It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tangan Ini Milikku
Semenjak ia mendengar pengakuan dari mulut Rendra, Bon menjadi lebih bergairah dari sebelumnya. Meski ia belum mengerti dengan perasaannya sendiri yang selalu euforia, tapi ia menjadi sangat posesif. Ia tidak segan-segan melotot pada siapapun yang menyentuh Rendra-nya. Oke, Bon bahkan mulai mengklaim Rendra sebagai propertinya.
Ia memang tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Rendra, karena pemuda itu sendiri seolah enggan menyentuh orang lain. Kecuali Neo, dan Bon tidak bisa mencegahnya. Ia membiarkan Rendra dan Neo bersentuhan yang dengan terpaksa ia anggap sebagai friendship skinship –Hell!
“Dari mana kamu?” Bon sudah berdiri di koridor, tangannya bersedekap. Ada kilat marah dari tatap matanya.
Bon jelas marah, ketika ia melepas pandang sejenak, Rendra telah menghilang dari jarak pandangnya. Ia tidak berkeliling mencari, karena ia tahu pemuda itu akan kembali. Jadi ia menunggu, dengan kemarahan di ujung lidah.
Kening Rendra mengernyit. Ia heran dengan sikap Bon, sungguh. Dan juga jengah dan risih. Hubungan mereka sudah menjadi rahasia umum, dan ketika Bon sudah memunculkan sikap posesif penuh curiganya seperti ini, murid di sekitarnya akan tertawa pelan, berbisik dan menggosipinya. Rendra menghela, membalas tatap mata Bon dengan tatapan tanpa minatnya. “Dari Neo.”
Rendra hendak melangkah melewati Bon menuju kelas, tapi pemuda itu lebih dulu menghadangnya. Ketika Rendra akan melangkah ke kiri, Bon akan ke kanan menghadangnya. Dan begitu pula jika ia melangkah ke kanan, Bon akan ke kiri. Cukup membuat pelipisnya berkedut kesal. “Ada apa sih?” keluhnya pada Bon.
Tapi Bon tak menjawab, ia mengamati Rendra dari ujung rambut hingga kaki, dan matanya terpaku di tangan pemuda itu. Bon mengulurkan tangan dan dengan nada tegas ia memerintah “Berikan tanganmu.”
“Hah? Kau pikir aku anjing?”
“Sudah, berikan saja!”
Dengusan sebal meluncur dari mulutnya. Dan dengan enggan ia menerima uluran tangan Bon. Pemuda yang lebih besar darinya itu menyisipkan jemarinya di sela jemari Rendra dan menggenggamnya erat.
Rendra tak berkata apapun dan pasrah ketika Bon menyeretnya kembali ke kelas dengan tangan yang bertaut. Tapi wajahnya merona, dan senyum geli tercipta di bibirnya. Ketika tangannya menyentuh tangan Bon, ia bisa membaca “Tangan ini milikku,” dari kepala Bon.
Dia Butuh Penyaring Otak
Rendra sangat marah hari itu. Ia tidak menyangka, Bon bisa berpikir sekotor itu. Oke, bagi Rendra, Bon memang menyandang murid brutal berotak kotor semenjak ia menampar pemuda itu. Hanya saja, ia tidak menyangka kepala Bon tidak memiliki filter sama sekali. Dan sekali lagi ia menampar pemuda itu dengan kasar pagi itu di tengah pelajaran.
Rendra duduk di kursi yang sepi di belakang sekolah. Ia memutuskan untuk membolos, tidak peduli jika Pak Danu akan memanggilnya ke ruang konseling. Ia tidak betah jika harus duduk selama jam pelajaran jika kepalanya terus menerima bayangan mengerikan itu setiap saat, sepanjang waktu dan berulang-ulang. Dan Bon sialan lah yang harus bertanggun jawab.
Wajah Rendra merona merah, merutuki otaknya yang tak bisa dan memang tidak bisa melupakannya.
Beberapa menit yang lalu, ia masih duduk di kelas, namun Rendra merasa sangat tidak betah. Beberapa kali ia mengubah posisinya, berusaha konsentrasi. Tapi bayangan di kepalanya membuat jantungnya menjadi liar tak terkendali dan wajahnya menjadi benar-benar merah. Ia melirik ke belakang dan mendapati Bon tengah menatapnya dengan pandangan menjijikkan.
Terkadang Rendra benci dengan kemampuannya sendiri, karena ia masih sulit mengendalikannya. Karena semuanya di mulai pagi itu, ketika Bon baru menginjakkan kaki di kelas dan pandangan mereka bertemu sekilas. Dalam sekejap bayangan itu melintas samar, namun ia bisa menangkap kalimat “Mimpi basah”. Damn! Ia tahu itu artinya apa.
Rendra sungguh tidak tahan. Ia marah. Bagaimana bisa Bon tak berhenti membayangkan mimpi basahnya semalam berulang kali? Dan ia malu. Karena objek mimpi basah pemuda itu adalah dirinya! Bon sudah gila!
Rendra sudah tidak bisa menahan kesabaran. Jadi ketika guru masih menerangkan, Rendra berdiri dengan wajah yang merah dan dada yang naik turun tak beraturan. Semua siswa menatapnya bingung, begitu pula Bon yang terkejut hingga bayangan itu menghilang. Tapi bukan berarti kemarahan Rendra reda begitu saja. Ia melangkah cepat dan lebar, menghampiri Bon yang menatapnya bingung. Dan—
PLAK!
Untuk kedua kalinya Bon merasakan tamparan yang perih di pipinya. Suara hentakan napas terdengar di sekitar, dan kemudian bisu.
Rendra menatap marah dan Bon bisa melihat itu dengan jelas. Ia bingung, tentu saja. Tapi ia hanya terpaku sambil menyentuh pipinya yang merah, tak mengejar Rendra yang sudah berlari keluar.
Tidak Sengaja Ketahuan
Bon tidak mengerti ketika tiba-tiba saja Rendra menamparnya. Ia bisa melihat wajah yang merah dan tatapan yang marah dari pemuda itu. Tapi ia tidak mengerti kenapa Rendra menamparnya, di tengah jam pelajaran.
Ia menyentuh pipinya yang terasa panas. Ada warna merah yang tercetak di sana. Seluruh siswa di kelas termasuk guru yang tengah mengajar, memandanginya bingung. Sama seperti dirinya yang juga bingung menatap pintu kelas setelah Rendra berlari pergi.
“Apa yang kau lakukan hingga dia semarah itu?” Teman sebangkunya menyentuh bahunya, berbisik dan menatapnya iba.
Bon hanya menggeleng sebagai jawaban. Sungguh, ia tak melakukan apapun. Ia hanya terbayang tentang mimpinya semalam. Begitu jelas, begitu menggoda dan menggairahkan sehingga sulit untuk dilupakan. Atau mungkinkah?
Ia berdiri dan tanpa permisi berlari keluar kelas. Guru tak mencegahnya, membiarkannya pergi, karena berpikir ia dan Rendra butuh waktu untuk menjernihkan masalah.
Bon menghela napas lelah. Ia sudah berlari killing sekolah dan tak menemukan Rendra di manapun. Ia mengunjungi Neo, tapi Rendra juga tak ada. Hingga akhirnya langkahnya membawanya ke belakang sekolah. Jarang dikunjungi dan kemungkinan kecil ada di sana. Dan beruntung, ia menemukan Rendra duduk di bangku tengah mengerang frustasi.
Ia mendekat pelan, berhati-hati duduk di sebelah pemuda itu. “Rendra.”
Rendra tak menanggapinya, pemuda itu bergerak gelisah di sebelahnya.
“Aku minta maaf, oke?” Bon menarik tangan Rendra, tapi pemuda itu menepisnya. Ia mencoba merangkul, tapi sekali lagi ia ditepis. Menyakitkan, ia lebih rela di tampar sekali lagi ketimbang diacuhkan seperti ini.
“Aku tidak akan melakukannya lagi, sungguh.”
Sekali lagi Bon meraih tangan Rendra, beruntung kali ini pemuda itu tak menepisnya.
“Aku janji tidak akan jalan dengan cewek lain di belakangmu. Aku janji tidak akan melirik cewek lain lagi. Aku janji tidak akan bermain api di belakangmu. Sumpah.”
Bon bersumpah mendengar suara tulang berdetak begitu Rendra menoleh dengan amat cepat padanya. Pemuda itu melotot murka padanya, membuat kerongkongannya kering. “Kau apa?”
“Tapi aku tetap memikirkanmu.” Bon menggenggam tangan Rendra erat.
Tapi Rendra menepisnya kasar. Pemuda itu berdiri, menyentuhkan kedua tangannya di pelipis Bon, dan ia melihat kejadian itu dengan sangat jelas. Membuat darahnya mendidih hingga ke kepala. Sekali lagi ia dan kemarahannya berada di garis yang sejajar. Ia hampir melihat semuanya tapi Bon menarik tangannya lebih dulu. Pemuda itu menatapnya sungguh-sungguh dan berkata “Aku minta maaf.”
Sekali lagi Rendra mengabaikannya. Ia menepis tangan pemuda itu dan berdecih, lalu mengejek “Kau dan otak kotormu.” Rendra berbalik dan meninggalkan Bon.
“Rendra!” seru pemuda brutal itu. Tapi Rendra mengabaikannya.
Ia menatap punggung Rendra yang menjauh. Menghela lelah, lalu menggeleng pelan. Merutuki kebodohannya.
---
Bantuan yang Buruk
Dulu, ia tidak mengerti tentang apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia nyaris berteriak dan menangis setiap waktu setiap kali bayangan itu datang di kepalanya. Ia akan langsung menangis begitu orang lain menyentuhnya, karena ia mampu membaca isi kepala mereka bagai buku yang terbuka lebar. Ia mampu tahu hingga rahasia terdalam mereka.
Saat lima tahun, ia pun tahu ayahnya berselingkuh dan ia menyesal memiliki kekuatannya.
Ayahnya menggamparnya dengan kasar ketika ia bertanya siapa wanita yang sedang dipikirkan ayahnya setiap waktu. Ia masih ingat dengan jelas, karena ingatan itu tak bisa terhapus dari kepalanya, ibunya memeluknya erat dan menangis. Ia menangis dan meraung. Ia bahkan ingat ia pernah lari ketika ayahnya kembali memukulnya hari-hari berikutnya.
Saat itulah ia bertemu Bon. Hanya pertemuan yang singkat, tapi sangat bermakna bagi Rendra. Bocah itu memberinya sebuah jepitan rambut yang ia dapat sebagai hadiah makanan ringan, dan mengira Rendra adalah seorang anak perempuan. Karena waktu itu ia menolak memotong rambut, berharap bayangan itu semakin sulit masuk ke kepalanya.
Tapi tanpa sengaja, ia menyentuh kepala Bon dan melayangkan kabut tebal yang menutupi tentang dirinya di kepala Bon.
Bon mengerjap, matanya berkilat penasaran. “Siapa kau?” kalimat itu meluncur melukainya.
Di saat itulah ia baru tahu bahwa tak hanya mampu membaca pikiran orang lain, ia mampu memanipulasi memori mereka. Namun sayang, ia belum mampu mengendalikan kemampuannya saat itu dan memutuskan untuk menunggu.
Setelah kejadian itu, kedua orang tuanya bercerai. Ia diasuh oleh ibunya. Dan kenangan Bon masih melekat jelas di kepalanya. Jepit rambut berhiaskan bunga kuning berkelopak empat itu masih ia simpan hingga kini.
Ia bisa melihat Bon bergandengan tangan mesra, merangkul pinggang ramping itu mendekat padanya dan berbisik seduktif. Ia bisa melihat tawa riang dan ciuman mesra yang diberikan Bon pada wanita yang dikenalnya lewat akun sosial. Hanya sebatas itu sebelum Bon menarik tangannya.
Rendra marah, sangat marah. Setelah Bon memberikannya harapan, namun pemuda itu malah membanting perasaannya dengan kasar. Andai saja Bon tidak salah paham tentang tamparan yang ia berikan, dan tak mengaku, ia yakin akan terluka lebih dari ini. Sudah jelas, ia mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Mungkinkah ia tak bisa mengembalikan ingatan Bon tentang dirinya?
Ia berdecih, mengutuki Bon dan otak kotornya. Mengutuki kemampuannya. Andai saja ia tidak memiliki kekuatan ini, ia tidak akan menjadi seperti ini. Ia, nyaris di setiap waktu, berharap seperti anak lainnya. Tapi apa daya, kedua tangannya memiliki apa yang ditakuti orang lain. Mungkin ia harus berhenti untuk berharap. Mungkin ia harus berhenti untuk menyingkirkan kabut itu.
Di saat itulah ia melihat sosok Gian yang tengah merenung. Samar ia bisa melihat kekalutan dari pemuda itu di kepalanya. Membuatnya tersenyum geli. Ia bisa melihat pemuda itu melamun melihat ke arah tangannya sendiri. Sekali lirik, ia bisa melihat apa yang pemuda itu tengah pikirkan.
“Hai.”
“AAAA…!” Gian terlonjak dan berteriak, menyentuh dadanya dengan cepat. Ia bisa merasakan jantungnya nyaris melompat. “Aku tidak memikirkan hal kotor apapun, sungguh.” Ucapnya spontan.
“Memikirkan apa?”
Gian menoleh, mendapati pemuda berkacamata tengah tersenyum miring dan mengamatinya. “Kak Rendra rupanya.” Gian menghela lega.
Rendra tersenyum, duduk di sebelah Gian. “Kau mengira aku siapa? Neo?” lalu tertawa pelan.
Rendra mendengus geli ketika menangkap apa yang tengah pemuda itu bayangankan tentang dirinya dan hubungannya dengan Neo. “Aku dan Neo tidak memiliki hubungan apapun.” Rendra memulai percakapan, pandangannya lurus ke depan. “Kami hanya teman yang senasib.”
Gian hanya melirik bingung pada Rendra sejenak sebelum kembali melihat ke depan.
“Kau tahu, dia banyak bercerita tentangmu.” Mengingatkan Rendra tentang kekalutan Neo yang mencintai Gian, tapi takut melukai pemuda itu.
Dan sepenuhnya perhatian Gian jatuh pada Rendra. “O-oh ya?” ada rasa yang aneh ketika membayangkan Neo bercerita tentang dirinya. “Apa yang dia katakan?”
“Semuanya. Termasuk status palsu kalian.” Dan Rendra tertawa. Ia menoleh, menatap Gian dengan bola hitam jernihnya yang tersembunyi di balik kaca. “Kau benar-benar baik mau membantunya.” Lalu ia menarik tangan Gian, dan ia bisa membaca kekalutan pemuda itu. Ah, sungguh menarik, pikirnya.
“Err… kak?” Gian melirik ke kiri kanan. Entah kenapa ia takut jika Neo melihat ini.
“Kau masih bimbang, belum yakin dengan perasaanmu. Kau hanya belum menyadarinya.”
“Maksud kak Rendra ap—“
“Cium aku.”
“Oke—Wait! APA?”
Namun Rendra bergerak lebih cepat. Pemuda berkacamata itu sudah menempelkan bibirnya ke bibir Gian. Sebuah sentuhan yang berlangsung beberapa detik. Membuat Gian mematung karena terkejut. Hingga ketika Rendra memiringkan wajah, hendak memperdalam ciuman, kesadaran Gian baru kembali, dan Rendra sudah menuntut ciuman yang lebih dalam.
Gian menarik tengkuk Rendra, menariknya pada ciuman yang lebih dalam. Matanya terpejam dan sekejap wajah Neo terlintas di kepalanya. Dan Rendra tersenyum di antara ciuman. Setidaknya ini bisa membantu menjelaskan perasaan pemuda itu pada Neo. Gian menarik tangan dan mendorong bahu Rendra, melepaskan ciuman. Pandangan pemuda itu meliar. Ia menelan ludah, merasakan gugup dan rasa bersalah. “Ini— ini—“
“Kau sudah menemukan jawabannya?” Rendra memperbaiki letak kacamatanya, lalu tersenyum. “Sudah jelas, bukan? Kau—“ Ia tak melanjutkan ucapan. Tubuhnya mematung dan matanya melebar, terpaku pada Bon yang kini melangkah lebar padanya. Ia bisa melihat jelas kemurkaan di wajah pemuda itu.
“Pergi dari sini, cepat!” Ucapnya pada Gian.
Tapi Gian tak bergerak sedikit pun. Rendra jelas panik ketika Bon melangkah dengan cepat ke arahnya. Hingga akhirnya pemukulan itu terjadi. Bon hanya memukul dua kali hingga Gian tersungkur, dan selebihnya ia menendang pemuda itu dengan brutal. Rendra berusaha mencegah, tapi setiap kali ia menyentuh Bon, perutnya terasa mual dan sesak karena amarah yang mengerikan memenuhi kepalanya.
Rendra berhasil mendorong Bon menjauh hingga Gian pergi, menghiraukan dadanya yang terasa sesak ketika perasaan amarah Bon menguasai kepalanya. Mereka berdiri saling berhadapan. Bon menatapnya murka dengan napas yang memburu, dan Rendra yang –untuk pertama kalinya, takut dengan tatapan pemuda itu.
Akhirnya Ia Tahu
“KAU!”
Bon meraung, menunjuknya ketika telah menyeretnya ke belakang sekolah dan melempar tubuhnya membentur tembok, menghiraukan keluhan Rendra akan punggungnya. Mata Bon menyipit, menatap tajam. Ia menarik napas ketika merasa sesak karena amarah yang terkumpul.
“Kau benar-benar… “ Ia kembali meraung di depan wajah Rendra.
Tapi Rendra tidak terima, tentu saja. “Lalu bagaimana denganmu, hah!? Apa bedanya?”
Bon menggeram, jelas ucapan Rendra telak menghajarnya. “Aku bahkan tidak pernah sampai menciummu, tapi kau malah menciumnya yang jelas-jelas pacar juniormu!” ia mencoba membela diri. Lagipula ia sudah minta maaf, bukan? Dan jujur saja ia selalu memikirkan Rendra di ia bersama wanita lain.
“Lalu apa masalahnya? Kami hanya ciuman.”
Bon melotot, menggeram. “’hanya ciuman’ katamu?”
Rendra mendengus sebal dan melempar pandang.
Bon malah merasa semakin marah hingga ke ubun ketika Rendra hanya diam. Pandangannya bertuburkan dengan bibir Rendra dan ia merasa panas bagai dibakar. Jadi ia meraih tengkuk Rendra dan dengan telapak tangannya, ia mengusap kasar bibir pemuda itu.
“Apa yang kau—“ Rendra mencoba mendorong, tapi Bon jauh lebih kuat darinya.
Bon terus mengusapnya, dan seluruh perhatiannya berada di bibir pemuda itu. Mengingatkannya pada kejadian beberapa menit yang lalu yang kembali memancing amarahnya. Dan tanpa peringatan apapun ia merauh bibir Rendra, mempertemukannya dengan bibirnya. Menciuminya dengan kasar.
Rendra meronta dan berhasil mendorong Bon menjauh darinya. Hanya sedetik, sebelum Bon yang telah kehilangan akal mendorong dan menghimpit tubuhnya di tembok, dan menciuminya dengan ganas. Bukan hanya bibir, satu tangan pemuda Brutal itu telah menelusup masuk di antara celah kemejanya, meraba dari perut, pinggang hingga ke punggung.
Pemuda berkacamata itu menjerit dalam ciuman ketika bayangan mengerikan itu terlintas di kepalanya. Bon sudah merobek kemejanya hingga satu kancing di tengah terlepas dan putus. Kepala Bon sepenuhnya tertutup kabut nafsu, dan Rendra semakin meronta. Ia tidak ingin bayangan itu menjadi kenyataan.
Jadi dengan sisa tenaga yang ia miliki, Rendra mendorong tubuh Bon dan menendangnya menjauh hingga ciuman dan desakan itu terlepas dari tubuhnya. Keduanya terengah, dan Rendra menjerit “Berhenti membayangkan kau mencumbuku!”
Bon mengusap bibirnya yang basah, kabut nafsunya menghilang, dan keningnya mengernyit bingung. “Membayangkan apa—“ dan kemudian ia mengerti. “—bagaimana kau tahu?” desisnya.
Rahang Rendra terkatup rapat. Pemuda itu menunduk, bahunya terkulai lemas.
“Kau—“ Bon terkesiap. Ia tiba-tiba mengerti kenapa pemuda itu menamparnya dulu dan maksud dari perkatan Rendra beberapa detik yang lalu. Rendra adalah Gifted Hand. Mengerikannya lagi, pemuda itu mampu membacanya, bagai selembar halaman buku yang terbuka.
Rendra menutup mata rapat, tak berani menatap Bon. Tapi ia mampu melihat ketakutan Bon di kepalanya. Dan ia mampu mendengar langkah cepat pemuda itu, pergi meninggalkannya.
Inikah tanda ia harus berhenti?
Ingatan Itu dan Dirinya
Rendra kembali ke kelas ketika jam sekolah berakhir dan kelas benar-benar kosong. Menghiraukan penampilannya yang acak-acakan dan kancing kemejanya yang copot entah kemana. Ia sendiri merasa amat kosong ketika menyadari Bon tak lagi menunggunya seperti biasa. Dengan tertatih ia menghampiri mejanya, merapikan buku pelajarannya. Namun ia tidak bisa menguasai emosinya sendiri. Ia duduk di bangku dan membiarkan air matanya mengalir tanpa isakan.
Esoknya, ia merasa beruntung karena tidak ada gosip tentang dirinya dan kekuatannya. Bon tidak menceritakannya kepada siapapun, sepertinya. Atau mungkin hanya menunggu waktu hingga tanpa sengaja rahasianya terselip keluar dari mulut pemuda itu. Ia tinggal menunggu waktu hingga semuanya menjauhinya. Jadi ia telah memutuskan semalam, pagi ini ia akah mengakhirinya.
Ketika Bon datang, ia menghampiri pemuda itu. Ia bisa membaca ketakutan Bon yang membuatnya sesak. Ia mendekat dan tersenyum miring. “Aku bisa membaca ketakutanmu.” Bisiknya. Tapi Bon tetap diam di tempat, mencoba untuk berani.
“Kau tahu mengapa tingkahmu terlihat seperti terobsesi padaku?” Rendra mengangkat tangan dan membuat Bon berjengit. Ia menyentuhkan ujung jemarinya di pelipis pemuda itu. Tidak melakukan apapun, hanya menyentuhnya. “Karena aku yang menanamkannya di ingatanmu. Aku yang mengubahnya.” Lalu Rendra mendengus, menertawai kebohongannya. “Tapi tenang saja, aku sudah menghapusnya.”
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku dan meletakkannya di meja Bon. Sebuah jepit rambut mungil dengan hiasan bunga kuning bermahkota empat. “Terima kasih.” Lalu Rendra pergi.
Ia tak mengikuti pelajaran, memutuskan untuk mengunjungi Neo setelah mendengar insiden yang dialami oleh pemuda itu.
Bon tersentak begitu Rendra menyentuh pelipisnya. Samar ia mendengar tangisan anak kecil, tawa, sepasang mata hitam yang sembab, dan sebuah jepit rambut berbunga kuning. Apa ini? Apa Rendra yang menanamkannya ingatan seperti yang telah pemuda itu katakan?
Tapi selanjutnya ia melotot ketika melihat bayangan dirinya sendiri yang masih kecil. Ia masih ingat dirinya yang masih kecil, fotonya pun bahkan ada. Dan sebuah jepit rambut yang Rendra letakkan di mejanya sebelum pemuda itu pergi. Apa maksudnya?
Rendra jarang muncul di kelas akhir-akhir ini. Bisa ditebak, pemuda itu tengah menemui Neo. Dengan permasalahan yang pemuda mungil itu alami, Bon yakin Rendra merasa harus berada di sisi pemuda itu. Dan di sisi lain, Bon ingin melihat Rendra berada di jarak pandangnya. Sama seperti sebelumnya.
Bon jelas takut ketika menyadari kekuatan Rendra. Itu jelas kekuatan yang mengerikan. Tapi ada perasaan lain yang ikut bersama ketakutan itu. Marah dan terluka. Ia mengamati jepit rambut yang berada di tangannya. Jepit rambut yang sama dengan yang muncul di kepalanya akhir-akhir ini.
Dan Bon terkejut ketika mendapati dirinya kini mengamati Rendra dari jauh. Memeluk Neo di gerbang sekolah, mengantarkan kepergian pemuda mungil itu. Bon bisa melihat jelas punggung Rendra yang bergetar hebat. Ia tahu pemuda itu menangis. Bahkan ketika Neo telah menghilang dari pandangnya, pemuda itu masih menangis. Memalukan.
“Hei.” Bon sekali lagi terkejut ketika mendapati dirinya berada di samping Rendra mengamati jalan. Rendra terkejut, melewatkan kehadiran pemuda itu di sekitarnya. Bon menoleh, mendapati Rendra menatapnya dengan mata yang sembab. Dan ingatan itu muncul. Sepasang mata sembab itu, sama seperti sepasang mata dalam ingatannya. Tidak jauh berbeda.
Bon menyeret Rendra hingga ke belakang sekolah, satu-satunya tempat sepi yang bisa membuat mereka leluasa berbicara. Ia duduk di bangku, dan Rendra berdiri tidak jauh darinya. Mereka diam cukup lama.
“Apa benar yang kupikirkan ini?”
Rendra mengerti dengan jelas maksud ucapan pemuda itu. Ia mengangguk dan dengan suara yang serak karena habis menangis ia menjawab “Ya.”
Bon mengangkat wajah, menyapu wajah Rendra dan menghela. Ia berdiri menghampiri pemuda itu. “Aku ingin membuktikan sesuatu. Boleh?”
Tapi Rendra tak menjawab, yang diartikan Bon sebagai persetujuan. Ia menarik keluar jepit rambut yang diberikan Rendra dari sakunya. Dengan gugup ia merapikan poni Rendra ke satu sisi dan menjepitnya dengan jepit rambut usang itu. Ia melepaskan kacamata Rendra perlahan, dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. Meski sudah dewasa, namun ia mampu mengenali wajah yang mirip dengan wajah anak kecil yang muncul di kepalanya.
“Itu… kau?”
Rendra melotot. “Kau… ingat?”
“Bukannya kau yang memasukkan ingatan itu di kepalaku?”
Rendra menggeleng cepat. “Tidak, aku tidak melakukan apapun padamu. Oke, dulu aku tanpa sengaja membuatmu melupakanku. Tapi sekarang kau ingat? Bagaimana—?”
Mata Bon menyipit. “Tunggu! Kau baru saja bilang kalau kau tidak melakukan apapun padaku. Jadi waktu itu kau berbohong?”
Rendra menggigit bibir, menyadari kebodohannya. Dan saat itu Bon menyadari satu hal. Pantas saja sejak awal, sebelum insiden penamparan itu terjadi, ia selalu melihat pada Rendra. Secara tidak sadar ia sudah tertarik pada pemuda itu. Oh tidak, bukan lagi tertarik. Tapi ia sudah cinta dengan Rendra dan ia belum menyadarinya.
Kening Bon mengernyit, matanya meneliti. “Tapi… bagaimana kau bisa tumbuh menjadi seorang pemuda?”
Pelipis Rendra berkedut kesal. Ia merebut kacamata dari tangan Bon dan kembali mengenakannya. Padahal ia sudah berharap adegan romantis, tapi Bon terlalu amat bodoh, ia lupa akan hal itu. “Sejak awal aku tidak pernah bilang kalau aku seorang gadis. Kau sendiri yang menganggapnya begitu.”
“Kenapa kau tidak mengatakan sejujurnya padaku?”
“Aku hanya tidak ingin mengambil resiko.” Ia takut Bon akan takut padanya, alih-alih menerima kenyataan. Dan cerita itu meluncur dari mulut Rendra. Menguapkan ketakutan Bon pada Rendra belakangan ini.
Dan berakhir dengan Bon yang memeluk Rendra erat.
Dia dan Otak Kotornya
“Bon…”
Siang itu, setelah kembali dari rumah sakit menjenguk Gian dan memutuskan untuk beristirahat di rumah Bon yang sepi. Rendra sedang menyalakan kipas angin di samping TV yang menyala.
“Hm?”
“Bisakah kau berhenti melihat bokongku?”
“Hah?”
Rendra berbalik dan Bon ketahuan. Ia gelagapan. Rendra bersedekap dan menatap tajam. “Berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak dengan otak kotormu itu.”
Bon mengelus tengkuknya dan tertawa gugup “err.. ya.” Yang dibalas dengan dengusan oleh Rendra. Karena ia tahu dengan jelas, Bon tidak bisa berhenti memikirkan itu.
Bagaimana tidak, semenjak mereka ‘rujuk’, Bon menjadi semakin bergairah. Dan jangan salahkan dirinya jika pikiran kotor itu terus melayang di kepalanya jika Rendra menjadi tampak lebih menggoda. Ia kesulitan untuk mengalihkan pandang dari pantat Rendra setiap kali mereka hanya berdua. Belum lagi ingatan tentang ia yang pernah menyentuh tubuh Rendra waktu itu. Ia bahkan masih mengingat sensasi kulit tubuh Rendra di telapak tangannya.
Shit!
Rendra menghempaskan diri di sofa, di samping Bon. Menatap pada TV yang menampilkan acara musik. “Bon, berhenti melihat ke selangkanganku.”
Bon mengerang. Sial. Ini susahnya punya kekasih yang bisa membaca pikiran. “Aku tidak sengaja, sungguh.”
“Tapi otakmu berkata lain.”
“Oke, oke. Aku hanya tidak tahan.”
Rendra tertawa geli. “Dasar mesum.”
“Mesum begini tapi kau juga cinta, kan?” goda Bon.
Rendra tertawa lagi, yang membuat Bon tak tahan untuk mencium bibir Rendra. Kali ini tidak ada dorongan dan penolakan. Rendra akan membiarkan Bon menciumnya lebih.
akhirnya saya membuat happy end.
terima kasih atas segala komentar, kritik dan sarannya.
Gian-Neo donk, Nong.. Penasaran><