It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lulu_75 doain aja supaya otak saya gak malas tiba-tiba buat ngelanjutin. hehe
@3ll0 seperti yang dijelasin mbak @Rika1006, ini 2 kisah dalam satu cerita. Keduanya berhubungan kok, tapi berbeda. *nahloh. anggap saja ini seperti cuplikan. haha
Soalnya pendek gtu ceritanya jadi otak lolaku gak nyampek *alesan*
ditunggu deh yang lebih puanjang *eh* dibuat cerbungkah entar?
Hihi para seme jatuh cinta aw aw, masih pada denial nih...
Lagihh lagihh><
Siapa Dia?
Gian baru menginjakkan kaki di sekolah barunya setelah ia terpaksa pindah mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan. Namun ada satu hal yang Gian tidak mengerti begitu ia menginjakkan kaki di sekolah barunya. Satu hal itu adalah Neo.
Neo sama seperti kebanyakan murid lainnya, terlihat normal dengan tubuh yang lebih mungil, rambut yang acak-acakan dengan poni yang panjang hingga nyaris menutupi alis. Namun yang membuatnya berbeda, pemuda itu duduk di jarak yang berbeda dengan murid lainnya. Neo duduk sendiri di bangku paling belakang, terpisah satu meja kosong dari meja lainnya. Dan yang membuat Gian makin heran, tidak ada satupun murid yang mendekatinya.
“Dia… kenapa?” Tanya Gian di waktu istirahat pada Nauval, teman sebangkunya, yang anehnya langsung akrab di awal pertemuan.
“Dia? Siapa?”
“Dia.” Gian menunjuk Neo yang duduk menunduk, membaca entah apa.
Nauval melirik singkat, sebelum mengalihkan pandang dengan cepat, lalu melotot pada Gian. “Kau tidak tahu?” pemuda berkulit karamel itu menepuk keningnya, menyadari kebodohan ucapannya. “Oh, aku lupa kau murid baru.” Nauval kembali melirik Neo dari sudut mata, mendekat pada Gian dan berbisik dengan pelan. “Dia Neo, salah satu anak berbakat. Gifted Hand.”
“Wow. Sungguh?” Gian mengangkat kedua alis. Zaman sekarang ini bukan hal aneh lagi adanya anak berbakat. Orang-orang menyebut mereka sebagai Gifted Hand. Anak-anak yang terlahir dengan kemampuan dalam berbagai aspek diluar nalar manusia.
Nauval mengangguk sebagai jawaban. Namun, ada sesuatu dari ekspresi Nauval yang Gian tidak mengerti. Dan ucapan Nauval membuatnya terkejut. “Tapi, dia berbeda. Aneh. Dia mampu menghancurkan apapun yang disentuhnya.”
Gian pernah mendengarnya, kasus yang sangat jarang terjadi, beberapa anak terlahir dengan kemampuan yang tidak dimengerti, yang dianggap membahayakan. Gian melirik Neo, pantas saja tidak ada yang mendekatinya. Pemuda itu tampak tenang, malah terlihat tidak memiliki kemampuan yang Nauval katakan padanya. Tubuhnya yang mungil dan tangan yang kurus, Gian ragu Neo memiliki kemampuan seperti itu.
Neo mengangkat wajah, menoleh pada Gian hingga kedua pandang bertemu. Hanya sedetik sebelum Nauval menarik bahunya. Teman sebangkunya itu berdesis “Apa yang kau lakukan? Jangan melihatnya. Dia bisa menghancurkanmu.”
Gian hanya mengedikkan bahu.
Awal yang Buruk
Perkenalan mereka yaitu dua hari kemudian di waktu pelajaran. Saat itu tengah jam kosong, guru yang mengajar di kelasnya berhalangan hadir. Waktu itu Gian baru saja kembali dari toilet. Ketika berbelok di koridor, ia melihat Neo tengah berbicara dengan seseorang yang lebih tinggi dengan potongan rambut rapi dan berkacamata. Dari lambang kelas dengan warna berbeda di lengan baju, Gio yakin pemuda tinggi itu adalah seniornya. Pemuda itu berbisik pada Neo dan menepuk bahu pemuda mungil itu sebelum pergi. Alis Gian mengernyit. Ternyata ada satu orang yang tidak takut pada Neo.
Gian berjalan menghampiri kelas dengan perasaan bingung. Ia tidak tahu apakah harus menyapa Neo yang masih berdiri di sana, atau melewatinya begitu saja. Nauval menasehatinya untuk menghindari pemuda itu. Tapi Gian merasa tidak enak hati jika tidak menyapa pemuda itu mengingat mereka adalah teman sekelas. Namun akhirnya Gian mengikuti nasehat Nauval begitu jarak mereka hanya beberapa langkah. Ia akan berjalan melewati Neo begitu saja.
Tadinya ia berencana seperti. Tapi tiba-tiba saja Neo menyapanya. “Hai.” Menghentikan langkah Gian. Dengan canggung Gian menoleh, mendapati Neo tengah menatapnya, tepat di mata.
“Er, Hai.” Balasnya canggung.
“Kita di kelas yang sama tapi belum saling kenal.” Nada suara Neo terdengar pelan dan datar. Emuda mungil itu mengulurkan tangan sebagai isyarat untuk berjabat tangan. “Aku Neo.”
Gian menatap tangan kurus itu, pada lantai, ujung koridor, mata Neo dan kembali pada tangan kurus Neo. Gian ragu apakah harus menjabat tangan itu atau tidak. Ucapan Nauval kembali terngiang di kepalanya. Sungguh benar-benar membuatnya pusing.
“Oh, gak apa.” Ucapan Neo menarik pandang Gian, mendapati tatapan Neo yang tidak lagi padanya. Tangan kurus itu, keduanya, kini telah bersembunyi di balik punggung. Untuk beberapa detik mereka terjebak dalam keheningan yang canggung, sebelum Neo kembali menatapnya dan mengangguk canggung.
“Sampai jumpa.” Dan Neo berlalu pergi. Meninggalkan Gian dengan perasaan aneh yang menyesakkan. Rasa bersalah kah?
Tak Berjalan Baik
Esoknya Gian terbangun dengan setumpuk rasa bersalah. Ia pemuda cuek, harusnya. Namun entah kenapa bayangan kejadian perkenalannya bersama Neo benar-benar mengganggu pikirannya. Pagi itu ia bangun lebih cepat, berangkat ke sekolah lebih cepat untuk menemui Neo mengingat kebiasaan pemuda itu untuk datang sekolah lebih awal. Namun Gian mendapati kursi di sudut kelas itu masih kosong. Meski waktu telah berlalu dan jam pelajaran pertama telah dimulai setengah jam yang lalu, kursi Neo tetap kosong.
“Maaf, saya terlambat, pak.” Neo, dengan tas yang tersampir di bahu, muncul di pintu kelas dengan ekspresi tenang tanpa rasa bersalah.
Pak Guru diam sejenak, mengamati Neo yang tak lepas pandang darinya. “Kenapa jam segini baru masuk?”
“Saya di panggil kepala sekolah, pak.”
Pak Guru menghela napas lalu mengedikkan bahu sebagai isyarat. Neo melangkah ke dalam kelas, dan suara bisikan di berbagai penjuru ruangan terdengar. Di mata Gian, Neo tampak begitu tenang melewati semua murid yang berbisik padanya, cemoohan, umpatan dan rasa takut. Seolah pemuda itu tuli.
Gian menyenggol bahu Nauval dan berbisik “Ada apa sih?”
“Kau tidak dengar? Kemarin dia melukai senior. Nyaris mematahkan tangannya.” Bisikan Nauval membuat Gian menolehkan kepala dengan cepat pada teman sebangkunya. Menatap pemuda itu dengan kedua matanya yang melotot. Ada rasa terkejut dan tidak percaya di sana. Meski Nauval telah menatapnya penuh keyakinan.
Gian menoleh ke arah sebaliknya, pada Neo yang tengah menatap bukunya. Gian masih mendengar beberapa bisikan yang samar di telinga, yang ia yakini ditujukan pada si pemuda mungil di sudut kelas. Namun Neo tetap pada posenya, menunduk menatap buku entah apa dengan dagu yang ditopang. Seolah ia sendiri di sana.
Di saat istirahat, begitu teman sebangkunya dan sebagian besar teman sekelasnya meninggalkan kelas untuk mengisi perut, Gian menghampiri Neo. Berdiri dengan ragu di sisi bangku pemuda mungil itu. Menyadari seseorang berada di dekatnya, Neo mengangkat wajah, menatap Gian yang tengah mengelus tengkuknya.
“Untuk yang kemarin—“ Gian berbicara, dan Neo masih menatapnya untuk menunggu kalimat selanjutnya. “Aku Gian.”
Neo menatap Gian cukup lama, membuat pemuda itu tampak salah tingkah. Neo menutup buku yang tengah ia baca. Ia berdiri, dengan tenang ia berkata “Aku tahu.” Dan sekali lagi menyodorkan jabatan tangan.
Gian berjengit begitu melihat Neo menyodorkan tangan padanya. Sekejap cerita Nauval terngiang di kepalanya. Kembali membuat Gian ragu. Namun sedetik kemudian ia menyadari kebodohannya begitu tatapan Neo berpaling darinya ke tangannya yang menggantung di udara, lalu kembali menatapnya dengan tatapan yang takut untuk Gian artikan.
“Aku mengerti.” Neo menarik tangannya dan untuk kedua kalinya ia melihat pemuda itu menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. “Permisi.”
Begitu Neo berjalan melewatinya, meninggalkan kelas, Gian berdecak. Ia kini berdiri di sisi bangku yang kosong, menatap pada buku Biologi di atas meja Neo, dan merutuki kebodohannya. Untuk kedua kalinya ia menelan rasa bersalah yang pahit.
Insiden
Pak Danu menghela. Guru BP berkepala lima itu menatap Neo cukup lama dan untuk kesekian kalinya menghela. “Kita sudah sering bertemu, bukan? Bapak mengerti keadaanmu. Tapi bapak tidak bisa diam saja jika nyaris seluruh siswa mengatakan hal yang sama.”
“Maaf.” Untuk kesekian kalinya Neo mengucapkan satu kata yang sama. Pemuda mungil itumemasang ekspresi yang selalu ia gunakan selama ini. Ekspresi tenang dengan tatapan tanpa minat.
“Minta maaf padanya.” Perintah yang halus dari Pak Danu sembari menunjuk Gian yang berdiri di sebelah Neo.
Gian menggeleng. “Tidak, tidak perlu pak. Itu—“
“Saya minta maaf.” Neo memotong ucapannya. Gian menoleh dan melihat pemuda itu sudah menghadap padanya dan menunduk, lalu kembali berbalik menghadap ke depan tanpa melihatnya sedikit pun.
“Nah, bagaimana nak Gian?”
“Tidak apa, pak. Saya tidak menyalahkan Neo, pak. Karena—“
“Apa saya boleh pergi?” Lagi-lagi Neo menghentikan ucapannya, membuat Gian jengah.
“Lain kali, bersikaplah lebih tenang. Jangan mudah terpancing emosi. Mengerti?”
“Saya mengerti, pak.” Neo membungkuk lalu berbalik pergi meninggalkan ruang konseling.
Pak Danu menoleh pada Gian. “Maafkan dia, Nak. Dia hanya bersikap seperti itu demi orang di sekitarnya. Dia memang keras kepala. Tapi dia sebenarnya anak yang baik.”
“Saya mengerti pak.” Gian membungkuk singkat. “Saya permisi.” Lalu berbalik pergi.
Gian mengejar langkah Neo yang tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasa, pemuda itu tampak tenang. Tidak peduli meski bisik-bisik terus terdengar nyaris di sepanjang koridor. Setiap siswa yang melihatnya berbisik bahkan dengan lantang mengejeknya. Tapi Neo bagai tembok yang kokoh. Ia terus berjalan tak peduli.
“Kamu baik-baik saja?” gian berbisik. Namun Neo tak menjawabnya, seolah Gian tak ada di sebelahnya. Merasa kesal, Gian menarik tangan Neo hingga pemuda itu berhenti. “Hei.”
“Lepas.”
“Kamu ini kenapa? Aku hanya bertanya. Lagipula apa-apaan sikapmu di ruang konseling tadi?”
Neo tak menjawab, tapi menatapnya dengan tatapan yang mengancam dan sesuatu yang sulit Gian artikan. “Jangan sentuh aku!” desisnya, dan menghentakkan tangannya hingga genggaman Gian di lengannya terlepas. Ia kembali berjalan, meninggalkan Gian yang terpaku menatapnya.
“Lihat? Dia melakukannya lagi.”
“Kasihan si anak baru.”
“Dia benar-benar mengerikan ya. Pantas saja semuanya menjauhinya.”
Gian menghela lelah. Semua bisikan itu bukan ditujukan padanya. Tapi kenapa malah dia yang merasa kesal?
Setengah jam yang lalu—
Gian tengah tertawa menimpali guyonan Nauval. Seperti biasa, kantin tetap ramai di jam istirahat. Ia tidak perlu takut jika suaranya akan mengganggu karena suara bising lainnya akan meredam suara tawanya.
Namun kantin tiba-tiba saja menjadi hening, membuat Gian bingung. Suara bisik-bisik perlahan terdengar. “Dia datang ke kantin.” Beberapa siswa yang tadinya tengah menikmati makanan segera berdiri dan beranjak pergi. Beberapa siswa lainnya tetap bertahan, namun tak henti berbisik pada sosok yang kini tengah berjalan melewati meja Gian.
“Ayo, kembali ke kelas.” Nauval berbisik, hendak beranjak. Namun Gian masih terpaku di tempat duduknya, pandangannya tak lepas dari Neo yang tengah membeli sebotol air mineral.
Begitu Neo berbalik, ia mendapati bajunya telah basah oleh air kuah yang disiramkan padanya. “Itu untuk yang kemarin.” Seru seorang siswa. Tidak ada yang berkomentar. Gian melotot memandangi pembulian secara langsung dihadapannya.
“Ayo pergi.” Kedua siswa yang membuli Neo berbalik dan pergi. Meninggalkan Neo yang masih berdiri di sana. Rautnya masih sama, tanpa ekspresi. Namun cengkeraman tangannya di botol minumannya mengerat. Dan itu tak luput dari pandangan Gian.
“Kau baik-baik saja?” Gian sudah berdiri di depan Neo, mengabaikan seruan Nauval padanya. Namun Neo tak menjawab.
“Ada mie di bahumu.” Yang dilakukan Gian hanyalah menyentuh bahu pemuda itu, menepis helaian mie dari bahu Neo. Namun tidak disangka, Neo berjengit, mengangkat wajah dan menatapnya marah. Pemuda itu berteriak “Jangan menyentuhku!” dan dalam sekejap setelah Neo mendorong bahunya, Gian terlempar tiga meter menghantam sebuah meja dan kursi. Ia bisa mendengar teriakan dari sekitarnya.
Untuk pertama kalinya lah ia merasakan kekuatan Neo. Untuk pertama kalinya ia tahu mengapa pemuda itu dijauhi. Dan untuk pertama kalinya ia melihat pancaran lain di tatapan pemuda itu sebelum Neo berlari pergi.
Ciuman?
Harusnya, setelah insiden di kantin, Gian menjauh dari Neo demi keselamatan. Tapi anehnya, entah kenapa Gian jadi sering mencuri pandang pada Neo. Bukan karena ia menyukai pemuda itu. Tapi hanya rasa penasaran. Ada sesuatu dari Neo yang membuat Gian tak bisa berhenti untuk mencuri pandang pada pemuda itu. Ia bisa saja lebih dekat, langsung berbicara padanya. Namun interaksi mereka yang bisa dikatakan buruk, membuatnya ragu.
Dari apa yang selama ini diperhatikannya, Gian jadi sedikit tahu tentang Neo. Pemuda mungil itu lebih senang berada di kelas, membaca buku atau menulis entah apa ketimbang berada di luar kelas. Pemuda itu hanya sekali dua kali ke kantin dalam sebulan setelah kepindahan Gian. Jika Gian tidak melihat Neo di kelas, pemuda itu akan berada di perpustakaan, membaca buku di antara rak ditemani seorang senior yang belum ia ketahui.
Seperti saat ini, Gian tengah duduk di meja perpustakaan dengan sebuah buku yang terbuka lebar di hadapannya. Sesekali ia membacanya. Hanya sesekali, sementara pandangannya lebih sering tercuri pada Neo dan senior yang duduk melantai dengan lutut yang ditekuk, berhadapan di antara dua rak buku, tepat beberapa meter di hadapannya. Si senior terus berceloteh entah apa, sementara Neo hanya mengangguk pelan tanpa menolehkan wajah pada buku di pahanya.
Si senior berhenti berceloteh. Ia merangkak mendekati Neo, dan duduk bersila di sebelah pemuda itu. Menghalangi pandang Gian untuk melihat Neo. Gian masih berusaha menebak apa yang dilakukan si senior saat kepala si senior sedikit menunduk dan menoleh pada Neo. Tampak seperti tengah—
—berciuman!
Napas Gian tercekat. Untuk beberapa saat ia mematung di kursi, sebelum dengan cepat ia berdiri dan meninggalkan perpustakaan dengan langkah yang tergesa dan satu tangan menutupi mulutnya yang terkatup rapat. Kalimat ‘mereka berciuman’ terus berteriak dalam kepalanya, membuat kepalanya pening.
“Kamu tahu senior yang sering bersama Neo?” Gian bertanya pada Nauval begitu ia telah sampai di kelas dan mendapati Nauval tengah menikmati sebungkus roti rasa melon yang selalu dinikmatinya di saat istirahat.
Nauval mendongak menatap Gian yang tengah berdiri di sisi bangku, nampak gelisah. Ia menarik keluar roti dari mulutnya yang kembali mengunyah. Keningnya mengerut tanda ia tengah berpikir. “Oh, Kak Rendra.”
“Kukira tidak ada yang ingin dekat dengannya.”
“Kecuali Kak Rendra. Dia satu-satunya siswa yang tak takut bersentuhan dengan Neo.”
“Apa dia juga—“
“Aneh, bukan? Dulu ada rumor yang mengatakan kalau Kak Rendra juga Gifted Hand, tapi tidak ada bukti yang bisa menjelaskannya. Akademik, prestasi, dan kemampuan fisiknya biasa saja. Tidak ada yang menonjol. Dan woosh rumornya menghilang begitu saja.” Nauval menarik roti melon dari mulutnya. “Kenapa emangnya?”
Gian duduk di bangkunya, di sebelah Nauval. Menarik roti melon di tangan Nauval dan memakannya. Ia mengabaikan protesan Nauval dan sibuk berpikir. “Hubungan mereka seperti apa?”
Nauval kembali merebut roti melonnya dari Gian. Bergeser menjauh agar tangan pemuda itu tak mengambil rotinya untuk kedua kali. “Entah.”
“Sedekat apa?”
“Jangan Tanya padaku. Mana aku tahu.” ucapnya. Ia menjauhkan tangannya ke sisi lain ketika Gian sekali lagi mencoba merebut roti melonnya.
“Apa mereka biasa berciuman?” Gian tidak menyadari bahwa mulutnya kini berbicara lebih banyak. Ia hanya merasa senang ketika roti melon di tangan Nauval yang kini kaku, berhasil dia rebut dan menyantapnya hingga habis. “Aku melihatnya tadi di perpustakaan.”
“Mereka berciuman?” pekiknya.
Memulai Kebohongan
Ini kesalahannya. Gian seharusnya tidak mengatakannya pada siapapun termasuk Nauval. Tapi ia tidak menyangka teman sebangkunya itu bercerita pada temannya di kelas lain. Temannya bercerita ke temannya, dan seperti itu terus menerus dan voila, tercipta sebuah gossip yang panas. Hingga akhirnya seluruh sekolah mengetahuinya. Ia terkejut begitu esok harinya di sekolah, Nauval menceritakan padanya.
Gian melirik Neo dari bangkunya. Pemuda itu tampak tenang dengan bisikan di sekitarnya. Ada rasa bersalah begitu ia melihat wajah pemuda mungil itu. Ini kesalahannya, ia menyadarinya. Ia berpikir bahwa semua akan tenang. Namun jika itu berkaitan dengan Neo, maka semuanya menjadi tidak terkendali.
“NEO!”
Tiba-tiba saja suara raungan itu terdengar di depan kelas. Pintu kelas dipukul dengan keras, menyentak tubuhnya yang terkejut. Kak Bon, siswa paling ditakuti sudah berdiri di depan pintu kelas mereka dengan aura yang tidak mengenakkan. Gian menelan ludah, melirik takut pada Kak Bon dan Neo.
Neo tampak tenang. Ia berdiri dan tanpa rasa takut menghampiri Bon. Kak Bon menarik tangan Neo dan menyentaknya. Ia menatap tajam pada Neo yang tak menunjukkan rasa takut sedikit pun. “Benar kamu berciuman dengan Rendra?” Bon berdesis. Kejadian ini menarik seluruh siswa di sekitar. Nauval dan Gio segera ke pintu kelas, berkerumun mengamati yang akan terjadi.
Neo mengangkat wajah, menatap Bon yang lebih tinggi darinya. “Tidak.” Jawabnya singkat dan tanpa ragu.
“Jangan bohong kamu!”
“Tidak.” Sekali lagi ia menjawab, membuat Bon murka.
Tangan pemuda itu telah terkepal. Ia sudah melayangkan tinju, nyaris memukul Neo jika saja suara teriakan “Hentikan” menghentikannya. Rendra sudah berdiri di ujung koridor, nampak terengah. Ia berlari menghampiri, menatap Bon dengan pandangan murka yang sama.
“Apa yang kau lakukan?”
Bon menarik tangan, menurunkan tinjunya. “Menurutmu? Aku akan memukulnya.”
“Kau gila?” raung Rendra. Ia menghampiri Neo, berdiri melindungi pemuda itu di belakang punggungnya.
“Kau tidak mengerti ya? Kalian berciuman!”
“Kau lebih percaya gossip murahan itu?” Mata Rendra memicing. Ia melangkah dengan pelan, mendekati Bon yang berjalan mundur. Pandangan pemuda brutal itu meliar. “Y-Ya, bukannya percaya. Hanya saja—“
“Kau bilang tidak percaya tapi kau malah nyaris memukulnya? Kau taruh dimana otakmu?”
“Lalu kau sendiri? Kau selalu sama-sama dia. Bisa saja kan kalian berciuman. Apa hubunganmu dengannya? Jangan katakan—“
“Jangan berpikir yang tidak-tidak.”
Neo tadinya hanya diam, seperti siswa lainnya yang mengamati pertengkaran aneh di hadapannya. Namun ketika aura di antara kedua pemuda itu semakin tegang, Neo tidak bisa berdiam diri. Ia meraih tangan Rendra. “Kak, tidak apa-apa. Saya baik-baik saja.”
“Bocah sialan!” Bon menggeram. Ia menarik tangan Neo, sekali lagi berniat menghajarnya. Mengabaikan seruan Rendra atas namanya.
Gian tidak berpikir, ia yakin itu. Karena entah kenapa salah satu tangannya sudah menggenggam erat pergelangan tangan Neo dan menarik pemuda itu ke balik punggungnya. Mengejutkan semua siswa di sekitar, termasuk Bon, Rendra dan Nauval. “Menyingkir anak baru.” Desis Bonn.
“Semua yang anda dengar hanya gosip. Neo tidak mungkin melakukannya.”
“Memangnya kau siapa?”
Gian menelan ludah, mengumpulkan keberaniannya dan berkata “Saya pacar Neo.”
“Hah?”
Neo terpaku. Matanya melebar karena terkejut, sama seperti seluruh siswa yang mengelilingi mereka. Ia tidak salah dengar bukan?
“Kamu—, Kalian—“ pertanyaan Rendra menggantung. Terkejut pada ucapan pemuda itu.
“Kami sepasang kekasih.”
“HAH!?”
Rendra ada hati sama Neo gak ya~ 8->
Rendra ada hati sama Neo gak ya~ 8->
Hm.. Mzh bersambung kah?
Hm.. Mzh bersambung kah?
@lulu_75 ia nih, si Nauval biang kerok. haha
@Asu123456 yap. masih berlanjut kok.
---
”Berhentilah bersikap sok pahlawan”
Setelah pengakuan palsu yang ia ucapkan, namanya menjadi bahan gossip terbaru di sekolah. Predikat pemuda tolol telah melekat padanya karena memacari pemuda yang dianggap gila dan menakutkan. Awalnya Gian merasa kesal, marah, dan risih. Tapi semakin lama ia bisa tahan dengan semua itu, dan menganggapnya angin lalu.
Dan setelah kejadian itu, ia juga kini duduk di sebelah Neo. Gian lelah dengan Nauval yang tak berhenti bertanya padanya kenapa ia memacari Neo. Nyaris setiap waktu, karena Gian selalu menjawab dengan kalimat ‘tidak tahu’, karena jujur saja ia tidak tahu alasannya apa. Karena rasa bersalah, mungkin?
Gian juga menjadi lebih mengenal Neo. Tidak banyak. Ia tahu kalau Neo adalah pemuda yang pendiam, dan sekali berbicara maka kalimat sarkastik lah yang keluar dari mulut pemuda itu. Lainnya, Neo selalu membaca novel dibalik buku pelajaran, tidak peduli meski guru tengah mengajar di hadapannya. Itu sebabnya pemuda itu tampak selalu serius membaca.
Beberapa kali, meski tidak sering, Gian menemani Neo ke perpustakaan karena tidak ada yang pemuda itu kerjakan. Setiap kali ia harus melewati banyaknya ejekan yang terdengar di sekitarnya. Bukan ditujukan padanya, tapi pada pemuda yang berjalan di sebelahnya. Pada Neo.
Gian merasa perut dan dadanya terasa panas hingga ke ubun. Begitu aneh rasanya ketika caci maki itu tidak ditujukan padanya, tapi ia merasa telinganya amat panas. Gian jelas tahu bahwa apa yang dirasakannya adalah sebuah kemarahan. Tapi jelas ia tidak berhak marah, karena Neo sendiri terlihat tidak peduli pada semua itu.
Atau bersikap berpura-pura tidak peduli?
Ia pernah sekali nyaris menghajar seorang siswa karena garis kemarahannya telah mencapai garis kesabarannya, ketika ia mendengar kata yang tidak pantas untuk diucapkan ditujukan pada Neo. Gian langsung menarik kerah pemuda tak dikenalnya itu, balas memaki dan nyaris melayangkan pukulannya di wajah pemuda itu jika saja Neo tak menahan tangannya. Neo segera menariknya pergi setelah meminta maaf.
Alis Neo mengernyit, tatapan kemurkaan jelas terlihat di kedua matanya. “Apa yang ada di pikiranmu?”
Gian menarik napas, mengumpulkan ketenangan. “Kau tidak dengar yang dia katakan? Kau ini tuli atau apa?”
Jelas Neo ingin menghajarnya saat itu juga. Tapi pemuda itu terlihat memiliki kesabaran yang amat luas. “Aku mendengarnya, dengan amat jelas.”
“Lalu kenapa kau tidak menghentikannya?”
“Jangan bersikap sok peduli, Gian.” Kata Neo, jelas menuai protes Gian. Neo menatap lurus, tak lagi menatapnya. “Kau tak tahu apapun, jadi berhentilah bersikap sok pahlawan.”
Dan pemuda mungil itu pergi.
”Karena aku mencintainya”
Gian marah, jelas saja. Ia telah membela pemuda itu, Neo, tapi apa yang ia dapatkan? Kalimat sarkastik lain yang melukainya. Jelas-jelas ia mencoba membantu. Bukan karena status palsu yang ia sandang saat ini. Tapi jelas karena sisi kepeduliannya lebih tinggi, itu yang ia tekankan pada dirinya. Oke, mungkin caranya agak kasar, tapi setidaknya bisa meredakan cemoohan itu sejenak, bukan?
Itu yang dipikirkan Gian, tapi kenyataannya yang terjadi berikutnya lebih buruk dari yang ia perkirakan.
Nauval berdiri di depan pintu kelas menyambutnya dengan tatapan cemas. Pemuda itu melirik ke balik bahunya, pada pemuda di sudut kelas, lalu menarik Gian keluar. Pandangan pemuda itu meliar, melirik ke sekeliling. Ia mendekat dan berbisik “Apa cerita itu benar?”
Gian mundur, jelas ia bingung. “Cerita apa?”
“Neo memanfaatkanmu. Kau tahu, murid lain heboh soal ini.”
“Aku tidak mengerti. Langsung ke intinya sajalah. Gak usah bertele-tele.”
Nauval menarik napas dan ia berbicara dalam satu tarikan napas. “Aku mendengar kemarin kamu nyaris memukul murid kelas lain karena Neo menyuruhmu.”
“Apa?”
“Sudah kubilang jauhi dia. Dia bisa memberi pengaruh buruk. Saranku sebaiknya kau putus saja.”
Gian marah. Sangat marah. Ia bisa merasakan darah di nadinya bergerak liar hingga jantungnya berdetak tak wajar. Tangannya terkepal erat. Ia ingin melampiaskan, tapi ucapan Neo kemarin terlintas di kepalanya. Lagipula, Nauval adalah temannya. Ia tidak bisa memukul pemuda itu begitu saja. Jadi Gian menarik napas, berusaha mengumpulkan ketenangannya meski ia tahu itu mustahil.
“Nauval, yang kau dengar itu tidak benar. Oke, nyaris memukul pemuda kurang ajar bermulut sampah itu memang benar. Tapi tentang Neo yang menyuruhku, memberiku pengaruh buruk, semua itu kebohongan yang busuk.” Gian memantapkan sampiran tas di bahunya, dan melangkah ke dalam kelas.
Tapi sebelum ia melewati pintu, ia berhenti dan berbalik pada Nauval. “Satu lagi, aku tidak akan putus dengannya. Karena aku mencintainya.”
Gian berbalik dan nyaris melompat karena terkejut. Neo sudah berada di hadapannya, menatapnya datar tepat di mata. Membuat jantung Gian meliar. Ia menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering.
Neo tak berbicara. Pemuda mungil itu tetap diam dan terus menatapnya, membuat Gian semakin gugup. Gian melempar pandang kea rah lain sebelum memutuskan untuk menyapa Neo. “Hai.”
Bukan balasan sapaan, tapi dengusan yang ia dapat, sebelum Neo melewatinya dan berlalu.
Status Sialan
Niat awalnya, Gian ingin meminta maaf pada Neo. Memang tingkahnya yang lepas kendali kemarin adalah kesalahan. Dan menjelaskan tentang ucapannya tadi di pintu kelas. Ia takut Neo salah paham. Jadi ia menunggu Neo kembali. Tapi tiba-tiba pemuda mungil itu kembali dengan wajah berseri. Dan ketika Neo memohon padanya, Gian bisa merasakan pelipisnya berkedut oleh perasaan yang belum ia mengerti.
“Kau… apa?”
Alis Gian nyaris menyatu, keningnya mengernyit. Ia menatap bingung pada Neo yang kini menatapnya dengan tatapan yang… apa itu? Tatapan berbinar penuh bahagia? Tatapan yang tidak pernah pemuda mungil itu tunjukkan pada siapapun. Tatapan yang membuat perut Gian terasa ngilu.
Neo mengangguk mantap, dan Gian bisa melihat rona merah di wajah pemuda itu. Ia merubah posisi duduk, sepenuhnya menghadap Neo. “Kau mau aku mengenalkanmu pada Nauval?” Gian mengucapkannya pelan dan lambat agar terdengar lebih jelas.
Sekali lagi Neo mengangguk mantap dengan senyum kecil di bibir. Entah kenapa Gian merasa kesal.
Neo jelas menjadi pemuda yang aneh di mata Gian. Bukan seperti pemuda yang biasa ia kenal. Neo menjadi lebih sering tersenyum. Sepanjang pelajaran pemuda itu akan melirik pada meja Nauval lalu menutupi wajahnya dengan buku karena tersipu malu. Jelas membuat Gian gerah. Tingkahnya seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
What the—!?
“Kau tidak sedang jatuh cinta pada dia kan?” pertanyaan tegas itu meluncur dari mulut Gian. Tatapannya tajam.
Namun Neo tak menjawabnya. Ekpresi Neo amat jelas membuat dadanya terasa sesak. Neo menggigit bibirnya, memalingkan wajah dan tersipu. Ekspresi terimut dari Neo yang Gian pernah lihat. Ekspresi yang begitu menggoda hingga Gian berpikir bibir Neo terlihat lezat. Wait! Fokus! Oke, bukan itu permasalahannya. Tapi ekspresi itu jelas menunjukkan bahwa Neo menyukai Nauval.
“Kita sedang pacaran, kau lupa?”
“Tapi kan bohongan.”
Tepat. Bohongan. Status sialan.
Lagipula kenapa ia harus merasa sekesal ini?
”Menurutmu?”
Jadi saat istirahat, Gian menghampiri meja Nauval. Sekali ia melirik Neo dari balik bahu, ia menangkap lirikan antusias dari pemuda itu. Gian mendecih. Tatapan macam apa itu? Sok imut!
Gian menatap Nauval yang balas menatapnya bingung, meneliti dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gian mendengus, merasa geli dengan tipe pilihan Neo. Apa bagusnya Nauval? Bukan bermaksud menjelekkan teman sendiri, tapi jika dibandingkan dengan Nauval, Gian merasa memiliki wajah dan tubuh yang lebih oke. Banyak gadis yang tertarik padanya. Harusnya merasa beruntung karena pacaran dengannya. Yah, meski status bohongan.
Ia mendecih. Apa sih yang baru saja dipikirkannya?
“Kau kenapa?” Nauval menatapnya bingung.
Gian menghela napas, merasakan lelah secara tiba-tiba di kedua bahunya. Apa sih yang dilakukannya di sini?
“Hei, kau kenapa?” Nauval kini sudah berdiri tepat di hadapannya, mengibaskan tangan di depan wajahnya. Gian mengernyit sejenak sebelum menyikirkan tangan Nauval dari hadapannya. Nauval menunduk, menggosok kedua tangannya sebagai tanda gugup. “Gian, aku minta maaf mengenai ucapanku tadi.”
Gian menghela, melirik ke belakang pada Neo. “Jangan minta maaf padaku. Minta maaf padanya.”
“Bantu aku dengan menyampaikan padanya, oke?”
“Kenapa kau tidak mengatakannya sendiri? Dia selalu di sana, kau tahu? Lagipula dia ingin berkenalan denganmu.”
Nauval melirik Neo sejenak sebelum membuang pandang. Ia mengelus tengkuk. “Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Jujur saja, dengan semua rumor dan hal lainnya, aku takut untuk dekat dengannya.”
“Apa yang perlu ditakutkan darinya?”
“Kau sudah merasakan sendiri kekuatannya. Dia jelas-jelas memiliki kekuatan yang mengerikan.”
“Dia juga manusia!” Gian berseru dengan suara yang lantang, membuat Nauval terkejut dan melangkah mundur hingga kakinya membentur kursi. Ia marah, terlihat jelas dari tatapannya, dari napasnya yang memburu, dan kedua tangannya yang terkepal erat. “Dia tidak ada bedanya dengan kita!”
Neo tersentak kaget begitu mendengar suara Gian yang lantang. Ia berdiri dan menoleh pada pemuda itu. Suara bisik-bisik di sekitar dan jari Gian yang teracung menunjuk padanya, jelas sumber kemarahan pemuda itu adalah dirinya. Neo menunduk dan duduk perlahan.
“Gian, aku tidak bermaksud seperti itu.” Nauval berusaha membuat Gian tenang. Gian jadi lebih menakutkan dengan tampangnya yang buas.
“Tapi secara tidak langsung kau—“
“Aku minta maaf, oke? Tapi bagaimana pun, aku tidak bisa. Jangan paksa aku, Gian.”
Gian menarik napas, merasa letih karena kemarahan yang tiba-tiba datang. Ia tak lagi berkata apapun ketika Nauval menepuk bahunya dan meninggalkannya. Ia menghembuskan napas, lalu kembali menghempaskan tubuhnya di bangkunya, di samping Neo. Ia bersedekap dan mendengus kesal.
Namun jelas ia belum mendapatkan ketenangan. Ia meletakkan kedua tangannya di meja, menautkan jemarinya erat akan kemarahan yang tersisa.
Neo melirik Gian, melihat murka di wajah pemuda itu. Sejenak ia ragu, sebelum akhirnya ia mengangkat satu tangannya, menyentuh kedua tangan Gian yang saling bertaut dan terkepal erat di atas meja, membuat pemuda itu tersentak terkejut.
“Kau baik-baik saja?”
Gian menoleh cepat pada Neo, mendapati tatapan khawatir dan tatapan lainnya yang masih sulit ia pahami dari pemuda itu, yang anehnya meruntuhkan kemarahannya dalam sekejap. Ia menarik napas dan menghembuskannya, lalu mengangguk pelan. “Ya, tidak apa.”
Gian membuka kepalan dan tautan jemarinya, menggenggam erat tangan Neo dengan kedua tangannya. Ia menatap tangan mungil pemuda itu dan senyum miring tercetak di wajahnya. Menggelikan, mengingat tangan ini yang dulu pernah mendorongnya hingga terlempar dengan mudah. Tangan ini yang ditakutkan oleh kebanyakan orang. Tapi anehnya, tangan ini mampu membuatnya merasa amat nyaman.
Ini pertama kalinya hubungan mereka lebih akur.
Gian melirik Neo. “Lain kali, pilih yang jelas suka sama kamu.”
Neo menatapnya, menyiratkan tantangan di sana. “Memangnya ada?”
Gian menautkan jemari mereka dan membalas tatapan Neo dengan tatapan menantang yang sama. Senyum miring kembali terukir di bibirnya, lalu berkata “Menurutmu?”