It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gitu dong rio jujur. walau teekadang jujur itu menyakitkan. tp salut buar rio yg udah berani. klo jodoh mah gak akan kemana mana. gw yakin ricky gak betah lama marah apalagi jauhin elo.
thanks..
Alfa apa kabar?
*
Author Pov
Tok! Tok! Tok!
"Woy! Cunguk! Buka pintunya! Mau berapa lama lo ngurung diri di kamar hah?! Ngapain sih lo di dalem? Lipstikan dulu hah?! Gue telat ngampus nih. Lo mau sekolah nggak sih?!"
Teriakan Arsya membahana di penjuru rumah.
"Sya! Biasa aja. Gak usah ngomel sambil gedor-gedor pintu segala. Berisik tau!"
Adam yang baru saja keluar dari kamarnya menatap Arsya terganggu.
"Kalo gak gini, ni cunguk satu gak akan keluar kak. Woy! Cepetan keluar!"
"Ya udah, kamu berangkat duluan aja sana. Biar Rio Kakak yang anterin atau dia naik motor sendiri kan gampang. Ribet banget kau sya!" saran Adam dengan santainya.
"N-nggak bisa gitu dong kak! Mamah kan udah nyuruh gue nganterin dia ke sekolah mulai sekarang. Ntar kalau dia naek motor sendiri dia di begal gimana? Kan lagi musim begal tuh sekarang. B-bukannya gue peduli sama dia, tapi kalo kejadian. kan kita juga yang repot."
Adam memandang adiknya yang tampak gugup itu, aneh.
'Kebanyakan pembegalan kan malem-malem. Masa iya siang-siang kena begal juga? Ckck. Ngarang ni anak.'
"RIO! Cepet keluar! lo mau sekolah gak sih?!"
Arsya terus berteriak memanggil adiknya itu.
Teriakannya sampai membuat tetangga-tetangga di sebelah rumah mereka melongokan kepala mereka dari jendela rumah masing-masing, menatap rumah keluarga Hermawan heran.
"WO-!"
"BERISIK!!"
Arsya terdiam di tempatnya saat tiba-tiba saja Rio membuka pintu kamarnya sambil meneriakinya dengan wajah kusut.
BRAK!!
Di tutupnya pintu kamar dengan keras, lalu dengan wajah suram Rio melewati begitu saja Arsya yang masih terdiam di tempatnya.
Adam menatap Rio heran.
Sudah seminggu ini wajah adik tersayang nya itu terlihat kusut, suram, layu bak tanaman yang tak disiram ber bulan2.
Adam yang memang tak ada urasan kerja keluar kota atau pun negri minggu-minggu ini, berbeda dengan ibunya yang tadi pagi telah terbang ke negri tetangga, mengurus bisnis barunya disana.
Adam berjalan kearah Rio yang tengah memakan sarapannya dengan lesu.
Tak di hiraukannya Arsya yang sekarang mengomel setelah di teriaki Rio tadi.
"Hey,kenapa dek? Kok pagi-pagi udah kusut gitu mukanya."
Adam duduk di sebelah Rio lalu mengelus kepala Rio pelan.
"Rio gak apa-apa kok kak." jawab Rio singkat tanpa melihat Adam.
"Lo lagi datang bulan hah? Makin hari lo makin ngeselin tau! Bisa-bisa gue cepet mati kalo tiap hari marah-marah mulu!"
gerutu Arsya sambil ikut duduk di meja makan.
"Yang ada mungkin kamu yang datang bulan, Sya. Ngomel terus dari tadi. Hahaha."
"Sialan lo kak!" dilemparkannya sendok yang ada di depannya kearah Adam. Dan dengan lihai Adam menghindari sendok terbang itu.
"Kalo bukan mamah yang nyuruh. Mana mau gue nganter jemput elo. Lagian, kemana rimbanya tuh supir pribadi lo?" Arsya menatap Rio sinis.
Rio menghentikan makannya saat mendengar pertanyaan Arsya. Ia semakin menundukan kepalanya.
Aura-aura gloomy (untung bukan aura kasih) semakin terasa pekat di sekitarnya.
Adam yang merasakan ke gloomy an Rio makin pekat, langsung meng glare Arsya.
Arsya hanya mengangakat bahunya acuh sambil memakan sarapan nya.
Greek...
Rio berdiri dari duduknya.
"Rio berangkat kak." kata Rio singkat, lalu berjalan meninggalkan sarapan nya yang bahkan belum separuh habis.
Adam dan Arsya menatap Rio melongo.
"Woy! tungguin gue!" Dengan cepat Arsya meminum minumannya, lalu berlari menyusul Rio sambil sesekali menggerutu -lagi-.
Adam yang sekarang sendirian di rumah, menghela nafas lelah.
Dia bingung sendiri memikirkan ke dua adiknya yang tiba-tiba bertukar kepribadian.
"Apalah mereka itu."
ucap Adam pelan lalu meninggalkan meja makan menuju ke kamarnya, mulai memeriksa berkas-berkas membosankan yang mungkin saja bisa menjamur kapan saja bila tak ia jamah.
**
Entah sudah berapa kali Arsya mengerlingkan matanya menatap Rio yang dengan lesu duduk di sebelahnya.
"Lo udah kaya orang punya utang segunung tau. Lo kenapa sih, yo?"
Rio melirik kakanya yang tengah menyetir.
Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya Rio mengalihkan tatapannya keluar jendela.
Melihat pertanyaanya di acuhkan Arsya mendengus kesal.
"Kenapa? Lo berantem sama pacar lo itu?" kata Arsya sinis.
Rio kembali menatap Arsya terganggu.
"Apaan sih kak."
Arsya tersenyum sinis saat Rio merespon perkataanya.
"Sigh! Lo pikir gua gak tau."
Rio memandang Arsya heran.
"Tau apa?"
kata Rio bingung.
Arsya masih memokuskan pandangannya ke depan kemudi.
"Gue tau lo ada somthing sama si Ricky." jawab Arsya datar.
DEG!!
Tubuh Rio terpaku di tempat. Di tatapnya wajah datar Arsya kaget.
"A-apa? something apa coba? Ngarang lo kak."
Sanggah Rio gugup sambil memalingkan wajahnya keluar jendela mobil.
Arsya melirik Rio.
"Jangan paksa gue buat ngomong sejelas-jelasnya kalo lo itu-- gay."
Sekali lagi, tubuh Rio menegang.
"Lo pikir gue bego. Dari gerak-gerik kalian yang sering keluar malming Berduaan aja gue udah curiga," Arsya menekankan perkataanya di kata 'berduaan'.
"Apa lagi setelah gue nemu bukti di Hp lo."
Rio semakin gemetar
"Bukti?"
"Jadi, anak-anak X dikali Y di bagi setengah lingkaran adalah... Bla.. Bla.. Bla."
Semua murid memperhatikan dengan seksama penjelasan guru mereka yang dengan telaten menjelaskan dengan sejelas-jelasnya.
yah, walau tak semua murid yang memperhatikan penjelasan guru itu.
Contohnya saja, Rio, yang duduk di bangku ke 3 di baris kanan hanya menopang dagunya dengan tatapan kosong menatap ke depan kelas seolah ia tengah memperhatikan sang guru. Nyatanya, pikirannya meloncat kemana-mana bak kutu.
'Gue liat foto 'mesra' kalian dan itu gak cuma satu.'
*
"Bagaimana bisa? Gue yakin udah sembunyi'in itu foto di file yang sangat amat tersembunyi" ucap Rio pelan.
"Sekarang gimana? AARRGGGHHTT! Mau ditaruh dimana muka gue!" Teriak Rio sambil mengacak-acak rambutnya.
"Di simpen di papan tulis aja gimana?"
Hening.. Krik. Krik.
Suasana mencekam bagai di tempat uji nyali terasa di kelas itu.
Rio menengokan kepalanya menatap horor sumber suara yang menyahutinya tadi.
Ibu Erna (guru matematika) menatap Rio dengan senyuman bak Joker.
"E-Eh. Ibu.. Hehe"
Rio hanya bisa menampakan senyuman gugup saat di tatap dengan begitu menusuk oleh guru matematikanya itu.
"Apa kamu 'hehe!'. Mau ibu tempelin muka kamu itu di papan tulis atau Keluar dari kelas ibu, SEKARANG JUGA!"
Teriakan Bu Erna menggema di sepenjuru kelas.
Bahkan Cicak yang dari tadi nemplok di tembok sampai jatuh terjun bebas kelantai saat mendengar teriakan itu. #halah
"I-iya bu. Maaf..." Rio bergegas berdiri dan berjalan dengan cepat keluar kelas, di iringi kikik'kan bak kuntil*nak dari teman-teman sekelasnya.
"Apa yang kalian tertawakan, Hah?! Buka buku halaman 85 dan kerjakan soal dari 1-20 dengan rumus yang lengkap!" teriak ibu Erna penuh otoriter(?)
"Yyaaahhh~"
Rio yang sempat mendengar perkata guru matematikanya itu, menghela nafas lega karena dia tak perlu repot-repot memeras otak untuk mengerjakan soal-soal matematika yang bisa membuatnya gila kapan saja.
Satu senyuman puas, terlukis di bibir Rio saat telah keluar kelas.
'Makan tuh matematika!' rutuk Rio yang jelas ia tunjukan pada orang-orang yang menertawakannya tadi.
"Mending tidur di perpus ah~." ucap Rio riang dan dengan pongah, di langkahkan kakinya kearah Perpustakaan.
*
BUK!
Satu buku melayang dengan indahnya ke kepala Rio yang tengah dengan pulasnya tertidur di sudut perpustakaan.
"Aduh!! Apaan sih nih!"
gerutu Rio saat dirasakannya kepalanya berdenyut-denyut (bagai konser dangdut #plak #abaikan) nyeri.
"Ini perpustakaan woy, bukan hotel." ucap Si tersangka pemukulan dengan senyuman jahil tercetak di bibir merahnya.
Rio memandang orang yang sudah duduk di depannya, penuh kesumat.
"Sialan lo Dave! Bisa remuk kepala gue kalo lo pukul terus pake tuh buku nista." gerutu Rio sambil menunjuk buku Ensiklopedia yang terdiam dengan lugu di hadapan Dave, bergabung dengan bertumpuk-tumpuk buka yang di bawa Dave tadi.
Dave hanya tersenyum lima jari menanggapi perkataan Rio.
"Ngapain lo disini Dave? Hoam..." tanya Rio sambil menguap kecil.
"Seharusnya aku yang nanya gitu. Ngapain kamu disini?" tanya Dave balik.
"Gue di usir sama guru Joker persi cewek tuh." jawab Rio ngasal sambil menidurkan kepalanya lagi.
"Hah?" Dave terlihat tak mengerti dengan perkataan Rio.
"Ck! Itu Bu Erna."
"Oh... Bu Erna. Hahaha.. Awas loh kedengeran dianya, bisa di bantai kamu gara-gara julukin dia Joker." kata Dave sambil tertawa geli.
"Bodo." jawab Rio acuh.
Dave hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban sahabatnya itu.
"Terus ngapain lo di sini di jam pelajaran?. Gak mungkin banget kan kalo lo di usir kaya gue?"
tanya Rio sambil menopang kepalanya menghadap Dave.
"Kelas ku ada ulangan tadi. Berhubung aku selesai duluan, jadi aku di suruh nunggu diluar. Ya, dari pada bosen duduk-duduk di depan kelas mending aku ke perpus kan? Lagian sekalian 'perpisahan' juga sama buku-buku disini." jawab Dave sambil tersenyum kecil.
"Sudah gue duga. Mustahil banget siswa teladan kaya lo di usir atau bolos... Eh?"
Rio menatap Dave aneh, saat sadar ada kata-kata ganjil yang Dave ucapkan tadi.
"Maksud lo 'perpisahan' apa Dave?"
Dave melihat kearah Rio yang di landa kebingungan, lalu tersenyum tipis.
"Hari ini, hari terakhir aku jadi pengurus/ketua perpustakaan." jawab Dave tenang.
Beda lagi dengan Rio.
"HAH?! Kok bisa? Lo kan gak bisa jauh sama ni perpus. Rasanya jadi aneh kalo perpus gak ada lo."
"Biasa aja kali yo. Kesannya aku jadi kaya 'penunggu' perpus gitu. Aku kan cuma gak jadi Ketua perpus lagi. Bukan gak akan ke perpus selamanya."
"Huh? Iya juga ya? Hehe., lagian bahasa lo tuh ketinggian. udah kaya mau pergi kemana gitu, pake perpisahan-perpisahan segala."
"Hehe.. Kan biar dramatis "
Dave tersenyum jahil.
"LOL!"
Dave tertawa pelan.
"Lagian kan sekarang giliran anak kelas 10 yang jadi pengurus. Kamu tau sendiri, sebentar lagi kita kelas 12. Dan kita akan sibuk dengan berbagai tugas dan kegiatan yang lebih penting untuk masa depan kita nanti. Aku gak mungkin ngurusin perpus terus."
"Hm, iya juga. Setelah kita kelas 12 nanti kita gak bisa lagi ikut kegiatan non akademik ya? Haah~ pasti bosen banget."
"Yap! Di sekolah ini cuma kak Dimas yang di beri pengecualian buat ngetuain tim basket. Karena memang gak ada yang mampu gantiin dia. Untung aja dia mampu nge handel tim barket padahal aku yakin tugasnya gak kalah banyak. Mungkin karena itu juga dia meminta ku jadi manajer tim basket." gumam Dave yang lebih ke dirinya sendiri.
"HAH?! Lo jadi manajer tim basket?" Rio memandang Dave kaget.
"Hm? Ah, iya. Cuma sampe kelulusan dia nanti aja kok." jawab Dave ringan.
Rio tersenyum jahil.
"Wah~.. Bisa sekalian PDKT dong nih.." Rio menarik turunkan halisnya, menggoda Dave.
Wajah Dave memerah.
"Ngomong apa kamu yo? Gak nyambung tau!" Ucap Dave sambil melempar Novel yang tergeletak di sebelahnya kearah Rio yang masih tersenyum jahil.
"Hehehe... Semoga cepet jadian yah." ucap Rio jahil.
Dave tak bisa menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah saat mendengar celetukan Rio.
"Ka--"
BUG! Bruk! Bruk! Blupk!
Suara buku berjatuhan mengagetkan mereka berdua.
Rio dan Dave sontak melihat keasal suara.
"M-maaf kak... A-aku gak sengaja ngejatuhin b-bukunya."
Cukup jauh dari mereka, tepat di arah sela-sela lemari yang menjulang tinggi, Seorang gadis berpakaian kelewatan rapih dengan rambut terkepang satu dan kacamata bertengger di hidungnya, tengah mengumpulkan buku-buku yang berjatuhan tadi.
"Kamu gak kenapa-napa kan?" Dave berdiri dari duduknya bermaksud mendekati gadis itu.
"Aku gak apa-apa! Kakak ja-jangan kesini. Teruskan saja mengobrolnya."
Dave menghentikan langkahnya saat gadis itu meneriakinya.
Rio mengernyitkan dahinya melihat itu.
"Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Dave memastikan, masih diam di tempatnya yang masih berjarak cukup jauh dengan gadis itu.
"I-iya. Aku permisi kak."
setelah selesai membereskan buku yang ia jatuhkan, gadis itu berjalan menjauh dengan tubuh gemetar.
Dave hanya bisa menatap punggung gadis itu bingung.
'Kenapa dia kaya ketakutan gitu?' pertanyaan itu terlintas di pikiran Dave.
Dave lalu duduk lagi di kursinya.
"Kenapa tuh cewek?"
Dave hanya mengakat bahunya, menjawab pertanyaan Rio.
-
"Kamu masih di osis, yo?" tanya Dave tiba-tiba.
"Iya. Mungkin sebelum ujian gue udah bebas dari osis." jawab Rio sambil membuka Novel yang tadi sempat Dave lemparkan padanya.
"Ah. Ini juga tahun terakhir Ricky jadi ketua osis ya." kata Dave sambil menerawangkan pandangannya.
Rio menghentikan gerakannya yang tengah membuka Novel saat di dengarnya Dave menyebut nama Ricky.
Entah kenapa, sekarang ini jika Rio mendengar nama Ricky, dadanya terasa tertusuk pisau. Sakit.
Hening.
Dave terhenyak. Seolah tersadar baru saja menyebutkan seseorang yang mungkin saja menjadi topik sensitive untuk Rio.
Di tatapnya Rio yang tengah menundukan kepalanya suram.
"Y-yo?"
"Gue harus gimana Dave? Ricky masih gak mau ngomong sama gue." kata Rio lesu.
Rio memang telah menceritakan masalah diantaranya, Ricky dan Kakaknya Raya pada Dave.
Begitu pun Dave, ia telah menceritakan alasan dia mencintai Ergha.
Satu hal yang Rio tau saat mendengar cerita Dave.
Mereka berdua sama-sama tak punya peruntungan baik dalam percintaan.
"Seharusnya begitu gue tau siapa sebenarnya yang di cintai Ricky selama ini, gue langsung bilang sama dia kalo itu bukan gue. Setidaknya kalo begitu, dia gak akan terlalu ngerasa di begoin, karena gue ngasih tau yang sebenarnya sama dia sebelum gue sama di jadian. Tapi ini malah sebaliknya..."
"..Gue terlalu cinta sama dia, gue gak mau terima kalau bukan gue yang dia cintai selama ini. Gue Egois. Dan gara-gara itu, gue sama Ricky jadi begini. Ini salah gue."
Setelah mengatakan itu Rio menundukan kepalanya. Hatinya kembali di liputi rasa bersalah dan kepedihan.
Dave menatap Rio sendu. Dave seperti melihat refleksi dirinya sendiri di diri Rio.
Dirinya yang memang selalu di liputi rasa bersalah dan kepedihan.
Dave berdiri dari duduknya lalu duduk di sebelah Rio. Di rangkulnya pundak Rio.
"Jangan nyalahin diri kamu sendiri, yo. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Dari awal kebohongan memang udah terjadi dari Ricky ketemu kakak kamu itu. Bukan berarti aku nyalahin Kakak kamu, yo. Tapi kalau dari awal Ricky tau kebenarannya. Mungkin Ricky takan mengenalmu sebagai Kakak kamu yang di temuinya dulu. Dan mungkin kejadian nya takan begini. Kalian tak akan saling jatuh cinta dan sama-sama tersakiti. Aku tau seberapa sulitnya menerima akan keadaan kita yang agak 'berbeda' dengan yang lain. Aku yakin itu yang dirasakan Ricky dan ia merasa perjuanganya sia2 stelah tau ternyata orang yang di cintainya selama ini perempuan."
"...Tak ada yang patut di salahkan disini. Kamu, kakakmu, maupun Ricky. Cinta pun tak bisa di salah kan. Dari awal ini terasa salah karena di awali dengan kebohongan. Jadi berhenti nyalahin diri kamu sendiri, yo. Aku yakin Ricky takan selamanya begini. kalau kalian memang di takdirkan bersatu, masalah seperti ini takan ada artinya. Kalian pasti bersama lagi."
Dave tersenyum manis kearah Rio yang menatapnya sambil tersenyum tipis.
Setidaknya Kata-kata Dave tadi cukup membuat Rio tau kalau masalahnya dan Ricky bisa teraselesaikan. Dan itu membuat Rio lega.
'Yah, gue harus berfikir positif. mungkin saja apa yang di katakan Dave ada benarnya.'
Rio menatap Dave penuh terimakasih.
"Terimakasih Dave."
Dave tersenyum manis.
"Apapun untuk mu, sobat."
Siang itu mereka habiskan dengan mengobrol. Membicarakan apapun yang harus mereka bicarakan dan membahas Alfa yang mulai jarang dan sulit mereka temui akhir-akhir ini.
*
Rio terdiam di halte bis yang ada di depan sekolahnya.
Memandang jalan yang lenggang di depanya.
Ia baru saja selesai rapat osis, membahas olimpiade dan berbagai perlomban tahunan yang akan di langsungkan antar kota, yang akan di mulai minggu depan.
Rio menghela nafas. Rasanya kepalanya sakit sekali setelah mengurus beberapa data orang-orang yang akan mengikuti perlombaan dan olimpiade minggu depan. Untung saja data yang di tanganinya telah selesai dan langsung di berikan pada pihak guru.
Rio merutuki Destiy yang dengan seenaknya melimpahkan semua tugasnya pada Rio.
'Dasar sekertaris tak bertanggung jawab!'
Rio melongokan kepalanya kearah jalan. Tadi Rio sudah meminta kakaknya Adam menjemputnya. Ia tak punya uang jika memakai angkutan umum. Uangnya habis di belikan makan siang yang sialnya di kantin hanya tersisa menu 20.000, ke atas. Rio hanya membawa uang 25.000, dan itu hanya cukup membeli satu porsi sendwich daging, roti melon dan pep*i.
Dan kalo segitu, perut Rio belum cukup kenyang.
#rakus
Jika biasanya (setelah Ricky tak lagi mengantar-jemputnya) Rio akan menghubungi Arsya untuk menjemputnya, tapi kali ini tidak. Setelah pembicaran mereka pagi tadi, sekarang ini Rio tak punya muka untuk bertemu kakaknya.
-
Tadi pagi, setelah Arsya mengatakan bukti Rio dan Ricky berhubung, itu bersamaan dengan sampainya Rio di gerbang sekolah.
Rio segera keluar dari mobil tanpa memandang dan mendengar perkataan Arsya selanjutnya.
Kabur begitu saja.
'Ini terlalu mendadak. Kenapa kak Arsya tau secepat ini. Tau gara-gara foto pula. Gimana kalau kak Arsya berubah kaya dulu lagi. Dan lagi Dia pasti jijik sama gue. Ugh! Gue ini ceroboh banget. Bego! Bego!' Rio memukul-mukul kepalanya sendiri.
Setelah puas memukul-mukul kepalanya Rio terduduk dengan lemas di kursinya. Rasanya pikirannya benar-benar penat.
'Apa ada yang lebih buruk dari ini?'
Rio segera menegak kan posisi duduknya saat di lihatnya mobil Ricky keluar gerbang.
Posisi halte yang memang bersebrangan dengan gerbang sekolah membuat Rio bisa melihat jelas mobil Ricky yang keluar gerbang perlahan.
Di tatapnya mobil itu hampa.
Terlalu muluk baginya bila berharap pulang dengan Ricky seperti biasanya.
Nyatanya bukan dia yang sekarang ini duduk dengan manis di sebelah Ricky, di mobilnya.
Dada Rio terasa panas seketika, saat dilihatnya Ricky tersenyum kearah seorang perempuan.
Adinda. Adik kelas yang dulu menemui Ricky di kantin. Dia juga bendahara Osis yang belakangan menempel terus dengan Ricky.
Terlihat sekali dia mencoba mendekati Ricky.
Jika dulu saat Ricky dan Rio masih 'baik-baik' saja, ia tak terlalu khawatir akan Adinda yang mencoba mendekati Ricky. Karena Rio tau, Ricky tak pernah memberi respon positif pada gadis itu.
Tapi, sekaran Rio mulai takut, ia gelisah.
Rio takut bila Ricky mulai membalas perasaan gadis itu. Mengingat dari awal Ricky memang mencintai seorang gadis yang di anggapnya laki-laki.
'Apa benar aku bisa bersama Ricky lagi?' tiba-tiba saja rasa pesimis melingkupi Rio.
Wajah Rio kembali mendung. Padahal suasana di sekitarnya cerah.
-
Rio terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tak sadar ada seseorang yang menghentikan motornya di depan Rio.
"WOY!"
Rio tersentak dari lamunannya saat di dengarnya seseorang menegurnya.
Rio lihat seseorang dengan motor sport berwarna merah tak lupa helem berwarna merah juga, dengan pakaian basket yang terlihat masih basah akan keringat menempel di tubuh jangkung orang itu.
Rio kenal betul orang ini.
"Napain lo bengong disini ,yo? Kesambet baru tau rasa."kata orang itu sambil melepas helemnya.
"Alfa?" Rio menatap Alfa takjup. Ah, lebih tepatnya warna rambut Alfa yang kini agak berbeda.
Warna rambut Alfa menjadi hitam legam khas pribumi. Sebelumnya rambut Alfa memang agak ke coklatan mengikuti gen ayahnya yang berdarah Australia asli.
"Ya iyalah. Ini gue Alfa. Kenapa? Pangling ya ngeliat gue makin handsome?" Alfa menyisir rambutnya kebelakang lalu menaik turunkan alisnya kearah Rio, yang sekarang menatapnya malas.
"Narsis." cibir Rio.
"Enak aja, gue emang handsome dari dulu kali. Bilang aja lo malu ngakuin itu iya kan, honey?"
Rio memutarkan matanya bosan.
"Terserah lo lah."
jawab Rio malas.
Mobil Ricky melaju melewati mereka berdua dengan cepat.
Perhatian Rio teralih lagi pada mobil itu. Begitupun dengan Alfa yang agak terkejut melihat mobil Ricky melesat dengan cepat di hadapannya.
"Lo gak pulang bareng Ricky, yo?"
Alfa menatap Rio.
"Tumben. Kenapa? Kalian berantem ya?"
tanya Alfa kepo.
Rio tak menjawab. Ia hanya menghela nafas berat.
"EH?! Kalian beneran berantem? Sampe putus nggak?" seru Alfa semangat.
Setelah mengatakan itu Alfa langsung mendapatkan death glare yang menghunus dari Rio.
Alfa yang melihat itu hanya tersenyum gugup sambil menggaruk pipinya pelan.
"Hehehe... Becanda yo. Becanda... Jangan gitu juga dong ngeliatnya..
Hehe.. Ya udah, pulang bareng gue yuk?"
Alfa menepuk-nepuk jok belakangnya sambil memakai kembali helemnya.
"Gak usah deh Fa. Gue udah minta kak Adam jemput tadi."
Alfa tak jadi memakai helemnya.
"Yah~ kok gitu sih, yo. Udah pulang bareng gue aja. Lagian jam segini jalan pasti macet, lo pasti disini sampe malem kalo nunggu kak Adam dateng." kata Alfa dengan nada memelas.
Rio menghela nafas. Alfa memang ada benarnya. Beberapa menit yang lalu Adam mengirimkannya pesan kalau ia masih di kantor dan mungkin jika sekarang ia menjemput Rio, Ia pasti akan terjebak macet.
Alfa melihat Rio mengambil ponselnya, terlihat menghubungi seseorang.
"Assalammualaikum. Halo, kak?"
"...."
"Iya. Nggak apa-apa kak, kak Adam gak usah jemput Rio. Rio pulang di anterin sama temen Rio."
Rio melirik Alfa yang telah tersenyum lebar kembali, lalu mulai memakai helemnya.
"...."
"Iyaaa. Ya udah kak. Sukses buat proyek barunya."
"...."
klik.
Setelah selesai menghubungi Adam, Rio berjalan mendekati Alfa yang dengan semangat menyalakan motornya lagi.
"OK. Les't go, honey."
seru Alfa semangat.
"Lo manggil gue honey lagi. Jangan harap gue mau naek motor 'nunggin' lo ini." jawab Rio ketus.
Alfa terkekeh kecil, lalu membentuk tanda 'vis' pertanda ia menyerah.
Rio akhirnya duduk di boncengan motor Alfa.
"Pegangan yo. Gue mau ngebut." kata Alfa semangat.
"Nggak usah ngebut-ngebut! Celaka baru nyaho lo.!" omel Rio sambil memegang pakaian basket Alfa di bagian pinggang.
"Halah.. Kaya yang gak pernah ngebut aja lo, yo! Peluk dong yo. Kalo lo cuma megang baju gue ntar lo ke bawa angin waktu gue ngebut kan brabe."
Buk!
Rio memukul helem Alfa.
"Banyak omong lo. Udah cepet jalan."
"Iya. Iya. Yakin nih gak mau meluk. Ntar lo juga yang rugi loh."
"Nggak!"
"Ya udah."
Brum.. Brumm..
Alfa menstarternya motornya dengan keras.
"Ja-HHUWAAAHHH!"
Greb!
Alfa benar-benar mengebut.
Rio hampir saja terjengkang kebelakang tadi.
Refleks di peluknya pinggang Alfa.
"Hahaha! Tuh kan akhirnya meluk juga!" Alfa tertawa nista.
"GUE BUNUH LO JERAPAHHH! GUE BILANG JANGAN NGEBUT, BEGOO!!" teriak Rio murka, yang hanya di tanggapi tawa puas Alfa.
Kalian pikirkan sendiri, kenapa Rio memanggil Alfa jerapah? -_- #authorngupil #plak
**
Wujud Rio sudah tak beraturan saat Alfa menghentikan motornya. Rambutnya acak-acakan bak sarang tawon. Pakain kusut dan wajah pucat.
Cara berkendara Alfa sungguh tak sayang nyawa, seolah memang nyawanya ada 9.
'Dasar gila!'
"Hahaha.. Liat muka lo yo. Sumpah kocak banget. Hahahaa!"
Alfa tertawa keras sembari turun dari motor.
BUGH!!
"Auwhhh!" Alfa meringis kesakitan saat Rio menendang kakinya keras.
"RASAIN TUH! Lagian lo bilang mau nganterin gue pulang kerumah gue. Kenapa sekarang gue malah dirumah LO?!" Teriak Rio murka sambil menunjuk rumah yang sangat besar dengan halaman luas di sekitarnya.
Sambil mengelus-elus kakinya Alfa menyengir.
"Kapan gue bilang, gue mau nganterin lo kerumah lo? Gue kan cuma bilang 'nganterin lo' doang."
Rio menggeram kesal. Hampir di layangkannya tendangan kedua untuk kaki Alfa Tapi...
"HOLEE! KAK AFA PULANG!!"
Suara seorang bocah laki-laki mengagetkan Rio.
Di lihatnya dari arah pintu masuk rumah, seorang bocah yang kira-kira berumur 5 tahun, berlari kearah Alfa.
Alfa berjongkok, lalu bocah itu menghambur kepelukannya.
"Kakak pulang Boo cayang.."
di kecupnya pipi bocah yang Alfa panggil Boo itu.
Rio memandang bocah itu bingung.
'Setau gue, Alfa itu kan anak tunggal. Terus siapa tu bocah?'
Rio memerhatikan wajah si bocah yang memang sedikit mirip Alfa.
"Kak Afa beli ice cleam?"
"Loh? Kan dirumah masih banyak.."
"Boo udah makan cemuanya tadi ciang."
jawab Boo polos.
"APA?! nanti kamu sakit perut kalo kebanyakan makan ice cream, Cayang~" kata Alfa dengan wajah khawatir.
"Tapi kan ice cleam enak~. Boo cuka ice cleam~." Boo menekukan bibirnya imut.
Wajah Alfa bersemu.
"Ugh! Ya ampun Boo lucu banget sih. Kak Afa makin gemes! Sini kak Afa peluk." Alfa memeluk Boo gemas.
Rio memandang pemandangan 'pedhopiel' di depannya ngeri.
"Kakak Afa emang gak bawa ice cream buat Boo. Tapi Kakak bawa sesuatu yang lebih manis." Alfa mengerling kearah Rio, yang Rio balas pelototan.
"Apa kak? Apa?!" jawab Boo antusias.
"Itu." Alfa menunjuk kearah Rio yang berdiri di depan mereka berdua.
"W-woah!" Mata Boo berbinar.
Rio yang di tatap begitu hanya tersenyum gugup.
"Cantiknya! Kakak cantik Ini pacal kak Afa, ya?"
tanya Boo polos.
JLEB!
Rio mematung.
'C-cantik?'
Alfa menahan tawa.
Harga diri Rio tercoreng lagi.
-TBC-
Maaf juga Lava cut disini.. Lava terlalu ngantuk soalnya..
#hoam
apalagi lava agak gak enak badan..
#curcol
Maaf untuk typo dan maaf kalo ceritanya makin aneh dan gak nyambung..
Silahkan koreksi kata-kata yang kurang berkenan menurut kalian. Karena jujur Lava merasa ada kata-kata yang aneh dan gak tepat di part ini.
Saran, dan krikitik aku terima..
@Tsu_no_YanYan @3ll0 @Yuuki @Arie_Pratama @Wita @Centaury @lulu_75 @kristal_air @cute_inuyasha @balaka @4ndh0 @d_cetya @Cylone @DoniPerdana @Widy_WNata92 @Unprince @Tsunami @Adityaa_okee @akina_kenji @Lonely_Guy
@Ndraa
@andi_andee @Hon3y @Bun @NanNan @Otho_WNata92 @RegieAllvano @PeterWilll @viji3_be5t
silahkan~
Oya, ga usah mention Unprince lagi, soalnya udah ganti nama jadi Hon3y gracias
Hihihi.... Rio jadian saja sama Alfa XDD...tapi aku gk rela sih...klu Rio jadian sama Alfa hohoho....