagi. Kamu membuatku lelah.”
Tiga kalimat terakhir itu sukses menarik perhatian Henry. Dengan cepat ia menoleh pada Cliff, menatap pemuda bersurai emas itu dengan pandangan murka. Dengan sekali hentak ia melepaskan genggaman Cliff dan berlalu dengan langkah lebar. Meninggalkan Cliff yang terpaku menyadari kebodohannya.
Harusnya ia tidak mengatakannya, harusnya ia mampu mengendalikan ucapannya. Betapa bodohnya ia.
“Ada apa dengan Henry, Tuan?”
Cliff menghela napasnya yang terasa berat. Tidak menjawab pertanyaan Anne sore itu. Gadis berparas mungil memikat itu mengedikkan bahu dan berlalu pergi, mengantarkan pesanan bir pada pelanggan yang telah menunggu.
Cliff meraih tangan Henry begitu pemuda itu melintasinya. Henry berhenti, namun tidak meliriknya sedikit pun. Henry kembali melangkah, membuat pegangan Cliff yang lemah di jemarinya terlepas. Pemuda bermanik darah itu kembali menjamu pelanggan dengan senyumnya yang ramah. Meninggalkan Cliff di kursi bar dengan setumpuk rasa bersalah.
“Apa yang terjadi pada Henry?” Kali ini Bree bertanya, yang dijawab dengan helaan napas.
“Oke, apa yang telah anda lakukan padanya?”
Cliff mengerang, mengusap wajah dan rambutnya, berusaha menyingkirkan rasa frutasi yang menggerogoti. Dan Cliff menceritakan kejadian pagi tadi pada Bree. Pria tinggi tegap itu mengangkat kedua alisnya terkejut begitu penuturan Cliff berakhir. Ia berkata dengan jahil “Wow, apakah saya harus memuji anda karena telah mengatakannya?” yang membuat tatapan murka Cliff tertuju padanya.
Bree menuangkan anggur pada gelas Cliff yang telah kosong. “Dari tingkahnya, saya yakin Henry sangat marah. Anda harus segera meminta maaf padanya.” Ia mengedikkan bahu pada Henry yang menghampiri.
“Henry.” Serunya begitu Henry kembali melewatinya. Cliff berusaha meraih tangan Henry, namun kali ini pemuda itu berlalu lebih cepat dengan senyum yang bukan untuknya, tapi untuk pelanggan. Cliff mengerang frustasi, untuk kesekian kalinya mengusap wajah. Ini lebih parah dari sikap cemburu Henry, lebih parah dari awal pertemuan mereka. Henry tidak lagi menganggapnya penyakit menular, tapi Henry menganggap Cliff tidak ada. Seolah Cliff adalah angin lalu.
Bagaimana caranya ia minta maaf, Henry bahkan tidak menganggapnya ada.
Malam itu Cliff kembali berusaha menjejari langkah Henry yang lebar. Henry sedikit pun tidak menoleh, berpura-pura tuli pada setiap ucapan yang dilontarkan Cliff padanya. Mengabaikan segala permohonan maaf pemuda bangsawan itu padanya. Ketika Henry semakin jauh darinya, Cliff berseru. “Ayolah, Henry. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan.”
Henry berhenti, menciptakan setitik asa untuk Cliff. Namun titik itu terhapus begitu saja saat sedetik kemudian Henry kembali melangkah menjauhinya. Cliff berdecak dan berlari mengejar Henry, menghadang pemuda itu di depan. Cliff mencengkeram bahu Henry erat, dan merasa terluka saat pandangan Henry tetap mengarah kedepan tapi tidak padanya.
“Henry, dengarkan aku.” Kedua tangan Cliff merosot dari bahu, meraih kedua tangan Henry dan menggenggamnya erat. Dengan penuh ketulusan ia berbisik “Aku minta maaf, sungguh.”
Henry mengangkat wajah, menatap tepat pada mata Cliff. Si pemilik manik biru itu dapat melihat jelas secuil luka di tatapan Henry. Tatapan yang menyayat hatinya. Betapa teganya ia hingga menciptakan luka di sana. “Kamu sudah berjanji.” Ucapan Henry terasa seperti cengkeraman erat di dada, seolah ingin melumatnya dalam genggaman. Betapa jahatnya ia karena menghianati ucapannya sendiri.
Cliff menarik Henry, mendekap pemuda itu dalam pelukan yang erat. Ia mencium puncak kepala Henry, pelipis dan kening. Tanpa henti ia berbisik “Aku minta maaf”.
Pemuda tembaga itu mencengkeram ujung kemeja sang Duke. “Kamu janji tidak akan pernah lelah.”
“Aku tahu, aku begitu jahat. Aku minta maaf.” Cliff melepaskan pelukan, menyusuri wajah Henry dengan telapaknya yang hangat. “Kamu memaafkanku?”
Henry menghela. Dengan tatapan kesungguhan dari kedua manik biru itu, ia tidak mampu lagi menahan egonya. Dengan pelan ia mengangguk. Membuat sang Duke menghadiahinya kecupan di kening.
Namun cengkeraman erat di ujung kemeja sang duke belum terlepas. “Kamu akan pergi. Padahal aku tidak pernah memintamu menjauh.”
Sang duke tersenyum, lalu mengecup singkat bibir Henry yang membuat pipinya merona dan terlihat menggoda. Ia mengusap pipi Henry. “Kau tahu, aku pun tidak ingin meninggalkanmu di sini. Tapi aku harus pergi, Henry. Aku harus kembali ke timur. Ada tugas penting yang harus kuselesaikan. Aku janji akan segera kembali. Atau, kamu pergi bersamaku?”
Tawaran yang menarik, sungguh. Tapi pemuda itu menggeleng. Ia tidak bisa meninggalkan ayahnya seorang diri di sini.
“Aku mengerti.” Cliff tersenyum. Jemarinya kini menyusuri rambut Henry. “Dan terima kasih sudah memaafkanku.”
Esoknya, di waktu yang lebih awal, Cliff sudah bersiap dengan kuda miliknya di gerbang kota. Pelana dan kekang telah terpasang di kuda miliknya. Henry membantunya pagi itu.
“Tawaranku masih berlaku, Henry. Apa kamu yakin tidak ingin pergi bersamaku?” Tanya Cliff begitu ia telah selesai meletakkan barang terakhir.
Henry menggeleng yakin, membuat Cliff menghela kecewa. Namun ia mengerti, Henry tidak bisa meninggalkan kota ini begitu saja, tidak bisa meninggalkan ayahnya sendirian. Jadi Cliff tersenyum. “kemari.” Ia menarik Henry, memeluknya amat erat. Menyesap aroma tubuh pemuda yang ia kasihi sebelum ia pergi.
“Aku pasti akan merindukanmu, Henry.”
“Aku tahu.”
“Kamu akan merindukanku, bukan?”
“Ya.”
“Aku akan melihat bulan setiap malam untukmu. Lakukan hal yang sama, oke?”
Henry yang memeluk Cliff erat, mengangguk pelan. Ada rasa aneh di perutnya begitu pemuda yang telah mengisi separuh hatinya akan pergi meninggalkanya. Sakit dan mual, membuatnya ingin muntah. Ia ingin sang duke tetap bersamanya, berjalan setiap hari bersamanya, menunggunya hingga kerjaannya berakhir hari ini. Namun ia tidak bisa. Ia sadar ia tidak bisa mengekang sang duke begitu saja.
Cliff melepas pelukan, mengeluarkan sesuatu dari kemejanya. Setangkai tulip seperti yang pemuda itu biasa berikan padanya. “Ini tulip yang kamu tinggalkan kemarin.” Yang diterima Henry dengan senyum yang menawan.
“Berjanjilah untuk segera kembali.”
“Aku berjanji.” Cliff menarik Henry, mengecup kening pemuda itu untuk waktu yang lebih lama.
Begitu kecupan singkat itu berakhir, ada hela yang mengalir dari mulut sang duke. Dengan enggan ia naik ke atas kuda. Matanya tak lepas dari kedua manik darah itu. Tali kekang sudah tergenggam erat di tangan, namun Cliff masih bertahan untuk diam di sana. Ia baru saja menaiki kuda, bahkan belum meninggalkan kota, namun rasa rindu telah begitu menghantuinya. Betapa ia akan merindukan pemuda yang telah menjeratnya ini.
Henry mendekat padanya, menarik ujung kemejanya dengan kuat hingga sang duke tertunduk nyaris terjatuh jika saja tali kekang tak tergenggam erat di tangan. Namun yang terjadi selanjutnya membuatnya amat bahagia. Henry yang tengah berjinjit mencium bibirnya. Kecupan yang panjang.
“Well, itu mengejutkan, Henry.” Ucap Cliff dengan senyum yang amat lebar begitu kecupan itu telah berakhir. “Aku pasti akan sangat merindukanmu.”
“Segeralah kembali.”
Anggukan yang mantap menjadi jawaban Cliff, sebelum ia menghentakkan kakinya, memacu kudanya meningggalkan kota, membawa kerinduan bersamanya. Meninggalkan Henry yang tengah menatap punggungnya yang menjauh hingga menghilang, dengan setangkai tulip merah yang tergenggam erat di tangan.