It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@adilar_yasha berubah bagaimana???
Bang Zaki tetap the coolest one.
top disitu bukan role tapi keren tam, hehehe
mudah2an ga ada yg mati lg,nyesek tau klu baca cerita ujung2nya mati..
semoga lancar trs bikin ceritanya ya @tamagokill
°•¤ The Stars (Act 09) ¤•°
Dulu pernah Bang Toya mengatakan padaku, kalau di Bali itu, waktu berjalan sangat cepat. Tapi bagiku, mau dimana pun, waktu memang berjalan sangat cepat. Buktinya, sudah lebih dari empat tahun Bang Toya meninggalkan kami semua. Tapi saat pertama kali aku menginjakkan kakiku kemari. Ke rumah ini. Di rumah yang pernah ditinggali Bang Toya. Waktu seakan tidak pernah berjalan. Tidak ada yg berubah disini.
Well, tidak banyak yang berubah disini. Selain tidak adanya Bang Toya secara kasat mata. Tapi suasana disini, masih sama. Tentram. Mampu mendamaikan semua kegundahanku. Melenyapkan semua rasa takut ketika aku akan melangkah masuk.
Taka bilang, atas perintah Syaka, dia dan Tiki juga Zulfikar, selalu membuat aroma terapi kesukaan Bang Toya. Yaitu meletakkan bunga-bunga kamboja kedalam mangkuk yang diisi air.
Aromanya yang lembut dan sedikit manis, mampu menentramkan segala gonjang ganjing yang masih berkecamuk di dalam dadaku sejak beberapa tahun lalu. Yang membuat langkahku selalu goyah dan menapak tak tentu arah.
Semua foto didalam pigura foto yang tergantung di dinding ruang tamu. Juga pigura kecil yang diletakkan di lemari TV yang berada di ruang tengah, membuat semua kenangan manis dan pahit melintas. Seolah aku kembali ke masa itu seperti sedang melihat tayangan film tiga dimensi. Terasa sangat nyata.
Taman kecil yang berada di belakang rumah pun, sama sekali tidak berubah. Masih sama seperti terakhir kutinggalkan. Bang Zaki, Tiki dan Syaka yang selalu rajin merawat semua tanaman disini. Itu yang kudengar dari Taka. Sesekali Zulfikar juga ikut memberikan pupuk atas anjuran Putu dan Donna.
"Suasananya disini enak banget ya, Bar? Gue langsung ngerasa betah" Rivaz berujar sambil meluruskan kedua kakinya diatas karpet yang masih diletakkan di dekat sofa diruang TV.
Aku tersenyum dan mengangguk menanggapi kalimat Rivaz. Dan saat ia memalingkan wajahnya kembali ke arah album foto di atas pangkuannya, aku lantas menggigit bibir bawahku.
Serasa ada jarum kecil nan tajam yang menghujam jantungku saat mendengar kalimat Rivaz. Juga saat melihat ekspresinya.
Kenapa harus sama dengan... Bayu...?
'Suasananya disini enak banget ya, Bar? Gue langsung ngerasa betah' Bayu tersenyum bahagia. 'Ngapain duduk disitu? Elu tuh harusnya disini...' tangannya menarik lenganku, hingga aku pun terjatuh ke pangkuannya. Kemudian kedua tangannya Bayu lingkarkan ketubuhku melalui bawah lenganku. Bibirnya mendarat dibawah telingaku. Membuat tubuhku mengejang geli selama beberapa detik. Dan...
"Ngapain bengong disitu, Bar? Duduk sini" Rivaz menepuk-nepuk karpet disisinya. Membuyarkan lamunanku. "Ini elu kan?" Rivaz bertanya dengan jari menunjuk salah satu foto.
"Iya. Itu gue... bareng om dan tantenya si Taka" jawabku. Aku duduk disisi Rivaz.
"Hm?! Om dan Tante gue? Yang mana?" Taka yang datang dengan sebuah nampan berisi dua buah gelas dan sebuah teko, bertanya bingung ke arah kami. Lantas dia menghampiri kami sambil merangkak. "Eh elu, kalo mereka denger, elu bilang mereka tuh Om ama Tante gue, bisa dibikin perkedel lu!" ujarnya serius.
"Hah? Kok bisa?" Rivaz menyahut bingung.
"Mbak Donna ama Mbak Rina mana mau di panggil dengan sebutan menuakan umur mereka" jawab Taka serius. "Ugh!!!" Taka memejamkan kedua matanya sambil bersedekap dan tubuh gemeteran. Juga kepala menggeleng cepat.
"Kenapa lu, Ka?" tanyaku bingung. Nampak Rivaz juga sama bingungnya denganku.
"Gue lagi ngebayangin elu dicemplungin ke sumur ama Mbak Donna" sahutnya.
"Ah! Makin gede makin pe'a lu, Ka!" ku terjang Taka, dan mencoba menggelitikinya.
Tapi rupanya bocah ini memang sudah besar dan semakin kuat. Buktinya dia bisa membalik keadaan. Dan pada akhirnya malah aku yang terlentang dan ditindihi Taka yang sibuk mengelitik pinggang dan bagian samping dada dekat ketiakku.
"Ck! Sadar umur dong, Bang. Elu tuh makin tua dan lemah" ejeknya.
Tangannya masih terus beraksi, hingga tubuhku terasa kaku. "Shit! Just shut the fuck... Ah! Hahahaha... This... Hahahaha... Brat!!! Hahahaha... Fuck!!!"
"Apa bang?! Elu minta di fuck?!" dengan mudahnya Taka memiringkan tubuhku dan kini dia berada dibelakangku. Tangannya masih terus menggerayangi semua area sensitifku yang membuatku terus tertawa tanpa henti.
PLETAK!!!
"ADUH!!! SAPA...nih... yang..." Taka berhenti mengelitikiku. Kudengar suaranya melemah perlahan. Padahal aku yakin dia mau akan marah.
By the way, itu tadi suara apaan ya?, pikirku, penasaran.
"Ehehehe... Elu Ki. Gue pikir siapa..." kulihat kaki Taka yang beranjak berdiri dan meninggalkanku.
Aku lantas duduk dan mengatur nafasku. Sial! Diperlakukan seperti barusan itu, ternyata membuat tenagaku lumayan terkuras. Buktinya aku sampai berkeringat.
Lantas aku menoleh kearah tangga yang menuju lantai dua. Yang letaknya sekitar dua meter dari karpet. Dimana aku sekarang sedang duduk bersama Rivaz. Dan memperhatikan Taka yang melangkah terburu-buru menaiki anak tangga.
"Sorry Bang. Tu bocah emang badannya doang yang makin segede kingkong. Tapi otaknya dari dulu cuma segede kacang" Tiki berujar sambil menghempaskan pantatnya ke sofa.
"Eh sial! Siapa bilang otak gue segede kacang?" Taka berteriak dari lantai dua. Kepalanya menyembul dari pintu kamar yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari puncak tangga.
"Udah otak segede kacang, kuping budek pula" Tiki menyahut.
Mataku melihat kearah Taka dan Tiki bergantian. Keduanya sama-sama menjulurkan lidah dan mengacungkan jari tengah.
"Ck...ck...ck... Ssshhh..." aku berdecak heran sambil berdesis, melihat kelakuan si kembar kece ini. "Makin gede, becandaannya makin horor aja kalian ini" aku berkomentar.
Taka lantas menutup pintu. Bisa kudengar kalau dia mengunci pintu kamarnya dari bawah sini.
"Capek Ki?" tanyaku kearah Tiki yang rebah diatas sofa. Kubetulkan posisi bantal dibawah kepalanya. Lantas dia berterima kasih dengan senyum lemah dan menangkupkan pergelangan tangannya, menutup kedua matanya.
Nampak butiran keringat menetes deras dari keningnya. Dan beberapa saat kemudian, aku baru sadar kalau kemeja yang dia pakai juga basah karena keringat.
"Gak ganti baju dulu, Ki? Tar masuk angin lu" aku mencoba memberinya saran. Kali ini aku duduk bersila di sampingnya. Rivaz sesekali memperhatikanku, dan tangannya membalik halaman demi halaman pada album foto dipangkuannya.
Tiki menarik nafas dalam dalam. Lantas menghembuskannya. Nampak sekali kalau dia sangat lelah. Tak lama dia bangkit dan beranjak menuju kamar Bang Zaki.
Aku tau benar, kalau itu kamar Bang Zaki dan Bang Toya. Karena rumah ini memang cuma memiliki dua buah kamar. Satu di lantai dasar dekat dengan ruang TV. Dan satu lagi berada di lantai dua, dekat dengan puncak tangga.
Terus terang saja, aku terkejut saat melihat Tiki keluar dari kamar beberapa saat kemudian, dengan hanya mengenakan boxer tipis. Selain memperlihatkan lekuk tubuhnya yang aduhai indahnya. Tiki juga mempertontonkan jendolan super besar di bagian depan boxer yang dia pakai.
Tiki setengah berlari menuju belakang. Ke arah kamar mandi yang terletak di antara dapur dan pintu menuju teras belakang.
Seingatku, kamar mandi itu memang paling besar dibanding kamar mandi yang berada di lantai dua. Karena dulu aku sering memakainya kalau menginap dirumah ini.
Tiki kembali dari arah kamar mandi belakang, dengan handuk putih besar yang ia selampirkan di pundaknya yang kokoh. Kebiasaan Bang Zaki masih tetap sama rupanya. Karena dulu, Bang Toya memang suka sekali memiliki dan memakai handuk putih. Bahkan Bang Toya selalu membeli sampai beberapa lusin untuk persediaan.
Tiki menyipitkan kedua matanya, dan menatap ke arah meja di dekatku. "Taka udah bikinin minum ya?" tanya Tiki sambil mengucek-ngucek kedua matanya. "Sorry, gue abis ngelepas contact lens. Mata gue masih kerasa gatel" lanjutnya. "Santai disini dulu ya. Gue mau mandi bentar"
Hah...?? Gue kira ni bocah mandi di kamar mandi belakang. Lah trus kenapa mandi di kamar itu? Bukannya itu kamar Bang Zaki?, aku membatin dengan banyak sekali pertanyaan.
"Deuh... Segitunya ngeliatin si... Siapa tadi namanya? Tiki?" ucapan Rivaz membuatku menoleh menatap kearahnya.
Alisku berkerut tanda tak memahami maksud ucapannya.
"Gue liat juga kok. Emang gede banget. Elu suka kan ama yang gede begitu? Sekalipun gue ereksi, gue yakin, punya gue gak bakalan bisa segede terong bule si Tiki"
Kuhembuskan nafasku usai mendengar ucapan Rivaz. Saat mengucapkan kalimatnya tadi, matanya menatap resah ke arah album foto. Tangannya terus membolak-balikan halaman album foto. Lalu ia menggigit bibir bawahnya.
"Cemburu?" tanyaku lirih. Kuperhatikan raut wajahnya yang tampan.
Rivaz memang tampan. Teramat sangat tampan menurutku. Kulitnya yang putih bersih itu sangat halus. Dan selicin pualam setiap kali aku membelainya.
Saat kuletakkan tanganku dipundaknya, Rivaz meletakkan album foto keatas karpet. Lantas ia berdiri dan berjalan ke arah teras belakang.
Segera saja aku mengejarnya.
Rivaz berdiri dan menyandarkan bahu kanannya ke salah satu pilar diujung teras yang remang-remang. Tapi aku bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan aku bisa melihat kedua tangannya yang dimasukkan kedalam saku celananya.
Kupeluk Rivaz dari belakang. Kuselipkan tanganku diantara tangannya. Kuraba. Dan ku usap perutnya yang rata. Dari luar kausnya, sangat terasa perutnya yang rata dan kencang. Kumainkan jariku di antara garis tegas perutnya yang seingatku berbentuk delapan kotak.
"Marah, Vaz?" tanyaku. Kuletakkan dagu ku diatas bahunya. Kumiringkan kepalaku. Dan dalam keremangan, mataku mencoba melihat kearah wajahnya.
Rivaz lantas menengok dan mengecup cepat ujung hidungku yang berjarak hanya beberapa centi dari bibirnya. "Mana bisa gue marah ke elu, Bar" ujarnya lirih. Rivaz mengeluarkan kedua tangan dari kantung celananya. Dan meletakkannya di punggung tanganku. Mengusapnya perlahan. Meremas punggung tanganku dengan tangan bergetar.
"Gue cuma..."
Kali ini bukan tangannya saja yang bergetar. Tapi suaranya pun bergetar. Bahkan kedua bahunya pun terasa berguncang pelan.
"Gue cuma takut Bar... Gue takut... kehilangan elu..."
Ini pertama kalinya aku mendengar Rivaz mengerluarkan suara seperti ini. Tercekat. Seolah ada sepasang tangan yang mencekik lehernya dengan kuat.
Kulepaskan pelukanku. Kubalikkan tubuhnya. Kusandarkan ke pilar. Dan kuhimpit Rivaz dengan tubuhku. Kuraih wajahnya dengan kedua tanganku. Bisa kurasakan bulir-bulir air mata yang mengucur deras dari matanya yang tertutup.
Aku terenyuh menyaksikan Rivaz yang menangis dalam himpitanku. Pertama kalinya, sejak aku mengenal Rivaz. Ini pertama kalinya dia seperti ini.
Kedua tangan Rivaz yang bergetar, meremas kaus dibagian pinggangku.
"Gue mohon... dengan sangat, Bar... Please... Don't leave me... I can't live... without you... I love you... So much..."
Ini bukan pertama kalinya Rivaz mengutarakan isi hatinya padaku. Mungkin ini sudah ke seribu kalinya. Berbagai ekspresi Rivaz saat mengucapkan kalimatnya itu sudah kulihat. Tapi baru kali ini dia mengutarakannya dengan...
Aku bisa merasakan kepedihan dalam kalimatnya.
Aku bisa tau itu. Karena aku pun pernah mengalaminya. Aku pernah... Bahkan sering!
Memohon tanpa daya, setelah segala daya dan upaya telah kulakukan. Seperti yang dilakukan Rivaz saat ini.
"Bukan sex yang gue mau... Bukan sex hebat juga yang bisa gue kasih... Gue cuma butuh elu, Bar.... Gue mau elu ada disisi gue! Gue butuh kehadiran lu di hidup gue... Gue mau elu... Hati lu... Cinta lu... Itu semua lebih dari cukup..."
Sambil mengucapkan semua itu dengan wajah berlinang air mata, dan kedua tangan meremas kaus dibagian dadaku, aku hanya bisa terpaku. Membalas tatapan matanya.
Dalam keremangan, bisa kulihat sosok yang berada di dalam matanya.
Hanya ada aku. Bukan orang lain.
Dan aku selalu bisa melihat kesungguhan di dalam kedua bola matanya. Namun baru kali ini aku tak sanggup berkata apa pun untuk berkilah.
Selama ini aku selalu berlari. Meninggalkan keseriusan Rivaz.
"Gue disini buat lu, Bar... Please... Jangan kejar dia yang udah ninggalin elu..."
Kalimat Rivaz membuatku membebaskan diriku dari kungkungan tatapannya. Dan mundur selangkah darinya. Lalu membalikkan diri, memunggunginya.
Bisa kudengar Rivaz tangis tertahan Rivaz di belakangku.
Tangannya meraih tanganku.
Saat aku menoleh kebelakang, Rivaz duduk bersimpuh. Memohon dengan linangan air mata.
Bahkan aku pun tidak mampu berbuat serendah ini saat memohon belas kasihan Bayu saat meninggalkanku.
"Vaz... Apa-apaan elu ini? Bangun...!" perintahku.
Tapi Rivaz tak bergeming. Ia menunduk dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Tangannya masih meremas telapak tanganku.
Pada akhirnya aku ikut bersimpuh berhadapan dengannya. Dan memeluknya erat. Kukecup pipinya yang basah.
"Elu... Bisa kasih gue sedikit waktu, Vaz?" bisikku ragu. Kepala Rivaz yang berada dalam dekapanku, mengangguk lemah.
Kudorong pelan tubuh Rivaz. Terlihat sekali, kalau dia terkejut sambil menatapku. Kuraih lagi wajahnya. Kuseka air mata yang membasahi wajah tampannya.
"Kasih gue sedikit lagi waktu. Dan gue janji... Gue janji... Buat..."
Belum selesai aku berucap, Rivaz sudah melumat lembut bibirku. Untuk sepersekian detik, aku hanya bisa terpaku.
Ciuman Rivaz biasanya terasa lembut dan manis. Seperti gula-gula yang lembut saat ku kulum. Tapi tidak kali ini.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
I've been here before
But always hit the floor
I've spent a lifetime running
And I always get away
But with you I'm feeling something
That makes me want to stay
I'm prepared for this
I never shoot to miss
But I feel like a storm is coming
If I'm gonna make it through the day
Then there's no more use in running
This is something I gotta face
If I risk it all
Could you break my fall?
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
For you I have to risk it all
Cause the writing's on the wall
A million shards of glass
That haunt me from my past
As the stars begin to gather
And the light begins to fade
When all hope begins to shatter
Know that I won't be afraid
If I risk it all
Could you break my fall?
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
For you I have to risk it all
Cause the writing's on the wall
The writing's on the wall
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
How do I live? How do I breathe?
When you're not here I'm suffocating
I want to feel love, run through my blood
Tell me is this where I give it all up?
For you I have to risk it all
Cause the writing's on the wall
[Writing's On The Wall - Sam Smith]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Ciuman Rivaz masih terasa lembut, namun pahit. Yang kuartikan sebagai ciuman keputus-asa-an.
Kupejamkan kedua mataku. Kulumat bibir Rivaz. Yang ia balas dengan hisapan lembut pada bibir bawahku. Dampak dari hisapan lembutnya dibibirku, membuatku terseret dalam arus ringan menuju secercah cahaya terang benderang, yang hangat menyelimutiku dalam damai dan hangat kasih sayangnya.
"I love you, Bar..." ucapnya lembut seusai berciuman.
"I... I think... I think... I love... you too, Vaz..."
"Really?"
Rivaz tidak bisa menyembunyikan binar bahagia dalam tatapan matanya. Masih dalam keremangan, aku bisa melihat pipinya yang putih bersemu merah. Bersamaan dengan ekspresinya yang, bagiku, terlihat lucu. Ia menatapku. Dengan rona bahagia. Dan mengulum senyum.
"Yuk masuk..." ajakku. "Cuci muka lu..." aku mengantarnya ke kamar mandi yang terletak dekat dengan pintu. "Gue tunggu di sofa" lanjutku saat melihat Tiki yang duduk di sofa.
Mata Tiki terfokus pada layar televisi, dengan dagu diletakkan pada lutut yang ia tekuk didepan dadanya. Kedua tangannya memeluk erat kedua kakinya.
"Sorry..." ujar Tiki lirih.
"For what?" tanyaku tak mengerti.
"Gue tadi gak sengaja liat kalian di belakang" Tiki menjawab tanpa menatapku. "Selamat ya..."
"Selamat buat...?"
Tiki langsung berdiri saat mendengar pertanyaan Rivaz, yang sudah berdiri dibelakangku.
"Selamat karena elu udah dapet pengganti Bang Bayu" jawab Tiki. "Jangan sampe elu ninggalin dan nyakitin Bang Akbar. Jangan sampe elu jadi orang sebego gue dan setolol Bang Bayu" lanjutnya. Kalimat Tiki membuatku, dan sepertinya Rivaz juga, terperangah. "Hufff... Hidup gue di kelilingi pasangan-pasangan homo. Bener kata Tika nih. Lama-lama gue bisa ketularan jadi homo juga..." gerutu Tiki sambil melangkah ke arah pintu depan.
"Hey!! I can hear THAT, brat!" aku berseru kearah Tiki.
"Really? Sengaja!" Tiki melambaikan tangan kirinya sambil terus melangkah, dilanjutkan mengacungkan jari tengahnya.
"Sorry, Vaz. Jangan tersinggung ya" pintaku pada Rivaz yang kini duduk disampingku, menggantikan Tiki.
"Hahahaha... Santai aja" Rivaz menepuk lutut kananku. "Dia straight kan?"
Aku mengangguk. Membenarkan pertanyaan Rivaz. Perhatianku kini beralih ke arah televisi yang menyiarkan berita tentang kopi maut yang merenggut nyawa seorang wanita.
Wow! Kopi maut?!
"Tapi... Sodara kembarnya. Taka. Yang tadi ngelitikin gue. Dia... Gay"
Ucapanku nyaris membuat Rivaz menyemburkan minuman dari gelas yang baru saja dia seruput. Rivaz memandangku tak percaya.
"AKBAAAARRR!!!!"
Aku menoleh kearah sumber jeritan histeris itu dan melihat Donna berdiri bersama dengan Rina. Sebelum aku sempat beranjak, keduanya sudah menerjangku dengan pelukan.
"Ugh! Boobs..." aku mengerang saat Donna dan Rina sama-sama menghimpit wajahku dengan payudara jumbo milik mereka. Well, yeah... Tentu saja milik Donna jauuuuh lebih besar dari milik Rina.
Aku tidak heran saat melihat Rivaz yang terperangah melihat kearahku.
Hmmmm... Mungkin kearah benda yang makin kuat menghimpit wajahku ini. Ugh!
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Happy Reading Guys
@Antistante @yuzz @meong_meong @anohito @jeanOo @privatebuset @Gaebarajeunk @autoredoks @adinu @4ndh0 @hakenunbradah @masdabudd @zhedix @d_cetya @DafiAditya @Dhivars @kikyo @Tsu_no_YanYan @Different @rudi_cutejeunk @Beepe @dheeotherside @faisalrayhan @yubdi @ularuskasurius @Gabriel_Valiant @Dio_Phoenix @rone @adamy @babayz @tialawliet @angelofgay @nand4s1m4 @chandischbradah @Ozy_Permana @Sicnus @Dhivarsom @seno @Adam08 @FendyAdjie_ @rezadrians @_newbie @arieat @el_crush @jerukbali @AhmadJegeg @jony94 @iansunda @AdhetPitt @gege_panda17 @raharja @yubdi @Bintang96 @MikeAurellio @the_rainbow @aicasukakonde @Klanting801 @Venussalacca @adamy @greenbubles @Sefares @andre_patiatama @sky_borriello @lian25 @hwankyung69om @tjokro @exxe87bro @egosantoso @agungrahmat@mahardhyka @moemodd @ethandio @zeamays @tjokro @mamomento @obay @Sefares @Fad31 @the_angel_of_hell @Dreamweaver @blackorchid @callme_DIAZ @akina_kenji @SATELIT @Ariel_Akilina @Dhika_smg @TristanSantoso @farizpratama7 @Ren_S1211 @arixanggara @Irfandi_rahman@Yongjin1106 @Byun_Bhyun @r2846 @brownice @mikaelkananta_cakep@Just_PJ @faradika @GeryYaoibot95 @eldurion @balaka @amira_fujoshi @kimsyhenjuren @farizpratama7 @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep @LittlePigeon @yubdi @YongJin1106 @diditwahyudicom1@steve_hendra @Ndraa @blackshappire @doel7 @TigerGirlz @angelsndemons @3ll0 @tarry @OlliE @prince17cm @balaka @bladex @dafaZartin @Arjuna_Lubis @Duna @mikaelkananta_cakep @kurokuro @d_cetya @Wita @arifinselalusial @bumbellbee @abyh @idiottediott @JulianWisnu2 @rancak248 @abiDoANk @Tristandust @raharja @marul @add_it @rone @eldurion @SteveAnggara @PeterWilll @Purnama_79 @lulu_75 @arGos @alvin21 @hendra_bastian @Bun @jeanOo @gege_panda17 @joenior68 @centraltio @adilar_yasha @new92 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @adilar_yasha
@GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL
@Lovelyozan @eka_januartan
@tianswift26 @abyyriza
@privatebuset @Bun @sujofin
@TedjoPamungkas
×××°•••°°•••°×××