It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
bikin neo kembali kesisi gian dan jg masukin konflik ayah gian x gian&nio wkwk
hehe beruntung ceritanya bisa ampe Happy End. Sempat mutar otak gimana akhirnya.
Kalau Gian-Neo, hmmm,,, kalau sempat kepikir, saya usahain lanjutin kisah mereka. Termasuk konflik dengan ayah Gian.
Neo sam gian dibuat happy ending, dilanjutin yah yah :>
--
Kata Pengantar
Tolong jangan menganggap ini makalah jika melihat dua kata di atas. Saya janji ini tanpa latar belakang, rumusan masalah, kesimpulan, dan hal lainnya. Garing? Ya. Haha
Saya telah memikirkan cerita ini selama berhari-hari ketika selesai membaca sebuah novel. Dan dengan berani saya menuliskannya kemudian. Saya terinspirasi menuliskannya karena kisahnya begitu menarik. Dan berusaha untuk menulisnya dengan cara yang berbeda. Tidak perlu saya menuliskan judul dan pengarangnya, tapi jika kalian telah membacanya novel tersebut dan menemukan hal yang sama, yakinlah saya terinspirasi dari novel itu.
Aku begitu bodoh karena mencintaimu.
Andaikan waktu dapat kuputar ulang, aku lebih memilih untuk diam menelan rasa. Daripada harus berbicara dan menelan perih.
Pesta pernikahan sahabatku berlangsung meriah. Penuh suka cita. Aku bisa saja menikmatinya, andai pria itu tak berada di sini.
Aku tak pernah menyangka melihatnya di sana, berdiri beberapa meter dariku. Matanya memandang tajam, didukung oleh alis tebalnya yang tegas. Seringai di wajah menunjukkan arogansi yang sudah lama tenggelam dalam ingatan. Sosoknya yang tegap dalam balutan jas yang membuatnya tampak menawan, membuat dadaku bergemuruh oleh riak benci yang tak pernah ku lupa.
Dia, Mike Obero. Mimpi burukku.
Aku mencoba tenang, meski jemariku bergerak liar, menggenggam semakin erat gelas di tangan. Mike berdiri tak jauh dariku. Meski tak melihatnya pun, aku tahu pria itu tengah menatapku. Bisa kurasakan. Perutku tiba-tiba melilit hebat, dan aku mual. Aku ingin muntah. Kenapa aku tidak ke toilet sejak tadi? Oh, betapa bodohnya aku. Aku bisa kabur ke sana.
Ya aku bisa, andai ia tidak berdiri di hadapanku kini. Satu tangan di saku dan tangan lainnya memegang leher gelas yang terisi setengah. Ia tersenyum santai padaku. “Hai, Ares. Lama tak bersua.”
Aku berdiri, berusaha bersikap santai. Padahal benciku padanya sudah mendarah daging mengalir di nadi. Aku nyaris tergoda untuk langsung menyiramkan minumanku ke wajahnya. Tapi aku lebih tahu diri. “Hai, Obero.” Balasku cepat. Aku menolak pada diriku sendiri untuk mengucap nama panggilannya lagi. Ia bahkan tidak berhak mendapatkan keramahtamahanku.
“Aku tak menyangka kita akan berjumpa lagi.”
“Aku juga tidak menyangka.” Aku memuji diriku sendiri karena mampu menjawabnya dengan nada sarkastik, tak menyembunyikan ketidaksukaanku akan keberadaannya di depan mataku.
Tapi Mike Obero tertawa pelan, menganggapnya canda. Mataku mengerjap ketika merasakan nyeri di perutku. Hal yang paling kubenci berikutnya dari dirinya, adalah tawanya. Tawa yang mengingatkanku akan mimpi buruk yang menghantuiku selama bertahun-tahun. Cengkeramanku di leher gelas mengerat, lalu aku menenggak minumanku hingga tandas ketika rasa sesak itu muncul. Kemudian meletakkan gelasku di meja dengan kasar.
“Permisi.” Aku meninggalkannya begitu saja. Sungguh aku tidak ingin berlama-lama dengannya.
Meski wajahku telah kubasuh berkali-kali, tapi hatiku tak sedikit pun menjadi tenang. Membayangkan Mike Obero masih di dalam ruang pesta tetap membuatku cemas. Aku memejamkan mata, dan menarik napas sedalam mungkin hingga paru-paruku terasa penuh, mencari ketenangan yang menghilang. Tapi tidak. Aku terkesiap ketika melihat di cermin, Mike Obero sudah berada di belakangku menyandarkan bahunya ke tembok dan bersedekap.
Aku berusaha terlihat tenang, mengusap wajahku dengan sapu tangan. Lalu berbalik dan mengabaikan sosoknya. Tidak ada yang perlu kubicarakan padanya, karena menghindarinya adalah prioritasku. Tapi Mike Obero segera menahanku, mencengkeram erat lengan atasku.
“Apa inginmu, Obero? Aku tidak punya urusan denganmu.”
“Oh, come one, Ares. Apa begini caramu memperlakukan teman lama?”
Rahangku mengatup erat, membenci ketika ia menyebut namaku. Tanganku mengepal amarah, dan lidahku siap mencaci. Hanya saja, aku lebih mampu menahan diri. Aku tidak akan bersikap rendah padanya dengan tidak mampu mengontrol diri. Aku bukan Ares yang dulu, bukan Ares yang mampu ia tumbangkan. Aku meliriknya sekilas lalu pada tangannya di lenganku. Kulepaskan jemarinya dari lengan atasku. Tawa geli meluncur dari mulutku. “Teman lama? Benarkah?”
Aku baru akan melangkah pergi, tapi Mike Obero menarik dasiku dengan kasar. Nyaris membuat tubuhku menubruk tubuhnya jika aku tak segera menumpukan kedua tanganku di samping kedua sisi tubuhnya. Napasku tersengal tiba-tiba ketika aroma parfumnya menusuk hidungku. Mike Obero menunduk, mendekatkan mulutnya di telinga, aku bisa merasakan hembusan napasnya menggelitik ujung telingaku.
“Apa kau lupa? Apa aku harus memaksamu untuk mengingatnya?” bisiknya. Ia menggigit telingaku, membuatku mengerang. Mataku berair dan terasa perih. Aku membencinya, teriakku. Segera kutepis tangannya dari dasiku, melepaskan diri dan menjauh darinya. Seringainya dan tatapan arogannya membuatku muak. Aku berlari meninggalkannya. Bisa kudengar tawanya yang mengejek.
Mike Obero dan seringai kejinya. Aku lebih memilih buta daripada harus melihat seringai itu di wajahnya. Mike Obero dan tawanya yang menusuk telinga. Aku lebih memilih untuk tuli daripada harus mendengar tawa itu sekali lagi. Mike Obero dan perilaku kejinya. Aku lebih memilih bisu daripada harus memohon belas kasihnya.
“Aku menyukaimu.”
Aku tersentak bangkit dari tidur, mengumpulkan napas yang terputus-putus. Bajuku amat lengket karena tubuhku basah oleh keringat. Jantungku berdebar liar hendak melompat. Mimpi itu kembali. Setelah bertahun-tahun malamku tak lagi terusik, mimpi itu akhirnya kembali bersama sosok yang kubenci. Setelah memperoleh sedikit ketenangan, kubuka laci di nakas, dan tak menemukan satu botol pun obat penenang yang mampu kuminum. Sialnya, aku lupa jika tak lagi mengkonsumsinya.
Malam itu aku tidak mampu tertidur hingga pagi menjelang. Aku takut mimpi itu kembali.
Aku memaksa diri untuk ke klinik meski bahuku terasa lebih berat, amat berat karena kantuk yang menerjang ujung kelopak. Aku tidak bisa membiarkan jadwal kunjungan pasienku berganti. Aku tidak tega untuk menelantarkan mereka yang membutuhkanku. Aku seorang dokter, masih dokter umum, belum mengambil spesialis dan untuk saat ini bekerja di klinik bersama rekan lainnya. Tapi dedikasiku patut dipuji.
“Dok, ada tamu untuk anda.”
Aku yang tengah merapikan meja bersiap untuk makan siang, menengok ke pintu, pada Troy, asistenku. “Persilahkan dia masuk.”
“Selamat siang, dok.”
Suara itu membekukanku. Mike Obero di ambang pintu, bersama seringai kejinya yang sama di dalam mimpiku. Stetoskopku nyaris tergelincir dari tangan. Mataku menyipit padanya, memandangnya benci. Bagaimana pria itu tahu aku berada di sini? Seingatku tak ada sedikit pun interaksi yang mengindikasikan informasi pribadiku padanya.
“Sahabatmu yang memberitahukannya padaku. Kebetulan sahabatku menikahinya.” Mike Obero lebih dahulu berbicara, seolah bisa membaca apa yang tengah kupikirkan.
“Apa maumu, Obero?” desisku.
Ia melirik jam tangannya sekilas dan kembali memasukkan tangannya ke saku celana. “Hanya mengajakmu makan siang.”
Aku berdiri, bersikap menantang. “Pergilah, Obero. Aku tidak ada niat untuk menuruti keinginanmu.”
Mike Obero tertawa pelan, tidak ada ejekan di sana. “Oh ayolah, dok. Ini hanya ajakan makan siang.” Lalu berkedip.
Pria itu menghampiriku. Sejenak aku berpikir untuk segera lari, pergi jauh darinya. Tapi aku sadar aku akan menjadi pengecut. Jadi aku hanya berdiri, tak melepaskan pandangan tajamku darinya, mewaspadai segala tindaknya. Ia merangkulku bagai kawan lama, dan mengajakku pergi. “Ayo, dok. Sebelum jam istirahat berakhir.”
Aku ingin memberontak ketika pria itu menyentuhku. Sentuhannya terasa bagai duri yang menusuk di kulit. Namun nyatanya aku tak berkutik, tenggelam dalam rasa perih di ulu hati akibat benci yang menumpuk. Aku membiarkannya menggiringku hingga ke kafeteria. Membiarkannya terus berdiri di sampingku. Dan aku merasa amat muak.
“Apa kamu tidak lapar?” tanyanya begitu kami duduk berseberangan dengan sebaki makan siang di hadapan masing-masing. Ia sudah menikmati separuh makan siangnya.
“Apa yang kamu inginkan?” Lagi, aku mempertanyakan hal yang sama.
“Makan siang.” Ia menyuapi dirinya lalu bergumam, nampak menikmati. Yang membuatku jijik dengan tingkah busuknya yang palsu.
“Jangan bercanda, Obero. Aku tahu kamu di sini bukan dengan alasan klise seperti ‘makan siang’. Apa yang kamu inginkan dariku lagi, hah?” nada suaraku meninggi di akhir. Aku tidak peduli.
Mike Obero mengangkat kedua alisnya, terlihat terkejut. Perlahan ia meletakkan sendoknya, mencondongkan tubuh dan tersenyum. “Sudah kukatakan, bukan? Makan siang.” Lalu ia kembali menikmati makan siangnya hingga tandas. Setelah meneguk dahaga, ia berdiri. “Selamat menikmati makan siangmu, dok.”
Tidak, aku tidak menikmatinya sedikit pun.
”Lemparkan dia ke dalam kolam!”
Tidak. Jangan! Kumohon!
Dan mereka tertawa.
Lagi, mimpi itu tak bisa berhenti datang. Meski obat penenang telah kukonsumsi, mimpi itu terus menghantuiku. Nyaris seminggu dan rasanya begitu buruk. Ketika terbangun dan merasa amat kacau, aku tidak bisa kembali memejamkan mata dan akan terjaga hingga pagi tiba.
Siangnya, mimpi burukku yang berwujud menghampiriku lagi dan lagi. Mengabaikan pengusiran yang kulakukan setiap kali ia berdiri di ambang pintu ruang kerjaku. Mengabaikan tatapan kebencian yang kulemparkan padanya. Mengabaian fakta bahwa aku membencinya.
“Kamu tidak kerja?” Itu jelas bukan pertanyaan, tapi singgungan yang kutujukan padanya.
Mike Obero menampilkan cengiran yang memuakkan. “Kamu mulai khawatir padaku?”
“Lupakan, anggap aku tidak pernah bertanya.”
Ia tertawa pelan. “Aku anggap kamu khawatir.” Dan ia kembali tertawa.
Mulutku menggeram, rahangku mengatup rapat. Aku sadar betapa bencinya aku padanya, pada tawa busuknya yang membawaku pada mimpi burukku di sepanjang malam selama bertahun-tahun. Dengan kasar aku membanting sendok di meja. Dan beranjak pergi.
Oh, tidak— kepalaku tiba-tiba pusing. Efek terjaga selama nyaris seminggu menghampiriku. Aku limbung dan nyaris menghantam meja jika tanganku tak segera menahan beban tubuhku. Tapi mataku menjadi berkunang, ruangan berputar cepat dan kesadaranku menipis. Samar aku mendengar suara Mike Obero yang memanggil namaku. Kumohon, jangan sebut namaku, karena aku membencinya.
Aku tak sadarkan diri.
Hal pertama yang kulihat adalah sosok menjulang Troy. Ia sedikit menunduk ketika menyadari aku melihatnya, lalu tersenyum. Pria itu berjalan keluar ruangan dan beberapa detik kemudian seseorang masuk dengan langkah tergesa. Seorang wanita berjas sama denganku. Rambut coklatnya yang sebahu terikat ke belakang. Sue, rekan seprofesiku.
“Oh, ya Tuhan. Akhirnya kamu sadar, Res.” Serunya. Ia meletakkan tangannya di punggung dan membantuku bangun, kusadari aku di ranjang pasien ruanganku. Masih ada sedikit pusing yang menjalar hingga ke ujung mata, membuatku tergoda untuk kembali berbaring. “Kamu tidak tahu betapa khawatirnya aku.”
“Aku baik-baik saja, Sue. Baik-baik saja.” Aku menoleh padanya, melempar senyum yang kupaksa. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Jam berapa sekarang? Pasienku?”
“Astaga, Ares. Jangan pikirkan itu dulu. Pikirkan dirimu sendiri. Bagaimana kamu mau merawat orang sakit sementara dirimu dalam keadaan kacau begini? Apa yang terjadi hingga tekanan darahmu rendah? Jangan buat aku khawatir, teman.”
Aku tersenyum lemah. Aku suka dengan cara Sue mengucapkan kata ‘teman’ di akhir kalimatnya. Bukan aku tidak tertarik. Sue adalah wanita yang menarik dan terpelajar, tidak sedikit yang menyukainya. Tapi sayangnya aku tidak. Andai diriku tidak seperti ini, Sue adalah orang pertama yang ingin kutambatkan hatiku padanya.
“Aku hanya kurang tidur. Selebihnya aku baik-baik saja.”
Lalu Sue tak berhenti menasehatiku bermenit-menit berikutnya, yang kutanggapi dengan tawa pelanku. Hingga Troy muncul di pintu ruangan dan melangkah masuk dengan pelan. Ada gurat khawatir yang membuatku sedikit luluh. “Sudah lebih baik, dok?”
“Tentu. Thanks, Troy.”
Troy menyentuh keningku, meraba takut-takut jika aku demam, bukan cuma hipotensi. “Untuk apa, dok?”
“Membawaku kemari.”
Ia tertawa. “Harusnya ucapan itu untuk Tuan Obero, dok. Dia bahkan berniat menunggu anda hingga sadar jika saja dokter Sue tidak mengingatkannya akan pekerjaannya.” Sue mengangguk cepat, membenarkan ucapan Troy.
Aku terhenyak, dan pandanganku jatuh di jemari kakiku yang kini telanjang tak terbungkus kaus kaki. Aku mencengkeram erat celana hitamku. Berusaha menolak kenyataan yang Troy sampaikan. Tidak, Mike Obero tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Aku tahu tabiatnya, dan Mike Obero bukan tipe orang yang memiliki belas kasih.
“Kamu baik-baik saja?” Sue mengelus punggungku ketika menyadari aku terdiam lama.
Cepat-cepat aku mengangguk dan melempar senyum tipis padanya. Aku tidak bisa membuat siapapun lebih khawatir lagi. Lalu kuturunkan kakiku dari ranjang dan melangkah pelan ke meja kerja dipapah Troy. Aku berniat mengambil jas kerjaku.
“Apa yang anda lakukan, dok?” Troy menahan tanganku.
“Aku tidak bisa cuma terbaring di ranjang untuk pasienku, Troy.”
Troy menggeleng cepat. “Tidak, dok. Saya sudah membatalkan semua kunjungan. Hari ini sebaiknya anda pulang. Beristirahat yang banyak.”
Aku melotot padanya. “Troy, kamu tidak bisa melakukan itu!”
“Oh, tentu bisa, dok. Vitalitas anda yang rendah dan kejadian di kafeteria itu sudah cukup untuk menjadi alasan.”
“Lalu bagaimana dengan pasien-pasienku? Mereka membutuhkanku.” Seruku.
Sue tiba di sisiku, menepuk dan mengelus bahuku pelan. Ia tahu aku butuh ketenangan. “Pulanglah, Res. Kamu membutuhkan istirahat. Jangan marahi Troy. Ia bertindak benar. Pasien-pasienmu biar aku yang rawat untukmu.”
“Tapi, Sue itu akan membuatmu lembur.”
Tatapan Sue mengintimidasi. “Ares Evergreen, jangan membuatku marah karena tidak mendengarkanku. Hanya lembur sehari tidak akan membunuhku.”
Dan aku menyerah. Aku tidak akan bisa melawan Sue jika ia menggunakan tatapan intimidasi dan menyebut namaku secara lengkap. Troy memaksaku untuk mengantarku kembali ke apartemen menggunakan mobilku lalu ia bisa kembali ke klinik menggunakan bus, ia takut kalau aku kembali tidak sadarkan diri di tengah jalan dan mengalami kecelakaan. Aku mendengus sebal menanggapinya. Sungguh berlebihan, Troy.
Waktu itu sore pukul lima ketika aku sampai di apartemen. Aku segera menenggak obat penenang yang Sue berikan padaku, dan selanjutnya aku terlelap di tempat tidur. Tak ada mimpi hingga wekerku berbunyi di angka lima pagi hari berikutnya.
Tidur dua belas jam sepertinya sudah cukup untukku. Aku merasa lebih segar. Aku beruntung mimpi itu tak menggangguku. Dengan semangat aku kembali kerja, memberitahukan pada Troy dan Sue bahwa aku telah baik-baik saja dan siap merawat semua pasien-pasienku.
Dan ternyata aku lupa pada kenyataan bahwa Mike Obero kembali mengunjungiku di saat jam makan siang. Ia muncul di ambang pintu dan tersenyum padaku. “Sudah lebih baik?” ia bertanya, yang tanpa ragu kuabaikan. Ia menghampiri ranjang pasien dan duduk di sana. Lalu aku teringat pada ucapan Troy kemarin.
“Terima kasih.” Kataku tanpa menatapnya. Aku tidak seperti dirinya. Aku masih memiliki sifat rendah diri.
“Untuk apa?”
“Untuk yang kemarin.”
Aku meliriknya kulihat ia mengangguk pelan, turun dari ranjang dan berjalan menghampiri. Mike Obero di seberangku, di sisi meja yang lain. Kedua tangannya bertumpu di sana dan tubuhnya sedikit mencondong padaku. “Tapi aku tidak menerima ucapan terima kasih seperti itu, Ares.”
Saat itu juga pandanganku jatuh pada mata coklatnya yang licik. Aku membenci seringai yang terbentuk di wajahnya. Kucengkeram erat stetoskop di tangan kanan. “Lalu apa, Mike Obero? Apa yang kamu inginkan?”
Ia tertawa lalu mengibaskan tangannya. Aku tidak mengerti dengan tingkahnya, sungguh. Ia kembali menatapku di mata. “Malam ini, makan malam.”
Tidak ada permintaan di kalimat yang ia ucapkan, dan kusadari itu adalah keharusan yang ia tujukan padaku. “Apa yang kamu dapatkan jika aku mengikutimu? Apa yang aku dapatkan?”
Ia menyentuh dagu, matanya melirik ke langit-langit ruangan. Ia mengangkat bahu. “Tidak ada –Oh, aku tidak akan mengganggu jam makan siang mu lagi. Bagaimana?”
Dan kalimat ‘tidak akan mengganggu’ itu menggodaku. Dengan mantap aku mengangguk, menyetujuinya. “Baik, aku setuju.”
“Oke, malam ini jam delapan, aku akan menjemputmu.”
Aku mendengus geli. “Kamu bahkan tidak tahu dimana aku tinggal.”
Ia mengibaskan tangan. “Tenanglah, aku tahu semuanya tentangmu. Semuanya.”
Aku melayangkan tatapan benciku padanya. Betapa muaknya aku ketika ia menekankan kata ‘semuanya’ di akhir ucapannya. Betapa muaknya aku ketika selanjutnya ia tertawa dan melangkah pergi. Di ambang pintu ia berbalik dan mengedip padaku. “Berpakaianlah yang pantas.” Mike Obero kembali tertawa, dan aku muak.
Setengah jam sebelum makan malam itu, sudah ada niat yang bercokol untuk membatalkannya. Berada di dekatnya membuat perutku terasa sakit. Kuyakin aku tidak akan betah di sana. Namun nyatanya, akhirnya aku berdiri di depan cerminku, menatap diriku dalam balutan semiformal. Kaus putih berleher lebar yang terbungkus oleh jas hitam. Celana kain nyaris ketat membungkus kakiku hingga mata kaki. Apa yang kulakukan? Pikirku.
Mike Obero tiba pukul delapan di pintu apartemenku dalam balutan kemeja putihnya. Lengannya tergulung hingga siku, dan jas resminya bergantung di satu tangannya. Sepertinya pria itu baru saja kembali dari kerja. Ia berdiri mematung di sana untuk beberapa saat, sebelum ia tersenyum dan membawaku pergi.
Resto itu amat ramai. Bukan resto sederhana, tapi resto mewah berbintang lima yang ramai dibicarakan. Mike Obero duduk di hadapanku menunjukkan senyum, bukan seringaian. Baru semenit aku di sana, dan aku sudah gelisah. Ingin rasanya aku segera pergi. Pelayan tiba dan Mike Obero memesankanku suatu makanan. Aku tidak peduli. Aku segera bangkit, dan pandangan pria itu jatuh padaku. Keningnya berlipat, ia bingung. “Toilet, permisi.”
Aku tidak melakukan apapun di sana. Hanya memaku diriku di cermin. Berpikir. Aku tidak suka dengan segala sikap ramah yang ia tunjukkan padaku. Kepalsuan itu terasa amat memuakkan. Aku berpikir untuk mengendap-endap dan pergi, meninggalkannya sendiri di sana. Aku bisa melakukannya dengan mudah. Tidak peduli meski ia akan membenciku nantinya, aku tentu beryukur akan hal itu.
Dan melewatkan kesempatan dirinya enyah selamanya dari hadapanku? Oh ayolah, aku tidak akan bersikap sepengecut itu dengan lari darinya. Aku bisa bertahan di sana. Selama ini aku berhasil bertahan di jam makan siangku selama beberapa menit, bukan? Hanya makan malam tidak akan membunuhku, kuyakin. Kecuali Mike Obero menyiapkan pisau di sakunya dan berencana menancapkannya ke jantungku nantinya. Aku yakin aku bisa bertahan. Jadi aku berbalik dan kembali ke sana, ke kursi panas yang terasa seolah membakar.
“Apa yang kamu lakukan di toilet hingga begitu lama?” Mike Obero menatapku, menuntut jawaban.
Tapi tidak kulakukan, tidak berbicara padanya sedikit pun. Makanan telah terhidang begitu aku tiba di meja. Dalam ketenangan di antara kami, aku mendapati diriku berhasil menikmati tiap suap makanan yang masuk ke dalam perutku, hanya karena aku tidak menganggap sosok Mike Obero berada di hadapanku. Seolah aku seorang diri di sana. Harusnya aku melakukan hal seperti ini dari dulu, tidak menganggapnya.
“Kita perlu bicara serius, sekarang.” Putusnya begitu piringku dan piringnya kosong. Aku tersentak, menyadari bahwa ia masih duduk di hadapanku.
“Apa yang perlu dibicarakan? Janjiku hanya makan malam, bukan?” desakku. Aku tidak sabar untuk segera pergi.
“Ini tentang hubungan kita.”
Hubungan kita? Sungguh membuatku ingin tertawa. “Kita tidak memiliki hubungan apapun, Mike Obero.”
“Jelas ada, Ares Evergreen. Dan aku ingin mengubah semuanya. Memulainya dari awal.” Ucapnya pelan dan berhati-hati, membuatku tercekat. Ia meraih tanganku, menyentuhkan jemarinya di punggung tanganku. “Dari hatiku yang terdalam, aku memohon belas kasih dan maafmu meski secuil, Ares Evergreen.”
Aku terkesiap. Aku tidak suka ketika tatapan tajamnya berubah, menunjukkan permohonan dan penyesalan yang dalam. Aku muak melihat kebusukan itu darinya. Tanganku terasa tercabik begitu ia menyentuhnya, yang segera kutarik. Dan ketika ia meminta maaf padaku, hatiku mengumpul murka bagai gunung yang siap meledak.
Aku menarik napas. “Aku memaafkanmu, Mike Obero. Tapi untuk secuil belas kasih, sayang sekali aku tidak bisa memberikannya.”
“Sebenci itukah dirimu padaku?”
Aku tidak menjawab, yang menjelaskan jawaban padanya.
“Jangan membuatku menelan rasa bersalah lagi, Ares. Kumohon.”
Aku menggeleng cepat ketika nada suara menggodanya menggelitik telinga, mengingatkan pada diriku bahwa aku membencinya.
“Jangan membuatku bermimpi buruk lagi, Ares.”
Aku menggeram, tanganku terkepal dan sedetik kemudian kepalanku sudah menghantam meja dengan keras. Sekitarku menjadi lebih tenang, melirik ke meja kami. “Kau tidak tahu mimpi buruk apa yang harus kulewati setiap malam karenamu.” Desisku. Tatapanku tajam menusuk padanya.
“Ayolah, bukankan dulu kamu menyukaiku?” Ia menyentuh kepalanku, menatapku teduh.
Aku berdiri, dan sisa minumanku ku lemparkan ke wajahnya. Napasku memburu, dan nadiku berpacu bersama amarah yang mendidih hingga ke kepala. Kuletakkan gelas dengan kasar ke meja, lalu melaju pergi. Meninggalkannya yang terpaku di sana dengan wajah yang basah. Aku memang patut membencinya, dan Mike Obero patut mendapatkannya.
Sialnya, langit tak berpihak padaku malam itu. Hujan turun tanpa belas kasih, mengejekku. Pakaian atasku basah begitu tiba di halte. Meski hujan tak lagi menyentuh, tapi angin malam yang dingin begitu menusuk di kulit. Memeluk diri untuk mencari setitik hangat pun mustahil. Bus yang kutunggu tak kunjung datang. Apakah waktu operasi sudah berakhir? Rasanya mustahil, jam tanganku masih menunjukkan angka sembilan, terlalu dini bagi Bus untuk mengakhiri malam.
“Butuh tumpangan?”
Aku tak memperhatikan mobil hitam rendah itu sudah terparkir di hadapanku. Dari kaca yang terbuka, Mike Obero di kursi pengemudi sedikit mencondongkan badan ke arahku. Aku memalingkan muka, tak menggubrisnya. “Naiklah, Ares. Sebagai permintaan maafku.”
Tapi aku tidak sudi untuk menurutinya. Melihatnya pun aku enggan. Dan sekali lagi, aku yakin langit sedang membenciku. Suara itu tiba-tiba menggelegar hingga dapat kurasa tanah yang kupijak sedikit bergetar. Aku terpekik, memejam mata dan memeluk diriku lebih erat. Ketika membuka mata, aku tercekat ketika sosok tegap Mike Obero sudah berada sejengkal di hadapanku. Kedua tangannya terangkat di sisi tubuhku, dan pelukanku semakin kupererat.
“Apa yang hendak kamu lakukan?” Aku merengsek mundur hingga pahaku menabrak dudukan halte di belakang.
Sekali lagi langit menghianatiku, ia menggelegar bagai menumpah amarah. Tubuhku membungkuk, memeluk lebih erat untuk melindungi diri dari amuknya. Hujan menjadi lebih deras dan angin berhembus lebih kencang. Harusnya terasa dingin, tapi Mike Obero tiba-tiba memelukku. Aku membeku merasa deru napasnya di telinga. Ia berbisik dengan suara yang pelan “Tenang, semua baik-baik saja.”
Harusnya aku membencinya. Rasa benciku padanya bahkan sudah berakar dalam. Tapi kenapa aku tidak bisa mendorongnya menjauh dariku?
Aku masih terpaku ketika Mike Obero menyeretku ke dalam mobil rendahnya, mendudukkanku di kursi penumpang. Ia melajukan mobilnya dengan cepat menembus hujan yang semakin lebat, mengaburkan pandangan di kaca mobil. Mobil berhenti, dan ia kembali menyeretku ke dalam ruangan yang lebih hangat.
“Ini dimana?” Aku terkesiap, menyadari bahwa sejak tadi pikiranku terbang entah ke mana.
Mike Obero muncul hanya dengan celana jeans, topless, kecuali handuk yang melingkar di lehernya. Tubuhnya mempesona mata dengan lekuk otot yang membuat siapapun dapat tergoda. Tapi aku tidak akan tergoda, tidak akan memuji meski paras dan tubuhnya bagai pahatan patung dewa Yunani sekalipun. Ia menghampiriku. “Oh, kamu sudah sadar? Tadinya aku sempat berpikir untuk menjadikanmu patung penerima tamu di sana.” Ia tertawa.
Ia merentangakn tangan. “Selamat datang di apartemenku.” Lalu melemparkan handuk padaku, yang kutangkap dengan sigap.
Aku ragu, namun akhirnya kugunakan untuk mengeringkan wajah dan rambutku yang basah. Aku diam, tak bergerak di atas keset kaki di pintu apartemennya. “Kenapa kamu membawaku ke sini?”
Ia selangkah di depanku, tersenyum mengejek. “Ya, bisa kulakukan andai saja tadi kamu tidak mendadak bisu di mobilku. Lagipula badai sedang menyerang kota malam ini. Apartemenku lebih dekat.” Ia kembali menyeretku dan mendorongku masuk ke kamar mandi di dalam kamarnya. “Bersihkan dirimu lebih dulu, selanjutnya kamu bisa protes apapun.”
Aku terdiam di dalam cukup lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk membahasi diriku. Sangat enggan untuk menggunakan perkakas mandinya. Lalu mengeringkan diri dan menyadari, aku tak memiliki pakaian yang bisa kukenakan. Seluruh bajuku basah, beruntung pakaian dalamku tidak. Apa aku harus meminta padanya? Tidak, tidak, aku tidak sudi. Tapi itu berarti akan mengenakan handuk sepanjang malam di tengah badai. Gila!
Kubuka pintu, mengintip pada celah kecil. Terpaksa kuturunkan harga diriku. Aku berdeham. “Obero?”
Mike Obero muncul dengan kaus putih di bajunya dan celana militer selutut. “Membutuhkan sesuatu?”
Sekali lagi aku berdeham. “Aku tidak pakai baju.” Dan tololnya aku baru menyadari apa yang kukatakan ketika ia mengangkat alisnya dan dengan seringai di wajah ia berkata “Oh, kamu sedang mengundangku? Well, jika kamu menginginkannya—“
“Bukan itu maksudku, brengsek!”
Ia tergelak amat keras. Tak peduli meski mataku sudah melotot geram padanya. Masih dengan gelak tawanya yang menyebalkan, ia berbalik ke lemari dan memilih beberapa pakaian. “Hmm, aku tidak punya baju yang mungkin pas untukmu. Tidak apa kan?”
“Ya, setidaknya ada yang bisa kukenakan.”
Ia menarik keluar sebuah kaus abu-abu. “Nah, sepertinya ini bisa.” Lau melemparkannya padaku. Di balik pintu aku segera mengenakannya.
“Bagaimana dengan celana? Kamu membutuhkannya?”
“Aku juga membutuhkannya.”
“Mau yang seperti apa?”
“Hmm… yang pendek sepertinya lebih nyaman untukku.”
“Ok” dan dia melemparkanku sebuah celana selutut berpinggang karet. “Apa pakaian dalammu juga basah?”
“Tidak, beruntung tidak basah hingga ke dalam. Jadi kurasa aku baik-baik sa…. Ja.” Tunggu! Apa-apaan perbincangan wajar ini?
Cengkeramanku di gagang pintu mengerat, lalu pintu kubanting dengan kasar. Tidak, seharusnya kami tidak berbincang sewajar itu. Aku mengenakan celana dengan cepat. Dengan pelan membuka pintu, menengok dan tidak menemukan Mike Obero. Mengendap-ngendap keluar dari kamarnya menuju pintu apartemennya.
“Berniat pergi, Ares Evergreen?” Aku menoleh dan melihatnya tengah meletakkan gelas di meja rendah depan TV. “Hujan sedang mengamuk di luar. Kalau jadi kamu, aku akan lebih memilih untuk tetap tenang dan menikmati minuman hangat.” Lalu ia menghampiri, menyodorkanku segelas coklat hangat yang aromanya langsung menggugah selera.
Aku ragu untuk menerima. Tapi tanganku menghianati ketika gelas itu sudah berpindah di tanganku. Mike Obero tersenyum. Ia meletakkan tangannya di punggungku dan menuntunku ke sofa. Duduk di sana, memberi jarak. Aku di ujung, dan dia di ujung lainnya. Sejenak aku melirik, dan menduga sepertinya tak ada niat baginya untuk mengusikku.
Tanganku masih menggenggam gelas yang hangat. Aku merutuki diriku sendiri, seharusnya aku membencinya. Tapi kenapa aku malah terjebak bersamanya di sini?
”Aku menyukaimu."
Harusnya tidak kukatakan kalimat itu padanya. Yang kutahu saat ia berbalik dan pergi adalah Mike Obero menolakku. Andai kutahu ketika ia kembali, ia membawa bencana yang menjadi mimpi buruk bertahun-tahun, aku akan memilih untuk menyimpan rasa ini meski sesak.
Tapi semua sudah terlanjur.
Mike Obero dan Andrew Geraldo adalah pengompor, andai aku tahu. Mereka dan kawan-kawannya menjadikanku objek bully yang menarik. Orientasiku menjadi perbincangan yang panas hingga tahun terakhirku di high school. Orientasiku menjadi bahan pembulian yang lebih menarik bagi mereka. Aku dicekal, diludahi, dicacimaki, dilempari sisa makanan dan sampah. Aku hancur melihatnya ikut di sana, menertawaiku, menjadi biang dari penderitaanku.
“Lihat si Gay itu.” Dan satu telur mendarat dan pecah di kepalaku.
Meja, sepatu dan lokerku tak lagi sebersih dulu. Tulisan penghiinaan merah itu tercetak di sana. Aku menjadi sasak tinju di toilet jika mereka menemukanku di sana. Meski fisik dan batinku tersiksa, aku menguatkan diri untuk tetap bertahan. Mereka bilang aku bodoh karena menerima semua itu. Tapi akan kubuktikan bahwa aku mampu untuk bertahan bagai tembok yang kokoh. Sejak saat itu cintaku padanya menjadi benci yang berapi. Aku benci sosoknya, aku benci tawanya, aku benci suaranya, aku benci apapun pada dirinya.
Di penghujung musim gugur itu menjadi puncak mimpi burukku. Mereka menyeretku dengan kasar tak berperikemanusiaan, mendorongku lalu tertawa. Aku masih ingat Andrew Geraldo menjambakku dan meludahiku. Lagi, mereka menyeretku hingga ke pinggir kolam outdoor. Mereka melucuti semua pakaianku mengabaikan tubuhku yang menggigil di terjang dinginnya angin.
Mike Obero tertawa di sana, bersama mereka. “Lempar dia ke dalam kolam.” Tawarnya. Dan seketika mereka bersorak heboh menyutujui idenya.
Aku melotot ngeri. “Tidak. Jangan! Kumohon!” Aku merintih ketika mereka mengangkatku, memohon belas kasih. Tapi mereka hanya tertawa di sana dan kembali mencaciku.
Selanjutnya, mereka melemparku ke dalam kolam. Sensasi dingin langsung menusuk hingga ke tulang. Saat itu juga otot-ototku mengejan kuat, dan betis kiriku terasa tertusuk. Kakiku kram, dan aku tidak bisa berenang. Aku menggelepar di dalam, meraih pegangan. Aku berusaha berteriak, tapi air memasuki hidung dan mulutku. Samar aku mendengar tawa mereka di sana.
Betapa kejinya mereka menikmati penderitaanku.
Aku lemah, tak mampu menyelamatkan diri. Paru-paruku terasa sesak dipenuhi oleh air. Aku perlahan tenggelam. Aku akan mati, pikirku.
Setidaknya penderitaanku berakhir.
Mataku terbuka dan dengan cepat aku bangkit. Aku terengah dan merasakan tubuhku lengket oleh keringat. Mimpi itu lagi. Kali ini lebih jelas, lebih menyakitkan. Aku bahkan menangis ketika bayangan mimpi itu kembali menerjangku. Oh, Tuhan. Apakah aku begitu berdosa hingga Engkau tak melepaskan penderitaan ini dariku?
“Ares…?”
Aku terlonjak, menoleh mendapati Mike Obero telah berlutut di sisi sofa. Semalam ia meminta –tepatnya memaksaku untuk tidur di kamarnya. Tapi aku menolak dengan tegas. Aku tak sudi, sungguh. Pria itu menyeka keringat di pelipisku. “Apa yang kamu lakukan di sini, Obero?” kutepis tangannya.
“Kamu mengigau.” Lalu menyeka air mata yang tak kusadari masih ada di pelupuk. Ia menggenggam erat satu tanganku, menahan di kedua tangannya meski aku berontak untuk melepaskan. Tatapannya begitu sendu, seperti yang kulihat di restoran mewah itu. Tersirat permohonan dan penyesalan. “Ini salahku.” Lirihnya.
Aku tahu apa maksud dari lirihannya. Mike Obero tahu apa yang kuimpikan. Ia menunduk, menumpukan keningnya di tangannya yang menggenggam erat tanganku. “Ini salahku,” ia melirih lagi. “Maafkan aku.”
Mike Obero menangis, aku bisa mendengar isakan di antara lirihannya, dan air matanya yang menetes di tanganku yang ia genggam. “Maafkan aku, Ares Evergreen. Jangan membenciku, kumohon. Bebaskan aku dari rasa bersalah ini.”
Aku marah, aku muak dan aku membencinya. Tidak tahukah ia bahwa akibat ulahnya aku harus menderita hingga kini? Aku menjadi candu akan obat penenang demi menghilangkan mimpi burukku selama bertahun-tahun. Tidak tahukah ia seberapa besar hasratku untuk membunuhnya, menarik jantungnya keluar dan tertawa di atas mayatnya?
Dan ia berharap belas kasihku? Aku ingin mencacinya.
Tapi aku tidak bisa.
Mike Obero yang berlutut memohon belas kasihku di antara tangisnya, bukanlah Mike Obero yang kukenal. Ia tanpa arogansinya, tanpa tawanya yang menusuk, tanpa tatapan tajam dan seringainya yang kubenci. Ia terlihat begitu rapuh.
Apakah ia juga menderita? Sama sepertiku?
Tanganku semula ragu sebelum menyentuh helai rambutnya. Ada getar dari tangis dan isakan yang kurasakan. Terbersit keinginanku untuk menjambak rambutnya, seperti yang sering mereka lakukan padaku dulu. Aku bisa langsung meludahi dan mencaci tepat di wajahnya, aku memiliki kesempatan untuk melakukannya. Jadi apa yang kutunggu?
Tapi tubuhnya yang bergetar dan permohonannya yang lirih membuatku bimbang. Ia kini bukan sosok Mike Obero dengan arogansi tinggi. Ia hanya sosok Mike Obero yang patut kukasihani.
Aku akan menyesal, yakinku. Tapi tanganku tetap melakukannya, mengelus rambut pria rapuh itu. Isakan itu terhenti dan tubuhnya tak lagi bergetar. Ia mengangkat wajah, menatapku dengan kedua matanya yang basah. Kumohon, jangan menatapku dengan kedua mata itu. Aku tahu aku akan luluh, dan aku membenci diriku sendiri akan hal itu. Ia melepas satu tangannya dari tanganku, lalu menyentuh tanganku yang berada di puncak kepalanya. “Ares?” lirihnya.
Kugigit bibir bawahku, menyadari betapa lemahnya aku. Padahal kuyakin benciku padanya sudah bercokol bertahun-tahun. Tapi kudapati diriku iba padanya. ‘Aku lebih manusiawi dibandingkan dirinya’ kujadikan alasan.
“Sudah kukatakan aku memaafkanmu, Obero.”
Ia menyatukan kedua tanganku, menggenggamnya erat di depan wajahnya. “Tapi kamu masih membenciku.”
“Apakah… jika aku tak membencimu, rasa bersalahmu akan menghilang? Mimpi burukmu akan pudar?”
“Jika kamu tak membenciku lagi, Ares Evergreen.”
Aku menatapnya sejenak, lalu menarik napas. “Akan kucoba, Mike Obero. Akan kucoba. ”
Mike Obero menunjukkan senyum yang tidak pernah ia tunjukkan padaku sebelumnya. Senyum kelegaan, seolah sebagian bebannya telah menguap. Ia mengecup punggung tanganku. “Terima kasih, Ares. Aku bersungguh-sungguh.”
“Hanya jika kamu berubah, Mike Obero.”
“Aku telah berubah” selanya.
“Apa yang membuatku yakin jika kamu telah berubah?”
Dan Mike Obero mencium bibirku.
mohon kritik sarannya
@JimaeVian_Fujo makasih, hmmm entahlah, hati mike sulit dibaca sih. hehe.
saya bermodal film barat + improvisasi. pembuliannya berlebihan ya? hehe
simpen dulu ah.ngantuk.