It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Chachan sabar ya. nunggu next Act aja
hmm dulu waktu kak bayu sama akbar, akbar yg jd bot kan? aku lupa. terus sama rivaz?
itu tiki sekamar sama bang zaki???
@tamagokill
tapi kan lama2 ada dampaknya ya, dia semakin kurus atau apalah apalah....dan akan membunuhnya secara perlahan tuh hiv...
gimana sih perkembangan si hiv ini?
makanya utk yg free sex, atau cuma sekali aja berhubungan intim, harus ikutan VCT juga. karena virus HIV itu baru terbaca minimal 3bulan atau 5tahun sejak terinfeksi. tergantung kondisi imun di dalam tubuh kita juga.
selebihnya, coba tanya ke konsultan yg bekerja di bidang nya ya. takut ada salah. jadinya bisa bantu koreksi juga.
*readerbaper*
°•¤ The Stars (Act 10) ¤•°
Hufff... Hari ini warung ramai sekali. Dan belum pernah aku merasa sangat kelelahan seperti sekarang. Kalau saja aku ini sebuah robot, engsel di kedua kakiku mungkin sudah copot. Tapi aku cuma bisa duduk. Mengelap keringat yang mengucur deras dari kening, dan membasahi wajahku. Bukan wajahku saja yang basah karena keringat. Kemejaku pun ikut basah. Sampai tembus pandang begini. Tau begini, tadi aku tidak memakai kemeja. Minimal aku memakai kaus tanpa lengan.
Eh, tapi pasti nanti bakal disemprot Bli Syaka. Hehehehehehe.
Katanya kalau juru masaknya tidak rapih dalam berpakaian, pasti customer juga enggan datang kemari. Nanti dikiranya, gurihnya masakan berasal dari keringatku. Hahahahaha...
"Capek Bang Ki? Mau dipijetin?"
"Gak perlu" tanpa perlu berpikir dua kali, aku langsung menepis tangan Suwek di pundakku. Kemudian aku berlalu meninggalkannya terbengong-bengong di dapur.
"Capek Ki" tanya Bli Syaka. Tangannya meraih handuk yang kuselampirkan dibahuku. Dengan lembut, dia mengusap keringat di keningku. "Pulang aja sana" katanya.
"Lah? Kan masih rame"
"Ini udah terakhir kok" Bang Zaki menyahut dari meja kasir. "Sebelum pulang, tolong kamu kabarin Donna dan Rina ya. Bilang aja ada Akbar di rumah. Mereka berdua lagi jalan-jalan di Dewi Sri, Ki. Biasa.. Dua Nyonya Besar itu abis shopping seharian" lanjut Bang Zaki sambil mengulurkan kunci mobilnya. "Nanti Abang pulang naik motor aja. Bareng Kaka. Ini mobilnya tolong anterin ke tempat cuci mobil punya temennya si Oka. Udah dekil banget tuh mobil. Bilang juga..."
"Oke Oke.... Nanti minta di anterin ke rumah kalo udah selesai kan? Seperti biasa" aku memotong kalimat Bang Zaki. Kemudian tangannya mengusap kepalaku sebentar. Dan mencubit pipiku.
"Pinter!" Bang Zaki tersenyum saat melihatku mengaduh pelan.
Bang Zaki itu memang sedikit bicara. Tapi kalau sudah memberi komando, duh... Komplit banget! Awalnya aku selalu bingung. Tapi Bang Zaki selalu memintaku tenang, dan menjalankan komandonya satu persatu.
"Oh iya Bang... Trus motor yang tadi di bawa Taka, gimana?" tanyaku sebelum melangkah pergi.
"Biar Fikar bin Suwek yang bawa. Nanti kamu ngekor di belakang Tiki aja. Tiki mau ke tempat cuci mobil" kata Bang Zaki pada Suwek yang ternyata sedang duduk di belakangku.
Aku merogoh kantong celanaku. Lalu melempar kunci motor kearah Suwek. Dia dengan tangkas menangkap kunci yang melayang kearahnya. Sebelum pergi tadi, Taka memang sudah menitipkan kunci motornya padaku.
"Pake helm!" aku berseru sebelum aku berjalan kearah mobil Bang Zaki yang terparkir diurutan paling ujung.
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Aku segera turun dari motor dan membukakan pagar, agar Suwek bisa masuk dengan motornya. Duh! Rasanya badanku sakit semua.
Kurogoh ponsel yang berada di dalam kantung celanaku. Setelah mencari kontak Bang Zaki, aku langsung menyentuh tombol dial. Agak lama Bang Zaki menerima panggilan teleponku.
"Sibuk Bang?" tanyaku.
"Enggak Ki. Handphone nya Abang silent. Ada apa?"
"Anu... Boleh minjem kamar mandinya gak? Badan Tiki sakit semua Bang"
"Kecapean ya?"
"Begitulah..." aku menjawab, sambil menutup pagar, dan mengaitkan kuncinya. Pagar ini selalu saja berderit tiap dibuka dan ditutup. Tapi Bang Zaki selalu saja melarangku memberikan pelumas pada engselnya. 'Supaya tau kalau ada orang datang' katanya saat aku menuntut penjelasan.
"Ya... Pake aja. Jangan lupa dikunci pintunya. Kali aja Abang dateng sebelum kamu selesai mandi" ucap Abang memberikan izin.
"Thanks Bang" aku berterima kasih dan melangkah masuk. Telingaku langsung menangkap suara heboh dari dalam.
Saat sudah di dalam, aku melihat Suwek yang berdiri memperhatikan Taka yang sedang menindih tubuh Bang Akbar. Aku langsung melangkah cepat dan saat melihat remote TV yang tergeletak diatas sofa, aku langsung meraihnya dan melempar ke arah Taka. Diluar dugaan, remote itu beradu keras dengan kepalanya.
PLETAK!!!
"ADUH!!! SAPA...nih... yang..." Taka berhenti mengelitiki Bang Akbar. Kepalanya tolah toleh ke segala arah. Dan terpaku padaku, dan sambil nyengir kuda, dia melihat keatas tangga. Dimana Suwek sedang melangkah menuju kamar atas. "Ehehehe... Elu Ki. Gue pikir siapa..." Taka lalu beranjak dan menyusul Suwek.
"Sorry Bang. Tu bocah emang badannya doang yang makin segede kingkong. Tapi otaknya dari dulu cuma segede kacang" aku berujar sambil menghempaskan pantatku ke sofa.
"Eh sial! Siapa bilang otak gue segede kacang?" Taka berteriak dari lantai dua. Kepalanya menyembul dari pintu kamar yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari puncak tangga.
"Udah otak segede kacang, kuping budek pula" aku menyahut. Lalu kami saling menjulurkan lidah dan mengacungkan jari tengah.
"Ck...ck...ck... Ssshhh..." Bang Akbar berdecak heran pada tingkah kekanakan kami. "Makin gede, becandaannya makin horor aja kalian ini" komentarnya.
Taka lalu menutup pintu. Bisa kudengar kalau dia mengunci pintu kamarnya dari bawah sini.
"Capek Ki?" tanya Bang Akbar padaku. Kurebahkan badanku diatas sofa. Dan dengan tanggap, Bang Akbar betulkan posisi bantal dibawah kepalaku. "Thanks Bang..." aku berterima kasih dan hanya mampu tersenyum lemah. Untuk beberapa detik, aku menangkupkan pergelangan tanganku, menutup kedua mataku yang terasa sepat.
"Gak ganti baju dulu, Ki? Tar masuk angin lu" kudengar saran Bang Akbar.
Aku menarik nafas dalam. Lalu menghembuskannya. Dan beranjak menuju kamar Bang Zaki. Meninggalkan Bang Akbar dan temannya. Siapa pula namanya tadi? Saat berkenalan di warung, aku tidak dengar dengan jelas saat dia mengucapkan namanya.
Aku sudah hampir bugil dan hanya menyisakan boxerku, ketika aku teringat kalau aku belum mengambil handuk. Tadi pagi kan aku habis mandi di kamar mandi belakang, dan meninggalkan handukku disana.
Setelah menyalakan air di bathtub, aku segera keluar dan setengah berlari menuju kamar mandi belakang. Setelah meraih handuk yang tergantung dibelakang pintu, kuselampirkan handuk milikku ini di bahuku.
Aku berhenti sebentar dan memperhatikan meja di dekat Bang Akbar. "Taka udah bikinin minum ya?" aku bertanya sambil mengucek-ngucek kedua mataku. "Sorry, gue abis ngelepas contact lens. Mata gue masih kerasa gatel" aku menjelaskan. "Santai disini dulu ya. Gue mau mandi bentar"
Aku pun segera masuk kembali ke dalam kamar Bang Zaki. Menutup dan menguncinya. Kemudian menurunkan boxer yang kupakai, lalu melemparnya ke tumpukan pakaian yang sengaja ku letakan begitu saja di lantai.
"Deuh... Segitunya ngeliatin si... Siapa tadi namanya? Tiki?"
Samar-samar aku mendengar suara teman Bang Akbar. Aku melangkah kearah pintu, dan menempelkan telinga kananku di daun pintu.
"Gue liat juga kok. Emang gede banget. Elu suka kan ama yang gede begitu? Sekalipun gue ereksi, gue yakin, punya gue gak bakalan bisa segede terong bule si Tiki"
Perkataan teman Bang Akbar itu terdengar seperti orang cemburu.
Aku nyengir saja saat mataku melihat 'terong bule' milikku yang disebut teman Bang Akbar tadi. Kugenggam 'terong' milikku sebentar, lalu aku berjalan kearah kamar mandi dan mematikan keran air. Kuletakkan handukku di wastafel yang terletak di seberang bathtub.
Duh sampai luber begini airnya, batinku.
Dikamar mandi atas sebenarnya juga sudah dipasang water heater. Tapi memang hanya kamar Bang Zaki yang ada bathtub-nya. Makanya aku sengaja nekat minta ijin, supaya aku bisa berendam air panas disini.
Hmmm... Masa sih segini gede banget?, tanyaku dalam hati. Aku pun melangkah masuk kedalam bathtub.
Terong gue yang emang gede, atau punya teman Bang Akbar yang segede toge?, pikirku dalam hati. Aku terkekeh sendiri dan tidak berani membayangkan milik teman Bang Akbar.
Ada-ada saja. Apa size beginian begitu penting buat mereka?, tanyaku lagi dalam hati. Dan pertanyaanku ini membuatku teringat kejadian beberapa bulan lalu. Sewaktu Bang Zaki sedang sakit.
Saat melihat Bang Zaki menangis sesenggukan malam itu, hatiku rasanya seperti disayat-sayat. Bang Zaki pasti sedang merindukan Bang Toya, terbukti dari bibirnya yang beberapa kali menyebut nama Bang Toya. Dan setelah berhasil menenangkannya, aku meninggalkan Bang Zaki yang sudah tertidur pulas.
Sebelum pergi, kubetulkan posisi tangan Bang Zaki kesamping tubuhnya. Kuseka air mata yang menggenang di sudut matanya yang sudah terpejam. Kuganti kain kompres di dahinya, dan aku pun secara hati-hati membuka pintu yang tadi kukunci, dan melangkah keluar. Sengaja tidak kututup rapat. Mungkin saja Bang Zaki nanti terbangun dan mencariku. Aku stand by saja di sofa, sambil kembali menonton televisi.
Setelah menenggak kopi milikku, telingaku menangkap suara-suara aneh. Dan setelah aku cari tahu, rupanya suara itu berasal dari lantai atas. Aku pun melangkah kesana. Ada apa lagi dengan mereka berdua?, batinku kesal. Dengan perlahan aku membuka pintu kamar.
Baru saja aku menyembulkan kepalaku dari pintu, mataku langsung terbelalak melihat kearah kasur. Disitu kulihat Suwek sedang menungging dan membenamkan kepalanya di bantal. Sementara Taka, dengan ganasnya menghentakan pinggulnya maju mundur.
Rupanya suara aneh itu adalah rintihan Taka dan erangan Suwek.
Karena posisi mereka yang memunggungi pintu, aku bisa melihat dengan jelas, kalau terong milik Taka melesak ke dalam --ASTAGA!! anus si Suwek!!-- dan bergerak keluar masuk layaknya piston pada mesin motor.
Aku langsung mundur dan menutup pintu perlahan. Sebisa mungkin jangan sampai mengeluarkan suara. Agar tidak mengganggu aktifitas mereka.
Jantungku berdegup kencang setelah menyaksikan kejadian tadi. Aku langsung beranjak ke dapur, dan menenggak segelas air putih yang kuambil dari dispenser. Aku tidak habis pikir melihat sendiri aktifitas seksual saudara kembarku dengan lelaki yang dicintainya.
Kumatikan televisi. Karena aku sudah tidak bisa fokus melihat tayangan televisi. Akhirnya aku hanya bisa duduk termangu. Suara heboh dari kamar atas membuat badanku terasa panas dingin. Kepalaku sampai terasa sakit ketika sekelabat adegan singkat yang kulihat tadi melintas dipelupuk mataku.
Aku langsung melangkah cepat, masuk kedalam kamar Bang Zaki, ketika aku melihat pintu kamar atas bergerak terbuka perlahan.
Sepintas aku melihat tubuh bugil Suwek dihimpit Taka. Nekat benar mereka itu! Apakah karena mereka pikir aku sedang sibuk merawat Bang Zaki?
Aku tidak mau melihat dan memikirkannya lebih jauh. Aku pun secara hati-hati menutup dan mengunci kembali pintu kamar Bang Zaki.
Kuatur nafasku sambil merosot perlahan kelantai.
Kenapa jadi gue yang deg-degan?, tanyaku dalam hati.
Setelah aku mampu menguasai diriku lagi, kuhampiri Bang Zaki yang sudah sedari tadi terlelap. Kubalikkan kain kompresan di dahinya. Kusentuh pipinya dengan punggung tanganku. Masih panas.
Aku tersentak saat tangan Bang Zaki meraih lengan dan menarik tubuhku hingga aku terjatuh keatas dada bidangnya. Bang Zaki memelukku erat. Dari bibirnya, bisa ku dengar dengan jelas kalau dia sedang mengigau menyebut nama Bang Toya.
Ah! Sial!!
Kenapa terong bule milikku menjadi keras dan mengacung dengan pongahnya dari dalam bathtub?, aku terhenyak melihat batang kejantanan milikku sendiri. Kugenggam, dan kuusap perlahan.
Apakah aku bereaksi karena melihat aktifitas seksual sejenis? Ya ampun! Gak mungkin! Aku ini normal! Aku masih suka cewek!
Yah... Walaupun aku tidak pernah secara terang-terangan pacaran dengan cewek, bukan berarti aku sama dengan Taka!
Tapi terus terang, aku memang tidak pernah berpikir untuk melakukan aktifitas seksual. Aku selalu menjaga baik-baik martabat mantan cewekku dulu.
Mantan...
Yah... Mau tidak mau, dulu aku harus putus dengan Astrid. Hubungan backstreet kami memang sudah sampai puncaknya saat aku mengatakan padanya kalau aku berniat pindah ke Bali. Kami putus baik-baik. Sama baiknya seperti saat kami memulai jalinan kasih kami.
Hah! Jalinan kasih! Itu cuma cinta monyet! Bahkan aku pernah di bilang impoten oleh Astrid. Karena aku tidak pernah mau meladeni pancingannya.
Coba saja aku lebih berani waktu itu. Pasti sudah kusumpal mulut sialan Astrid dengan terong milikku ini.
Ah! Sialan lah!! Kalau saja ini kamar mandiku sendiri, pasti aku tuntaskan dengan masturbasi deh, pikirku lagi. Tapi karena ini kamar mandi Bang Zaki, aku sungkan.
Dengan terburu-buru, aku berdiri setelah membuka penutup air yang berada di dasar bathtub. Kutuntaskan sajalah mandiku ini. Lagi pula pegal dibadanku pun sudah lumayan berkurang.
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Sebisa mungkin aku mengatur nafasku. Dan menjaga ekspresiku agar tetap pura-pura blo'on di depannya. Sementara hasil dari tingkahku ini membuatnya semakin kelabakan.
Terlebih saat kugigit bibir bawahku. Kukerutkan dahiku, hingga kedua alisku saling bertautan. Dan memiringkan kepalaku. Serta memberinya tatapan 'Gue gak paham maksud lo'.
"Akbar..." ucapku lagi sambil mengangkat rantang yang kubawa ke arah bocah ini.
"Oh... Akbar? Tu-tunggu sebentar ya..." sekejap kemudian aku melihatnya mengambil langkah seribu ke dalam rumah kosan dan berteriak memanggil-manggil nama Bang Akbar. Sementara aku cuma nyengir menyaksikan kejadian itu.
Kapan ya, terakhir aku berbuat jahil seperti sekarang?, aku menatap tangga yang tadi dilalui bocah polos itu sambil berpikir. Mencoba mengingat tingkahku dulu. Kayaknya waktu ada temennya Tika datang ke rumah deh. Sewaktu kami masih tinggal di Jakarta.
Karena waktu itu badanku belum sebesar sekarang, aku berhasil mengelabui teman-teman Tika. Terlebih, kalau aku menutup kepalaku dengan kain, wajah kami bertiga memang sangat mirip. Teman-teman Tika sampai mengira, kalau Tika adalah cowok yang menyamar sebagai cewek. Hahaha! Ada-ada saja khayalan mereka waktu itu.
Hmmmm jadi kangen Tika lagi deh. Padahal semalam kami baru saja selesai video call dengan Skype. Adikku satu itu semakin cantik saja. Kapan ya aku bisa punya pacar lagi? Yang bisa secantik, atau mungkin lebih cantik dari adikku.
"Tiki?"
Aku menoleh kearah Bang Akbar yang memanggilku.
"Yaelah... Gue kira sapa" Bang Akbar menghembuskan nafas lega. Aku tersenyum semanis mungkin kearah bocah yang tadi kukerjai. Dia memandangku bingung. "Kenalin... Ini Tiki... Adeknya temen gue. Ki... Kenalin, ini anaknya Ibu kos gue, Wahid"
Aku membalas uluran tangan Wahid, dan terkekeh. Kuperhatikan pipi Wahid bersemu merah. Mungkin dia lelah, karena sudah berlari-lari tadi.
"Bi-bisa bahasa Indonesia?" tanya Wahid, penasaran.
"Bisa. Tapi jangan ngajak ngomong bahasa Bali ya. Gak bisa" jawabku.
Aku kemudian mengulurkan rantang di tangan kananku ke Bang Akbar. "Dari Bang Zaki dan Bli Syaka" jelasku. Kemudian aku merogoh ponsel di kantong kiri kemejaku. "Gue langsung balik, Bang"
"Lah, kok buru-buru amat?" Bang Akbar bertanya heran setelah melirik isi rantang. "Sampein makasih gue ya, Ki. Tau aja kalo gue belon makan"
"Oke. Lagian elu kan masih enak bobok" sahutku. Aku menekan nada suaraku saat mengucapkan kata 'bobok'. Dan mengerlingkan mata kiriku.
"Sialan lu" Bang Akbar terkekeh. Tangannya dikepalkan dan menonjok ringan lengan kiriku.
Untung saja badanku sudah lebih besar darinya. Dibanding beberapa tahun lalu, badanku kan jauh lebih ceking darinya. Jadinya aku yang sudah duduk diatas sepeda motor, tidak akan jatuh terjengkang. Kan bisa malu.
"Oh iya Ki... Brownies yang kemaren itu udah ada yang mateng? Rivaz kepengen lagi tuh katanya"
Aku mengangkat kedua bahuku. "Gak tau Bang... Mau pesen?" tanyaku.
"Boleh deh. Selusin ya. Sekalian nanti di potongin. Gue gak ada pisau"
"Nanti dianter pake Gojek? Kayaknya nanti gak ada yang bisa nganter" aku mencoba mencari alasan.
Sebenarnya bukan tidak ada yang bisa mengantar. Tapi hari ini di warung cuma ada aku dan Bli Syaka. Bang Zaki hari ini pergi ke Ubud dengan Mbak Donna. Belum lagi, si Suwek kan belum pernah ke daerah sini. Kalau dia nyasar, bisa ngerepotin Bang Akbar juga. Bocah itu kan kadang tulalit kalo udah nyasar. Sudah begitu, dia tidak bisa membaca peta. Mau secanggih apapun peta yang dia miliki di dalam ponselnya.
"Mau saya aja yang ambil?" Wahid mendadak menawarkan diri.
Tanganku yang baru saja akan mengenakan helm, menjadi terhenti mendengar ucapan Wahid. "Gue gak masalah. Tapi apa gak ngerepotin elu?"
"Iya Hid. Gue yang sungkan sama Ibu. Masa sebentar-sebentar minta tolong terus?" Bang Akbar menyahut. "Emangnya hari ini elu gak sibuk?"
"Dan lagi, mungkin elu bakalan harus nunggu sekitar satu atau dua jam gitu. Takutnya kan Bli Syaka belum bikinin brownies-nya" imbuhku.
"Gak papa. Saya lagi pengen cari alasan keluar. Jenuh di rumah terus" Wahid menjelaskan.
"Gue mah terserah aja" ujarku akhirnya sambil mengendikkan bahu dan memakai helm.
"Oke deh. Santai aja. Saya ganti baju sebentar ya?"
"Gak perlu. Gitu aja udah kece kok" aku menyahut. Padahal si Wahid cuma memakai kolor dan kaus tanpa lengan.
Tapi selama aku tinggal di Bali, melihat orang-orang memakai pakaian seperti Wahid adalah pemandangan umum. Terlebih, di kawasan dekat pantai, banyak sekali bule-bule yang seliweran diatas sepeda motor dengan hanya mengenakan celana surfer sambil bertelanjang dada. Yah, walaupun kosan Bang Akbar memang lumayan jauh juga dari pantai. Tapi menurutku masih wajar.
Meskipun aku sendiri tidak akan sudi seliweran bertelanjang dada. Bisa bahaya kalau sampai meng-expose tubuh sexy milikku ini. Hahahaha!!!
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Aku menyilahkan Wahid untuk duduk di kursi dekat kasir. Letaknya berada di sudut ruangan, dekat juga dengan pintu menuju dapur. Karena kebijakan Bli Syaka, cuma yang berkepentingan saja yang boleh masuk ke dapur. Toh yang tidak berkepentingan pun tetap bisa melihat dari dinding kaca yang berada dibelakang meja kasir.
Selama perjalanan dengan motor, Wahid terus mengikutiku dari belakang. Aku sengaja tidak mau mengajaknya ngobrol. Maklum saja, aku sedang memakai contact lens. Kalau kubuka helm-ku, dan wajahku di terpa angin, bisa-bisa lompat keluar deh lensa di dalam mataku ini.
Kalau posisinya aku dibonceng, aku masih bisa diajak ngobrol. Masalahnya kan kami mengemudikan motor masing-masing.
"Minum dulu Hid..." kuletakkan segelas kopi dimeja.
"Yah, gak usah repot-repot Kak... Keluarin aja apa yang ada" candanya.
"Oh gitu. Nih daftar menunya" jawabku sambil mengetuk buku menu yang tergeletak di dekat gelas.
"Hahahaha... Bercanda Kak... Belum gajian nih" Wahid membuka halaman demi halaman sambil membaca satu persatu menu di warung ini.
"Tenang aja. Aku traktir"
"Traktir? Kan warungnya Kakak sendiri"
"Siapa bilang ini warung gue? Disini gue tuh pegawai, tauk"
"Oh... Kirain... Hehehehe..." Wahid cengengesan.
Dalam hati aku memuji wajahnya yang lucu. Dia terlihat makin manis kalau tertawa seperti itu.
Eit!! Kenapa mendadak aku jadi memuji Wahid?
Tapi bocah ini memang cute kok. Harus kuakui itu.
Duh! Dari manis, lompat ke cute! Udah ah! Aku perhatikan hal lain aja!
"Elu kerja dimana, Hid?" tanyaku mencoba membuka topik pembicaraan.
"Belum kerja Kak. Ini masih nyari. Jadi untuk sementara ya bantuin Ibu jagain kosan"
"Dengan badan kerempeng gini, elu jadi Security, Hid?" godaku seraya mencolek pinggangnya dengan ujung jariku.
"Hiya!" Wahid tersentak. Tubuhnya mengejang beberapa detik. "Kaget aku Kak. Geli! Hahahaha"
"Gampang geli ya?" sekali lagi aku mencolek pinggangnya, dan membuat Wahid kembali mengejang kaget. "Kata Nyokap gue, cowok kalo gampang geli gini, ceweknya cantik lho"
"Hahahaha... Amin, Kak. Makasih doanya" Wahid memundurkan kursinya sedikit. Mencoba mengambil jarak dariku. Agar tidak dikejutkan jahilnya jariku. "Tapi aku masih jomblo, Kak"
"Ooh... Jones?"
"Hah? Apa itu, Kak?" Wahid menatapku penuh tanda tanya.
"Jomblo ngenes! Masa gak tau?"
"Hahahaha... Harap maklum, Kak, aku itu orangnya kuper"
"Ooohh... Kurang perhatian? Ck... Ck... Ck... Kasian... Kasian..." aku menggelengkan kepalaku dan menggodanya lagi.
"Hahahaha... Dasar Kakak ini ya!"
"Mau ngapain, Hid?" tanyaku heran saat Wahid mencolek perutku. Tapi yang ada, telapak tangannya malah meraba sebentar perutku.
"Niatnya mau ngebales, Kakak. Tapi ternyata Kakaknya enggak gelian" Wahid menjawab dan tersipu malu.
Aku tertawa mendengar penjelasan Wahid. Lalu mataku beralih keluar. Kearah mobil Nissan Juke berwarna putih yang di parkir di dekat jendela samping.
"Sebentar ya... Bos gue udah dateng tuh..." kataku.
"Ehmm... Gak papa nih aku disini?"
"Santai aja..." kutepuk-tepuk bahunya pelan. "Lagian bos gue gak gigit kok, udah jinak" candaku. Wahid terkekeh pelan. Sementara aku keluar menghampiri mobil Juke itu.
Kalau pagi dan datang sendiri seperti sekarang, Bli Syaka selalu datang dengan mobilnya. Karena biasanya, Bli Syaka datang ke rumah jam enam pagi dengan motor, lalu berangkat bareng Bang Zaki tiap jam delapan pagi.
Tadi pagi Bli Syaka cuma datang sebentar ke rumah, dan minta tolong padaku untuk mengantar rantang berisi nasi beserta lauk pauk untuk sarapan pagi Bang Akbar dan temannya.
Teman? Dari yang kudengar dan kulihat kemarin itu, mereka dalam masa pedekate. Dan besar kemungkinan kalau mereka akan segera resmi jadi pasangan.
By the way, setahun lalu aku yang membantu Bli Syaka belajar mengemudikan mobil. Dan dalam waktu singkat, Bli Syaka sudah mahir. Ditambah dengan keadaan perekonomian Bokapnya yang bos resto itu, dia juga sanggup membeli mobil sendiri. Tapi karena Bli Syaka itu dasarnya rendah hati, dia bilang kalau mobil itu dia beli patungan dengan Bang Julian --suaminya-- dan Bokapnya.
Dan dari Bli Putu, aku tahu kalau Nissan Juke berwarna putih itu dibeli dari tabungan Bli Syaka. Memang untuk uang mukanya, dibantu Bang Julian. Dan Bokapnya memberikan saran untuk membeli di dealer milik saudara dari mendiang Nyokap Bli Syaka.
"Siapa itu Ki? Teman kamu?" tanya Bli Syaka saat kami sudah di dapur.
Dari samping, kami berdua memindahkan beberapa kotak berisi dessert yang dibuat Bli Syaka, dan memasukkannya ke freezer di dapur. Untuk beberapa jenis cake dan pudding, sudah diangkut si Suwek dan dia tata di etalase di depan.
"Dia mau ngelamar disini, Bli" jawabku sekenanya.
Bli Syaka langsung berdiri tegak dan menatap kearah Wahid. "Dia yang punya Vixion di depan kan?" tanya Bli Syaka. Aku mengangguk. "Apa dia yakin? Kita bisa aja kasih gaji yang sesuai. Tapi apa dia kuat? Lagian, mau ngelamar kok pake baju kayak gitu" Bli Syaka bertanya dengan nada ragu.
"Ya di coba aja. Training dulu" jawabku. "Lagian, tadi itu dia habis dari pantai. Mampir kesini sebentar, trus nanya info lowongan. Makanya dia make baju begitu" lanjutku, mencoba mencari alasan.
"Oh, begitu... Lalu, mau di training gimana?" tanya Bli Syaka lagi.
Kukeluarkan dua box berisi brownies kukus yang tadi dipesan Bang Akbar. Karena disini kami memiliki beberapa jenis brownies, tadi aku sempat kirim sms ke Bang Akbar untuk konfirmasi, jenis brownies mana yang dia pesan.
Aku mengambil kantung kertas dari laci dekat meja, yang dipakai untuk membungkus semua pesanan customer. Kumasukan satu box berisi dua belas potong brownies kukus pesanan Bang Akbar di kantung yang agak besar. Lalu kumasukan satu box brownies --yang ditaburi irisan almond-- berisi enam potong di kantung yang agak kecil.
Aku ke meja kasir dan menulis di nota, lalu kumasukan beberapa lembar uang --sejumlah harga brownies-- ke dalam kas di kasir. Aku lalu menengok ke belakang. Dari dinding kaca, aku bisa melihat Bli Syaka yang sedang berbicara dengan Suwek.
Kuhampiri Wahid. Kuulurkan dua buah kantung kertas berisi brownies kepadanya. Lalu aku mengajaknya keluar. Kearah motornya.
"Elu mau kerja disini gak? Kita lagi kekurangan staff nih" kataku.
"Eh? Mau aja lah Kak... Tapi..."
"Tenang aja. Kan di training dulu" aku melanjutkan. Aku tersenyum simpul sambil melipat kedua tangan ke dadaku. "Langsung kerja hari ini, mau gak?"
"Eh? Kok dadakan?"
"Mau gak? Kesempatan bagus gak dateng dua kali lho" aku melanjutkan.
"Wah!! Ya mau banget Kak!" Wahid terlihat senang.
"Tapi... Nanti kalo di tanya ama Bos-nya, bilang aja kalo tadi tuh elu dateng kesini nanya info lowongan ya" aku mencoba menjelaskan, dan melanjutkan sedikit skenario pada Wahid. Dia hanya mengangguk.
"Mandi lagi sana. Pake baju yang rapih. Kalo bisa pake kemeja putih kayak gue gini. Kalo gak ada, ya pake kemeja seadanya. Celana bebas lah. Pake celana pendek juga boleh. Asal jangan pake kolor doang. Nanti di semprot Bos!" lanjutku diselingi canda. Wahid terkekeh mendengar candaanku.
"Oke Kak... Aku pulang dulu ya" ujarnya sambil menyalakan mesin motornya.
"Oke... Hati-hati di jalan" balasku. "Oh ya... Satu lagi. Kamu udah harus disini dalam waktu satu setengah jam. Bisa gak? Itu tes dari Bos" aku melanjutkan. Kutunjuk Bli Syaka yang kali ini berada di meja kasir. "Nanti kalo udah balik, bilang aja, pesanannya udah diantat dengan selamat" lanjutku lagi memberikan instruksi.
"Siap Kak!" Wahid memberikan hormat setelah memakai helmnya. Karena dia memakai helm dengan kaca transparan, aku bisa melihat wajahnya yang sumringah.
"Oh ya Kak, apa gak perlu pakai surat lamaran?"
Aku mendengus. Bukan sebal. Lantaran pertanyaan Wahid terdengar konyol di telingaku. "Elu mau ngelamar gue? Janganlah!! Kita sejenis tauk!"
"Hahahaha... Dasar Kakak ini ya. Ditanyain serius malah bercanda. Ya udah Kak, aku pulang dulu ya" Wahid menyahut dengan tawanya yang terdengar renyah.
"Inget! Satu setengah jam dari... Sekarang!"
"Siap!"
"Eiiittt... Hati-hati di jalan, ya"
"Siippp Kak!" Wahid mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Setelah Wahid hilang dari pandangan, aku segera kembali masuk ke warung.
"Kok kamu naruh uang dikasir, Ki?" tanya Bli Syaka bingung.
"Oh itu jaminan. Kalau dia kabur bawa tuh brownies, biar Tiki yang ganti rugi" aku menjelaskan.
Kukeluarkan ponsel di kantung kiri kemejaku. Kukirim sebuah sms panjang pada Bang Akbar. Pastinya menjelaskan tentang Wahid tadi.
Karena kemampuan jempolku yang sudah terlatih, sambil berbicara pada Bli Syaka pun, aku bisa sambil mengetik sms panjang. Lagi pula, otakku ini sudah terlatih multitasking. Jadi aku bisa memecah konsentrasiku, dan menyerap semuanya sekaligus.
"Elu kirim kemana brownies tadi, Bang Ki?" tanya Suwek.
Tumben tu bocah otaknya jalan, batinku. "Tumben lu bisa kepo, Wek" aku menyahut. Tapi kedua mataku masih terfokus pada layar ponselku.
"Kamu itu ditanyain serius kok malah begitu, Ki" Bli Syaka mencolek pipiku. Aku terkekeh sebentar.
Aku menoleh ke arah Suwek. "Elu bisa serius juga, Wek?" godaku.
"Yaelah Bang Ki... Jahat nian..." sahutnya sambil manyun. Kemudian dia duduk di kursi yang berada di seberangku. Berdampingan dengan Bli Syaka.
Bukannya menjawab aku malah menekan lama tombol shutter kamera di sisi kanan ponselku. Lalu mengabadikan kedua orang di seberangku itu.
"Jadi begini... Tadi pagi kan ada yang nyuruh gue nganter rantang ke tempat Bang Akbar. Trus Bang Akbar pesen brownies. Ya udah, tu bocah gue suruh nganter aja sekalian" jelasku akhirnya, setelah memposting foto Bli Syaka dan Suwek ke wall Path milikku.
"Ooohh begitu..." sahut Bli Syaka dan Suwek barengan. Persis sekali orang yang sedang taking vokal.
"Udah jelas kan? Sekarang gue mau sarapan dulu... Laper" aku pun ngeloyor ke dapur. Mencari apapun yang bisa membungkam paduan suara di dalam perutku.
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Sekitar sepuluh menit setelah ku posting, Taka memberikan Like pada postinganku tadi. Dan tak lama aku melihat postingannya.
^Elu di Ubud? Ngapain?^ aku menggirim pesan singkat melalui Whatsapp ke Taka.
Tak perlu waktu lama, Taka membalas pesanku. ^Ada photo shoot. Biasa... Arteeezzz^ balas Taka.
^Najeezzz... Sok ngartis lu!^ balasku.
^Yee... Kan semalem gue udah bilang ama elu^
^Oya? Gue lupa^ jawabku sambil menuntaskan sarapanku. Kemudian meletakan piring kotor di wasbasin khusus piring kotor.
Sebenarnya, selama tinggal bersama orang tua kami, Taka itu berprofesi sebagai foto model. Namanya memang tidak terkenal. Maklum, masih baru, katanya. Tapi wajah dan tubuhnya memang sering terpajang di beberapa majalah fashion versi Eropa. Kebetulan karena dulu aku sempat mengirim fotoku bersama si Suwek, Taka menjadi panas dingin, dan langsung meluncur ke Bali.
Pihak Management yang menaungi Taka sempat mencak-mencak, karena Taka tidak memperpanjang kontrak. Ditambah, dia langsung terbang ke Bali.
Setelah proses negosiasi yang butuh waktu cukup lama. Hingga dua bulan lebih. Akhirnya Taka menyebutkan keberadaannya sekarang. Di Bali. Dan dua minggu lalu, dia dapat kabar dari manajernya untuk melakukan beberapa photo shoot di Jimbaran, Ubud dan di Jembrana.
Sehari sebelum kedatangan Bang Akbar kemarin, Taka sudah menyelesaikan photo shoot di beberapa lokasi di Singaraja. Hari ini dia ke Ubud bersama dengan semua crew. Dan setelah negosiasi singkat, Taka memutuskan untuk menjadikan Villa milik Bang Zaki sebagai lokasi berikutnya. Hitung-hitung promosi kata Taka.
Meskipun awalnya Bang Zaki sempat keberatan, karena Abang merasa Villa-nya di Ubud sana biasa-biasa saja, akhirnya Abang setuju juga. Itu pun setelah Taka bicara langsung pada Mbak Donna.
Rencananya, besok lusa Taka akan ke lokasi berikutnya di Jembrana. Dan kemungkinan besar, dia akan mengajak Suwek untuk menemaninya. Makanya tadi langsung muncul ide untuk mempekerjakan Wahid. Kebetulan juga bocah itu bilang sedang mencari pekerjaan.
Lucky me!
Tepat sembilan puluh menit kemudian, Wahid datang. Aku sempat pangling saat melihat penampilannya yang jauh lebih rapih.
Setelah basa basi singkat mengenalkannya pada Bli Syaka dan Suwek, aku pun mulai memberinya instruksi.
Tapi jeleknya sifatku ini, aku tidak pandang bulu kalau sudah mengenai hal pekerjaan. Kebetulan saat Wahid datang, warung sedang kedatangan beberapa customer. Jadi aku menyuruhnya clear up piring kotor dan membantu Suwek mencuci piring di belakang.
Thanks to Mbak Donna yang mengusulkan membeli mesin cuci piring layaknya dihotel, jadi kami tidak butuh waktu lama untuk mencuci semua piring kotor.
Diam-diam aku memuji ketangkasan Wahid. Dibalik tubuh kerempengnya itu, dia punya semangat kerja yang luar biasa. Dia juga cepat tanggap. Jadi kami --aku, Bli Syaka dan Suwek-- tidak mengalami kesulitan mengajarinya.
Nanti kalau sudah ada Bang Zaki, kemungkinan kami akan mulai membagi tugas. Untuk sementara, kami harus serabutan dulu. Kalau aku sedang tidak sibuk pun, aku membantu clear up. Atau mengelap piring dan gelas bersih, dan menatanya di rak khusus untuk semua piring, mangkuk, dan gelas.
Tepat jam tiga sore, Bli Syaka menutup sementara pintu dan tirai warung. Sementara aku sibuk di dapur mempersiapkan makan siang untuk kami berempat. Karena di jam makan siang kantor, warung akan ramai kedatangan beberapa tamu tetap. Misalnya saja, staff hotel yang bekerja disekitaran sini. Juga beberapa customer bule yang tinggal di home stay atau villa dekat sini, perlahan tapi pasti menjadi customer reguler kami.
Bang Zaki memang tidak menyediakan booking tempat. Dengan alasan kurang staff. Dan dengan kesadaran penuh, Abang juga menjelaskan kalau warung makan ini tidak akan memakai sistem restoran. Semuanya kembali di keterbatasan tenaga kerja kami ini. Tapi sesekali ada customer yang ngotot minta dibuatkan pesanan untuk take away. Kalau itu sih, aku yang bertugas di dapur masih sanggup meng-handle.
"Capek Hid?" tanyaku pada Wahid yang duduk disebelahku.
"Ya namanya kerja, pasti capek, Kak" jawabnya setelah menelan makanan yang kumasak. "Hmmmm... Enak! Gak heran tadi rame banget!" pujinya tulus. Sementara aku cuma mengulum senyum mendengar pujian Wahid.
"Tadi itu bisa di bilang sepi" celetuk Bli Syaka.
"Serius Bli?" tanya Wahid takjub.
Bli Syaka mengangguk dan melanjutkan makan siangnya. Kami sudah terbiasa terlambat makan siang seperti sekarang. Dan memang, Bli Syaka dan Bang Zaki selalu tidak banyak bicara ketika menikmati hidangan di depannya.
Kalau dulu aku selalu makan sambil bercanda dengan Suwek. Tapi sejak tidak sengaja melihatnya keasikan dipompa Taka malam itu, entah mengapa aku jadi enggan berbicara banyak padanya.
"Dihabisin Wek..." kataku pada Suwek. Karena sedari tadi, aku melihatnya menatapku dan Wahid bergantian.
Yang kutangkap, dan sekedar menduga. Kalau Suwek merasa diacuhkan. Karena seharian ini aku hanya mau berbicara banyak pada Wahid. Sedangkan sudah beberapa minggu ini aku selalu bersikap cuek padanya.
Usai makan, kami bertiga duduk santai dengan ponsel masing-masing. Sementara tadi Wahid langsung mengangkat semua piring kotor dan membawanya ke belakang.
Tidak lama aku menyusulnya di belakang.
"Gue minta nomer hape lu dong, Hid" aku berujar.
"Yah... Aku belum beli hape, Kak. Seminggu lalu hapeku rusak. Kecemplung di ember, waktu lagi ngepel" jawabnya.
"Nah terus gimana dong gue bisa hubungi elu?" tanyaku, agak shock juga mendengar penjelasan Wahid. "Kalo Bli Syaka mau ada perlu ama elu, gimana dong?" lanjutku lagi.
Sejenak Wahid terdiam. Nampak berpikir. Kemudian mengulum senyumnya. "Nanti deh aku minta ke Ibu. Bener juga kata Kakak" ujarnya. "Soalnya aku gak punya banyak temen, Kak. Ada beberapa orang sebenarnya. Tapi mereka semuanya di Jawa" lanjutnya.
"Ooohh begitu..." aku mengangguk mengerti. "Kalo udah beli hape, kasih tau gue ya...?"
"Oke, Kak" Wahid mengacungkan jempolnya.
Aku berjalan ke depan. Dan berhenti di meja kasir. Duduk disitu sambil memandangi Bli Syaka yang sedang seru menelepon Bang Julian di pojok depan.
'Komunikasi itu penting. Walaupun kami hidup serumah, tapi kami juga jarang bisa bicara empat mata', kata Bli Syaka suatu waktu.
Bang Julian memang kadang harus bekerja shift malam. Pulang pagi. Dan mau tidak mau, Bli Syaka jadi jarang bertemu. Sering kali, Bang Julian diminta datang ke beberapa seminar di luar pulau. Bahkan kadang tugas diluar negri selama beberapa hari atau beberapa minggu. Kalau sudah begitu, biasanya aku diminta Bang Zaki menginap ke rumah Bli Syaka. Sementara Bli Syaka sendiri, lebih sering pulang ke rumah Bokapnya.
Seperti sekarang, Bli Syaka pasti sedang menerima telepon dari Bang Julian.
Kemesraan yang mereka tunjukan itu pun, sebenarnya atas saran Bang Zaki. Kata Mbak Donna, kalau Bli Syaka sedang kumat manjanya, Bang Julian sampai kelimpungan menghadapinya.
Kalo aku jadi Bang Julian, sudah pasti tidak akan sanggup. Waktu dengan Astrid pun, aku selalu cuek kalau dia sedang ngambek.
"Elu pake Path kan, Wek?" tanyaku pada Suwek. Kulihat dia sedang asik melamun.
"Iya Bang Ki... Kenapa?" ia menyahut dan balik bertanya.
"Gue gak pernah tuh ngeliat elu nge-Like postingan Taka" kataku.
"Oohh itu... Gue jarang buka Path gue. Lebih sering nge-Like postingan di Facebook-nya Taka, kok, Bang Ki" jelasnya.
"Ooohh gitu..." aku mengangguk mengerti.
Kurogoh ponsel di kemeja kiriku. Kalau sedang jam kerja begini, aku memang selalu mengaktifkan mode getar saja. Supaya tidak terlalu mengganggu.
Rupanya Whatsapp dari Taka.
^Mau oleh-oleh apa lu, Ki?^
Aku segera membalas pertanyaan Taka. ^Gue bisa minta oleh-oleh cewek cakep buat jadi pacar gue gak?^.
^Hahanjiiirrr!! Tumben! Kesambet setan apa lu?^ balas Taka beberapa detik kemudian.
^Yaelah Ka... Hidup gue kan dikelilingi pasangan yang gak sungkan ngumbar kemesraan. Emangnya elu pernah liat gue pacaran?^
Agak lama Taka tidak membalas. Tapi terlihat kalau pesan Whatsapp-ku tadi langsung dia baca. Statusnya pun sedang On Line.
^Sorry... Iya... Gue gak pernah liat elu sedikit egois nikmatin hidup lu. Elu selalu mikirin gue ama Ijul^
Balasan Taka membuatku terhenyak sesaat. Bocah satu ini, cuma kalau chat aja bisa ngomong begini. Kalau tatap mata, cuek bebek banget.
^Btw, tipe cewek idaman elu kayak apaan, Ki? Sorry gue gak pernah tau^ ujar Taka di pesan Whatsapp-nya lagi.
^Gak muluk-muluk gue mah Ka. Yang penting harus cantik dan bohay!!!^, balasku tidak pakai lama.
^Anjaaayyy... Segitu gak muluk-muluk?? Ya udah! Besok gue bawain elu Dijah Green Lantern sodaranya Miss. Dj Yellow ye?!^
Balasan Taka membuatku mual.
^Njiirrr... Jahat nian dikau, wahai saudara kembarku yang buluk! Punya nyali seberapa gede lu? Sini gue kutuk jadi kondom bekas!^
^Aduhai kakanda... Janganlah kau kutuk daku jadi kondom bekas. Kutuklah aku menjadi dildo 20 inchi. Supaya yayangku itu megap-megap^
^Hoooeeexxx... Mau muntah gue ngebayanginnya, Njir!!^ balasku tak kalah cepat dari Taka.
^Ah elu mah ngebayangin aja. Rasain lah! Kalo ketagihan, tar gue kasi trik deh^
Aku melotot membaca pesan Taka.
^Buluk! Gue gak mau nyobain bekas lu!^ balasku. ^Kasih gue yang perawan kek!^
^Kampreeeeetttt!! Emang enak sih lobang yayank gue ituuuhh... Tapi gue gak rela berbagi!^
Seketika itu juga, aku langsung terpingkal-pingkal. Ditambah saat aku menatap wajah Suwek. Jelas sekali dia terlihat bingung.
^Kenapa? Elu takut lobang yayank lu itu jadi hambat gara² gue obrak abrik pake rudal gue? Jadi gorong² yang muat ditembus Titanic dah^
^Pe'aaaaa!!!!^ balas Taka seraya mengimbuhkan emot menangis.
^Cup Cup... Hug... Cuih Cuih^ balasku. ^Santai aja Ka... Gue gak bakalan tega ngambil yayank lu kok^
^Iyeee... Gue tau kok. Lagian kalo bukan karena jasa lu, sekarang gue masih merana di rumah bareng Bokap Nyokap^
Aku tersenyum tipis membaca pesan Whatsapp Taka yang ini. Terselip rasa bangga sudah bisa menjaga kekasih tercintanya ini. Juga bangga bisa menyatukan mereka lagi.
^I luv u so much, Tiki^
Aku terharu membaca lanjutan pesan Taka.
^Ai luv yutu, Taka. Udah ah, gue mau balik kerja. Jangan lupa makan. Trus minum vitamin. Jangan ngedoping ye^ balasku cepat.
^Oqe qaqaqu tercintah^ balas Taka selang beberapa detik kemudian. ^Bye. CU at home. Salam buat yayank gue ye^
"Dapet salam nih dari Taka" celetukku pada Suwek yang terbengong-bengong menatapku.
"Salam balik..." jawabnya diiringi senyum tipis.
"Bli Syaka, udah ready gak nih?" aku bertanya setengah berteriak pada Bli Syaka yang sekarang sedang menghitung stok di dalam etalase.
"Iya, Ki... Fikar... Tolong buka pintunya ya..." balas Bli Syaka bergantian padaku dan Suwek. Perhatiannya kembali menuju etalase.
Bli Syaka kemudian memanggil Wahid, yang rupanya sedang duduk disebelahku. Aku sampai tidak sadar karena asik 'ngobrol' dengan Taka.
"Welcome..." sapa Suwek dan aku berbarengan saat melihat seorang bule masuk ke warung.
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Oh, I think I've landed
In a world I hadn't seen
When I'm feeling ordinary
When I don't know what I mean
Oh, I think I've landed
Where there are miracles at work
For the thirst and for the hunger
Come the conference of birds
Saying it's true, it's not what it seems
Leave your broken windows open
And in the light just streams
And you get a head, a head full of dreams
You can see the change you want to
Be what you want to be
And you get a head, a head full of dreams
Into life, I’ve just been spoken
With a head full, a head full of dreams
Oh, I think I landed
Where there are miracles at work
When you got me open-handed
When you got me lost for words
I sing oh-oh-oh
A head full of dreams
A head full of dreams
Into life I’ve just been woken
With a head full, a head full of dreams
[A Head Full Of Dreams - Coldplay]
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
Happy Reading Guys
@Antistante @yuzz @meong_meong @anohito @jeanOo @privatebuset @Gaebarajeunk @autoredoks @adinu @4ndh0 @hakenunbradah @masdabudd @zhedix @d_cetya @DafiAditya @Dhivars @kikyo @Tsu_no_YanYan @Different @rudi_cutejeunk @Beepe @dheeotherside @faisalrayhan @yubdi @ularuskasurius @Gabriel_Valiant @Dio_Phoenix @rone @adamy @babayz @tialawliet @angelofgay @nand4s1m4 @chandischbradah @Ozy_Permana @Sicnus @Dhivarsom @seno @Adam08 @FendyAdjie_ @rezadrians @_newbie @arieat @el_crush @jerukbali @AhmadJegeg @jony94 @iansunda @AdhetPitt @gege_panda17 @raharja @yubdi @Bintang96 @MikeAurellio @the_rainbow @aicasukakonde @Klanting801 @Venussalacca @adamy @greenbubles @Sefares @andre_patiatama @sky_borriello @lian25 @hwankyung69om @tjokro @exxe87bro @egosantoso @agungrahmat@mahardhyka @moemodd @ethandio @zeamays @tjokro @mamomento @obay @Sefares @Fad31 @the_angel_of_hell @Dreamweaver @blackorchid @callme_DIAZ @akina_kenji @SATELIT @Ariel_Akilina @Dhika_smg @TristanSantoso @farizpratama7 @Ren_S1211 @arixanggara @Irfandi_rahman@Yongjin1106 @Byun_Bhyun @r2846 @brownice @mikaelkananta_cakep@Just_PJ @faradika @GeryYaoibot95 @eldurion @balaka @amira_fujoshi @kimsyhenjuren @farizpratama7 @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep @LittlePigeon @yubdi @YongJin1106 @diditwahyudicom1@steve_hendra @Ndraa @blackshappire @doel7 @TigerGirlz @angelsndemons @3ll0 @tarry @OlliE @prince17cm @balaka @bladex @dafaZartin @Arjuna_Lubis @Duna @mikaelkananta_cakep @kurokuro @d_cetya @Wita @arifinselalusial @bumbellbee @abyh @idiottediott @JulianWisnu2 @rancak248 @abiDoANk @Tristandust @raharja @marul @add_it @rone @eldurion @SteveAnggara @PeterWilll @Purnama_79 @lulu_75 @arGos @alvin21 @hendra_bastian @Bun @jeanOo @gege_panda17 @joenior68 @centraltio @adilar_yasha @new92 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @adilar_yasha
@GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL
@Lovelyozan @eka_januartan
@tianswift26 @abyyriza
@privatebuset @Bun @sujofin
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha
×××°•••°°•••°×××
Maap kalau ada typo. Udah ngantuk banget. Gak nyadar udah jam 2.45 AM WITA. nanti aku masih harus kerja pagi.
see ya guys...