It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
btw keren suka bgt
.
.
.
-Bersambung-
Hihihi lagi atuh><
--
Tak Terduga
Nyaris seharian Gian menatap tangannya bagai orang yang kehilangan akal. Ia menggerakkan jemarinya dan bisa melihat bayangan jemari mungil Neo di selanya. Jantungnya meliar dan kerongkongannya mengering. Setiap kali ia mengalihkan pandang, berusaha mengalihkan perhatian, tetap saja sedetik kemudian tangannya kembali mencuri perhatiannya.
Gian masih ingat bagaimana tangan mungil tergenggam erat di telapaknya. Masih jelas kehangatan yang ia rasakan di antara sela jemarinya. Ketika ia mengepal tangan, ia bisa membayangkan tangan Neo berada di sana, mengirimkan kenyamanan yang hangat seperti saat istirahat siang tadi. Ukuran tangan pemuda mungil itu terasa amat pas di tangannya, seolah—
—seolah memang diciptakan untuk bersama.
Ia buru-buru menampar dirinya sendiri sebelum memikirkan hal absurd lainnya. Ia menggeleng cepat, menolak semua imaji yang menghinggapinya.
“Hai.”
“AAAA…!” Gian terlonjak dan berteriak, menyentuh dadanya dengan cepat. Ia bisa merasakan jantungnya nyaris melompat. “Aku tidak memikirkan hal kotor apapun, sungguh.” Ucapnya spontan.
“Memikirkan apa?”
Gian menoleh, mendapati pemuda berkacamata tengah tersenyum miring dan mengamatinya. “Kak Rendra rupanya.” Gian menghela lega.
Rendra tersenyum, duduk di sebelah Gian. “Kau mengira aku siapa? Neo?” lalu tertawa pelan.
Keheningan sejenak, membuatnya merasa canggung. Gian tidak pernah bercakap dengan Rendra sebelumnya. Ia hanya sering melihat senior berkacamatanya ini bersama Neo. Selalu, nyaris di setiap waktu senggang di sekolah. Mungkinkah mereka ada hubungan khusus? Tapi bukannya Neo suka Nauval? Ini membingungkan.
“Aku dan Neo tidak memiliki hubungan apapun.” Rendra memulai percakapan, pandangannya lurus ke depan. “Kami hanya teman yang senasib.”
Gian hanya melirik bingung pada Rendra sejenak sebelum kembali melihat ke depan.
“Kau tahu, dia banyak bercerita tentangmu.”
Dan sepenuhnya perhatian Gian jatuh pada Rendra. “O-oh ya?” ada rasa yang aneh ketika membayangkan Neo bercerita tentang dirinya. “Apa yang dia katakan?”
“Semuanya. Termasuk status palsu kalian.” Dan Rendra tertawa. Ia menoleh, menatap Gian dengan bola hitam jernihnya yang tersembunyi di balik kaca. “Kau benar-benar baik mau membantunya.” Lalu ia menarik tangan Gian, menggenggam tangan yang selama seharian ini membuatnya galau.
“Err… kak?” Gian melirik ke kiri kanan. Entah kenapa ia takut jika Neo melihat ini.
“Kau masih bimbang, belum yakin dengan perasaanmu. Kau hanya belum menyadarinya.”
“Maksud kak Rendra ap—“
“Cium aku.”
“Oke—Wait! APA?”
Namun Rendra bergerak lebih cepat. Pemuda berkacamata itu sudah menempelkan bibirnya ke bibir Gian. Sebuah sentuhan yang berlangsung beberapa detik. Membuat Gian mematung karena terkejut. Hingga ketika Rendra memiringkan wajah, hendak memperdalam ciuman, kesadaran Gian baru kembali, dan Rendra sudah menuntut ciuman yang lebih dalam.
Gian menarik tengkuk Rendra, menariknya pada ciuman yang lebih dalam. Matanya terpejam dan sekejap wajah Neo terlintas di kepalanya. Tiba-tiba ia bisa merasakan perutnya yang ngilu. Gian menarik tangan dan mendorong bahu Rendra, melepaskan ciuman. Pandangan pemuda itu meliar. Ia menelan ludah, merasakan gugup dan rasa bersalah. “Ini— ini—“
“Kau sudah menemukan jawabannya?” Rendra memperbaiki letak kacamatanya, lalu tersenyum. “Sudah jelas, bukan? Kau—“ Ia tak melanjutkan ucapan. Tubuhnya mematung dan matanya melebar, terpaku pada Bon yang kini melangkah lebar padanya. Ia bisa melihat jelas kemurkaan di wajah pemuda itu.
“Pergi dari sini, cepat!” ucapnya pada Gian.
Tapi pemuda itu mengalami hal yang sama sepertinya. Gian mematung, matanya terpaku pada Neo di ujung koridor, dan sekali lagi perutnya terasa ngilu. Ia buru-buru berdiri. “Neo—“ tapi Neo tak mau mendengarnya. Pemuda itu berbalik, dan pergi dengan langkah yang lebar.
Gian hendak mengejar, tapi bahunya ditarik lebih dahulu dengan kasar. Ia berbalik, dan satu pukulan yang keras mendarat di wajahnya, membuat kepalanya pusing. Bon sudah berdiri di hadapannya, menatapnya buas. Tangan pemuda itu kembali terangkat, dan satu pukulan mendarat di pelipisnya. Meski Rendra sudah berusaha menahannya, tapi Bon menjadi luar biasa tak terkendali. Gian bagai tak berdaya ketika Bon menghajarnya dan menendangnya tanpa ampun.
Bagaimana bisa ia melawan jika kepalanya tak berhenti memikirkan Neo dan tatapan terlukanya itu?
Karena Begitulah Seharusnya
Entah harus memuji atau merutuki sistem informasi yang mengerikan di sekolahnya. Esoknya cerita tentang ciuman dan ia yang dihajar habis-habisan oleh Bon terdengar di seantero sekolah. Ia tidak bisa mengatakan itu gosip, karena memang benar adanya. Pantas Bon dijuluki siswa brandal yang paling ditakuti. Pemuda brutal itu hanya menghajarnya sekali hingga pelipis dan pipi kirinya membiru. Tapi tubuhnya terasa amat remuk karena Bon tak berhenti menendangnya. Beruntung Rendra berhasil menahannya dan Gian segera pergi, kabur tepatnya.
Dan pagi ini ia datang dengan plester di pelipis dan pulau biru di pipi. Siswa lain mulai bergosip di sekitarnya, dan Gian bersikap tidak peduli.
“Siapa yang memindahkan bangkuku?” yap, bangkunya kini kembali ke sebelah bangku Nauval.
Nauval mengedikkan bahu isyarat tak tahu lalu tersenyum lebar. “Keputusan yang bagus, kawan.”
“Keputusan apa?”
“Kau putus dari Neo.”
Gian mencengkeram erat bangkunya, mengutuki semua gosip dan penggosip di sekolahnya. Mereka tidak putus. Oke, mereka juga tidak pacaran secara resmi. Tapi mendengar gosip tak benar itu, dan segala celaan yang ditujukan pada Neo, ia merasa amat kesal. Gian menyeret bangkunya, mengabaikan seruan Nauval yang memanggil namanya. Ia meletakkan bangkunya di sisi bangku Neo, dan menghempaskan tubuhnya lalu menghela.
Neo tampak tenang seperti biasa, tak meliriknya dan sibuk membaca novel.
“Neo, kita perlu bicara.”
Tapi Neo tak menanggapinya.
“Tentang yang kemarin, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Kak Rendra yang menciumku. Bukan aku, oke?” meski ia juga ikut menikmatinya sih. Gian melirik takut pada Neo. “Kau tidak marah, kan?”
Neo berdiri, dan pergi. Jelas ia marah, pikir Gian. Ada rasa aneh di dadanya. Sesak dan… senang?
Sepanjang waktu Gian tak henti melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian Neo. Bahkan di waktu pelajaran. Dengan pena, ia mencolek punggung tangan Neo berkali-kali, melirik pemuda itu. Jika Neo tak menanggapinya, ia melakukannya terus menerus. Hingga akhirnya Neo memberikan reaksi di luar perkiraan.
Neo mengangkat tangan tinggi. “Pak, Gian mengganggu belajar saya.”
Ia menoleh cepat pada Neo, menatap tidak percaya pada kekasih palsunya itu.
“Gian, silahkan ke ruang konseling.”
“Tapi, pak—“
“Sekarang!”
Damn you!
Gian baru kembali setelah jam sekolah berakhir. Ia berdiri di sisi meja Neo, menatapnya pemuda yang tengah memasukkan buku ke dalam tas. Gian menarik tangan pemuda itu, tapi Neo segera menyentaknya, menyampirkan tas di bahu dan melewatinya. Gia buru-buru memasukkan buku ke dalam tas dan mengejar Neo. Ia menarik bahu Neo hingga pemuda itu berbalik padanya.
“Kau cemburu, kan?”
Neo tak menjawab, lebih memilih mengalihkan pandang. Ia ingin pergi, tapi Gian menahan bahunya, dan mendesaknya. “Jujur padaku, Neo.”
Neo mengangkat wajah, menatapnya. “Aku tidak cemburu.” Ucap Neo yang membuat hati Gian mencelos.
Ia melanjutkan. “Mungkin, sedikit. Tapi aku tahu aku tidak bisa bersikap egois. Aku memang menyukaimu.” Gian bisa merasakan dadanya meledak ketika Neo mengatakannya. Kupu-kupu itu terasa melesak keluar dari perutnya.
Neo menarik napas, menelan kepahitan. Ia menatap Gian tepat di mata, menunjukkan tatapan yang masih menjadi misteri baginya. “Tapi aku membencimu, karena begitulah seharusnya.”
Tangan Gian yang tadinya berada di bahu Neo kini terkulai di sisi tubuhnya. Ia terpaku, tak mampu untuk berkata apapun. Sekali lagi Neo menatapnya dengan tatapan aneh itu, lalu berlari pergi.
Dua Kata
Gian melihat punggung Neo yang menjauh dan menghilang di belokan. Ia masih terpaku dan tas di bahunya nyaris terjatuh. Wajah Neo terus melintas di kepalanya, dan satu kalimat itu terus menghantam ulu hatinya. Tatapan aneh itu berputar terus-menerus di kepalanya, dan akhirnya ia mengerti.
Ia berlari, mengejar langkah Neo yang telah menghilang. Beruntung pemuda itu masih berada di jangkauannya. Ketika mencapai gerbang sekolah, ia berhenti di hadapan Neo, menghadangnya, membuat pemuda itu terkejut. Napasnya tersengal.
“Aku mengerti” ucapnya. Gian mendekat, meraih wajah Neo dengan kedua tangannya. Menyatukan kening mereka dan menghiraukan sekitarnya. Ia tersenyum, menatap tepat di mata Neo dan berbisik “Aku mengerti.” Ada kelegaan di setiap kata itu.
Neo merasakan jantungnya melompat, berdetak liar dan matanya terasa basah. Ia nyaris menangis. Buru-buru ia mendorong bahu Gian hingga sentuhan di wajahnya terlepas. Pemuda itu terdorong mundur hingga ke jalan.
Suara klakson terdengar di ikuti jeritan. Gian tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi ia bisa melihat Neo menatapnya takut. Pemuda mungil itu dengan cepat menarik tangannya dan melemparnya ke tepi jalan. Hingga posisi mereka tertukar. Neo menahan mobil dengan kedua tangannya, membuat bagian depan mobil penyok.
Dan jeritan sekali lagi terdengar. Pandangan mata Neo meliar mencari Gian. Dan sekali lagi ketakutan merajainya. Di sisi tiang lampu jalan, Gian terbaring dengan darah yang mengalir dari kepala.
Gian terlempar hingga bahu kanan dan kepalanya membentu tiang lampu jalan dengan keras. Rasa pusing menghantuinya. Dalam pandangan yang tiba-tiba memburam, ia melihat Neo di jalan, nyaris tertabrak. Ia ingin berteriak, tapi tak bisa, anehnya lidahnya terasa kelu. Ia bisa mendengar suara tabrakan yang keras.
Meski sekilas, ia bisa melihat tatapan aneh Neo sekali lagi yang kini mampu ia artikan, membuatnya lega. Sebelum akhirnya kesadarannya terenggut.
Gian mengerang, merasakan ngilu di bahu dan kepalanya. Matanya mengerjap, menyesuaikan pencahayaan. Ia ingin bangkit, tapi tangan kanannya terasa sulit untuk digerakkan. Ia menoleh dan melihat ayahnya yang segera memeluknya penuh hati-hati.
Ia menyadari dirinya berada di rumah sakit. Dan dari cerita ayahnya, ia tahu ia tak sadarkan diri selama dua hari. Setelah sadar pun ia tidak bisa meninggalkan rumah sakit begitu saja. Ia harus dirawat hingga tulang bahunya yang retak sembuh, atau paling tidak tangan kanannya bisa digerakkan lagi. Nauval beberapa kali mengunjunginya dan beberapa teman lainnya yang ia kenal. Ia bertanya keadaan Neo pada pemuda itu, namun dengan halus Nauval menolak untuk bercerita.
Sialnya, Neo tak pernah datang menjenguknya sekalipun.
Hari kelma, Rendra menjenguknya bersama Bon. Pemuda brutal itu tak lepas sedikitpun dari sisi Rendra. Dari Rendra ia mengetahui semuanya. Neo yang di skors seminggu setelah kejadian. Neo yang pernah mengunjunginya bersama Rendra, tapi ayahnya menolaknya dan menampar wajah pemuda mungil itu. Mencacinya dengan kasar. Neo yang setiap hari mengunjunginya, tapi tak pernah masuk ke dalam ruangan. Pemuda mungil itu hanya akan duduk di ruang tunggu hingga jam kunjungan berakhir.
Dan Neo yang telah pergi ke Singapura.
Gian terduduk beku di tempat tidur. Pandangannya kosong. Rendra memberikannya selembar kertas yang terlipat di tangannya, menepuk bahu kirinya lalu pergi. Neo telah pergi, begitulah yang berputar di kepalanya.
Padahal ia baru mengerti apa yang ingin Neo katakan padanya. Padahal ia baru mengerti bahwa setiap kali menatapnya, Neo selalu menjerit minta tolong padanya. Padahal ia baru mengerti setiap kali menatapnya, Neo hanya ingin seseorang mengerti dirinya, menyayanginya.
Padahal ia baru mengerti bahwa ia menyayangi Neo.
Gian membuka kertas yang terlipat di tangannya, menatap pada tulisan tangan yang amat ia kenali sebagia tulisan tangan Neo. Ia mencengkeram erat kertas itu hingga kusut. Isi kertas itu tidak panjang, bukan sebuah surat. Hanya dua kata yang penuh arti.
“Terima Kasih.”
Padahal ia belum mengatakan dua kata pada Neo. “Aku mencintaimu”.
kalau ada kesempatan, saya usahain bikin yang happy end. hehe
makasih sudah membaca.
iya sih susah bikin cerita happy end kalau di paksain jd happy end malah jd gak bgs hehe aku juga suka gitu kalau nulis cerita, ok deh di tunggu smoga dpt inspirasi buat cerita happy ending
@3ll0 haha seperti biasa
--
GIFTED HAND: REMEMBER ME
Jepit Rambut
Bon tidak mengingatnya. Tapi bagi Rendra, ingatan itu seolah terjadi kemarin. Dua belas tahun yang lalu, adalah pertemuan klise mereka. Bagai drama picisan yang sering muncul di TV, tapi begitulah adanya. Ia masih cengeng saat itu. Diganggu sedikit Rendra akan menangis dan meraung.
Hingga hari itu, Bon datang padanya. Bocah kecil nakal berkepala botak itu menunjukkan cengiran padanya, dan tangisan Rendra reda dengan mudahnya. Bon menarik tangan hingga ia berdiri, lalu berdecak lucu khas anak kecil. “Tidak boleh menangis” katanya.
Bon menyapu poni Rendra yang panjang hingga menutupi sebagian mata. Waktu itu rambutnya memang dibiarkan tumbuh panjang hingga sebatas perpotongan leher dan bahunya. Bon menahan rambut itu di sisi dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya, merobek plastik bening yang membungkusnya dan menjepitkannya di rambut Rendra. Sebuah jepitan rambut berhiaskan bunga berkelopak empat berwarna kuning di ujungnya. Hadiah dari makanan ringan yang baru saja ia makan.
“Nah, begini bagus.” Bon kembali menampakkan cengiran. “Kamu jadi lebih cantik.”
Bon menyentuh pipi Rendra dengan kedua tangan dan menepuknya. “Gadis cantik tidak boleh menangis.”
Dan Rendra terpaku.
Sebuah Tamparan
Seperti biasa di jam kosong, Bon akan duduk di sudut kelas, berkumpul bersama teman-temannya yang brutal, nakal, liar dan sebutan lainnya. Mengobrolkan apapun yang membuat kebosanan mereka lenyap. Dan seperti biasa, Bon akan selalu mencuri-curi kesempatan untuk melirik ke depan. Ke bangku di sisi depan, tempat dimana murid-murid yang –katanya- pintar tengah berdiskusi entah apa.
Rendra adalah pemuda bertubuh sedang dengan potongan rambut yang rapi. Kacamata selalu bertengger di hidungnya. Sebenarnya tidak ada yang begitu menarik dari pemuda itu. Biasa saja malah, jika bertanya pada siswa lainnya. Tapi bagi Bon ada sesuatu dari Rendra yang mampu membuat matanya melirik ke pemuda itu. Entah apa.
Saat itu pembicaraan berubah menjadi lebih ‘panas’. Teman-temannya mulai membahas video panas terbaru yang beredar di dunia maya. Siapa yang tidak terarik, coba? Tapi waktu itu tanpa sengaja, entah bagaimana mata Bon melirik pada Rendra. Ia hanya penasaran apakah Rendra tertarik pada hal-hal seperti ini? Atau tidak? Ia malah sempat berpikir—.
Rendra menoleh padanya, membuat Bon terkejut. Menatapnya dengan mata yang melotot. Rendra berdiri dari kursi dan menghampirinya dengan langkah yang lebar dan tergesa. Dan ketika jarak mereka hanya satu langkah—
PLAK!
Bon bisa merasakan pipinya terasa panas dan menusuk. Ia terkejut, semua yang melihat kejadian itu terkejut dan terdiam, tidak pernah menduga. Hingga kekacauan nyaris terjadi ketika Bon menarik kerah Rendra dengan kasar. “Brengsek! Beraninya kau menamparku.” Raungnya.
Nyaris, hanya nyaris pukulan Bon mendarat di wajah Rendra, berharap kacamata itu patah atau paling tidak pecah. Namun entah kenapa wajah Rendra yang merah dan mata yang berkaca membuat tangannya terasa berat. Rendra menepis tangan Bon dari kerahnya. Ia menatap murka pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Bon yang terpaku tidak mengerti.
Waktu itu Rendra hanya sedang berbicara dengan teman-temannya. Membahas seri terbaru dari komik yang saat itu tengah terkenal di kalangan remaja cowok. Meski kubu siswa pintar, tapi pembicaraan tidak selamanya tentang pelajaran. Terkadang beberapa orang terlalu menganggap aneh dirinya dan teman-temannya.
Hingga pada suatu waktu ia mendengar pembicaraan yang mulai menjurus. Bukan dari dirinya, atau dari kubunya. Tapi dari murid lain yang duduk di sudut belakang. Bagaimana tidak? Mereka terlalu heboh dan terang-terangan. Ia hanya melirik sebentar, lalu kembali menyibukkan diri dengan pembicaraan yang telah berganti menjadi tentang si pengarang komik.
Tiba-tiba, tanpa bisa dicegah, bayangan itu menghampiri kepalanya. Itu bukan dari dirinya, karena ia jelas melihat bayangan dirinya di sana. Rendra menggigit bibir dan merasakan perutnya melilit ketika melihat dirinya yang polos, menangkup wajah seseorang dan berciuman. Dua tangan memeluk pinggangnya mendekat dalam pelukan yang erat dan intim. Hingga ketika bayangan itu semakin intens dan jantungnya meliar, ia bisa melihat wajah pemuda yang membayangkannya tengah bercumbu dengan dirinya.
Rendra menoleh cepat, menangkap tatapan Bon yang tertuju padanya. Ia berdiri menghampiri dengan langkah lebar dan tersengal karena malu. Dan—
PLAK!
Ia menampar Bon dengan keras.
Pena dan Rencana Gagal
Bon tidak mengerti, jujur saja. Begitu selesai menamparnya, dan Bon melepaskan pemuda itu begitu saja, Rendra pergi dan tidak kembali meski jam pelajaran telah berakhir. Bahkan ketika kelas telah kosong dan hanya dirinya yang di sana, kuris Rendra tetap kosong.
Namun Bon tetap menunggu dengan tidak sabar dan marah.
Rendra muncul dengan langkah yang cepat dan tergesa. Ia hanya membereskan meja dengan cepat lalu menarik tasnya. Pandangannya dengan Bon sempat bertemu. Hanya sesaat sebelum Rendra berlari pergi. Meninggalkan Bon yang hanya terpaku di tempat duduknya. Dengan lambat ia menghampiri meja Rendra, memungut pena yang terjatuh. Mencengkeramnya erat. Mungkin tidak hari ini, tapi besok ia akan membalasnya.
Ia dipermalukan di hadapan teman-temannya. Jelas ia harus membuat perhitungan. Satu dua pukulan tak akan membuatnya puas. Ia jamin, ia akan mematahkan kacamata pemuda itu dan menghancurkannya berkeping-keping.
Bon sudah memikirkan berbagai rencana, tapi wajah Rendra yang marah dan nyaris menangis malah menghantuinya sepanjang malam. Ia nyaris tidak tidur karena mengingatnya. Ia bahkan menjambak rambutnya saking frustasinya. Ia marah, tapi ia merasa bersalah di saat yang sama.
Sial.
Esoknya ia sudah melihat pemuda itu duduk di bangkunya seperti biasa. Bon menghampiri, mengcengkeram erat pena Rendra di tangannya. Melihat wajah itu membuatnya kesal, sungguh. Cukup lama ia terdiam di sisi meja Rendra, dan cukup lama ia mendengar bisikan di kelas padanya. Beberapa bisikan kasihan pada Rendra. Siapa sih yang tidak ingat kejadian menyegarkan mengenai Rendra yang menamparnya?
Bon sudah siap dengan kepalan tangannya, ia hanya tinggal menarik Rendra berdiri dan mendaratkan satu pukulan di wajah hingga pemuda itu tersungkur. Lalu ia bisa menendangnya berkali-kali. Ia tidak peduli.
Tapi, tiba-tiba Rendra mengangkat wajah. Menampilkan ekspresi yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun. Eskpresi kemarahan dengan tatapan yang jelas-jelas menunjukkan kemurkaan. Yang tiba-tiba anehnya membuat Bon gugup. Ia meletakkan pena Rendra di meja dengan kasar.
“Kau melupakan penamu.” Bon mendengus lalu pergi ke bangkunya.
Bon menjerit dalam hati. Apa yang sudah dilakukannya?
Penjelasan yang Membuatnya Merona
Bon kini beralih menjadi penguntit. Ia akan mengikuti Rendra dari jauh, mengamati pemuda itu. Bukan berarti Rendra tak menyadarinya. Dengan kemampuannya, Rendra mampu menyadarinya dengan mudah. Tapi pemuda itu berpura-pura tidak menyadari, dan hanya tertawa pelan.
“Kak?”
Rendra menoleh, menangkap tatapan heran dari Neo. Ia hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Neo anak yang baik tapi malang. Kemampuan yang ia dapatkan membuat semua orang takut padanya. Tak ada yang berani mendekatinya, dan segala cemoohan selalu ia dapatkan. Tidak ada yang menyadari kebaikan hati dan kesopanan pemuda mungil itu. Tidak ada yang menyadari bahwa Neo membutuhkan seseorang yang menyayanginya.
Ia bertemu Neo ketika tahun ajaran baru dimulai. Rendra sampai meneteskan air mata ketika menyadarinya. Ia buru-buru berkenalan dengan pemuda mungil itu dan berjanji akan menjadi sahabat Neo, karena ia tidak tahan dengan semua bayangan yang ia peroleh dari Neo. Begitu menyedihkan, memilukan dan menakutkan. Terkadang ia takut, bukan pada kekuatan Neo, tapi takut Neo akan melukai dirinya sendiri.
“Tidak apa, Neo.” Ia menepuk kepala pemuda itu, lalu Neo kembali membaca novelnya.
Bon merasa amat iritasi melihat Rendra menepuk kepala pemuda mungil itu dan tersenyum. Begitu menjijikkan dan itu membuatnya kesal. Amat kesal. Ia kesal dengan Rendra yang dengan santainya tersenyum, melupakan peristiwa kemarin. Sementara Rendra tampak tenang, kenapa malah hanya dia yang masih diselimuti amarah?
Kenapa?
Bon memutuskan untuk menahan Rendra di depan pintu kelas begitu pemuda itu kembali. Ia menyeret pemuda itu ke tempat sepi dan menuntut penjelasan. Oh, jangan lupa untuk menghajar pemuda itu juga.
Tapi setiap kali Rendra menatapnya murka, Bon tak kuasa untuk berpaling.
“Kenapa kau menamparku?”
“Hah?”
“Jangan berpura-pura bodoh, tuan pintar.”
Rendra bersedekap. “Oh, waktu itu. Kau memang pantas mendapatkannya.” Dan merasakan wajahnya merona. Ia memperbaiki letak kacamata di batang hidungnya.
“Apa? Kau gila?” Bon meninju tembok di sebelahnya, membuat Rendra terkejut. “Bagaimana bisa kau menampar orang seenaknya tanpa alasan.” Raungnya.
Tanpa alasan katanya? Rendra bisa merasakan darahnya mendidih. “Bagaimana bisa kau membayangkan kau mencumbuku dengan otak kotormu itu?” Rendra balas meraung, namun segera mengatupkan rahangnya erat ketika menyadari kesalahan yang telah ia buat.
“Aku… apa?” Bon bisa merasakan pipinya panas. Dan sekelebat bayangan yang kemarin terlintas di benaknya membuat wajahnya merona.
Rendra menunduk, menyembunyikan wajah. Dan Bon menyadari kesalahan yang tak ia mengerti. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya pelan, sekaligus membenarkan.
Pandangan Rendra meliar, mencari alasan. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. “Aku… Kau… Kau menyebut namaku! Ya, kau menyebut namaku di pembicaraan kotormu dengan teman-temanmu!’
Bon menelan ludah merasakan pahit yang nyata. Dia menyebut nama Rendra sejelas itu?
“Pokoknya… pokoknya kau pantas mendapatkannya!” Rendra berseru.
Pemuda berkacamata itu berbalik dan berlalu. Meninggalkan Bon yang mematung dan merona.
Pengakuan
Esoknya darah Bon mendidik dan naik ke kepala, membuat wajahnya memerah marah. Ia baru menginjakkan kaki di sekolah, seantero sekolah sudah memulai gosip barunya seperti biasa. Biasanya ia akan mengabaikannya, tapi ketika nama Rendra disebutkan di dalamnya, Bon menjadi tidak tenang. Dan ketika ia bertanya pada temannya, ia mendapati dirinya diselimuti kemarahan yang amat sangat.
Pagi itu ia segera melempar tasnya ke meja dan menghampiri Rendra. Matanya menyipit tajam pada Rendra yang kini tak menatapnya. “Apa gosip itu benar?”
“Jangan bodoh.”
Tapi Bon tak puas. Ia berbalik pergi dan dengan langkah yang tergesa ia menghampiri gedus juniornya. Dan saat tiba di sana, ia meraung memanggil nama Neo. Pemuda itu tampak tenang, seolah gosip itu tak mempengaruhinya. Bon mendesak dengan kasar, tapi Neo tetap mengelak. Hingga matanya tertuju pada bibir Neo, membuat Bon marah ketika bayangan Neo dan Rendra berciuman terlintas di kepalanya.
Bon nyaris meninju Neo saat itu jika Rendra tak datang menyelamatkannya.
“Apa yang kau lakukan?”
Bon menarik tangan, menurunkan tinjunya. “Menurutmu? Aku akan memukulnya.”
“Kau gila?” raung Rendra. Ia menghampiri Neo, berdiri melindungi pemuda itu di belakang punggungnya.
Melihat itu membuat Bon menjadi lebih kesal. “Kau tidak mengerti ya? Kalian berciuman!”
“Kau lebih percaya gossip murahan itu?” Mata Rendra memicing. Ia melangkah dengan pelan, mendekati Bon yang berjalan mundur. Pandangan pemuda brutal itu meliar. “Y-Ya, bukannya percaya. Hanya saja—“
“Kau bilang tidak percaya tapi kau malah nyaris memukulnya? Kau taruh dimana otakmu?”
“Lalu kau sendiri? Kau selalu sama-sama dia. Bisa saja kan kalian berciuman. Apa hubunganmu dengannya? Jangan katakan—“
“Jangan berpikir yang tidak-tidak.”
“Kak, tidak apa-apa. Saya baik-baik saja.” Kemarahannya kembali dengan anehnya ketika ia melihat Neo menyentuh Rendra.
“Bocah sialan!” Bon menggeram. Ia menarik tangan Neo, sekali lagi berniat menghajarnya. Mengabaikan seruan Rendra atas namanya.
Nyaris untuk kesekian kalinya ia menghajar Neo jika saja kekasih pemuda itu tak muncul dan menjernihkan semuanya. Tapi jelas ia masih marah. Ia segera menyeret Rendra yang mematung di sana. Mungkin tidak mempercayai pada kenyataan yang terjadi di hadapannya kalau gebetannya kini sudah punya kekasih? Cih!
“Lepas!” Rendra menghentakkan tangan hingga pegangan Bon terlepas. Bon berbalik menatap marah pada Rendra.
“Kau ini kenapa sih?”
Tapi Bon masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Rendra menghela. “Bukannya sudah jelas? Itu semua hanya gosip. Kenapa kau harus semarah itu sih?”
Bon mendengus, merasakan wajahnya panas karena marah. “Bagaimana aku tidak marah? Kau dan dia bisa berciuman, sementara aku, saat membayangkanmu saja kau malah menamparku. Sialan!”
“Astaga! Kami tidak berciuman! Lagipula itu hal yang berbeda!” raung Rendra. Ia merasakan pening yang tiba-tiba. Ia memijit pelipisnya dan tanpa sadar berkata “Bagaimana bisa aku menyukai orang sebodoh ini.”
Hening.
Rendra baru menyadari ucapannya sekian detik kemudian. Ia mengangkat wajah dan menangkap wajah Bon yang tak lagi marah, tapi terkejut menatapnya. “Ulangi lagi.” Perintahnya.
“Ulangi apa?” Rendra melirik ke arah lain.
“Yang tadi kau katakana, ulangi lagi.” Desak Bon.
“Aku tidak mengatakan apapun.”
“Kau menyukaiku.” Bon semakin mendesak ada bahagia dan gairah di kalimat itu. Ia menyentuh bahu Rendra dengan pandangan menuntut. “Kan?” Bon tersenyum.
Rendra segera menepis tangan Bon dan tak menjawab. Wajahnya merona malu, lalu berjalan pergi dengan langkah yang lebar setelah menabrak bahu Bon.
Bon tak lagi mengejar. Euforia menyelimutinya ketika melihat punggung Rendra yang menjauhinya dengan cepat. Ia meletakkan satu tangan di mulut dan menyerukan kebahagiaannya dengan lantang “Kau menyukaiku.”